Anda di halaman 1dari 51

“ANALISIS IMPLIKASI MIDDLE RANGE THEORY TERHADAP

KEPERAWATAN JIWA”
Disusun Oleh :

1. Mira Wahyu Kusumawati 196070300111001


2. Nadya Karlina Megananda 196070300111005
3. Febriyanti 196070300111006
4. Sigit Yulianto 196070300111007
5. Devanda Faiqh Albyn 196070300111008
6. Alifia Dian Sukmaningtyas 196070300111016
7. I Dewa Gede Candra Dharma 196070300111018
8. Amin Aji Budiman 196070300111020
9. Ratna Wulandari 196070300111024
10. Liana 196070300111026
11. Resti Ikhda Syamsiah 196070300111029
12. Wahyi Sholehah Erdah S 196070300111039
13. Yosef Andrian Beo 196070300111045

PEMINATAN KEPERAWATAN JIWA


PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah
Sains dalam Keperawatan dengan judul “Analisis Implikasi Middle Range Theory
Terhadap Keperawatan Jiwa”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Malang, 17 Oktober 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Teori adalah sesuatu yang digunakan untuk menjelaskan suatu
kejadian dengan mendefinisikan ide atau konsep, menjelaskan hubungan
antar konsep dan memprediksikan hasil (Potter & Perry, 2017). Sementara
McKenna, Pajnkihar dan Murphy (2014) menjelaskan bahwa teori
mendeskripsikan, menjelaskan atau memprediksi suatu fenomena. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa teori merupakan hal yang digunakan untuk
mendeskripsikan, menjelaskan atau memprediksi fenomena dengan
mendefinisikan ide atau konsep dan menjelaskan hubungan antar konsep.
Keperawatan sebagai salah satu disiplin ilmu memiliki berbagai teori
keperawatan yang mendukung berkembangnya keilmuan keperawatan serta
praktek keperawatan. Teori keperawatan mengkonsep aspek keperawatan
untuk mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi atau menentukan asuhan
keperawatan (Meleis, 2011). Teori memberikan perspektif untuk mengkaji
kondisi klien serta membantu perawat untuk mengatur, menganalisis dan
mengintrepetasikan data (Potter & Perry, 2017). Sebelum seorang
mahasiswa perawat untuk menjadi perawat yang profesional dalam hal ilmu
keperawatan, maka perlu untuk mengerti dan memahami tentang tingkatan
yang ada dalam teori keperawatan. Sebelum memahami lebih lanjut tentang
teori keperawatan, maka kita perlu mengetahui bagaimana teori tersebut
disusun. Unsur – unsur yang menyusun teori keperawatan terdiri dari
konsep dan proposisi (Aini, 2018).
Teori keperawatan middle-range adalah teori yang paling tidak abstrak
dan berisi aplikasi praktik secara terinci (Achir & Kusman, 2014). Middle
range theory dapat didefinisikan sebagai serangkaian ide atau gagasan yang
saling berhubungan dan berfokus pada suatu dimensi terbatas yaitu pada
realitas keperawatan (Smith dan Liehr, 2008). Teori-teori ini terdiri dari
beberapa konsep yang saling berhubungan dan dapat digambarkan dalam
suatu model, dapat dikembangakan pada tatanan praktek serta riset
keperawatan (Lee, 2014). Middle range teori dapat didefinisikan sebagai
serangkaian ide atau gagasan yang saling berhubungan dan berfokus pada
suatu dimensi terbatas yaitu pada realitas keperawatan (Smith, Marylin E &
Parker, 2010).
Hal ini menyajikan konsep dan abstraksi level yang lebih rendah dan
memandu teori berdasarkan penelitian dan strategi praktek keperawatan.
Salah satu keunggulan dari middle range nursing theories adalah lebih nyata
dan dapat di verifikasi melalui pengujian. Fungsi middle range nursing
theories adalah untuk menggamabarkan, menjelaskan, atau memprediksi
fenomena. Middle range nursing theories adalah sederhana, umum dan
mempertimbangkan sejumlah variabel dan aspek realitas yang terbatas (Mc.
Ewen, 2014).

1.2 Tujuan
Tujuan dari lembar tugas ini adalah :
1.2.1 Menjelaskan konsep teori Middle range nursing theories
1.2.2 Menjelaskan aplikasi Middle range nursing theories dalam kasus
1.2.3 Menjelaskan kelebihan dan kekurangan teori dalam penerapannya
terhadap kasus

1.3 Manfaat
1.3.1 Mahasiswa dapat memahami konsep teori Middle range nursing
theories
1.3.2 Mahasiswa dapat memahami aplikasi mengimplemetasikan Middle
range nursing theories dalam kasus
1.3.3 Mahasiswa memahami kelebihan dan kekurangan teori dalam
penerapannya terhadap kasus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Middle Range Theory
Teori keperawatan middle-range adalah teori yang paling tidak
abstrak dan berisi aplikasi praktik secara terinci (Achir & Kusman, 2014).
Middle range theory dapat didefinisikan sebagai serangkaian ide atau
gagasan yang saling berhubungan dan berfokus pada suatu dimensi terbatas
yaitu pada realitas keperawatan (Smith dan Liehr, 2008). Teori-teori ini
terdiri dari beberapa konsep yang saling berhubungan dan dapat
digambarkan dalam suatu model, dapat dikembangakan pada tatanan
praktek serta riset keperawatan (Lee, 2014). Middle range theory adalah
level teori dengan cakupan yang lebih spesifik, sedikit abstrak, memberikan
cara dalam menyelesaikan masalah dalam praktik keperawatan dan dapat
diuji secara empiris (Peterson & Bredow, 2008). Setiap middle range theory
menyebutkan dan menggambarkan fenomena lebih spesifik dan lebih
kongkrit yang menggambarkan apa itu fenomena, menjelaskan mengapa
fenomena terjadi atau memprediksi bagaimana cara fenomena terjadi
(Fawcett, 2005). Middle range theory menjadi referensi untuk
menyempurnakan dari grand teori dan mengarahkan practice theory untuk
dapat mecapai tujuan yang nyata (Lee, 2014). Jadi, dapat disimpulkan
bahwa middle range theory merupakan teori yang lebih terbatas, lebih
spesifik dan memiliki sedikit konsep, namun kurang abstrak bila
dibandingkan dengan meta theory, grand nursing theory, atau conceptual
models framework. Disamping itu, middle range theory merupakan teori
yang konkrit, akan tetapi tidak lebih konkret bila dibandingkan dengan
practice theories.
2.2 Tokoh Middle Range Theory
2.2.1 Hildegrad Peplau tentang Psycodinamic nursing
Konsep utama peplau adalah model hubungan interpersonal, hal ini
berkaitan dengan pemanfaatan hubungan yang terapeutik antara perawat dan
klien yang terjadi dalam empat fase yaitu: fase orientasi, identifikasi,
eksploitasi dan resolusi. Apabila seorang individu memiliki kebutuhan dan
membutuhkan bantuan perawat untuk memenuhinya maka perawat masuk
ke dalam hubungan interpersonal dengan seorang individu/klien (Kozier et
al., 2010).
Peplau mendefinisikan manusia sebagai organisme yang berusaha
dengan caranya sendiri untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan oleh
kebutuhan. Klien adalah individu dengan kebutuhan yang dirasakan.
Kesehatan didefinisikan sebagai simbol kata yang menyiratkan
perkembangan kepribadian dan proses manusia lainnya yang berkelanjutan
ke arah kehidupan yang kreatif, konstruktif, produktif, pribadi, dan
komunitas. Meskipun Peplau tidak secara langsung menangani masyarakat
atau lingkungan, ia mendorong perawat untuk mempertimbangkan budaya
dan adat istiadat pasien ketika pasien menyesuaikan diri dengan rutinitas
rumah sakit. Hildegard Peplau menganggap keperawatan sebagai proses
interpersonal yang signifikan, terapeutik. Dia mendefinisikan keperawatan
sebagai hubungan manusia antara individu yang sakit, atau yang
membutuhkan layanan kesehatan, dan seorang perawat yang dididik secara
khusus untuk mengenali dan menanggapi butuh bantuan (Potter & Perry,
2017). Terdapat empat fase terapeutik yaitu:
a. Orientasi
Fase orientasi diarahkan oleh perawat dan melibatkan klien dalam
perawatan, memberikan penjelasan dan informasi, dan menjawab
pertanyaan.
a) Tahap pendefinisian masalah
b) Dimulai ketika klien bertemu perawat sebagai orang asing
c) Menentukan masalah dan memutuskan jenis layanan yang
dibutuhkan
d) Klien mencari bantuan, menyampaikan kebutuhan, mengajukan
pertanyaan, berbagi prasangka dan harapan dari pengalaman
masa lalu
e) Perawat merespons, menjelaskan peran klien, membantu
mengidentifikasi masalah dan menggunakan sumber daya dan
layanan yang tersedia
Gambar 2.1 Bagan teori Peplau
b. Fase identifikasi
Fase identifikasi dimulai ketika klien bekerja saling tergantung dengan
perawat, mengekspresikan perasaan, dan mulai merasa lebih kuat.
a) Pemilihan bantuan profesional yang sesuai
b) Pasien mulai memiliki perasaan memiliki dan kemampuan
menghadapi masalah yang mengurangi perasaan tidak berdaya
dan putus asa
c. Fase Eksplorasi
Dalam fase eksploitasi, klien memanfaatkan sepenuhnya layanan yang
ditawarkan.
a) Dalam fase eksploitasi, klien memanfaatkan sepenuhnya
layanan yang ditawarkan.
b) Menggunakan bantuan profesional untuk alternatif pemecahan
masalah
c) Keunggulan layanan yang digunakan didasarkan pada
kebutuhan dan minat pasien
d) Individu merasa seperti bagian integral dari lingkungan yang
membantu
e) Pasien mungkin membuat permintaan kecil
f) Prinsip-prinsip teknik wawancara harus digunakan untuk
mengeksplorasi, memahami dan menangani masalah yang
mendasarinya secara memadai
g) Pasien dapat berfluktuasi pada independensi
h) Perawat harus mewaspadai berbagai fase komunikasi
i) Perawat membantu pasien dalam mengeksploitasi semua jalan
bantuan dan dan perkembangan yang dibuat menuju langkah
terakhir
d. Fase Resolusi
Dalam fase resolusi, klien tidak lagi membutuhkan layanan
profesional dan melepaskan perilaku ketergantungan. Hubungan
berakhir.
a) Dalam fase resolusi, klien tidak lagi membutuhkan layanan
profesional dan melepaskan perilaku ketergantungan. Hubungan
berakhir.
b) Pemutusan hubungan professional
c) Kebutuhan pasien telah dipenuhi oleh efek kolaboratif dari
pasien dan perawat
Teori Peplau membantu para ahli teori keperawatan dan dokter
mengembangkan intervensi terapeutik lebih lanjut tentang peran yang
menunjukkan karakter dinamis yang khas dalam keperawatan klinis. Fase-
fase tersebut memberikan kesederhanaan mengenai perkembangan alami
hubungan perawat-pasien, yang mengarah pada kemampuan beradaptasi
dalam setiap interaksi perawat-pasien. Kelemahan teori ini adalah meskipun
Peplau menekankan hubungan perawat-klien sebagai fondasi praktik
keperawatan, promosi kesehatan, dan pemeliharaan kurang ditekankan.
Selain itu teori ini tidak dapat digunakan pada pasien yang tidak memiliki
kebutuhan yang dirasakan seperti dengan pasien yang menarik diri (Potter &
Perry, 2017).
2.2.2 Ida jean orlando tentang nursing process theory.
Teori proses keperawatan yang menekankanpada hubungan timbale
balik antara perawat dan pasien. Orlando memangdang fungsi perawat
professional yang berkaitan dengan kemampuan perawat untuk mencari
tahu dan memenuhi kebutuhan pasien yang mendesak. Klien akan
membutuhkan asuhan keperawatan saat mereka memiliki keterbatasan untuk
memenuhi kebutuhannya (Alligood, 2014).
2.2.3 Georgene Gaskil Eakes, Mary Lerman Burke, & Margaret A. Hainswort
Dalam middle range theory mereka membahas terkait duka cita kronis
(cronic sorrow) dimana duka cita tersebut terjadi dalam sebuh situasi ketika
adanya fase kehilangan yang belum terselesaikan (Fawcett, 2005).
2.2.4 Joyce travelber tentang human to human relationship model.
Teori Joyce berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia.
Tujuan dari keperawatan adalah membantu individu, keluarga, dan
komunitas untuk mencegah dan mengatasi sakit dan menemukan makna dari
pengalamannya tersebut. Dalam mengembangkan hubungan perawat dan
pasien dengan menerapkan teori ini dibutuhkan sebuah empati dari perawat
ke klien sehingga tercipta sebuah harapan dalam proses pencegahan maupun
penyembuhan (Alligood, 2014)
2.2.5 Nola j. Pander tentang the health promotion model.
Health Promotion Model ini diusulkan sebagai kerangka untuk
mengintegrasikan keperawatan dan perspektif ilmu perilaku pada faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan. Model ini akan digunakan
sebagai panduan yang memotivasi individu untuk berperilaku peduli
terhadap peningkatan kesehatan. Konsep utama dari teori ini adalah
karakteristik individu dan pengalaman, perilaku kognisi tertentu dan yang
mempengauhi (manfaat dari tindakan), pengaruh self efficacy, pengaruh
aktivitas yag terkait, pengaruh interpersonal dan situasional dan hasi dari
perilaku tersebut (Alligood, 2014). Teori ini berfokus kepada promosi
kesehatan. Perawat memahami bahwa karakteristik, pengalaman, dan
kepercayaan pribadi pasien memengaruhi motivasi untuk mengadopsi
perilaku sehat (McEwen and Wills, 2019).
2.2.6 Ramona T. Mercer tentang maternal role attainment.
Asumsi Mercer berkaitan dengan pengembangan model maternal role
attainment, di antaranya adalah bayi baru lahir diyakini sebagai partner yang
aktif dalam proses pencapaian peran ibu, mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh peran ibu serta peran pasangan dan bayinya akan merefleksikan
kompetensi ibu dalam menjalankan perannya sehingga dapat tumbuh dan
bekembang. Perkembangan identitas peran ibu sangat terpengaruh oleh
kondisi psikologis dan perilaku ibu dan bayi (Alligood, 2014).
2.2.7 Teori Kolcaba
Teori ini berfokus kepada kenyamanan. Menurut Kolcaba,
kenyamanan adalah penangkal stres yang melekat dalam situasi perawatan
kesehatan saat ini, dan ketika kenyamanan ditingkatkan, pasien dan keluarga
dapat diperkuat untuk tugas-tugas selanjutnya. Selain itu, perawat akan
merasa lebih puas dengan perawatan yang telah mereka berikan. Perawat
memfasilitasi perilaku pencarian kesehatan pada pasien dengan berusaha
untuk meringankan distress fisik, emosional, sosial, lingkungan, dan / atau
distress spiritual (McEwen and Wills, 2014). Kenyamanan pasien ada dalam
tiga bentuk: kelegaan, kemudahan, dan transendensi. Kenyamanan ini dapat
terjadi dalam empat konteks: fisik, psikospiritual, lingkungan, dan sosial
budaya. Ketika kenyamanan pasien perlu diubah, intervensi keperawatan
juga berubah.
2.2.8 Teori Mishel
Teori Mishel disebut juga dengan Uncertainty in Illness Theory.
Perawat memfasilitasi koping dan adaptasi pasien dengan melakukan
intervensi yang bertujuan membantu pasien memproses dan menemukan
makna dari penyakit mereka (Adelstein et al., 2014).
2.2.9 Kathryn E Barnard tentang parent-child interaction model.
Mengemukakan model pengkajian kesehatan anak berdasarkan
interaksi antara ibu dengan anak dan lingkungan. Branand menyatakan
bahwa penyedia layanan kesehatan harus memperhatikan hubungan yang
erat antara orang tua dan anak dalam proses mengevaluasi kesehatan anak-
anak. Hal ini berkaitan dengan karakteristik individu yang mempengaruhi
sistem hubungan yang erat antara ibu dan anak/bayi (Alligood, 2014).
2.3 Hubungan Perawat dan Klien menurut Peplau
Dimensi hubungan perawat dan klien menurut Peplau ada 6 peran
(Alligood, 2014), yakni:
2.3.1 Peran Orang Asing (role of the sranger)
Peran pertama adalah peran dari orang asing. Peplau menyatakan
karena klien dan perawat adalah orang asing bagi satu dan lainnya, maka
klien harus diperlakukan secara sopan. Dengan kata lain, perawat tidak
boleh melakukan penilaian terlebih dahulu, namun harus bersikap
menerimanya apa adanya yang dialami oleh klien. Selama fase nonpersonal
ini, perawat harus memperlakukan klien secara penuh perasaan, perawat
menerima klien secara obyektif. Tidak boleh ada rasa curiga pada perawat
dan berbagai prediksi yang diasumsikan sendiri oleh perawat.
2.3.2 Peran narasumber pribadi (role of resource person)
Peran dari seorang narasumber, perawat memberikan jawaban spesifik
dari setiap pertanyaan, terutama mengenai informasi kesehatan dan
menginterpretasikan kepada klien bagaimana perawatan dan rencana medis
untuk hal tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ini terkadang muncul dari
konteks permasalahan yang lebar.
2.3.3 Peran Pengajaran (teaching role)
Merupakan kombinasi dari seluruh peran dan selalu berasal dari yang
diketahui klien dan dikembangkan dari minatnya dalam keinginannya dan
kemampuannya menggunakan informasi. Bentuk-bentuk pengajaran
didasari oleh tehnik psikoterapi dengan metode konseling.
2.3.4 Peran kepemimpinan (leadership role)
Perawat membantu klien mengerjakan tugas-tugas melalui hubungan
kooperatif dan partisipatif aktif
2.3.5 Peran pengganti/wali (surrogate role)
Klien menganggap perawat berperan sebagai walinya. Sikap dan
perilaku perawat dapat memberi perasaan tersendiri bagi klien yang bersifat
reaktif yang muncul dari hubungan sebelumnya. Fungsi perawat untuk
membimbng klien mengenali dirinya dengan sosok yang klien bayangkan.
Perawat mebantu klien melihat diri perawat dengan sosok yang
dibayangkannya. Perawat dan klien mendefinisikan area keterikatan,
ketidakterikatan dan antar keterikatan.
2.3.6 Peran penasehat (counseling role)
Peplau mempercayai bahwa peran penasehat memiliki peran besar
dalam hubungan perawat-klien. Penasehat berfungsi dalam hubungan
perawat-klien melalui cara perawat merespon kebutuhan klien. Melalui
peran konseling ini perawat mempromosikan pengalaman yang penting
tentang kesehatan. Klien mempunyai kesadaran diri untuk meningkatkan
kesehatan, mengidentifikasi adanya ancaman kesehatan, dan belajar dari
kejadian interpersonal.
2.4 Kelebihan dan Kekurangan Middle Range Theory
No Theory Kelebihan Kekurangan
1 Middle 1. Diturunkan dari Grand 1. Tidak dapat
range theory digunakan untuk
theory 2. Cakupannya lebih terbatas menjelaskan situasi
dan kurang abstrak. kehidupan yang
3. Menjelaskan fenomena kompleks
spesifik atau konsep dan 2. Fokus teori lebih
mencerminkan praktek sempit dari grand
keperawatan. teori
4. Lebih mudah diaplikasikan
dalam praktek.
5. Relatif bermanfaat bagi
konsep-konsep sumatif
6. Dapat diuji secara empiris

2.5 Isolasi Sosial


2.5.1 Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, diterima, kesepian dan
tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Stuart,
2016).

2.5.2 Tanda dan Gejala


Menurut Budi Anna Keliat (2009), tanda dan gejala ditemui seperti:
a. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
b. Menghindar dari orang lain (menyendiri).
c. Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap
dengan klien lain/perawat.
d. Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk.
e. Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas.
f. Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
g. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
h. Posisi janin saat tidur.
2.5.3 Faktor Penyebab
Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga
diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri
dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang
kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.Perubahan yang terjadi
pada orang dengan isolasi sosial yaitu: perasaan malu terhadap diri sendiri
akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena
terapi), rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri
sendiri), gangguan hubungan sosial (menarik diri), percaya diri kurang
(sukar mengambil keputusan), dan mencederai diri (akibat dari harga diri
yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri
kehidupannya. Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat adanya
terjadinya resiko perubahan sensori persepsi atau halusinasi (Keliat, 2009).
2.5.4 Pengkajian Isolasi Sosial
Terdapat tiga faktor predisposisi yang dapat dikaji sebagai penyebab
isolasi sosial yaitu faktor biologi. psikologis, dan sosial budaya
(Wuryaningsih dkk, 2018).

a. Faktor Biologis
Faktor herediter; riwayat penyakit, atau trauma kepala, riwayat
penggunaan NAPZA
b. Faktor Psikologis
Pengalaman tidak menyenangkan pasien terhadap gambaran dir;
ketidakjelasan atau kelebihan perang yang dimiliki; kegagalan dalam
mencapai harapan atau cita-cita; krisis identitas dan kurangnya
penghargaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan
c. Faktor Sosial Budaya
Sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan lingkungan pada usia
perkembangan anak; tingkat pendidikan rendah; kegagalan dalam
hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri).

Gambar 2.2 Rentang respon isolasi sosial


2.5.5 Pohon masalah isolasi sosial

Gambar 2.3 Pohon masalah isolasi sosial


2.5.6 Masalah Keperawatan
Menutut PPNI (2016) penetapan diagnosis keperawatan yaitu isolasi
sosial. Ketidakmananmuan untuk membina hubungan erat, hangat, terbuka,
terbuka, dan interdependen dengan orng lain (PPNI, 2016). Gejala dan
Tanda Mayor yaitu gejala subjektif: merasa ingin sendirian dan merasa tidak
aman di tempat umum, mereka ditolak oleh orang lain dan obyektif yaitu:
menarik diri, tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau
lingkungan. Gejala dan tanda minor yaitu subyektif: merasa berbeda dengan
orang lain, merasa asyik dengan pikiram sendiri dan merasa tidak
mempunyai tujuan yang jelas dan obyektif yaitu afek datar, mennunjukkan
permusuhan, ekspresi emosi sedih, tidak ada kontak mata, tampak lesu serta
tindakan tidak berarti.
2.5.7 Rencana Tindakan
Tujuan dari tindakan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial
menurut Wuryaningsih dkk (2018) meliputi:

a. Pasien mampu membina hubungan saling percaya dengan orang lain


b. Pasien menyadari dengan masalah perilaku isolasi sosial yang
dilakukan
c. Pasien dapat berinteraksi sosial secara bertahap baik di lingkungan
keluarga dan lingkungan sosialnya.
Kesembuhan pasien isolasi sosial dapat dicapai dengan optimal jika
melibatkan peran keluarga atau caregiver dalam merawatnya. Sehingga
tujuan dari tindakan keperawatan kepada keluarga dengan pasien isolasi
soasial menurut Wuryaningsih dkk (2018) yaitu:
a. Keluarga atau caregiver mampu mengenal masalah isolasi sosial
(penyebab, tanda dan gejala, manfaat bersosialisasi dan kerugian tidak
berinteraksi dengan orang lain)
b. Keluarga atau caregiver memiliki ketrampilan dalam merawat pasien
dengan baik
c. Keluarga atau caregiver mampu mengenal tanda dan gejala
kemambuhan serta akses rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan jika
diperlukan
d. Keluarga atau caregiver mampu mengatasi beban fisik, emosional,
sosial, mampu financial yang dialaminya ketika merawat pasien
dengan isolasi sosial.
2.5.8 Tindakan Keperawatan
Strategi Pelaksanaan (SP 1)
a. Identifikasi penyebab isolasi sosial: siapa yang serumah, siapa yang
dekat, yang tidak dekat, dan apa sebabnya
b. Keuntungan punya teman dan bercakap-cakap
c. Kerugian tidak punya teman dan tidak bercakap-cakap
d. Latih cara berkenalan dengan anggota keluarga
e. Masukan pada jadual kegiatan untuk latihan berkenalan
Strategi Pelaksanaan (SP 2)
a. Evaluasi kegiatan berkenalan (berapa orang). Beri pujian
b. Latih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (latih 2 kegiatan)
c. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan berkenalan 2- 3 orang
tetangga atau tamu, berbicara saat melakukan kegiatan harian

Strategi Pelaksanaan (SP 3)


a. Evaluasi kegiatan latihan berkenalan (berapa orang) & bicara saat
melakukan dua kegiatan harian. Beri pujian
b. Latih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (2 kegiatan baru)
c. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan berkenalan 4-5 orang,
berbicara saat melakukan 4 kegiatan harian

Strategi Pelaksanaan (SP 4)


a. Evaluasi kegiatan latihan berkenalan, bicara saat melakukan empat
kegiatan harian. Beri pujian
b. Latih cara bicara sosial: belanja ke warung, meminta sesuatu,
menjawab pertanyan
c. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan berkenalan >5 orang,
orang baru, berbicara saat melakukan kegiatan harian dan sosialisasi

Strategi Pelaksanaan (SP 5)


a. Evaluasi kegiatan latihan berkenalan, berbicara saat melakukan
kegiatan harian dan sosialisasi. Beri pujian
b. Latih kegiatan harian
c. Nilai kemampuan yang telah mandiri
d. Nilai apakah isolasi sosial teratasi
2.6 Depresi Antepartum
Depresi pada wanita hamil terjadi pada antepartum (selama
kehamilan) dan postpartum (setelah melahirkan). Depresi antepartum dan
postpartum keduanya memberikan efek kesakitan dan kematian bagi ibu
hamil dan ibu melahirkan. Depresi selama kehamilan atau depresi
antepartum merupakan kejadian yang sering terjadi namun sering terabaikan
akibat ketidak pahaman dari ibu hamil dan petugas kesehatan. Depresi
antepartum terjadi tanpa disadari, ibu tidak mengenal tanda tanda dari
depresi yang ada pada dirinya. Gejala depresi selama kehamilan tidak
berbeda dengan gejala depresi yang terjadi di waktu lain di luar kehamilan
yaitu ditandai dengan perasaan tertekan, anhedonia, perubahan berat badan,
hilangnya minat dan kesenangan, perasaan bersalah, gangguan tidur dan
gangguan selera makan, lemah dan kurang konsentrasi serta pikiran
berulang terhadap kematian dan bunuh diri. Beberapa faktor risiko pada
depresi antepartum adalah usia muda 2 kali lebih berisiko dibandingkan
dengan kehamilan wanita dewasa, pendapatan yang rendah, rendahnya
tingkat pendidikan, riwayat depresi, riwayat keguguran atau menggugurkan
kandungan, riwayat trauma seksual di waktu kecil, tingkat kecemasan yang
tinggi di saat hamil, percaya diri yang rendah dan dukungan sosial yang
rendah (Fatmawati, Diah A & Mukhoiron, 2017).
Ibu hamil primigravida pada usia muda belum siap secara medis dan
psikologis dalam menghadapi perubahan hormonal selama kehamilan.
Depresi yang terjadi tidak hanya berisiko terhadap ibu namun juga terhadap
janin dan bayi yang akan dilahirkannya. Meningkatnya usia ibu akan
meningkatkan kematangan emosional, sehingga meningkatkan pula
keterlibatan dan kepuasan dalam peran sebagai orang tua dan membentuk
pola tingkah laku maternal yang optimal pula (Fatmawati, Diah A &
Mukhoiron, 2017). Selain usia muda tingkat pendidikan juga berpengaruh
menurut Leigh dan Milgrom (2008), yang menyatakan bahwa semakin
rendah pendidikan seseorang maka informasi yang didapatkan akan semakin
terbatas, seperti ibu muda yang hamil sehingga putus sekolah maka
informasi yang di dapatpun akan terbatas. Kemudian status sosial ekonomi
menyebabkan dapat menjadi beban mental ketika terjadi tekaanan
sosial/stress. Kemiskinan juga menjadi penyebab kehamilan pada remaja
(Klein & Committe of Adolescent, 2005). Stres dan dukungan sosial
mempengaruhi hasil dari kehamilan secara langsung melalui reaksi
fisiologis yang melibatkan sistem neurologi, endokrin dan immunologi.
Dukungan sosial merupakan hal yang sangat penting yang dibutuhkan oleh
wanita muda yang hamil atau wanita muda yang hamil yang tidak menikah.
Wanita hamil yang hanya sedikit mendapat dukungan sosial tidak memiliki
sumber psikososial cukup, terutama stabilitas sosial dan partisipasi sosial,
karenanya wanita hamil tersebut kekurangan dukungan secara emosional
dari pasangan, saudara atau teman-teman (Fatmawati, Diah A &
Mukhoiron, 2017).

2.7 Telenursing
Telenursing didefinisikan sebagai praktik keperawatan jarak jauh
menggunakan teknologi telekomunikasi. Telenursing dilakukan
menggunakan berbagai teknologi informasi dan komunikasi seperti aplikasi
di smartphone atau komputer dengan memanfaatkan koneksi internet, atau
bisa dimulai dengan peralatan sederhana seperti telepon yang sudah banyak
dimiliki oleh masyarakat tetapi masih belum banyak dimanfaatkan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan atau keperawatan. Melalui telenursing,
perawat mampu melakukan monitoring, pendidikan, follow up, pengkajian
dan pengumpulan data, melakukan intervensi, memberikan dukungan pada
keluarga dan perawatan multidisiplin yang inovatif serta kolaborasi
(Rahmawati, F, Idrianasari, A & Muharyani, PW, 2018).

Metode telenursing merupan intervensi keperawatan yang dapat


digunakan secara efektif oleh perawat dalam melakukan rawat jalan bagi
pasien dengan penyakit kronis, memberikan edukasi kepada pasien dan
konsultasi kesehatan, meningkatkan kesadaran pasien tentang kesehatan,
mengenali gejala penyakit yang muncul, depresi, kecemasan dan dapat
untuk meningkatkan kualitas hidup pada pasien melalui dukungan/motivasi
(Moon, MK, Yim JE & Joen MY, 2018). Komunikasi yang semakin mudah
antar perawat dan pasien dapat mengurangi kecemasan pada pasien, namun
pada beberapa kasus depresi berat tetap dibutuhkan psikiatrik kusus untuk
melakukan perawatan, selain itu telenursing dapat meringankan biaya dan
meningkatkan akses pasien untuk melakukan konseling dengan tenaga
kesehatan (Goudarzian, M, et al, 2018). Tujuan utama dari telenursing ini
yaitu menjalin hubungan dengan pasien sehingga terjadi diskusi dan
kolaborasi antar pasien dan perawat, kemudian mengidentifikasi masalah
yang dihadapi pasien, menilai kondisi pasien dan menentukan solusi yang
tepat bagi pasien sehingga dapat menyelesaikan masalah pasien (Abusaad, F
& Sarhan, M, 2016).
BAB 3
PEMBAHASAN KASUS

3.1 Kasus
Terdapat 24 wanita mengalami depresi antepartum yang tinggal di
daerah perdesaan dengan karakteristik usia 22 hingga 24 tahun, dimana 18
orang telah menyelesaikan pendidikan SMA dan 6 orang tidak
menyelesaikan pendidikan SMA, 15 orang dalam hubungan pernikahan dan
9 orang tidak menikah dengan waktu kehamilan kurang dari 24 minggu.
Penangangan kasus klien dengan depresi pada antepartum yang
dilakukan oleh perawat jiwa dengan memberikan dukungan melalui telepon
didasari oleh teori hubungan interpersonal milik Peplau (Evans, Deutsch,
Drake, & Bullock, 2017). Pelayanan keperawatan yang diberikan dalam
penelitian ini merupakan bentuk nyata dari pelayanan keperawatan berbasis
teknologi yang dikenal dengan telenursing. Pemberian pelayanan
keperawatan berbasis teknologi ini bisa dilakukan melalui telepon,
handphone, dan internet. Telenursing memberikan keuntungan agar proses
pelayanan keperawatan menjadi lebih efektif dan efisien dari segi waktu dan
biaya. Selain itu, telenursing juga memberikan keuntungan agar pelayanan
keperawatan bisa diberikan kepada populasi yang memiliki keterbatasan
akses pelayanan keperawatan karena faktor jarak (Evans & Bullock, 2017).
Aplikasi telenursing sebenarnya telah digunakan pada beberapa kasus
seperti onkologi, HIV, perawatan jantung dan pelayanan kesehatan primer,
namun belum pernah dilakukan untuk pemberian perawatan pada kasus
prenatal atau dukungan psikososial pada wanita yang mengalami depresi
selama kehamilan (Schlachta-Fairchild, Elfrink, & Deickman, 2008).
Penggunaan telenursing sebelumnya pernah diteliti oleh Evans & Bullock
(2017), hasilnya menunjukkan bahwa aspek penting yang menjadi
keunggulan dari telenursing yaitu memiliki tingkat retensi yang tinggi.
Peneliti hanya kehilangan 10 responden dari 345 sampel selama proses studi
berlangsung. Hal ini menunjukkan kemudahan dan kelayakan dari
penggunaan telenursing pada praktik pemberian keperawatan khususnya
pada populasi yang tinggal di daerah pedesaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Evans, Deutsch, Drake, & Bullock
(2017), merupakan penelitian yang dilakukan pada penanganan kasus dan
pemberian dukungan psikologis klien depresi antepartum oleh perawat jiwa
melalui telenursing berdasarkan prinsip teori hubungan interpersonal
Peplau. Tujuan dari pelayanan melalui panggilan telepon ini adalah untuk
"menggunakan keterampilan mendengarkan secara empatik dan
memberikan dukungan sosial, emosional dan/atau informasi dalam
menanggapi kebutuhan masing-masing klien, seperti stress yang dia hadapi
dan cara yang dapat dilakukannya untuk mengelola respons stressnya".
Dalam hubungan interpersonal perawat dengan klien, Peplau
mengidentifikasi ada 6 peran yang dilakukan perawat yaitu stranger
(berperan sebagai orang asing), surrogate (ibu pengganti), resource (sumber
daya), teacher (guru), counselor (konselor) dan leader (pemimpin).
Mayoritas asuhan keperawatan terjadi pada peran perawat sebagai resource,
teacher atau counselor (Evans & Bullock, 2017). Peplau juga menjelaskan
bahwa ada empat fase hubungan terapeutik antara perawat dengan klien
yaitu fase orientasi, fase identifikasi, fase eksplorasi dan fase resolusi
(Townsend, 2018). Berikut adalah tabel fase hubungan menurut Peplau dan
interaksi antara perawat dengan klien dalam penelitian (Evans, Deutsch,
Drake, & Bullock, 2017):
Tahap Definisi Menurut Intervensi yang Frekuensi
Peplau dilakukan

Orientasi Fase awal Umumnya terjadi Satu kali, pada


hubungan di mana pada pertemuan saat permulaan
pasien dan perawat pertama antara studi dan
bertemu perawat dan pasien sebelum
dengan proses intervensi
informed consent dan telepon dimulai
wawancara awal.
Selama fase ini,
perawat awalnya
bertindak sebagai
orang asing tapi
kemudian mulai
memasuki fase
identifikasi

Identifikasi Bagian pertama Ini adalah tujuan Berlangsung


dari tahap kerja awal dari setiap sepanjang setiap
hubungan. Perawat interaksi: untuk interaksi dan
dan pasien membangun posisi default
menjadi selaras kepercayaan, jika pasien tidak
dalam sasaran dan memahami potensi mencari atau
tujuan. Pasien hubungan, dan menanggapi
mengidentifikasi mengkomunikasikan upaya perawat
perawat sebagai berbagai masalah. Ini untuk
sumber bantuan adalah proses yang membantu
dan mulai percaya. halus dan secara
signifikan
dipengaruhi oleh
keinginan pasien,
gaya pribadi yang
dimiliki perawat, dan
pengalaman subjektif
keduanya. Selama
fase ini, perawat
terus membangun
kepercayaan dan
sering melakukan
perannya sebagai
surrogate dalam hal
ini adalah teman,
tetapi tidak dapat
bertindak dalam
peran keperawatan
lainnya.

Eksplorasi Bagian kedua dari Fase ini terbukti Mencapai


tahap kerja muncul ketika pasien dengan
hubungan. Pasien secara khusus Frekuensi yang
mengakui dan meminta bantuan tinggi antara
bersedia perawat di area mana perawat dan
menggunakan pun. Selama fase ini, klien
layanan perawat bertindak
keperawatan dan paling sering sebagai
perawat bertindak penasihat, guru,
dalam berbagai sumber daya, dan
peran untuk pemimpin. Fase ini
membantu pasien juga terjadi ketika
dalam perawat menawarkan
mendapatkan bantuan di luar
tujuan. tipikal interaksi
sosial. Kepercayaan
adalah prasyarat
untuk fase ini.

Resolusi Tahap terakhir dari Fase ini terjadi Pertemuan


hubungan di mana ketika waktu terakhir antara
tujuan telah penelitian berakhir, perawat dan
dipenuhi sesuai bukan saat tujuan pasien, agak
standar kepuasan bersama antara dipaksakan
perawat dan klien. perawat dan klien secara artifisial
Hubungan telah tercapai. karena kendala
berakhir. Namun terdapat penelitian
beberapa kasus
dimana tujuan telah
tercapai dalam
interaksi, namun
karena penelitian
berlanjut hingga
postpartum maka
fase resolusi tidak
dilakukan hingga
akhir masa
penelitian.

3.1.1 Penerapan teori Peplau


a. Fase Orientasi
Adanya fase orientasi terbukti pada catatan percakapan telepon antara
perawat dengan klien dalam interaksi awal mereka. Setelah
sebelumnya menjelaskan tujuan penelitian dan parameter hubungan
perawat dan klien selama proses informed consent, perawat kemudian
berfokus untuk membangun kembali hubungan yang telah ada jika
sebelumnya mereka pernah melakukan wawancara.
Selama kontak awal, perawat biasanya bertanya tentang perilaku
merokok klien dan berusaha untuk menyelaraskan tujuan yang
dimiliki oleh perawat dengan para peserta. Perawat akan menilai
risiko, sumber daya, hambatan, dan faktor kontekstual pasien yang
dapat mempengaruhi interaksi, serta kemajuan dalam mencapai tujuan
yang telah mereka sepakati.
Dalam kebanyakan kasus, hubungan perawat-pasien bergerak
melampaui fase orientasi dan masuk ke tahap identifikasi, di mana
perawat dan pasien dapat mulai memahami satu sama lain, peran yang
mereka miliki, dan tujuan mereka mereka dalam membangun
hubungan. Dalam beberapa kasus, meskipun perawat telah melakukan
upaya terbaik untuk melakukan pengkajian, namun pasien tampak
jelas tidak ingin pindah dari fase orientasi. Dalam kasus ini, perawat
dan pasien terus melakukan kontak, tetapi percakapannya merupakan
hal yang sangat dangkal, dan tidak menunjukkan adanya bukti kerja
sama menuju tujuan yang berhubungan dengan kesehatan. Kutipan ini
memberikan contoh:
Saya menelepon klien untuk menanyakan keadaannya, dia baik-baik
saja, dia kesepian di tempat baru dengan pacarnya. . . . Saya
bertanya kepada klien bagaimana perasaannya
terhadapkepindahannya karena dia sudah berada di sanaselama
beberapa minggu sekarang dan dia bilang dia merasa baik-baik saja.
Klien tidak terlalu banyak bicara tentang apa yang ia rasakan. Saya
mengatakan kepadanya bahwa dia dapat menelepon saya kapan saja
saat dia ingin berbicara. (# 628)
b. Tahap Identifikasi
Perawat memulai fase identifikasi dengan membangun hubungan
dengan klien, merasa terhubung dengan klien dan mendengarkan
cerita dan perasaan klien. Tahap identifikasi terbukti ada dalam
interaksi yang ditunjukkan dengan adanya rasa percaya, minat dalam
melakukan kerja sama, dan mengejar tujuan dalam hubungan. Dalam
kutipan ini, perawat meyakinkan pasien tentang keinginannya untuk
bekerja sama:
Saya mengatakan kepadanya bahwa saya benar-benar ingin segala
hal berjalan baik untuknya. Saya memberi tahu dia bahwa dia selalu
dapat menelepon saya dan saya akan membantu apa pun yang terjadi.
Klien mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hal yang
menyenangkan untuk diketahui. Klien berkata bahwa pada awalnya
dia pikir akan aneh berbicara dengan orang asing, tetapi ternyata
sebenarnya tidak. (# 812)
Pada saat ini, pasien menghargai perawat dan mulai bersikap terbuka
untuk menerima bantuan yang ditawarkan oleh perawat. Hal ini
menyebabkan percakapan selanjutnya menjadi lebih terapeutik ketika
perawat dan pasien melakukan hubungan lebih jauh. Faktor-faktor
tampaknya mempengaruhi hubungan interpersonal antara perawat
dengan klien adalah prasangka mengenai hubungan dan peran antara
perawat dengan klien, dan kesedianklien untuk melibatkan perawat
dalam hidupnya.
c. Fase Eksplorasi
Fase ini ditandai oleh kesediaan pasien untuk menggunakan layanan
yang ditawarkan oleh perawat dan berkembang menuju tujuan yang
dimiliki bersama. Dalam catatan telepon, fase eksplorasi diidentifikasi
oleh pola komunikasi tertentu. Seperti saat perawat menanggapi
masalah yang perawat duga atau masalah yang memang diangkat oleh
pasien, perawat akan menawarkan saran, arahan, atau bimbingan
nyata, menggunakan pengetahuan keperawatan dan keterampilan
interpersonal. Eksplorasi lebih dari sekadar mendengarkan,
menawarkan simpati atau berbicara tentang acara sosial; Eksplorasi
terjadi ketika perawat menawarkan keahlian profesional dan
layanannya kepada pasien dan pasien menerimanya. Dalam kasus
contoh ini, perawat membantu pasien memproses perasaannya
mengalami kehamilan yang tidak diinginkan:
Saya bertanya tentang bagaimana perasaannya tentang kehamilan
ini, dan dia berkata. . . dia tidak senang hamil karena dia sudah
memiliki begitu banyak masalah dan memiliki masalah ekonomi. Saya
setuju bahwa itu pasti sulit, tetapi sejauh ini dia telah melakukan
yang terbaik untuk dirinya sendiri. Saya mengakui perasaannya. . .
bahwa perasaan tersebut sangat normal, dan memiliki bayi dapat
membuat stress bagi siapa pun. Dia merasa ditentramkan oleh apa
yang saya katakan, dan tampak lega bisa mengatakan kepada
seseorang, atau akhirnya telahmemberi tahu saya. Kami mengobrol
sebentar, dan kemudian saya memberi tahu dia bahwa saya benar-
benar senang berbicara dengannya dan menghargai perasaannya
karena dia bisa memberi tahu saya hal-hal pribadi. Dia berkata
bahwa dia suka bisa mengeluarkan hal-hal yang telah dipendamnya
(# 333)
Layanan keperawatan yang digunakan selama eksplorasi memiliki
cakupan yang luas. Perawat memberikan saran dan informasi,
menawarkan dukungan dan dorongan dan membantu pasien
menavigasi situasi pribadi yang sulit:
Saya mengatakan kepadanya bahwa itu adalah ide yang sangat bagus
untuk memastikan bahwa orang tersebut benar-benar mendukungnya
dan tidak apa-apa untuk memberi tahu orang-orang bahwa dia
mencoba untuk berhenti dan melepaskan diri dari situasi sulit ketika
berada di sekitar orang yang merokok. Saya mengatakan kepadanya
bahwa hal itubagaimanapun juga akan sulit, tetapi dia pasti bisa
melakukannya. (# 127)
Perawat membantu pasien merefleksikan perasaan dan pilihan mereka
dan menggunakannya untuk memotivasi klien menuju perubahan:
Saya bertanya kepada klien saya, jika dia berpikir untuk membuat
tujuan, apakah terkadang iaberpikir tentang apa yang ingin dia
lakukan dengan hidupnya? Dia mengatakan terakhir kali dia
memikirkan tujuan adalah di sekolah menengah dan tujuannya
adalah untuk menjadi ibu rumah tangga, saya mengatakan kepadanya
bahwa itu hebat. Saya juga bertanya kepadanya apakah dia pernah
berpikir tentang di mana dia ingin tinggal, dia berkata dia ingin
tinggal di tempat dia sekarang tinggal, saya bertanya kepadanya apa
yang dia pikir akan dia diperlukan untuk tinggal di sana dan dia pikir
dia perlu waktu untuk berpikir tentang itu. Dia menyimpulkan bahwa
dia tidak tahu apa yang ingin dia lakukan, jadi saya menyarankan
agar dia berpikir sebaliknya dan memikirkan hal-hal yang tidak ingin
dia lakukan di masa depan. (# 628)
Akhirnya, perawat membantu memfasilitasi pengambilan keputusan
dan pemecahan masalah di banyak bidang kehidupan pasien. Dalam
contoh ini, perawat merespons perasaan pasien tentang situasi
hidupnya:
Dia menggambarkan masalahnya dengan alkohol dan narkoba dan
orang-orang yang bergaul dengannya. Saya berkomentar bahwa
sepertinya dia sangat frustrasi dengan situasi ini. . . [dan] bertanya
apa yang menurutnya dapat membantu situasi tersebut. Dia berkata
bahwa dia akan berbicara dengan orang itu hari ini. Saya bertanya
apakah dia pikir ini akan membantunya merasa lebih baik dan
apakah itu akan membantunya. Dia mengatakan bahwa dia tidak
yakin bahwa orang ituakan mendengarkan, tetapi dia perlu
mengatakannya. (# 366)
Perawat membantu klien dengan beragam masalah seperti keinginan
berhenti merokok, ketidakstabilan perumahan, hubungan pribadi,
masalah pekerjaan, masalah terkait kehamilan, keamanan, dan
kesejahteraan emosional. Dalam contoh ini, perawat membantu pasien
di beberapa bagian masalah, hal ini menggambarkan berbagai layanan
keperawatan yang tersedia dan digunakan oleh pasien yang
mengalami depresi:
Kakeknya baru saja keluar dari panti jompo dan neneknya kemudian
merawatnya. Neneknya kewalahan. [dan] Klien pergi membantunya.
Kami berbicara tentang betapa sulitnya situasi ini. Saya
menyarankan untuk menghubungi pekerja sosial di panti jompo untuk
menanyakan mengenai‘respite care’sehingga neneknya mendapat
bantuan. Klien mengatakan dia akan melakukan hal ini. Kami
berbicara tentang menyusui. Saya telah bertanya kepada konsultan
laktasi tentang pertanyaannya mengenai penggunaan tambalan saat
menyusui. Saya mengatakan kepada klien bahwa konsultan laktasi
mengatakan bahwa dia perlu mendiskusikannya langsungdengan
dokternya, tetapi masalah dengan merokok adalah nikotin
mengurangi suplai ASI. Klien mengucapkan terima kasih atas
informasi ini. Klien itu bertanya tentang kelas persalinan lagi dan
mengatakan dia tidak mengikuti kelas yang pernah saya ceritakan
sebelumnya karena cuaca. Saya memberinya nomor kelas tersebut
lagi dan beberapa nomor lain di daerahnya untuk bertanya tentang
kelas persalinan. (# 406)
Perawat menawarkan konseling, kenyamanan, saran, informasi, dan
sumber daya untuk digunakan pasien. Sebagai imbalannya, pasien
mengucapkan terima kasih. Sebelumnya dalam hubungan ini, pasien
telah menjelaskan riwayat depresi dan kegelisahannya, menunjukkan
bahwa ia mencari keahlian dan pengetahuan perawat untuk membantu
mengurangi kecemasannya. Perawat mencatat:
Dia mengatakan kepada saya bahwa dia memiliki masalah dengan
kecemasan dan telah menggunakan obat untuk mengatasinya dan
untuk mengatasi depresi. Kami berbicara mengenai hal ini untuk
sementara. Dia membaik sekarang, hanya merasa cemas tentang
persalinan. Saya mendorongnya untuk belajar sebanyak mungkin
tentang persalinan karena informasi dapat mengurangi kecemasan.
Saya juga mendorongnya untuk berbicara dengan dokternya tentang
kegelisahan dan depresi yang dia alami di masa lalunya sehingga
dokternya dapat membantu dandokternyaakan sadar untuk
memperhatikan postpartumnya. (# 406)
Ini adalah contoh cara kerja perawat secara langsung dalam fase
eksplorasi dalam hubungan interpersonal dapat mengatasi masalah
kesehatan mental dan membantu mengurangi depresi dan kecemasan
yang dialami oleh banyak klien.

d. Tahap Resolusi.
Dalam perawatan psikiatrik yang ideal, fase resolusi terjadi ketika
kedua belah pihak telah sama-sama puas terhadap hasil interaksi
mereka. Dalam kutipan berikut, resolusi dari tujuan yang ditentukan
bersama dicapai sebelum akhir penelitian dan memenuhi salah satu
tujuan utama yang ditetapkan dalam hubungan antara perawat dengan
klien:
Dia masih tidak merokok. Dia mengatakan ketika keluarga datang
untuk Natal, semua orang merokok di luar. Saya sangat bangga
padanya. Pasangannya juga merokok di luar. Dia senang bahwa dia
akan memiliki rumah bebas asap untuk bayinya. (# 258, Ditingkatkan)
Saat telah mendekati masa akhir penelitian, kedua belah pihak
mengantisipasi kemungkinan pemutusan hubungan mereka dan mulai
merefleksikan pengalaman mereka bersama, pelajaran yang dipetik,
dan strategi untuk di masa depan untuk mencapai tujuan.
Fase-fase teori hubungan interpersonal Peplau terbukti ada dalam
interaksi penelitian. Klien yang kurang mendapatkan pelayanan kesehatan di
lingkungannya dengan risiko tinggi untuk depresi menghargai bentuk
dukungan melalui telepon dan menggunakan model pelayanan seperti ini,
dengan data bahwa klien dengan risiko tertinggi untuk depresi
memanfaatkan lebih banyak dukungan keperawatan yang disediakan. Rata-
rata, skor Indeks Kesehatan Mental-5 yang digunakan untuk mengukur
tingkat depresi klien sebelum dan sesudah intervensi mengalami
peningkatan yaitu dari nilai 45 menjadi nilai 66. Kesimpulannya adalah
intervensi dukungan telepon yang disampaikan perawat menggunakan
model hubungan interpersonal Peplau, mungkin merupakan cara yang
efektif untuk memberikan dukungan kepada klien yang kurang
mendapatkan pelayanan kesehatan dan memiliki potensi untuk mengobati
atau mengimbangi depresi antepartum.
3.2 Kasus
Perawat spesialis melaporkan hasil perawatan pada kelompok klien
dengan isolasi sosial berjumlah 32 orang di ruangan Arimbi Rumah Sakit
Dr. H Marzoeki Mahdi Bogor. Karakteristik klien dengan masalah isolasi
sosial sebanyak 56.2 % berusia 19 - 35 tahun. Jenis kelamin klien dengan
isolasi sosial adalah 100% wanita karena ruangan yang digunakan dalam
pengambilan data merupakan ruang rawat wanita. Klien isolasi sosial yang
dirawat sebagian besar tidak memiliki pekerjaan (90.6%).
Berdasarakan hasil pengkajian pada 32 klien isolasi sosial bahwa
100% klien secara biologis memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya
dengan rincian klien yang mengalami trauma atau penyakit fisik sebesar
53.1%, klien dengan riwayat herediter sebesar 18.8%, serta klien dengan
riwayat menggunakan NAPZA sebesar 6.2%. Keseluruhan klien isolasi
sosial memiliki riwayat putus obat. Berdasarkan pengkajian, sebagian besar
klien mengatakan putus obat karena sudah merasa bosan minum obat terus
menerus setiap harinya, obat yang diminum membuat kepala pusing, obat
terasa pahit, dan obat membuat klien mengantuk. Faktor predisposisi pada
aspek psikologis teridentifikasi bahwa 81.2 % klien memiliki kepribadian
introvert atau tertutup dan 100% klien mengalami riwayat kegagalan atau
kehilangan sesuatu yang berharga.
Hasil yang diperoleh dari klien mengenai respon kognitif yang paling
menonjol adalah sulit mengambil keputusan, sebanyak 31 klien (96.9%),
merasa kesepian dan ditolak oleh orang lain sebanyak 28 klien (87.5%) dan
diikuti dengan merasa tidak berguna sebanyak 27 klien (84.4%). Sedangkan
Respon fisiologis yang paling banyak dialami klien adalah merasa lelah atau
letih sebanyak 30 klien (93.7%). Pada Respon perilaku yang paling banyak
yang dialami klien adalah kurang aktivitas dan verbal sebanyak 27 klien
(84.4%). Sedangkan pada Respon sosial yang paling banyak dialami klien
adalah menarik diri sebanyak 30 klien (93.7%).
Berdasarkan hasil pelaksanaan pengelolaan 32 klien isolasi sosial di
ruang Arimbi bahwa sumber koping yang dialami oleh klien diperoleh 25
klien (78.1%) tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi isoslasi sosial
demikian juga dengan keluarganya sebanyak 93.7% tidak tahu dan
ketidakmampuan merawat anggota keluarga dengan isolasi sosial.
Terapi generalis atau tindakan keperawatan generalis dilakukan
kepada 32 klien isolasi sosial, rata-rata dilakukan sebanyak 3-4 kali.
Tindakan keperawatan untuk masalah isolasi sosial bertujuan agar klien
mampu melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Tindakan
keperawatan yang diberikan yaitu: membantu klien menyadari penyebab
perilaku isolasi sosial, mendiskusikan manfaat dan kerugian tidak
melakukan interaksi dan melatih klien berkenalan dengan orang lain secara
bertahap, serta mampu melakukan interaksi dalam hubungan sosial.
Tindakan keperawatan generalis dilakukan dengan bekerjasama dengan
perawat ruangan dan mahasiswa D3 keperawatan, S1+Ners keperawatan di
ruang Arimbi.
Terapi spesialis keperawatan merupakan terapi lanjutan dilakukan
pada 32 klien, pemberian terapi spesialis keperawatan dilakukan melalui
analisa masalah klien serta kebutuhan yang harus dicapai berdasarkan
pendekatan secara individu, keluarga, maupun kelompok. Terapi spesialis
keperawatan yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial adalah Social
Skills Training (SST) dan Cognitive Behavior Social Skill Training
(CBSST).

3.2.1 Penerapan Model Teori peplau

Berdasarkan teori Peplau, klien dipandang sebagai individu dengan


kebutuhan perasaan, dan perawatan adalah proses interpersonal dan
terapeutik. Oleh karena itu hubungan interpersoanal antara perawat dan
klien isolasi harus berjalan dengan optimal. Tujuan perawatannya adalah
untuk mendidik klien dan keluarga, dan untuk membantu klien mencapai
kematangan perkembangan kepribadian (Chinn dan Jacobs, 1995; Kim,
2007). Perawat berupaya mengembangkan hubungan antara perawat dan
klien dimana perawat bertugas sebagai nara sumber, konselor, dan fasilitator
terhadap klien dengan isolasi sosial. Penelitian Hall and Hoy (2012)
menggambarkan bagaimana kualitas hubungan perawatan interpersonal
mempengaruhi kesejahteraan pasien. Hubungan kepedulian dengan perawat
tampaknya mengurangi perasaan negatif seperti fikiran mudah terena
penyakit, Peplau teori menggambarkan keperawatan sebagai proses
interaksi, di mana komunikasi adalah kunci utama karena menurut peplau
interpersonal relasionship mengidentifikasi karakteristik perawat-pasien
hubungan dari perspektif perawat. Temuan ini juga mencatat pentingnya
informasi yang memadai (komunikasi dan informasi), perawatan yang
berpusat pada orang (kenali dan hormati pasien sebagai subyek independen
dan otonom), empati (perawat 'kehadiran dan empati yang peduli) dan
perasaan aman (menyediakan perasaan aman dan terlindungi ) (Gastmans,
1998, p. 1317).

Perawat dan pasien dipahami sebagai individu yang unik, masing-


masing mampu menguasai bidangnya, memiliki pengalaman dan persepsi,
didasari oleh pikiran, perasaan, keinginan, asumsi, harapan dan kegiatan
(Gastmans,1998). Interaksi antara pikiran, perasaan dan kegiatan pasien dan
perawat terletak di bagian paling bawah pusat proses keperawatan (Peplau,
1952; Peplau, 1989). Meskipun teori Peplau dan model perawatan kesehatan
terbaru memberikan beberapa panduan dalam mengidentifikasi unsur-unsur
hubungan perawat dan pasien (Riviere et al., 2019) Teori dan gagasan
Peplau tersebut telah banyak dikembangkan untuk memberikan bentuk
praktik keperawatan psikiatri yang optimal, seperti penelitian keperawatan
jiwa tentang kecemasan, empati, instrumen perilaku, dan instrumen untuk
mengevaluasi respon verbal dikaitkan dari model konseptual Peplau
(Marriner-Tomey, 1994; Kim, 2007). Peplau menjelaskan bahwa terdapat
empat fase hubungan terapeutik antara perawat dengan klien yaitu fase
orientasi, fase identifikasi, fase eksplorasi dan fase resolusi (Townsend,
2018).
Gambar 1. Framework Penerapan Pendekatan Model Peplau pada klien Isolasi
Sosial

a. Fase Orientasi
Fase orientasi lebih difokuskan untuk membantu klien menyadari
ketersediaan bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat
untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian asuhan
keperawatan pada klien. Ditahap ini perawat dan klien melakukan
kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi proses
pengumpulan data. Fase orientasi dimulai diawal pertama sekali
perawat dan klien bertemu dimana perawat berperan sebagai orang
asing bagi klien. Perawat harus menempatkan klien dengan penuh
perasaan dan secara sopan serta menerima keberadaan klien apa
adanya sebagai manusia yang utuh (Peplau, 1991). Fase ini menurut
peplau, pasien dan perawat mempunyai andil dan berperan serta dalam
mempromosikan proses berhubungan yang terjalin di antara mereka
(Gastmans, 1998). (Riviere et al., 2019) dan diharapkan klien
menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan atau bantuan dari
perawat terhadap masalah yang dialaminya sehingga perawat dapat
menolong dan menentukan apa yang terbaik untuk mengatasi masalah
klien (Peplau, 1990). Penggunaan diri secara terapeutik dan
kemampuan melakukan tehnik terapeutik dalam berhubungan
sehingga memiliki pengaruh yang besar membina hubungan saling
percaya. Sehingga dapat disimpulkan kemampuan melakukan tehnik
terapeutik yang baik dan empati merupakan cara yang dapat
menciptakan hubungan saling percaya antara perawat dan klien.

Berdasarkan penenrapannya pada kasus, perawat telah berhasil


melakukan fase orientasi dengan membina hubungan awal yang baik
untuk mendaptkan data-data seperti nama klien, apa yang sedang
dirasakan oleh para klien isolasi sosial yang berhasil didapatkan dari
berkenalan dan rasa saling percaya antara perawat dan klien.

b. Fase Identifikasi
Pada fase Identifikasi, perawat mengkaji lebih dalam apa yang terjadi
pada klien. Pada penerapanya, perawat berhasil mengumpulkan data.
Seperti misalnya Perawat mengkaji dan menganalisa Karakteristik
umur klien dengan masalah isolasi sosial dimana pada kasus terdapat
sebanyak 56.2 % berusia 19 - 35 tahun. Kondisi ini sesuai dengan
pendapat Sadock dan Sadock (2007), yang menyatakan bahwa
gangguan jiwa ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya
onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Stuart (2009)
juga menyebutkan bahwa resiko tinggi terjadinya gangguan jiwa yaitu
pada usia dewasa. Hasil diatas sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Renidayati (2009) menunjukkan usia klien isolasi sosial
berada dalam rentang usia 28 - 35 tahun. Penelitian Jumaini, Keliat, &
Daulima (2010) menunjukkan hasil rata-rata usia klien yang
mengalami isolasi sosial adalah 33 tahun. Stuart (2013) berpendapat
bahwa frekuensi tertinggi usia seseorang berisiko mengalami
gangguan jiwa yaitu pada usia 25-44 tahun.

Hal lainnya yang dapat dikaji lebih dalam pada fase identifikasi adalah
faktor predisposisi yang menyebakan klien mengalami isolasi sosial.
Seperti pada kasus 100% klien secara biologis memiliki riwayat
gangguan jiwa sebelumnya dengan rincian klien yang mengalami
trauma atau penyakit fisik sebesar 53.1% Trauma dapat terjadi dalam
berbagai bentuk, dan dampaknya bervariasi berdasarkan pada kondisi
kehidupan yang unik, lingkungan dan ketahanan individu yang
terkena dampak. Didefinisikan secara luas, definisi medis dari trauma
merujuk pada "cedera (seperti luka) pada jaringan hidup yang
disebabkan oleh agen ekstrinsik, keadaan psikis atau perilaku yang
tidak teratur akibat dari tekanan mental atau emosional yang parah
atau cedera fisik, gangguan emosi" , DSM telah menandai reaksi
terhadap pengalaman yang penuh tekanan sebagai "gangguan
situasional sementara" yang akan berkurang seiring waktu.
Selanjutnya, DSM IV dan DSM IV-TR mengantarkan definisi trauma
yang lebih inklusif (termasuk berbagai peristiwa seperti kecelakaan
mobil, bencana alam, atau belajar tentang kematian orang yang
dicintai) yang menghasilkan perluasan yang nyata dalam diagnosis
terkait trauma. Teori kontemporer mengkonseptualisasikan trauma
dan respons terhadapnya sebagai terjadi sepanjang sebuah kontinum.
Jelas bahwa tidak semua orang yang terpapar pada peristiwa yang
sangat traumatis akan terkena PTSD, Meskipun demikian,
pengalaman trauma itu masih bisa berdampak lama pada individu itu
(Gerber, 2019).

Klien dengan riwayat herediter sebesar 18.8%, serta klien dengan


riwayat menggunakan NAPZA sebesar 6.2%. Keseluruhan klien
isolasi sosial memiliki riwayat putus obat. Berdasarkan pengkajian,
sebagian besar klien mengatakan putus obat karena sudah merasa
bosan minum obat terus menerus setiap harinya, obat yang diminum
membuat kepala pusing, obat terasa pahit, dan obat membuat klien
mengantuk. Faktor predisposisi pada aspek psikologis teridentifikasi
bahwa 81.2 % klien memiliki kepribadian introvert atau tertutup dan
100% klien mengalami riwayat kegagalan atau kehilangan sesuatu
yang berharga disini yang sering disebut dengan Historical Trauma
yakni mengacu pada trauma kompleks dan kolektif yang dialami dari
waktu ke waktu dan lintas generasi oleh sekelompok orang yang
berbagi identitas, afiliasi, atau keadaan. Diinformasikan oleh teori
epidemiologi sosial, trauma historis dikaitkan dengan kesehatan
melalui stresor psikososial yang menciptakan kerentanan terhadap
penyakit serta bertindak sebagai penyebab timbulnya penyakit trauma
adalah proses psikologis yang berbeda dari peristiwa traumatis itu
sendiri. Dengan demikian, sejumlah penulis menyebut trauma sebagai
"representasi" dari peristiwa traumatis. Pekerjaan ilmiah seputar
pengukuran dan intervensi yang divalidasi muncul pada topik trauma
historis. Trauma historis telah dikaitkan dengan efek kesehatan, dan
literatur yang muncul mencerminkan hal ini (Gerber, 2019).
Dideskripsikan terdapat empat asumsi berbeda yang menghubungkan
trauma historis dengan kesehatan: pertama, trauma massal yang terjadi
secara sengaja dan sistematis ditimbulkan pada suatu populasi oleh
kelompok dominan. Kedua, trauma tidak terbatas pada peristiwa
bencana tunggal tetapi terus berlanjut selama satu perpanjangan
waktu. Ketiga, peristiwa traumatis beresonansi untuk seluruh populasi
menciptakan pengalaman universal trauma. Keempat, dahsyatnya
pengalaman trauma merusak alam bawah sadar,sejarah mekanisme
pertahanan diri, menghasilkan dampak buruk pada : fisik, psikologis,
sosial, dan kesenjangan ekonomi (Gerber, 2019). Hal ini sesuai
dengan pendapat Stuart (2013) bahwa faktor psikologis, yang meliputi
konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa
lalu, koping dan keterampilan komunikasi secara verbal
mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang
lain. Kepribadian seseorang dengan tipe kepribadian introvert,
menutup diri dari kemungkinan orang-orang yang memperhatikannya,
sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam
hidupnya. Sesuai dengan pendapat Hurlock (2000) bahwa kegagalan
dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan
individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut
salah, pesisimis, putus asa, menghindar dari orang lain, tidak mampu
merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Isolasi sosial diperoleh
dari dua sumber, yaitu dari faktor internal (diri sendiri) dan faktor
eksternal (orang lain). Faktor yang mempengaruhi isolasi sosial yang
berasal dari diri sendiri seperti kegagalan yang berulang kali, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain,
dan ideal diri yang tidak realistis, sedangkan yang berasal dari orang
lain adalah penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak
realistis. Kesendirian dan isolasi sosial adalah masalah utama bagi
orang dewasa yang lebih tua dan dikaitkan dengan konsekuensi
kesehatan mental dan fisik yang merugikan (Luanaigh & Lawlor
2008). Penelitian terbaru mengidentifikasi berbagai hasil kesehatan
yang terkait dengan kesepian dan isolasi sosial termasuk depresi,
penyakit kardiovaskular, kualitas hidup, kesehatan umum, penanda
biologis kesehatan, fungsi kognitif dan mortalitas (Courtin & Knapp
2015) . isolasi sosial dan kesepian berdampak pada kesehatan tidak
dipahami, tetapi dianggap memasukkan pengaruh pada perilaku
kesehatan, tidur, kelelahan vital dan sosial keterhubungan (Courtin &
Knapp 2015). Isolasi sosial mengacu pada tidak adanya objektif atau
kekurangan kontak dan interaksi antara seseorang dan jejaring sosial
(Gardner et al. 1999), sedangkan kesepian merujuk pada perasaan
subjektif saat sendirian, terpisah atau terpisah dari yang lain, dan telah
dikonseptualisasikan sebagai ketidakseimbangan antara kontak sosial
yang diinginkan dan kontak sosial yang sebenarnya (Weiss 1973,
Ernst & Cacioppo 1999).(Gardiner, Geldenhuys, & Gott, 2018)

Pada tahap ini juga perawat perlu mengidentifikasi lebih lanjut


bagaimana respon klien terhadap stresor seperti pada kasus
ditemukan bahwa respon kognitif yang paling menonjol adalah sulit
mengambil keputusan, sebanyak 31 klien (96.9%), merasa kesepian
dan ditolak oleh orang lain sebanyak 28 klien (87.5%) dan diikuti
dengan merasa tidak berguna sebanyak 27 klien (84.4%). Sesuai
dengan respon kognitif yang sudah dipaparkan di atas menujukkan
awal dari klien menarik diri karena sulit mengambil keputusan, dalam
hal ini sulit mengambil keputusan dalam berhubungan, berinteraksi
dan menjalin persahabatan sehingga klien merasa kesepian dan ada
perasaan ditolak oleh orang lain sehingga pada akhirnya klien merasa
tidak mempunyai teman akrab. Menurut Stuart & Laraia (2005)
Respon kognitif memegang peran sentral dalam proses adaptasi,
dimana faktor kognitif mempengaruhi dampak suatu kejadian yang
penuh dengan stres, memilih koping yang akan digunakan, dan reaksi
emosi, fisiologi, perilaku, dan sosial seseorang. Respon afektif yang
paling banyak dialami klien adalah merasa ditolak oleh orang lain
sebanyak 28 (87.5%) dan diikuti dengan merasa tidak diperdulikan
oleh oran lain sebanyak 25 klien (78.1%). Respon fisiologis yang
paling banyak dialami klien adalah merasa lelah atau letih sebanyak
30 klien (93.7%). Hal ini dapat berpengaruh karena efek dari pikiran,
dimana bila selalu berpikir yang negatif akan mempengaruhi fisik,
dalam hal ini yang terjadi pada klien adalah kelelahan dan keletihan.
Respon perilaku yang paling banyak yang dialami klien adalah kurang
aktivitas dan verbal sebanyak 27 klien (84.4%).

Respon sosial yang paling banyak dialami klien adalah menarik diri
sebanyak 30 klien (93.7%). Respon sosial merupakan hasil perpaduan
dari respon kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku yang akan
mempengaruhi hubungan atau interaksi dengan orang lain. Klien
isolasi sosial dalam kasus ini memiliki pengalaman hidup yang tidak
menyenangkan seperti kegagalan membina hubungan, komunikasi
tertutup, jarang terlibat pada kegiatan sosial, penolakan, kegagalan-
kegagalan lain. Kenyataan yang ada pada klien ini sesuai dengan yang
diuraikan Fortinash & Worret (2004) dan Townsend (2014) bahwa
pada klien isolasi sosial penilaian individu bahwa adanya perasaan
kesepian dan ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa
mengerti dirinya, merasa tidak aman berada dengan orang lain, merasa
hubungan tidak berarti dengan orang lain, tidak mampu konsentrasi
dan membuat keputusan, merasa tidak memiliki tujuan hidup. Klien
menjadi kebingungan, kurangnya perhatian, merasa putus asa, merasa
tidak berdaya, dan merasa tidak berguna.

c. Fase Eksploitasi
Pada Fase Eksploitasi, perawat berdiskusi dengan klien tentang
pemilihan terapi yang tepat sesuai dengan kondisi klien isolasi sosial.
Dalam penerapanya di Rumah Sakit, Terapi generalis atau tindakan
keperawatan generalis dilakukan kepada 32 klien isolasi sosial, rata-
rata dilakukan sebanyak 3-4 kali. Tindakan keperawatan untuk
masalah isolasi sosial bertujuan agar klien mampu melakukan
interaksi sosial dengan orang lain. Tindakan keperawatan yang
diberikan yaitu: membantu klien menyadari penyebab perilaku isolasi
sosial, mendiskusikan manfaat dan kerugian tidak melakukan interaksi
dan melatih klien berkenalan dengan orang lain secara bertahap, serta
mampu melakukan interaksi dalam hubungan sosial. Tindakan
keperawatan generalis dilakukan dengan bekerjasama dengan perawat
ruangan dan mahasiswa D3 keperawatan, S1+Ners keperawatan di
ruang Arimbi. Terapi spesialis keperawatan merupakan terapi lanjutan
dilakukan pada 32 klien, pemberian terapi spesialis keperawatan
dilakukan melalui analisa masalah klien serta kebutuhan yang harus
dicapai berdasarkan pendekatan secara individu, keluarga, maupun
kelompok. Terapi spesialis keperawatan yang dilakukan pada klien
dengan isolasi sosial adalah Social Skills Training (SST) dan
Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST).

Tindakan keperawatan generalis dilakukan pada 25 keluarga oleh


perawat ruangan karena setiap keluarga ingin bertemu dengan perawat
ruangan untuk menanyakan kondisi klien sekaligus memberikan uang
jajan pada klien sehingga perawat berkesempatan memberikan terapi
keperawatan generalis atau keluarga datang pada sore hari disaat
penulis sudah lepas ship sehingga penulis tidak sempat untuk
memberikan terapi sedangkan 7 keluarga memang keluarga yang ingin
bertemu dan langsung meminta agar keluarga diajarin cara merawat
klen pada penulis sehingga penulis berkesempatan untuk melakukan
terapi pada keluarga, karena pada saat pertemuan keluarga di ruangan
Arimbi penulis sebagai pembicara dimana topik yang dibahas
mengenai cara merawat klien dengan berbagai masalah keperawatan
terutama isolasi sosial. Sehingga dalam Karya Ilmiah Akhir ini tidak
berfokus pada terapi generalis keperawatan tetapi berfokus pada terapi
spesialis keperawatan.

Social Skills Training (SST) diberikan pada 26 klien. Terapi SST ini
rata-rata diberikan dalam 5 kali pertemuan. Keterampilan yang dilatih
kepada klien dalam pelaksanaan SST khususnya dengan masalah
isolasi sosial yaitu melatih kemampuan berkomunikasi atau
bersosialisasi, melatih menjalin persahabatan, melatik bekerjasama
dalam kelompok, melatih menghadapi situasi yang sulit, serta melatih
kemampuan untuk mengungkapkan pendapat tentang manfaat latihan
keterampilan sosial. Setelah mengikuti Social Skills Training (SST),
klien mampu menampilkan sikap terapeutik pada saat berinteraksi
dengan orang lain, mampu menjalin persahabatan dan
mempertahankan persahabatan dengan orang lain selain itu klien
mampu menampilkan perilaku seperti meminta pertolongan pada
orang lain memberi pujian serta memberikan pertolongan pada orang
lain. Kemampuan lain yang diperlihatkan klien setelah mengikuti
latihan keterampilan sosial adalah adanya peningkatan kemampuan
klien untuk bekerja sama dalam kelompok. Semua klien yang terlibat
dalam kelompok mampu menampilkan interaksi satu sama lain dalam
bekerja sama selain itu klien mampu menampilkan perilaku
penyelesaian masalah yang dihadapi pada saat bekerja sama dalam tim
seperti klien tidak marah ketika mendapatkan kritik dari anggota tim
terkait dengan kinerja klien dalam kelompok.
Terapi spesilis keperawatan yang lain diberikan pada 6 klien dalah
Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST). Cognitive
Behavior Social Skill Training (CBSST) merupakan grup psikoterapi
yang merupakan kombinasi cognitive beahavioral therapy (CBT) dan
Social Skill Training (SST) untuk meningkatkan fungsi kognitif dan
ketrampilan fungsi sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial.
Menurut Granholm (2006) CBSST bertujuan untuk melatih teknik
koping, meningkatkan fungsi kognitif dan perilaku, ketrampilan
fungsi sosial dan pemecahan masalah.

d. Fase Resolusi
Pada Fase Resolusi perawat secara perlahan akan mengakhiri
hubungan interpersonalnya dengan klien. Sebelum mengakhiri,
perawat perlu mengevaluasi keadaan klien. Seperti pada penerapanya
semua klien (26 klien) yang diberikan SST telah mampu mengikuti
atau laithan untuk bersosialisasi, bekerjasama dalam kelompok,
menjalin persahabatan, dan menghadapi situasi yang sulit.
Kemampuan klien meningkat dilihat dari kemampuan sebelum dan
sesudah diberikan SST sebanyak 5 sesi. Sedangkan semua klien (6
klien) yang diberikan CBSST telah mampu melakukan latihan
mengenal pikiran dan perilaku negatif, melakukan latihan melawan
pikiran negatif menggunakan tanggapan rasional berbicara yang baik,
melakukan latihan berbicara untuk menjalin persahabatan, dan
melakukan latihan berbicara untuk menghadapi situasi sulit.
Kemampuan klien meningkat dilihat dari kemampuan sebelum dan
sesudah diberikan CBSST sebanyak 6 sesi.
BAB 4

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

4.1 Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Teori Peplau Pada Kasus


4.1.1 Kasus 1
a. Kelebihan
a) Dapat meningkatkan kejiwaan klien untuk lebih baik
Pada kasus pertama dilakukan penanganan kasus klien dengan
depresi pada antepartum yang dilakukan oleh perawat jiwa dengan
memberikan dukungan melalui telepon dengan didasari oleh teori
interpersonal milik Peplau.
b) Dapat menurunkan kecemasan klien
Kasus diatas merupakan penelitian yang dilakukan pada
penanganan dan pemberian dukungan psikologis klien depresi
antepartum oleh perawat jiwa melalui telenursing berdasarkan
prinsip teori hubungan interpersonal Peplow. Tujuan dari
pelayanan melalui panggilan telepon ini adalah untuk
“menggunakan keterampilan mendengarkan secara empatik dan
memberikan dukungan sosial dan emosional”.
c) Dapat memberikan asuhan keperawatan yang lebih baik
Pada Teori Peplou bahwa ada 4 fase hubungan teraputik yang harus
dilakukan dalam proses asuhan keperawatan yaitu : orientasi,
identifikasi, eksplorasi dan fase resolusi.
d) Dapat mendorong klien untuk lebih mandiri
Penerapan teori peplou akan mendorong klien untuk menjadi lebih
mandiri dalam segala hal
e) Dapat meningkatkan peran perawat dalam pemberi asuhan
keperawatan
Peran yang dapat dilakukan perawat dalam menjalankan hubungan
interpersonal dengan klien yaitu stranger (berperan sebagai orang
asing), surrogate (ibu pengganti), resource (sumber daya), teacher
(guru), counselor (konselor) dan leader (pemimpin).
f) Memudahkan perawat dalam menjalin hubungan interpersonal
dengan klien yang lokasinya sulit dijangkau
Tujuan dari pelayanan melalui panggilan telepon ini adalah untuk
"menggunakan keterampilan mendengarkan secara empatik dan
memberikan dukungan sosial, emosional dan/atau informasi dalam
menanggapi kebutuhan masing-masing klien, seperti stress yang
dia hadapi dan cara yang dapat dilakukannya untuk mengelola
respons stressnya".
g) Terbukti efektif untuk mencegah kejadian depresi pada klien yang
berisiko
Dengan menggunakan konsep Peplau yaitu mengenai hubungan
interpersonal dengan metode telenursing didapatkan hasil bahwa
Rata-rata, skor Indeks Kesehatan Mental-5 yang digunakan untuk
mengukur tingkat depresi klien sebelum dan sesudah intervensi
mengalami peningkatan yaitu dari nilai 45 menjadi nilai 66.
b. Kekurangan
a) Pada kasus diatas ditemukan kurangnya penekanan pada promosi
kesehatan, serta kurangnya layanan sumberdaya sosial komunitas
di masyarakat.
b) Pemberian dukungan pada klien depresi antepartum dengan
menggunakan telenursing atau melalui panggilan telepon dapat
menghambat terjalinnya kepercayaan dari klien pada perawat.
c) Hanya berfokus pada kejiwaan pasien dalam penyembuhannya. Hal
ini dibuktikan dengan kutipan percakapan sebagai berikut “Saya
menelepon klien untuk menanyakan keadaannya, dia baik-baik
saja, dia kesepian di tempat baru dengan pacarnyaSaya bertanya
kepada klien bagaimana perasaannya terhadap kepindahannya
karena dia sudah berada di sana selama beberapa minggu
sekarang dan dia bilang dia merasa baik-baik saja. Klien tidak
terlalu banyak bicara tentang apa yang ia rasakan. Saya
mengatakan kepadanya bahwa dia dapat menelepon saya kapan
saja saat dia ingin berbicara”.
4.1.2 Kasus 2
a. Kelebihan
a) Pada kasus diatas, berdasarkan teori Peplou klien dipandang
sebagai individu dengan kebutuhan perasaan dan perawatan
dengan proses interpersonal dan teraputik.
b) Dapat memberikan asuhan keperawatn yang lebih baik
Pada kasus di atas, 4 fase hubungan teraputik dilakukan dengan
baik sehingga perawat juga mendapatkan banyak informasi serta
dapat lebih mudah melakukan pemberian asuhan keperawatan.
c) Model Peplau tentang hubungan interpersonal dapat langsung
diaplikasikan oleh perawat pada pasien isolasi sosial
Dengan menggunakan hubungan interpersonal antara perawat
dan klien dengan isolasi sosial secara optimal maka tujuan
perawatannya akan tercapai yang ditandai dengan pengetahuan
klien dan keluarga bertambah serta klien dapat mencapai
kematangan perkembangan kepribadian.
d) Pendekatan model Peplau memudahkan perawat dalam
melakukan asuhan keperawatan khususnya pada klien isos
Peplau menjelaskan bahwa terdapat empat fase hubungan
terapeutik antara perawat dengan klien yaitu fase orientasi, fase
identifikasi, fase eksplorasi dan fase resolusi
e) Dengan menjalin hubungan interpersonal yang terapeutik dapat
menyadarkan klien bahwa dirinya membutuhkan pertolongan
perawat
Klien yang menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan
atau bantuan dari perawat terhadap masalah yang dialaminya
sehingga perawat dapat menolong dan menentukan apa yang
terbaik untuk mengatasi masalah klien.
f) Pada fase eksploitasi perawat dapat langsung berdiskusi dengan
klien untuk memilih / menentukan terapi yang akan digunakan
pada klien
Dalam hal ini terapi tidak hanya diberikan pada klien saja
namun diberikan juga pada keluarga pada saat menjenguk klien
yang dinamakan dengan terapi generalis yang dapat dilakukan
oleh mahasiswa D3 maupun Ners. Terapi yang dikhususkan
pada klien yaitu Social Skills Training (SST) dengan melatih
kemampuan berkomunikasi atau bersosialisasi, melatih menjalin
persahabatan, melatik bekerjasama dalam kelompok, melatih
menghadapi situasi yang sulit, serta melatih kemampuan untuk
mengungkapkan pendapat tentang manfaat latihan keterampilan
social
b. Kekurangan
a) Teori Peplau dengan pendekatan hubungan interpersonal pada
klien isolasi sosial intervensinya hanya difokuskan pada
kemampuan klien dengan melakukan interaksi social dengan
orang lain tanpa memeprhatikan kondisi fisik klien.
b) Teori Peplau dengan pendekatan hubungan interpersonal
mengharuskan perawat untuk dapat menggunakan dirinya secara
terapeutik sehingga terjalin rasa saling percaya yang nantinya
akan memeprlancar proses keperawatan.
c) Teori peplau tidak dapat dignakan untuk pasien yang tidak bisa
mengekspresikan kebutuhannya karena teori ini lebih banyak
menggunakan proses wawancara.
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Teori keperawatan middle-range adalah teori yang paling tidak


abstrak dan berisi aplikasi praktik secara terinci yang terdiri dari beberapa
konsep yang saling berhubungan dan dapat digambarkan dalam suatu
model, dapat dikembangakan pada tatanan praktek serta riset keperawatan.
Kelebihan dari teori ini adalah cakupannya yang lebih terbatas dan kurang
abstrak, lebih spesifik dan mencerminkan praktek keperawatan serta dapat
diuji secara empiris. Sedangkan kekurangannya adalah Tidak dapat
digunakan untuk menjelaskan situasi kehidupan yang kompleks.

Terdapat beberapa tokoh yang mengembangkan middle-range salah


satunya adalah Peplau tentang Psycodinamic nursing. Konsep utama teori
Peplau adalah hubungan interpersonal dengan memanfaatkan hubungan
terapeutik antara perawat dan pasien melalui empat tahap yaitu : fase
orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi. Dalam teori Peplau terdapat
6 hubungan antara perawat dan klien yaitu : role of the sranger, role of
resource person, teaching role, leadership role, surrogate role, dan
counseling role.

Terdapat beberapa jurnal penelitian yang mengaplikasikan teori


Peplau, salah satunya adalah aplikasi teori Peplau pada 24 wanita yang
mengalami depresi antepartum dengan menggunakan intervensi telenursing.
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa dukungan telepon yang
disampaikan perawat menggunakan model hubungan interpersonal Peplau,
mungkin merupakan cara yang efektif untuk memberikan dukungan kepada
klien yang kurang mendapatkan pelayanan kesehatan dan memiliki potensi
untuk mengobati atau mengimbangi depresi antepartum. Penelitian lainnya
tentang aplikasi teori Peplau pada pasien isolasi sosial dengan menggunakan
Social Skills Training (SST) dan Cognitive Behavior Social Skill Training
(CBSST). Hasil dari penelitian ini adalah kemampuan klien dalam telah
mampu mengikuti atau laithan untuk bersosialisasi, bekerjasama dalam
kelompok, menjalin persahabatan, dan menghadapi situasi yang sulit relatif
meningkat meningkat setelah diberikan terapi.

Dari hasil kajian teori middle-range terutama pengaplikasian teori


Peplau pada keperawatan jiwa dapat disimpulkan bahwa teori ini dapat
mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan pada keperawatan jiwa. Teori
Peplau membantu para ahli teori keperawatan dan dokter mengembangkan
intervensi terapeutik lebih lanjut tentang peran yang menunjukkan karakter
dinamis yang khas dalam keperawatan klinis.

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Ilmu Keperawatan

Diharapkan institusi pendidikan dapat mengembangkan teori middle range


ini terutama dalam materi pemberian asuhan keperawatan pada pasien.
Karena terkadang masih ada beberapa penelitian atau pemberian asuhan
keperawatan yang diberikan tanpa dasar teori tertentu.

5.2.2 Bagi Ilmu Keperawatan Jiwa

Diharapkan mahasiswa jurusan ilmu keperawatan jiwa maupun


praktisi jiwa dapat menerapkan teori middle range terutama teori Peplau
mengingat bahwa banyaknya variasi intervensi yang ada dalam ilmu
keperawatan jiwa. Hal ini sesuai dengan pendapat Peplau yang mengatakan
bahwa teori ini membantu mengembangkan intervensi terapeutik lebih
lanjut tentang peran yang menunjukkan karakter dinamis yang khas dalam
keperawatan klinis.
DAFTAR PUSTAKA

Abusaad, F & Sarhan, M. (2016). Exercise Training Program and Telenursing


Effects on Depression and Fatigue Level in B- Thalathemia Major
Children. American Journal of Nursing Science 2016; 5(5): 191-200

Achir .Y. S., & Kusman. I. (2014). Pakar Teori Keperawatan & Karya Mereka,
Ed.8 vol 1&2. Singapura: Elsevier

Aini, N. (2018). Teori Model Keperawatan Beserta Aplikasinya Dalam


Keperawatan. Malang: UMM Press.

Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorists And Their Work. (8th ed). St. Louis:
Elsevier Mosby.

Evans, E. C., Bullock, L. F. C., (2017). Supporting Rural Women during


Pregnancy: Baby BEEP Nurses. MCN Am J Matern Child Nurs, 42(1),
50-55. doi:10.1097/NMC.0000000000000305

Evans, E. C., Deutsch, N. L., Drake, E., & Bullock, L. . (2017). Nurse–Patient
Interaction as a Treatment for Antepartum Depression: A Mixed-
Methods Analysis. Journal of the american psychiatric nurses
association, 23(5), 347-359. doi: 10.1177/1078390317705449

Fatmawati, Diah A & Mukhoiron. (2017). Hubungan Usia Ibu Primigravida


Dengan Kejadian Depresi Antepartum. JURNAL EDUNursing, Vol. 1,
No. 2, September 2017.

Fawcett, J. (2005). Contemporary Nursing Knowledge: Analysis and Evaluation


of Nursing Models and Theories, 2nd Edition. Philadelphia : FA Davis
Company.

Gardiner, C., Geldenhuys, G., & Gott, M. (2018). Interventions to reduce social
isolation and loneliness among older people: an integrative review.
Health and Social Care in the Community, 26(2), 147–157.
https://doi.org/10.1111/hsc.12367
Gerber, M. R. (2019). Trauma-Informed Healthcare Approaches. In Trauma-
Informed Healthcare Approaches. https://doi.org/10.1007/978-3-030-
04342-1

Goudarzian, M, Fallahi, M, Dalvandi, A, Delbari, A & Biglarian, A. (2018).


Effect of Telenursing on Levels of Depression and Anxiety in
Caregivers of Patients with Stroke: A Randomized Clinical Trial.
Irian Journal of Nursing and Midwifery Research 23(4);Jul-Aug
2018. 248-252.

Keliat, Budi Anna. (2009). Model Praktik Keperawatan Professional Jiwa.


Jakarta. ECG.

Klein, J.D & Committee of Adolescence. (2005) Adolescence pregnancy: current


trends and issues. Pediatric, 116 (1).

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Synder, Shirlee. (2010). Buku ajar
fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktik (P. E. Karyuni,
Trans. 7th ed.). Jakarta: EGC.

Lee, S. W. (2014). Overview of nursing theory. Nursing Science Research, 12,


58-67.

Leigh, B. & Milgrom, J. (2008) Risk factor antenatal depression, postnatal and
parenting stress. BMG psychiatry, 8(24).

McEwen dan Wills. (2019). Theoretical Basis for Nursing. Edition 3.


Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins atau Wolters Kluwer
Health

Meleis, A. (2011). Theoretical Nursing: Development & Progress. Fifth Edition.


Philadelphia: Lippincot

Moon, MK, Yim JE & Joen MY. (2018). The Effect of a Telephone-Based Self-
management Program Led byNurses on Self-care Behavior, Biological
Index for Cardiac Function,and Depression in Ambulatory Heart
Failure Patients. Asian Nursing Research 12 (2018) 251-257.

Parker, Marilyn E & Smith Cappeli, (2010). Nursing Theories and Nursing
Practice. 3rd ed. Philadelphia: F. A. Davis Company

Peterson, S. J. & Bredow, T. S. (2008). Middle Range Theories : Application to


Nursing Research. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

Potter, P. A., Perry, A. G (2017). Fundamentals of Nursing, 2017, Missouri,


Elsevier.

PPNI. (2016). Standart Diagnosisi Keperawatan Indonesia: definisi dan indicator


diaknostik, Edisi 1:Jakarta: DPP PPNI.

Rahmawati, F, Idrianasari, A & Muharyani, PW. (2018). Upaya Meningkatkan


Dukungan Keluarga Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Dalam
Menjalankan Terapi Melalui Telenursing. Jurnal Keperawatan
Sriwijaya, Volume 5 - Nomor 2, Juli 2018, ISSN No 2355 545.

Riviere, M., Dufoort, H., Van Hecke, A., Vandecasteele, T., Beeckman, D., &
Verhaeghe, S. (2019). Core elements of the interpersonal care
relationship between nurses and older patients without cognitive
impairment during their stay at the hospital: A mixed-methods
systematic review. International Journal of Nursing Studies, 92, 154–
172. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2019.02.004

Smith, Marline C & Parker, Marline E. (2015). Nursing Theories and Nursing
Practice (4th). Philadelphia: F. A. Davis Company.

Stuart, Gail W. 2016. Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart.
Edisi Indonesia: Elzevier

Townsend, M. (2017). Psychiatric mental health nursing: concept of care in


evidence-base practice (9ed). Philadelphia: F.A. Davix Company.
Wuryaningsih, E W., Windarwati, HD., Dewi, EI., Deviantony, F., Hadi, E. 2018.
Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember : UPT Percetakaan &
penerbitan Universitas Jember.

Anda mungkin juga menyukai