KEPERAWATAN JIWA”
Disusun Oleh :
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari lembar tugas ini adalah :
1.2.1 Menjelaskan konsep teori Middle range nursing theories
1.2.2 Menjelaskan aplikasi Middle range nursing theories dalam kasus
1.2.3 Menjelaskan kelebihan dan kekurangan teori dalam penerapannya
terhadap kasus
1.3 Manfaat
1.3.1 Mahasiswa dapat memahami konsep teori Middle range nursing
theories
1.3.2 Mahasiswa dapat memahami aplikasi mengimplemetasikan Middle
range nursing theories dalam kasus
1.3.3 Mahasiswa memahami kelebihan dan kekurangan teori dalam
penerapannya terhadap kasus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Middle Range Theory
Teori keperawatan middle-range adalah teori yang paling tidak
abstrak dan berisi aplikasi praktik secara terinci (Achir & Kusman, 2014).
Middle range theory dapat didefinisikan sebagai serangkaian ide atau
gagasan yang saling berhubungan dan berfokus pada suatu dimensi terbatas
yaitu pada realitas keperawatan (Smith dan Liehr, 2008). Teori-teori ini
terdiri dari beberapa konsep yang saling berhubungan dan dapat
digambarkan dalam suatu model, dapat dikembangakan pada tatanan
praktek serta riset keperawatan (Lee, 2014). Middle range theory adalah
level teori dengan cakupan yang lebih spesifik, sedikit abstrak, memberikan
cara dalam menyelesaikan masalah dalam praktik keperawatan dan dapat
diuji secara empiris (Peterson & Bredow, 2008). Setiap middle range theory
menyebutkan dan menggambarkan fenomena lebih spesifik dan lebih
kongkrit yang menggambarkan apa itu fenomena, menjelaskan mengapa
fenomena terjadi atau memprediksi bagaimana cara fenomena terjadi
(Fawcett, 2005). Middle range theory menjadi referensi untuk
menyempurnakan dari grand teori dan mengarahkan practice theory untuk
dapat mecapai tujuan yang nyata (Lee, 2014). Jadi, dapat disimpulkan
bahwa middle range theory merupakan teori yang lebih terbatas, lebih
spesifik dan memiliki sedikit konsep, namun kurang abstrak bila
dibandingkan dengan meta theory, grand nursing theory, atau conceptual
models framework. Disamping itu, middle range theory merupakan teori
yang konkrit, akan tetapi tidak lebih konkret bila dibandingkan dengan
practice theories.
2.2 Tokoh Middle Range Theory
2.2.1 Hildegrad Peplau tentang Psycodinamic nursing
Konsep utama peplau adalah model hubungan interpersonal, hal ini
berkaitan dengan pemanfaatan hubungan yang terapeutik antara perawat dan
klien yang terjadi dalam empat fase yaitu: fase orientasi, identifikasi,
eksploitasi dan resolusi. Apabila seorang individu memiliki kebutuhan dan
membutuhkan bantuan perawat untuk memenuhinya maka perawat masuk
ke dalam hubungan interpersonal dengan seorang individu/klien (Kozier et
al., 2010).
Peplau mendefinisikan manusia sebagai organisme yang berusaha
dengan caranya sendiri untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan oleh
kebutuhan. Klien adalah individu dengan kebutuhan yang dirasakan.
Kesehatan didefinisikan sebagai simbol kata yang menyiratkan
perkembangan kepribadian dan proses manusia lainnya yang berkelanjutan
ke arah kehidupan yang kreatif, konstruktif, produktif, pribadi, dan
komunitas. Meskipun Peplau tidak secara langsung menangani masyarakat
atau lingkungan, ia mendorong perawat untuk mempertimbangkan budaya
dan adat istiadat pasien ketika pasien menyesuaikan diri dengan rutinitas
rumah sakit. Hildegard Peplau menganggap keperawatan sebagai proses
interpersonal yang signifikan, terapeutik. Dia mendefinisikan keperawatan
sebagai hubungan manusia antara individu yang sakit, atau yang
membutuhkan layanan kesehatan, dan seorang perawat yang dididik secara
khusus untuk mengenali dan menanggapi butuh bantuan (Potter & Perry,
2017). Terdapat empat fase terapeutik yaitu:
a. Orientasi
Fase orientasi diarahkan oleh perawat dan melibatkan klien dalam
perawatan, memberikan penjelasan dan informasi, dan menjawab
pertanyaan.
a) Tahap pendefinisian masalah
b) Dimulai ketika klien bertemu perawat sebagai orang asing
c) Menentukan masalah dan memutuskan jenis layanan yang
dibutuhkan
d) Klien mencari bantuan, menyampaikan kebutuhan, mengajukan
pertanyaan, berbagi prasangka dan harapan dari pengalaman
masa lalu
e) Perawat merespons, menjelaskan peran klien, membantu
mengidentifikasi masalah dan menggunakan sumber daya dan
layanan yang tersedia
Gambar 2.1 Bagan teori Peplau
b. Fase identifikasi
Fase identifikasi dimulai ketika klien bekerja saling tergantung dengan
perawat, mengekspresikan perasaan, dan mulai merasa lebih kuat.
a) Pemilihan bantuan profesional yang sesuai
b) Pasien mulai memiliki perasaan memiliki dan kemampuan
menghadapi masalah yang mengurangi perasaan tidak berdaya
dan putus asa
c. Fase Eksplorasi
Dalam fase eksploitasi, klien memanfaatkan sepenuhnya layanan yang
ditawarkan.
a) Dalam fase eksploitasi, klien memanfaatkan sepenuhnya
layanan yang ditawarkan.
b) Menggunakan bantuan profesional untuk alternatif pemecahan
masalah
c) Keunggulan layanan yang digunakan didasarkan pada
kebutuhan dan minat pasien
d) Individu merasa seperti bagian integral dari lingkungan yang
membantu
e) Pasien mungkin membuat permintaan kecil
f) Prinsip-prinsip teknik wawancara harus digunakan untuk
mengeksplorasi, memahami dan menangani masalah yang
mendasarinya secara memadai
g) Pasien dapat berfluktuasi pada independensi
h) Perawat harus mewaspadai berbagai fase komunikasi
i) Perawat membantu pasien dalam mengeksploitasi semua jalan
bantuan dan dan perkembangan yang dibuat menuju langkah
terakhir
d. Fase Resolusi
Dalam fase resolusi, klien tidak lagi membutuhkan layanan
profesional dan melepaskan perilaku ketergantungan. Hubungan
berakhir.
a) Dalam fase resolusi, klien tidak lagi membutuhkan layanan
profesional dan melepaskan perilaku ketergantungan. Hubungan
berakhir.
b) Pemutusan hubungan professional
c) Kebutuhan pasien telah dipenuhi oleh efek kolaboratif dari
pasien dan perawat
Teori Peplau membantu para ahli teori keperawatan dan dokter
mengembangkan intervensi terapeutik lebih lanjut tentang peran yang
menunjukkan karakter dinamis yang khas dalam keperawatan klinis. Fase-
fase tersebut memberikan kesederhanaan mengenai perkembangan alami
hubungan perawat-pasien, yang mengarah pada kemampuan beradaptasi
dalam setiap interaksi perawat-pasien. Kelemahan teori ini adalah meskipun
Peplau menekankan hubungan perawat-klien sebagai fondasi praktik
keperawatan, promosi kesehatan, dan pemeliharaan kurang ditekankan.
Selain itu teori ini tidak dapat digunakan pada pasien yang tidak memiliki
kebutuhan yang dirasakan seperti dengan pasien yang menarik diri (Potter &
Perry, 2017).
2.2.2 Ida jean orlando tentang nursing process theory.
Teori proses keperawatan yang menekankanpada hubungan timbale
balik antara perawat dan pasien. Orlando memangdang fungsi perawat
professional yang berkaitan dengan kemampuan perawat untuk mencari
tahu dan memenuhi kebutuhan pasien yang mendesak. Klien akan
membutuhkan asuhan keperawatan saat mereka memiliki keterbatasan untuk
memenuhi kebutuhannya (Alligood, 2014).
2.2.3 Georgene Gaskil Eakes, Mary Lerman Burke, & Margaret A. Hainswort
Dalam middle range theory mereka membahas terkait duka cita kronis
(cronic sorrow) dimana duka cita tersebut terjadi dalam sebuh situasi ketika
adanya fase kehilangan yang belum terselesaikan (Fawcett, 2005).
2.2.4 Joyce travelber tentang human to human relationship model.
Teori Joyce berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia.
Tujuan dari keperawatan adalah membantu individu, keluarga, dan
komunitas untuk mencegah dan mengatasi sakit dan menemukan makna dari
pengalamannya tersebut. Dalam mengembangkan hubungan perawat dan
pasien dengan menerapkan teori ini dibutuhkan sebuah empati dari perawat
ke klien sehingga tercipta sebuah harapan dalam proses pencegahan maupun
penyembuhan (Alligood, 2014)
2.2.5 Nola j. Pander tentang the health promotion model.
Health Promotion Model ini diusulkan sebagai kerangka untuk
mengintegrasikan keperawatan dan perspektif ilmu perilaku pada faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan. Model ini akan digunakan
sebagai panduan yang memotivasi individu untuk berperilaku peduli
terhadap peningkatan kesehatan. Konsep utama dari teori ini adalah
karakteristik individu dan pengalaman, perilaku kognisi tertentu dan yang
mempengauhi (manfaat dari tindakan), pengaruh self efficacy, pengaruh
aktivitas yag terkait, pengaruh interpersonal dan situasional dan hasi dari
perilaku tersebut (Alligood, 2014). Teori ini berfokus kepada promosi
kesehatan. Perawat memahami bahwa karakteristik, pengalaman, dan
kepercayaan pribadi pasien memengaruhi motivasi untuk mengadopsi
perilaku sehat (McEwen and Wills, 2019).
2.2.6 Ramona T. Mercer tentang maternal role attainment.
Asumsi Mercer berkaitan dengan pengembangan model maternal role
attainment, di antaranya adalah bayi baru lahir diyakini sebagai partner yang
aktif dalam proses pencapaian peran ibu, mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh peran ibu serta peran pasangan dan bayinya akan merefleksikan
kompetensi ibu dalam menjalankan perannya sehingga dapat tumbuh dan
bekembang. Perkembangan identitas peran ibu sangat terpengaruh oleh
kondisi psikologis dan perilaku ibu dan bayi (Alligood, 2014).
2.2.7 Teori Kolcaba
Teori ini berfokus kepada kenyamanan. Menurut Kolcaba,
kenyamanan adalah penangkal stres yang melekat dalam situasi perawatan
kesehatan saat ini, dan ketika kenyamanan ditingkatkan, pasien dan keluarga
dapat diperkuat untuk tugas-tugas selanjutnya. Selain itu, perawat akan
merasa lebih puas dengan perawatan yang telah mereka berikan. Perawat
memfasilitasi perilaku pencarian kesehatan pada pasien dengan berusaha
untuk meringankan distress fisik, emosional, sosial, lingkungan, dan / atau
distress spiritual (McEwen and Wills, 2014). Kenyamanan pasien ada dalam
tiga bentuk: kelegaan, kemudahan, dan transendensi. Kenyamanan ini dapat
terjadi dalam empat konteks: fisik, psikospiritual, lingkungan, dan sosial
budaya. Ketika kenyamanan pasien perlu diubah, intervensi keperawatan
juga berubah.
2.2.8 Teori Mishel
Teori Mishel disebut juga dengan Uncertainty in Illness Theory.
Perawat memfasilitasi koping dan adaptasi pasien dengan melakukan
intervensi yang bertujuan membantu pasien memproses dan menemukan
makna dari penyakit mereka (Adelstein et al., 2014).
2.2.9 Kathryn E Barnard tentang parent-child interaction model.
Mengemukakan model pengkajian kesehatan anak berdasarkan
interaksi antara ibu dengan anak dan lingkungan. Branand menyatakan
bahwa penyedia layanan kesehatan harus memperhatikan hubungan yang
erat antara orang tua dan anak dalam proses mengevaluasi kesehatan anak-
anak. Hal ini berkaitan dengan karakteristik individu yang mempengaruhi
sistem hubungan yang erat antara ibu dan anak/bayi (Alligood, 2014).
2.3 Hubungan Perawat dan Klien menurut Peplau
Dimensi hubungan perawat dan klien menurut Peplau ada 6 peran
(Alligood, 2014), yakni:
2.3.1 Peran Orang Asing (role of the sranger)
Peran pertama adalah peran dari orang asing. Peplau menyatakan
karena klien dan perawat adalah orang asing bagi satu dan lainnya, maka
klien harus diperlakukan secara sopan. Dengan kata lain, perawat tidak
boleh melakukan penilaian terlebih dahulu, namun harus bersikap
menerimanya apa adanya yang dialami oleh klien. Selama fase nonpersonal
ini, perawat harus memperlakukan klien secara penuh perasaan, perawat
menerima klien secara obyektif. Tidak boleh ada rasa curiga pada perawat
dan berbagai prediksi yang diasumsikan sendiri oleh perawat.
2.3.2 Peran narasumber pribadi (role of resource person)
Peran dari seorang narasumber, perawat memberikan jawaban spesifik
dari setiap pertanyaan, terutama mengenai informasi kesehatan dan
menginterpretasikan kepada klien bagaimana perawatan dan rencana medis
untuk hal tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ini terkadang muncul dari
konteks permasalahan yang lebar.
2.3.3 Peran Pengajaran (teaching role)
Merupakan kombinasi dari seluruh peran dan selalu berasal dari yang
diketahui klien dan dikembangkan dari minatnya dalam keinginannya dan
kemampuannya menggunakan informasi. Bentuk-bentuk pengajaran
didasari oleh tehnik psikoterapi dengan metode konseling.
2.3.4 Peran kepemimpinan (leadership role)
Perawat membantu klien mengerjakan tugas-tugas melalui hubungan
kooperatif dan partisipatif aktif
2.3.5 Peran pengganti/wali (surrogate role)
Klien menganggap perawat berperan sebagai walinya. Sikap dan
perilaku perawat dapat memberi perasaan tersendiri bagi klien yang bersifat
reaktif yang muncul dari hubungan sebelumnya. Fungsi perawat untuk
membimbng klien mengenali dirinya dengan sosok yang klien bayangkan.
Perawat mebantu klien melihat diri perawat dengan sosok yang
dibayangkannya. Perawat dan klien mendefinisikan area keterikatan,
ketidakterikatan dan antar keterikatan.
2.3.6 Peran penasehat (counseling role)
Peplau mempercayai bahwa peran penasehat memiliki peran besar
dalam hubungan perawat-klien. Penasehat berfungsi dalam hubungan
perawat-klien melalui cara perawat merespon kebutuhan klien. Melalui
peran konseling ini perawat mempromosikan pengalaman yang penting
tentang kesehatan. Klien mempunyai kesadaran diri untuk meningkatkan
kesehatan, mengidentifikasi adanya ancaman kesehatan, dan belajar dari
kejadian interpersonal.
2.4 Kelebihan dan Kekurangan Middle Range Theory
No Theory Kelebihan Kekurangan
1 Middle 1. Diturunkan dari Grand 1. Tidak dapat
range theory digunakan untuk
theory 2. Cakupannya lebih terbatas menjelaskan situasi
dan kurang abstrak. kehidupan yang
3. Menjelaskan fenomena kompleks
spesifik atau konsep dan 2. Fokus teori lebih
mencerminkan praktek sempit dari grand
keperawatan. teori
4. Lebih mudah diaplikasikan
dalam praktek.
5. Relatif bermanfaat bagi
konsep-konsep sumatif
6. Dapat diuji secara empiris
a. Faktor Biologis
Faktor herediter; riwayat penyakit, atau trauma kepala, riwayat
penggunaan NAPZA
b. Faktor Psikologis
Pengalaman tidak menyenangkan pasien terhadap gambaran dir;
ketidakjelasan atau kelebihan perang yang dimiliki; kegagalan dalam
mencapai harapan atau cita-cita; krisis identitas dan kurangnya
penghargaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan
c. Faktor Sosial Budaya
Sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan lingkungan pada usia
perkembangan anak; tingkat pendidikan rendah; kegagalan dalam
hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri).
2.7 Telenursing
Telenursing didefinisikan sebagai praktik keperawatan jarak jauh
menggunakan teknologi telekomunikasi. Telenursing dilakukan
menggunakan berbagai teknologi informasi dan komunikasi seperti aplikasi
di smartphone atau komputer dengan memanfaatkan koneksi internet, atau
bisa dimulai dengan peralatan sederhana seperti telepon yang sudah banyak
dimiliki oleh masyarakat tetapi masih belum banyak dimanfaatkan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan atau keperawatan. Melalui telenursing,
perawat mampu melakukan monitoring, pendidikan, follow up, pengkajian
dan pengumpulan data, melakukan intervensi, memberikan dukungan pada
keluarga dan perawatan multidisiplin yang inovatif serta kolaborasi
(Rahmawati, F, Idrianasari, A & Muharyani, PW, 2018).
3.1 Kasus
Terdapat 24 wanita mengalami depresi antepartum yang tinggal di
daerah perdesaan dengan karakteristik usia 22 hingga 24 tahun, dimana 18
orang telah menyelesaikan pendidikan SMA dan 6 orang tidak
menyelesaikan pendidikan SMA, 15 orang dalam hubungan pernikahan dan
9 orang tidak menikah dengan waktu kehamilan kurang dari 24 minggu.
Penangangan kasus klien dengan depresi pada antepartum yang
dilakukan oleh perawat jiwa dengan memberikan dukungan melalui telepon
didasari oleh teori hubungan interpersonal milik Peplau (Evans, Deutsch,
Drake, & Bullock, 2017). Pelayanan keperawatan yang diberikan dalam
penelitian ini merupakan bentuk nyata dari pelayanan keperawatan berbasis
teknologi yang dikenal dengan telenursing. Pemberian pelayanan
keperawatan berbasis teknologi ini bisa dilakukan melalui telepon,
handphone, dan internet. Telenursing memberikan keuntungan agar proses
pelayanan keperawatan menjadi lebih efektif dan efisien dari segi waktu dan
biaya. Selain itu, telenursing juga memberikan keuntungan agar pelayanan
keperawatan bisa diberikan kepada populasi yang memiliki keterbatasan
akses pelayanan keperawatan karena faktor jarak (Evans & Bullock, 2017).
Aplikasi telenursing sebenarnya telah digunakan pada beberapa kasus
seperti onkologi, HIV, perawatan jantung dan pelayanan kesehatan primer,
namun belum pernah dilakukan untuk pemberian perawatan pada kasus
prenatal atau dukungan psikososial pada wanita yang mengalami depresi
selama kehamilan (Schlachta-Fairchild, Elfrink, & Deickman, 2008).
Penggunaan telenursing sebelumnya pernah diteliti oleh Evans & Bullock
(2017), hasilnya menunjukkan bahwa aspek penting yang menjadi
keunggulan dari telenursing yaitu memiliki tingkat retensi yang tinggi.
Peneliti hanya kehilangan 10 responden dari 345 sampel selama proses studi
berlangsung. Hal ini menunjukkan kemudahan dan kelayakan dari
penggunaan telenursing pada praktik pemberian keperawatan khususnya
pada populasi yang tinggal di daerah pedesaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Evans, Deutsch, Drake, & Bullock
(2017), merupakan penelitian yang dilakukan pada penanganan kasus dan
pemberian dukungan psikologis klien depresi antepartum oleh perawat jiwa
melalui telenursing berdasarkan prinsip teori hubungan interpersonal
Peplau. Tujuan dari pelayanan melalui panggilan telepon ini adalah untuk
"menggunakan keterampilan mendengarkan secara empatik dan
memberikan dukungan sosial, emosional dan/atau informasi dalam
menanggapi kebutuhan masing-masing klien, seperti stress yang dia hadapi
dan cara yang dapat dilakukannya untuk mengelola respons stressnya".
Dalam hubungan interpersonal perawat dengan klien, Peplau
mengidentifikasi ada 6 peran yang dilakukan perawat yaitu stranger
(berperan sebagai orang asing), surrogate (ibu pengganti), resource (sumber
daya), teacher (guru), counselor (konselor) dan leader (pemimpin).
Mayoritas asuhan keperawatan terjadi pada peran perawat sebagai resource,
teacher atau counselor (Evans & Bullock, 2017). Peplau juga menjelaskan
bahwa ada empat fase hubungan terapeutik antara perawat dengan klien
yaitu fase orientasi, fase identifikasi, fase eksplorasi dan fase resolusi
(Townsend, 2018). Berikut adalah tabel fase hubungan menurut Peplau dan
interaksi antara perawat dengan klien dalam penelitian (Evans, Deutsch,
Drake, & Bullock, 2017):
Tahap Definisi Menurut Intervensi yang Frekuensi
Peplau dilakukan
d. Tahap Resolusi.
Dalam perawatan psikiatrik yang ideal, fase resolusi terjadi ketika
kedua belah pihak telah sama-sama puas terhadap hasil interaksi
mereka. Dalam kutipan berikut, resolusi dari tujuan yang ditentukan
bersama dicapai sebelum akhir penelitian dan memenuhi salah satu
tujuan utama yang ditetapkan dalam hubungan antara perawat dengan
klien:
Dia masih tidak merokok. Dia mengatakan ketika keluarga datang
untuk Natal, semua orang merokok di luar. Saya sangat bangga
padanya. Pasangannya juga merokok di luar. Dia senang bahwa dia
akan memiliki rumah bebas asap untuk bayinya. (# 258, Ditingkatkan)
Saat telah mendekati masa akhir penelitian, kedua belah pihak
mengantisipasi kemungkinan pemutusan hubungan mereka dan mulai
merefleksikan pengalaman mereka bersama, pelajaran yang dipetik,
dan strategi untuk di masa depan untuk mencapai tujuan.
Fase-fase teori hubungan interpersonal Peplau terbukti ada dalam
interaksi penelitian. Klien yang kurang mendapatkan pelayanan kesehatan di
lingkungannya dengan risiko tinggi untuk depresi menghargai bentuk
dukungan melalui telepon dan menggunakan model pelayanan seperti ini,
dengan data bahwa klien dengan risiko tertinggi untuk depresi
memanfaatkan lebih banyak dukungan keperawatan yang disediakan. Rata-
rata, skor Indeks Kesehatan Mental-5 yang digunakan untuk mengukur
tingkat depresi klien sebelum dan sesudah intervensi mengalami
peningkatan yaitu dari nilai 45 menjadi nilai 66. Kesimpulannya adalah
intervensi dukungan telepon yang disampaikan perawat menggunakan
model hubungan interpersonal Peplau, mungkin merupakan cara yang
efektif untuk memberikan dukungan kepada klien yang kurang
mendapatkan pelayanan kesehatan dan memiliki potensi untuk mengobati
atau mengimbangi depresi antepartum.
3.2 Kasus
Perawat spesialis melaporkan hasil perawatan pada kelompok klien
dengan isolasi sosial berjumlah 32 orang di ruangan Arimbi Rumah Sakit
Dr. H Marzoeki Mahdi Bogor. Karakteristik klien dengan masalah isolasi
sosial sebanyak 56.2 % berusia 19 - 35 tahun. Jenis kelamin klien dengan
isolasi sosial adalah 100% wanita karena ruangan yang digunakan dalam
pengambilan data merupakan ruang rawat wanita. Klien isolasi sosial yang
dirawat sebagian besar tidak memiliki pekerjaan (90.6%).
Berdasarakan hasil pengkajian pada 32 klien isolasi sosial bahwa
100% klien secara biologis memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya
dengan rincian klien yang mengalami trauma atau penyakit fisik sebesar
53.1%, klien dengan riwayat herediter sebesar 18.8%, serta klien dengan
riwayat menggunakan NAPZA sebesar 6.2%. Keseluruhan klien isolasi
sosial memiliki riwayat putus obat. Berdasarkan pengkajian, sebagian besar
klien mengatakan putus obat karena sudah merasa bosan minum obat terus
menerus setiap harinya, obat yang diminum membuat kepala pusing, obat
terasa pahit, dan obat membuat klien mengantuk. Faktor predisposisi pada
aspek psikologis teridentifikasi bahwa 81.2 % klien memiliki kepribadian
introvert atau tertutup dan 100% klien mengalami riwayat kegagalan atau
kehilangan sesuatu yang berharga.
Hasil yang diperoleh dari klien mengenai respon kognitif yang paling
menonjol adalah sulit mengambil keputusan, sebanyak 31 klien (96.9%),
merasa kesepian dan ditolak oleh orang lain sebanyak 28 klien (87.5%) dan
diikuti dengan merasa tidak berguna sebanyak 27 klien (84.4%). Sedangkan
Respon fisiologis yang paling banyak dialami klien adalah merasa lelah atau
letih sebanyak 30 klien (93.7%). Pada Respon perilaku yang paling banyak
yang dialami klien adalah kurang aktivitas dan verbal sebanyak 27 klien
(84.4%). Sedangkan pada Respon sosial yang paling banyak dialami klien
adalah menarik diri sebanyak 30 klien (93.7%).
Berdasarkan hasil pelaksanaan pengelolaan 32 klien isolasi sosial di
ruang Arimbi bahwa sumber koping yang dialami oleh klien diperoleh 25
klien (78.1%) tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi isoslasi sosial
demikian juga dengan keluarganya sebanyak 93.7% tidak tahu dan
ketidakmampuan merawat anggota keluarga dengan isolasi sosial.
Terapi generalis atau tindakan keperawatan generalis dilakukan
kepada 32 klien isolasi sosial, rata-rata dilakukan sebanyak 3-4 kali.
Tindakan keperawatan untuk masalah isolasi sosial bertujuan agar klien
mampu melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Tindakan
keperawatan yang diberikan yaitu: membantu klien menyadari penyebab
perilaku isolasi sosial, mendiskusikan manfaat dan kerugian tidak
melakukan interaksi dan melatih klien berkenalan dengan orang lain secara
bertahap, serta mampu melakukan interaksi dalam hubungan sosial.
Tindakan keperawatan generalis dilakukan dengan bekerjasama dengan
perawat ruangan dan mahasiswa D3 keperawatan, S1+Ners keperawatan di
ruang Arimbi.
Terapi spesialis keperawatan merupakan terapi lanjutan dilakukan
pada 32 klien, pemberian terapi spesialis keperawatan dilakukan melalui
analisa masalah klien serta kebutuhan yang harus dicapai berdasarkan
pendekatan secara individu, keluarga, maupun kelompok. Terapi spesialis
keperawatan yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial adalah Social
Skills Training (SST) dan Cognitive Behavior Social Skill Training
(CBSST).
a. Fase Orientasi
Fase orientasi lebih difokuskan untuk membantu klien menyadari
ketersediaan bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat
untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian asuhan
keperawatan pada klien. Ditahap ini perawat dan klien melakukan
kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi proses
pengumpulan data. Fase orientasi dimulai diawal pertama sekali
perawat dan klien bertemu dimana perawat berperan sebagai orang
asing bagi klien. Perawat harus menempatkan klien dengan penuh
perasaan dan secara sopan serta menerima keberadaan klien apa
adanya sebagai manusia yang utuh (Peplau, 1991). Fase ini menurut
peplau, pasien dan perawat mempunyai andil dan berperan serta dalam
mempromosikan proses berhubungan yang terjalin di antara mereka
(Gastmans, 1998). (Riviere et al., 2019) dan diharapkan klien
menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan atau bantuan dari
perawat terhadap masalah yang dialaminya sehingga perawat dapat
menolong dan menentukan apa yang terbaik untuk mengatasi masalah
klien (Peplau, 1990). Penggunaan diri secara terapeutik dan
kemampuan melakukan tehnik terapeutik dalam berhubungan
sehingga memiliki pengaruh yang besar membina hubungan saling
percaya. Sehingga dapat disimpulkan kemampuan melakukan tehnik
terapeutik yang baik dan empati merupakan cara yang dapat
menciptakan hubungan saling percaya antara perawat dan klien.
b. Fase Identifikasi
Pada fase Identifikasi, perawat mengkaji lebih dalam apa yang terjadi
pada klien. Pada penerapanya, perawat berhasil mengumpulkan data.
Seperti misalnya Perawat mengkaji dan menganalisa Karakteristik
umur klien dengan masalah isolasi sosial dimana pada kasus terdapat
sebanyak 56.2 % berusia 19 - 35 tahun. Kondisi ini sesuai dengan
pendapat Sadock dan Sadock (2007), yang menyatakan bahwa
gangguan jiwa ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya
onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Stuart (2009)
juga menyebutkan bahwa resiko tinggi terjadinya gangguan jiwa yaitu
pada usia dewasa. Hasil diatas sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Renidayati (2009) menunjukkan usia klien isolasi sosial
berada dalam rentang usia 28 - 35 tahun. Penelitian Jumaini, Keliat, &
Daulima (2010) menunjukkan hasil rata-rata usia klien yang
mengalami isolasi sosial adalah 33 tahun. Stuart (2013) berpendapat
bahwa frekuensi tertinggi usia seseorang berisiko mengalami
gangguan jiwa yaitu pada usia 25-44 tahun.
Hal lainnya yang dapat dikaji lebih dalam pada fase identifikasi adalah
faktor predisposisi yang menyebakan klien mengalami isolasi sosial.
Seperti pada kasus 100% klien secara biologis memiliki riwayat
gangguan jiwa sebelumnya dengan rincian klien yang mengalami
trauma atau penyakit fisik sebesar 53.1% Trauma dapat terjadi dalam
berbagai bentuk, dan dampaknya bervariasi berdasarkan pada kondisi
kehidupan yang unik, lingkungan dan ketahanan individu yang
terkena dampak. Didefinisikan secara luas, definisi medis dari trauma
merujuk pada "cedera (seperti luka) pada jaringan hidup yang
disebabkan oleh agen ekstrinsik, keadaan psikis atau perilaku yang
tidak teratur akibat dari tekanan mental atau emosional yang parah
atau cedera fisik, gangguan emosi" , DSM telah menandai reaksi
terhadap pengalaman yang penuh tekanan sebagai "gangguan
situasional sementara" yang akan berkurang seiring waktu.
Selanjutnya, DSM IV dan DSM IV-TR mengantarkan definisi trauma
yang lebih inklusif (termasuk berbagai peristiwa seperti kecelakaan
mobil, bencana alam, atau belajar tentang kematian orang yang
dicintai) yang menghasilkan perluasan yang nyata dalam diagnosis
terkait trauma. Teori kontemporer mengkonseptualisasikan trauma
dan respons terhadapnya sebagai terjadi sepanjang sebuah kontinum.
Jelas bahwa tidak semua orang yang terpapar pada peristiwa yang
sangat traumatis akan terkena PTSD, Meskipun demikian,
pengalaman trauma itu masih bisa berdampak lama pada individu itu
(Gerber, 2019).
Respon sosial yang paling banyak dialami klien adalah menarik diri
sebanyak 30 klien (93.7%). Respon sosial merupakan hasil perpaduan
dari respon kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku yang akan
mempengaruhi hubungan atau interaksi dengan orang lain. Klien
isolasi sosial dalam kasus ini memiliki pengalaman hidup yang tidak
menyenangkan seperti kegagalan membina hubungan, komunikasi
tertutup, jarang terlibat pada kegiatan sosial, penolakan, kegagalan-
kegagalan lain. Kenyataan yang ada pada klien ini sesuai dengan yang
diuraikan Fortinash & Worret (2004) dan Townsend (2014) bahwa
pada klien isolasi sosial penilaian individu bahwa adanya perasaan
kesepian dan ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa
mengerti dirinya, merasa tidak aman berada dengan orang lain, merasa
hubungan tidak berarti dengan orang lain, tidak mampu konsentrasi
dan membuat keputusan, merasa tidak memiliki tujuan hidup. Klien
menjadi kebingungan, kurangnya perhatian, merasa putus asa, merasa
tidak berdaya, dan merasa tidak berguna.
c. Fase Eksploitasi
Pada Fase Eksploitasi, perawat berdiskusi dengan klien tentang
pemilihan terapi yang tepat sesuai dengan kondisi klien isolasi sosial.
Dalam penerapanya di Rumah Sakit, Terapi generalis atau tindakan
keperawatan generalis dilakukan kepada 32 klien isolasi sosial, rata-
rata dilakukan sebanyak 3-4 kali. Tindakan keperawatan untuk
masalah isolasi sosial bertujuan agar klien mampu melakukan
interaksi sosial dengan orang lain. Tindakan keperawatan yang
diberikan yaitu: membantu klien menyadari penyebab perilaku isolasi
sosial, mendiskusikan manfaat dan kerugian tidak melakukan interaksi
dan melatih klien berkenalan dengan orang lain secara bertahap, serta
mampu melakukan interaksi dalam hubungan sosial. Tindakan
keperawatan generalis dilakukan dengan bekerjasama dengan perawat
ruangan dan mahasiswa D3 keperawatan, S1+Ners keperawatan di
ruang Arimbi. Terapi spesialis keperawatan merupakan terapi lanjutan
dilakukan pada 32 klien, pemberian terapi spesialis keperawatan
dilakukan melalui analisa masalah klien serta kebutuhan yang harus
dicapai berdasarkan pendekatan secara individu, keluarga, maupun
kelompok. Terapi spesialis keperawatan yang dilakukan pada klien
dengan isolasi sosial adalah Social Skills Training (SST) dan
Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST).
Social Skills Training (SST) diberikan pada 26 klien. Terapi SST ini
rata-rata diberikan dalam 5 kali pertemuan. Keterampilan yang dilatih
kepada klien dalam pelaksanaan SST khususnya dengan masalah
isolasi sosial yaitu melatih kemampuan berkomunikasi atau
bersosialisasi, melatih menjalin persahabatan, melatik bekerjasama
dalam kelompok, melatih menghadapi situasi yang sulit, serta melatih
kemampuan untuk mengungkapkan pendapat tentang manfaat latihan
keterampilan sosial. Setelah mengikuti Social Skills Training (SST),
klien mampu menampilkan sikap terapeutik pada saat berinteraksi
dengan orang lain, mampu menjalin persahabatan dan
mempertahankan persahabatan dengan orang lain selain itu klien
mampu menampilkan perilaku seperti meminta pertolongan pada
orang lain memberi pujian serta memberikan pertolongan pada orang
lain. Kemampuan lain yang diperlihatkan klien setelah mengikuti
latihan keterampilan sosial adalah adanya peningkatan kemampuan
klien untuk bekerja sama dalam kelompok. Semua klien yang terlibat
dalam kelompok mampu menampilkan interaksi satu sama lain dalam
bekerja sama selain itu klien mampu menampilkan perilaku
penyelesaian masalah yang dihadapi pada saat bekerja sama dalam tim
seperti klien tidak marah ketika mendapatkan kritik dari anggota tim
terkait dengan kinerja klien dalam kelompok.
Terapi spesilis keperawatan yang lain diberikan pada 6 klien dalah
Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST). Cognitive
Behavior Social Skill Training (CBSST) merupakan grup psikoterapi
yang merupakan kombinasi cognitive beahavioral therapy (CBT) dan
Social Skill Training (SST) untuk meningkatkan fungsi kognitif dan
ketrampilan fungsi sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial.
Menurut Granholm (2006) CBSST bertujuan untuk melatih teknik
koping, meningkatkan fungsi kognitif dan perilaku, ketrampilan
fungsi sosial dan pemecahan masalah.
d. Fase Resolusi
Pada Fase Resolusi perawat secara perlahan akan mengakhiri
hubungan interpersonalnya dengan klien. Sebelum mengakhiri,
perawat perlu mengevaluasi keadaan klien. Seperti pada penerapanya
semua klien (26 klien) yang diberikan SST telah mampu mengikuti
atau laithan untuk bersosialisasi, bekerjasama dalam kelompok,
menjalin persahabatan, dan menghadapi situasi yang sulit.
Kemampuan klien meningkat dilihat dari kemampuan sebelum dan
sesudah diberikan SST sebanyak 5 sesi. Sedangkan semua klien (6
klien) yang diberikan CBSST telah mampu melakukan latihan
mengenal pikiran dan perilaku negatif, melakukan latihan melawan
pikiran negatif menggunakan tanggapan rasional berbicara yang baik,
melakukan latihan berbicara untuk menjalin persahabatan, dan
melakukan latihan berbicara untuk menghadapi situasi sulit.
Kemampuan klien meningkat dilihat dari kemampuan sebelum dan
sesudah diberikan CBSST sebanyak 6 sesi.
BAB 4
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Achir .Y. S., & Kusman. I. (2014). Pakar Teori Keperawatan & Karya Mereka,
Ed.8 vol 1&2. Singapura: Elsevier
Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorists And Their Work. (8th ed). St. Louis:
Elsevier Mosby.
Evans, E. C., Deutsch, N. L., Drake, E., & Bullock, L. . (2017). Nurse–Patient
Interaction as a Treatment for Antepartum Depression: A Mixed-
Methods Analysis. Journal of the american psychiatric nurses
association, 23(5), 347-359. doi: 10.1177/1078390317705449
Gardiner, C., Geldenhuys, G., & Gott, M. (2018). Interventions to reduce social
isolation and loneliness among older people: an integrative review.
Health and Social Care in the Community, 26(2), 147–157.
https://doi.org/10.1111/hsc.12367
Gerber, M. R. (2019). Trauma-Informed Healthcare Approaches. In Trauma-
Informed Healthcare Approaches. https://doi.org/10.1007/978-3-030-
04342-1
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Synder, Shirlee. (2010). Buku ajar
fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktik (P. E. Karyuni,
Trans. 7th ed.). Jakarta: EGC.
Leigh, B. & Milgrom, J. (2008) Risk factor antenatal depression, postnatal and
parenting stress. BMG psychiatry, 8(24).
Moon, MK, Yim JE & Joen MY. (2018). The Effect of a Telephone-Based Self-
management Program Led byNurses on Self-care Behavior, Biological
Index for Cardiac Function,and Depression in Ambulatory Heart
Failure Patients. Asian Nursing Research 12 (2018) 251-257.
Parker, Marilyn E & Smith Cappeli, (2010). Nursing Theories and Nursing
Practice. 3rd ed. Philadelphia: F. A. Davis Company
Riviere, M., Dufoort, H., Van Hecke, A., Vandecasteele, T., Beeckman, D., &
Verhaeghe, S. (2019). Core elements of the interpersonal care
relationship between nurses and older patients without cognitive
impairment during their stay at the hospital: A mixed-methods
systematic review. International Journal of Nursing Studies, 92, 154–
172. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2019.02.004
Smith, Marline C & Parker, Marline E. (2015). Nursing Theories and Nursing
Practice (4th). Philadelphia: F. A. Davis Company.
Stuart, Gail W. 2016. Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart.
Edisi Indonesia: Elzevier