Oleh:
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUT PADA BERDUKA
DISFUNGSIONAL
Obyektif Subjektif
Menolak mempercayai bahwa kehilangan
itu terjadi
Ungkapan kehilangan Tidak siap menangani masalah yang
Menangis berhubungan dengan praktik atau
Gangguan tidur prosedural
Kehilangan nafsu makan Klien atau keluarga mungkin langsung
Susah konsentrasi marah pada perawat
Meminta perundingan (menawar) untuk
menghindari kehilangan
a. Reaksi Berduka
a. Menolak dan isolasi
- Tidak percaya terhadap hal tersebut.
- Tidak siap menghadapi masalah.
-Memperhatikan kegembiraan yang dibuat-buat (menolak
berkepanjangan).
b. Marah (Anger)
- Marah terhadap orang lain untuk hal-hal sepele: iritabel/sensitif.
c. Bargaining/tawar menawar
- Mulai tawar menawar terhadap loss
- Mengekspresikan rasa bersalah, takut, putisment terhadap rasa
berdosa, baik nyata maupun imajinasi.
d. Depresi
- Rasa berduka terhadap apa yang terjadi.
- Kadang bicara bebas atau menarik diri.
e. Acceptance/penermaan
- Penurunan interest lingkungan sekitar.
- Berkeinginan untuk membuat rencana-rencana.
b. Menurut (Wahyudi & Wahid, 2016), tahapan kehilangan atau berduka terdiri
dari:
1) Fase menyangkal (denial)
Respon individu selama fase ini adalah menunjukkan sikap tidak percaya
dan tidak siap dalam menghadapi peristiwa kehilangan. Reaksi fisik dapat
mencangkup pingsan/syok, menangis, berkeringat, mual, diare, frekuensi
jantung cepat, gelisah insomnia dan keletihan, tidak bergairah, serta
menunjukkan kegembiraan yang dibuat – buat.
Implikasi keperawatan :
Tugas perawat pada fase ini adalah memberikan dukungan secara verbal.
Dukung kebutuhan emosi tanpa memperkuat penyangkalan. Tawarkan diri
untuk tetap bersama klien, tanpa mendiskusikan alasan dan perilaku atau
kebutuhan untuk mengatasi kecuali klien mengawalinya. Tawarkan klien
perawatan dasar seperti makanan, minuman, kenyamanan dan keamanan.
2) Fase marah (anger)
Respons individu selama fase ini adalah individu mulai merasa kehilangan
secara tiba – tiba dan mengalami keputusasaan yang sifatnya iritabel. Secara
mendadak terjadi marah, rasa bersalah, frustasi, depresi dan kehampaan.
Biasanya, kemarahan tersebut diproyeksikan pada benda atau orang yang
ditandai dengan suara keras, meledak –ledak, tangan mengepal, muka merah
padam, perilaku agresif, gelisah, nadi cepat, dan nafas tersengal – sengal.
Implikasi keperawatan:
Tugas perawat selam fase ini adalah membantu klien memahami bahwa rasa
marah selama fase ini adalah normal, mencegah klien mengalami depresi
akibat kemarahan yang tidak terkontrol, mencari alternatif kebutuhan yang
lebih berarti saat marah, menganjurkan klien untuk mengontrol emosi, atau
mengendalikan kemarahannya. Berikan dorongan pada klien untuk
mengekspresikan perasaan mereka.
a. Nomads
Pada fase ini berkaitan dengan beragai kondisi emosi, seperti
penolakan, kemarahan, kecemasan, dan kebingungan serta kesulitan
memahami bagaimana kehilangan memengaruhi kehidupan mereka.
Kecemasan dan kesedihan karena ditinggalkan orang yang dicintai
adalah reaksi yang normal. Dalam tahap ini individu memerlukan
dukungan untuk kembali pulih dan menemukan identitas baru
kemudian mendapatkan perspektif tujuan yang sama sesuai.
b. Memorialists
Memorialis adalah mereka yang berkomitmen untuk
mempertahankan memori orang yang mereka cintai. Mereka sering
melakukannya dengan ritual tradisi, atau peringatan. Sebagai contoh,
seorang memorialist mungkin menghormati orang yang mereka
cintai dengan menciptakan seni, menulis puisi atau lagu, merawat
taman, atau menciptakan beberapa hal yang bermakna. Hal ini
bertujuan untuk menjaga hubungan kasih sayang dengan orang yang
di kasihisaat kita melanjutkan perjalanan menuju penyembuhan
setelah kehilangan
c. Normalizer
Normalizer terus memberi nilai lebih pada teman, keluarga, dan
komunitas mereka saat mereka bergerak maju dalam kesedihan
mereka. Melakukan hal itu membantu normalizers menciptakan
perasaan memiliki tujuan baru.
d. Aktivis
Aktivis adalah mereka yang terus membantu orang lain setelah
kehilangan orang yang mereka cintai. Dengan membantu orang lain
dan meningkatkan kualitas hidup di komunitas mereka, mereka
menemukan tujuan baru. Ini khususnya mereka yang kehilangan
orang yang dicintai karena penyakit tertentu seperti kanker, atau
keadaan tragis seperti overdosis obat. Banyak yang akan menjadi
advokat, pendidik, atau penyelenggara untuk penggalangan dana
atau program sukarela.
e. Seekers
Pencari cenderung melihat keluar ke arah keyakinan spiritual,
filosofis, atau agama untuk membantu mereka menciptakan makna
setelah kehilangan. Mereka menemukan kenyamanan dalam
kelompok atau kepercayaan ini dan dalam menjalin hubungan baru
dengan anggota lain.
2. PATHOPHYSIOLOGY
Betapapun tak terhindarkan dan sangat menyakitkan seperti berduka atas
kehilangan orang yang dicintai, beberapa penelitian telah mencoba untuk
menyelidiki patofisiologi kesedihan. Sebagai gantinya, beberapa penelitian
mengungkap sudut berbeda dari variasi neuronal yang sekarang dikaitkan
dengan kesedihan. Shear et al5 mengeksplorasi disregulasi dan disfungsi
pada pasien CG dengan MDD atau PTSD yang hidup berdampingan,
mengungkapkan kekurangan dalam memori dan pemecahan masalah.
Penelitian lain telah mengungkapkan bahwa orang yang mengalami
kesedihan akut menunjukkan peningkatan katekolamin urin dan plasma,
peningkatan detak jantung, tekanan darah dan resistensi perifer, dan stres
kardiomiopati, yang semuanya berpotensi terkait dengan peningkatan
aktivasi sistem simpatis-adrenal-medula oleh kesedihan. sebuah penelitian
menemukan bahwa pasien dengan tingkat epinefrin tertinggi sebelum
perawatan psikoterapi menunjukkan tingkat gejala CG tertinggi setelah
pengobatan. Efeknya, temuan O'Connor et al pada 2013 menunjukkan bahwa
orang dengan epinefrin tinggi (dan perilaku hyperarousal dan penghindaran
yang lebih tinggi) menderita lebih banyak gangguan fungsi kognitif dan akan
mendapat manfaat dari terapi CG yang ditargetkan Intensitas tinggi,
persisten, dan berkepanjangan, maka, dikaitkan dengan respon stres
fisiologis yang tinggi. Peningkatan kortisol, disregulasi kortisol, disfungsi
sistem kekebalan tubuh, dan peradangan sel juga dikaitkan dengan
berkabung, morbiditas, dan mortalitas.3 CG berhubungan dengan kematian
yang lebih tinggi, penyakit jantung, kanker, dan ide bunuh diri dibandingkan
dengan kehilangan normal, namun jalur fisiologis masih belum jelas.9,15
Penelitian telah menunjukkan bahwa pada populasi umum, kematian orang
yang dicintai dapat memicu stres emosional yang mengarah pada infark
miokard hingga 6 bulan setelah kematian, dengan tingkat lebih tinggi pada
keluhan dibandingkan dengan yang tidak menderita. 15 Dengan mengingat
hal ini, orang dewasa dapat berada pada risiko yang lebih tinggi untuk
mengembangkan CG karena status kesehatan keseluruhan yang buruk,
tingkat kerusakan kognitif, dan / atau isolasi sosial. Untuk beberapa orang
dewasa yang lebih tua yang terisolasi, PCP adalah satu-satunya kontak yang
bisa dihubungi, terutama karena orang dewasa yang lebih tua cenderung
mengalami kesedihan dengan cara yang lebih somatik daripada orang
dewasa yang lebih muda.
3. Faktor Presdisposisi
Biologis
Dalam biologis yang harus dikaji yakni :Riwayat keluarga : diturunkan
melalui kromosom orangtua, ada depresi, Riwayat janin : prenatal dan
perinatal, Kondisi fisik : neurotransmiter dopamin berlebihan, tidak
seimbang dengan kadar serotonin, Status nutrisi : KEP dan malnutrisi,
rambut rontok, anoreksia, bulimia nervosa, Status kesehatan secara umum :
adanya keluhan fisik (nyeri perut, nyeri dada, nafas pendek, rasa tercekik,
konstipasi, impotensi,infertilitas, kelemahan, penurunan aktivitas, cacat fisik,
penyakit terminal dan keganasan), kurang tidur, gangguan irama sirkadian
dan jam biologis, masa menopause, amputasi, Riwayat penggunaan zat :
intoksikasi obat,aspirin, kafein, kokain, halusinogen, Riwayat putus zat
:alkohol,narkotik,sedatif-hipnotik
Psikologis
Intelegensi: Riwayat kerusakan pada otak lobus frontal, pasokan oksigen dan
glukosa kurang, kemampuan verbal: gangguan ketrampilan verbal akibat
faktor komunikasi keluarga, gagap pelo, lokasi tempat tinggal yg terisolasi,
moral: lingkungan keluarga broken home, daerah konflik, lapas, terlibat
tindak kriminal, konflik dg norma atau peraturan, kepribadian: depresif,
mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, introvert, pengalaman
masa lalu: pengalaman kehilangan, anak yg diasuh orgtua pencemas,
penolakan atau tindak kekerasan dlm rentang hidup klien, penganiayaan
seksual baik sebagai pelaku atau korban, konsep diri: ideal diri tdk realistis,
harga diri rendah, krisis identitas, krisis peran, gambaran diri negative,
motivasi : riwayat kegagalan, motivasi rendah, kurangnya penghargaan,
pertahanan psikologi : ambang toleransi terhdap stress rendah, riwayat
gangguan perkembangan, tidak mampu menahan diri terhdp dorongan yg
kurang positif
sosio cultural
Pendidikan: rendah, riwayat pustus sekolah, kurikulum pendidikan terlalu
ketat, penghasilan rendah, pekerjaan: pengangguran, pekerjaan stressfull,
pekerjaan resiko tinggi, status sosial: tunawisma, kehidupan terisolasi,
dengan label negatif (psk, transeksualisme, homoseksualisme), latar
belakang: tuntutan sosial budaya, stigma masyarakat negative, agama dan
keyakinan: riwayat tidak bisa menjalankan aktivitas keagamaan, secara rutin,
kesalahan persepsi terhadap ajaran tertentu, pengikut aliran sesat, riwayat
kegagalan dalam aktivitas politik, perubahan kehidupan karena adanya
bencana, perang, kerusuhan, kesulitan dalam mencari pekerjaan,
memperoleh anak, riwayat berulang kegagalan
4. Faktor Presipitasi
1. Nature: Terdiri dari beberapa aspek diantaranya yaitu biologi seperti ada
lesi daerah frontal, gangguan nutrisi, kurang tidur, intoksikasi obat dan
sering terpapar zat radiasi, keracunan Co2, asbesitosis. Aspek kedua
yaitu psikologi: kerusakan kemampuan verbal, tinggal dilingkungan yg
mempengaruhi moral. Kepribadian mudah kecewa, pesimistis, depresif
introvert, dan aspek ketiga yaitu sosial budaya: ketidaksesuaian tugas
perkembangan dengan usia, isolasi sosial, diskriminasi.
2. Origin: Kegagalan persepsi individu terhadap sesuatu yang diyakini,
Keluarga dan masyarakat mengalami kegagalan dalam merespon sesuatu
yang diyakini
3. Timing: Stres dapat terjadi dalam waktu yang berdekatan, stress dapat
berlangsung lama atau stres dapat berlangsung secara berulang-ulang
4. Number: Sumber stres dapat lebih dari satu dan terjadi selama usia
perkembangan dan pertumbuhan dan biasanya stressor dinilai sebagai
masalah yang sangat berat
6. Sumber Koping
Hal selanjutnya yang perlu dikaji adalah sumber koping dengan empat
komponen yaitu personal ability, social support, material asset dan positive
belief. Pada komponen personal ability, perawat perlu mengkaji kemampuan
klien memecahkan masalah, pengetahuan dan kemampuan klien berinteraksi.
Pada komponen social support, perawat perlu mengkaji hubungan klien
dengan individu lain, keluarga, kelompok dan masyarakat. Pada komponen
material asset, perawat perlu mengkaji kemampuan ekonomi klien serta
layanan kesehatan yang berada di lingkungan klien. Pada komponen positive
belief, perawat perlu mengkaji ada tidaknya distress spiritual atau motivasi.
7. Mekanisme Koping
Koping yang sering dipakai oleh individu dengan respon kehilangan antara
lain (Vaughans, 2013; Yosep, 2007):
Denial
Menolak meyakini atau menerima sesuatu sebagai kebenaran. Misalnya
penolakan seorang ibu yang berharap untuk meyakini bahwa ia tidak
hamil lagi setelah keguguran.
Represi
Membenamkan sesuatu secara tidak fakultatif ke dalam tingkat
pemikiran bawah sadar atau tidak sadar. Misal : mendorong keluar
memori perceraian, tetapi pada saat bersamaan pengalaman tersebut
mempengaruhi hubungan saat ini.
Rasionalisasi
Meyakinkan diri bahwa tidak salah melakukan saat menggunakan alasan
yang salah. Misalnya : seseorang yang makan berlebihan dan
membenarkan kebiasaan tersebut dengan mengatakan bahwa hal tersebut
dapat diterima karena itu acara khusus.
Regresi
Kembali ke perilaku yang lebih sesuai untuk tahap perkembangan
sebelumnya. Misalnya : orang dewasa yang berteriak – teriak untuk
mendapatkan keinginannya
Supresi
Sama dengan represi, namun dalam supresi ada keputusan yang sadar
atau sukarela untuk mendorong pemikiran bawah sadar atau tak sadar.
Misal : keputusan sadar untuk menyangkal status positif HIV yang
dibuktikan dengan menjawab “tidak” pada pertanyaan yang berkenaan
dengan status HIV dan menolak mengisi preskripsi medis.
Proyeksi
Distorsi batasan dikarakteristikkan oleh seseorang yang mengatributkan
pemikiran, emosi, karakteristik atau motifnya pada orang lain. Misal :
seorang suami yang kasar memanipulasi istrinya hingga percaya bahwa
dia yang bertanggung jawab terhadap masalah pernikahan mereka.
Formasi Reaksi
Ekspresi atau perasaan yang berlawanan dengan perasaan orang yang
sebenarnya atau perasaan yang akan sesuai dengan situasi tersebut. Misal
: bersikap manis pada seseorang ketika sebenarnya anda akan
meremehkan orang tersebut.
8. Diagnosa
Berduka Kompleks
9. Intervensi
8.1 . Psikoterapi individu,keluarga dan kelompok pada ketidakefektifan
manajement kesehatan
Terapi Individu : CBT (COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY
Terapi Kognitif Perilakuan (Cognitive Behavior Therapy) Terapi kognitif
perilakuan adalah perpaduan pendekatan kognitif dan behavioristik yang bersifat
aktif, direktif, mempunyai batas waktu yang jelas, dan terstrukstur. Terapi ini
dilandasi asumsi bahwa perasaan dan perilaku individu ditentukan oleh
bagaimana cara individu memandang dunia. Terapi ini bertujuan untuk
mengenali pola-pola pemikiran yang terdistorsi dan perilaku disfungsional.
Cognitive Behaviour Therapy
CBT merupakan kombinasi dari terapi cognitive dan behaviour, dan memiliki
pengaruh untuk mengatasi gangguan mood dan ansietas (Chambless &
Ollendick, 2001; DeRubeis & Crists-Christoph, 1998 dalam Cully & Teten,
2008). CBT adalah salah satu bentuk terapi komunikasi (Kassel & Rais, 2010),
Sehingga dapat dikatakan bahwa CBT merupakan terapi yang menggunakan
pendekatan penyelesaian masalah dengan mempelajari cara pengontrolan pikiran
melalui perubahan persepsi terhadap orang dan situasi tertentu.Stallard (2002),
menyebutkan bahwa CBT adalah intervensi terapeutik yang bertujuan untuk
mengurangi tingkah laku mengganggu dan maladaptif dengan mengembangkan
proses kognitif. CBT didasarkan pada asumsi bahwa afek dan tingkah laku
adalah produk dari kognitif oleh karena itu intervensi kognitif dan tingkah laku
dapat membawa perubahan dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku. CBT
pada dasarnya bertujuan untuk mengubah keadaan atau status emosi individu,
akan tetapi emosi tidak dapat diintervensi secara langsung. Emosi dihasilkan
dari adanya stimulasi internal dan eksternal dan dipengaruhi oleh adanya
perubahan pola pikir dan perilaku. Tujuan untuk menstabilkan emosi dicapai
menggunakan CBT dengan merubah pikiran dan perilaku yang berkontribusi
menyebabkan distress emosi. CBT bertujuan untuk menciptakan ketrampilan
yang memungkinkan individu untuk meningkatkan kesadaran akan pikiran dan
perasaannya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran dan perilaku
mempengaruhi perasaan dan meningkatkan kemampuan untuk merubah pikiran
dan perilaku maladaptif (Cully & Teten, 2008).
Pada proses pelaksanaan terapi perilaku kognitif dibagi dalam 5 sesi, setiap sesi
dilaksanakan selama 30-45 menit untuk setiap klien.
Sesi 1 CBT: Pengkajian
Pengalaman berupa ancaman yang terjadi pada diri seseorang dapat
menyebabkan hilangnya kemampuan memproses informasi secara efektif, oleh
Aaron T. Beck dikenal dengan distorsi kognitif. Proses tersebut yang membuat
seseorang sering mempunyai pikiran negatif yang selanjutnya akan
mempengaruhi perilaku yang ditunjukannya.
Sesi 2 CBT: Terapi Kognitif
Terapi kognitif berusaha memfokuskan untuk menempatkan suatu pikiran,
keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self talk) terhadap orang lain yang
lebih positif. Selain itu, terapi juga memfokuskan pada upaya membelajarkan
klien agar dapat memiliki cara berpikir yang lebih positif dalam berbagai
peristiwa kehidupan. Pada sesi ini klien akan mengevaluasi pikiran negatif yang
masih ada dan melanjutkan dengan melatih mengatasi pikiran negatif yang
kedua menggunakan pikiran positif.
Sesi 3 CBT: Terapi Perilaku
Perilaku merupakan respon yang timbul secara eksternal, dipengaruhi oleh
stimulus lingkungan & dapat dikontrol secara primer oleh konsekuensi-
konsekuensinya. Perilaku dapat diamati, diukur, & dicatat oleh diri sendiri
maupun orang lain. Perilaku dapat ditingkatkan frekuensi terjadinya melalui
reinforcement. Modifikasi perilaku seperti itu menurut Murray dan Wilson
disebut operant conditioning. Dalam operant conditioning ini lingkungan sosial
digunakan untuk membantu klien dalam meningkatkan kontrol terhadap perilaku
yang berlebihan atau berkurang.
Sesi 4 CBT: Evaluasi Terapi Kognitif Dan Terapi Perilaku
Langkah berikut adalah untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengalaman klien
dengan masalah dengan menggunakan analisis perilaku. Analisis ini terdiri dari
tiga bagian (ABC dari perilaku): Antecedent: stimulus atau isyarat yang terjadi
sebelum perilaku dan mengarah ke manifestasinya.
Behaviour/Perilaku: apa yang orang katakan atau tidak katakan atau lakukan.
Consequence/Konsekuensi: apa efeknya (positif, negatif, atau netral) orang
berpikir hasil dari perilaku.
Sesi 5 CBT : Kemampuan Merubah Pikiran Negatif Dan Perilaku
Maladaptif Untuk Mencegah Kekambuhan
Pikiran akan mempengaruhi respon emosi dan perilaku. Pikiran yang positif
akan menghasilkan perasaan dan perilaku yang positif dan dapat diterima
oleh orang lain sehingga dapat menimbulkan kenyamanan. Ketrampilan
berpikir dan berperilaku positif harus dilatih secara terus menerus sehingga
menjadi suatu kebiasaan dalam hiduP
Terapi keluarga :
terapi yang digunakan adalah Triangles Family therapy yang diarahkan untuk
menangani masalah harga diri rendah. Dalam Triangles Family therapy setiap
hubungan antara terapis, klien dan keluarga dalam psikoterapi merupakan bagian
dari triangle relationship (hubungan segitiga). Hal ini karena setiap klien
merupakan bagian dari multi generasi yang disebut keluarga. Setiap terapi
berpengaruh bagi keluarga dan dipengaruhi oleh keluarga. Hal ini sesuai dengan
konsep triangle therapy bahwa jika dua orang anggota keluarga terjadi konflik,
maka dibutuhkan pihak ketiga untuk menyelesaikan dan mendukung penyelesaian
masalah mereka. Secara alamiah, proses dalam kehidupan manusia dipengaruhi
oleh tiga sisi jaringan hubungan 2 tersebut. Ketiga jaringan tersebut membentuk
hubungan yang disebut ”emotional triangle”. Pada klien dengan harga diri rendah
kronis, pola interaksi dengan keluarga tidak berjalan dengan baik. Sehingga
dengan dilakukannya triangle therapy ini dapat membantu klien dalam
mengekspresikan perasaannya dan klien dapat diterima dalam keluarganya dan
mendapat support dari keluarga dalam penyelesaian masalah klien. Inti dari terapi
ini adalah bukan saja menghilangkan gejala yang ditimbulkan dari masalah yang
dihadapi.
Terapi Kelompok :
Logo Terapi
Logo terapi merupakan terapi untuk menyembuhkan, mengurangi,
meringankan krisis eksistensial melalui pemaknaan hidup dengan tujuan
untuk meningkatkan pemaknaan terhadap setiap tindakan yang pernah
dilakukan oleh individu dan konsekuensi yang harus diterima oleh individu
akibat dari tindakan yang dilakukan (Townsend, 2013). Logoterapi
berdasarkan etimologinya mengandung dua arti. Logoterapi berasal dari
kata logos suatu istilah dalam bahasa Yunani yang dapat berarti spiritual
atau makna, sedangkan terapi berarti penyembuhan atau pengobatan.
a. Indikasi Logoterapi
Logoterapi digunakan pada masalah dan diagnosis, yaitu : koping pada
penyakit kronis terminal, koping pada penyakit fisik kronis, proses berduka
atau berkabung depresi, post traumatic syndrome disorder (PTSD),
manajemen stress, pencegahan dan pemulihan akibat ketergantungan
alkohol, gangguan personal, gangguan obsesi kompulsi, phobia, gangguan
neurosis somatogenik, ganggua neurosis psikogenik, gangguan neurosis
noogenik, depresi.(Kanine & Helena, 2016)
b. Teknik Logoterapi
Teknik Paradoxical Intention
Teknik paradoxical intention diindikasikan pada kasus fobia,
obsessive compulsive, insomnia. Sedangkan kontra indikasi adalah pada
kasus depresi dengan kecenderungan bunuh diri. Pada dasarnya teknik
paradoxical intention memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self
detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi diri
sendiri dan lingkungan dengan memanfaatkan rasa humor (sense of
humor).
Teknik paradoxical intention diaplikasikan pada kasus fobia dengan
mengubah perasaan yang semula takut menjadikan akrab dengan objek
yang ditakutinya sedangkan pada kasus obsessive compulsive yaitu
dengan mengendalikan dan memunculkan secara ketat dorongan –
dorongannya agar tak tercetus dengan sikap humor. Teknik ini memiliki
keterbatasan karena akan terasa sulit dilakukan pada klien yang kurang
memiliki rasa humor.
Value Awareness Technique
VAT merupakan teknik yang membantu individu menyadari nilai –
nilai atau potensi yang masih dimiliki dan dapat digunakan walaupun
dalam kondisi yang sulit. Merupakan penggunaan teknik untuk
menyembuhkan atau mengurangi atau meringankan krisis eksistensial
melalui penemuan makna hidup. Teknik ini bertujuan untuk
meningkatkan makna pengalaman hidup individu yang diarahkan kepada
pengambilan keputusan yang bertanggungjawab. Pelaksanaan logoterapi
dengan teknik VAT dilakukan pada individu yang mengalami perubahan
kondisi fisik dan kehilangan yang mengakibatkan munculnya pikiran
tidak berdaya dan merasa hampa.
Medical Ministry
Logoterapi dengan mengarahkan klien untuk berusaha
mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif dan
merealisasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values) sebagai salah satu
sumber makna hidup disebut medical ministry. Tujuan utama teknik ini
adalah membantu seseorang menemukan makna hidup dari
penderitaannya. Penderitaan memang dapat memberikan makna dan
manfaat apabila seseorang dapat mengubah sikap terhadap penderitaan
itu menjadi lebih baik lagi.
Hal yang akan diubahbukanlah keadaannya melainkan sikap
(attitude) yang diambil dalam menghadapi keadaan. Bastaman
memberikan contoh apabila menghadapi keadaan yang tidakmungkin
diubah atau dihindari maka sikap yang tepat adalah menerima
denganpenuh ikhlas dan tabah pada hal-hal tragis yang tidak mungkin
dihindari lagi dapatmengubah pandangan seseorang dari semula yang
diwarnai penderitaan sematamata menjadi pandangan yang mampu
melihat makna dan hikmah daripenderitaan.
Mendalami nilai-nilai bersikap pada dasarnya memberi kesempatan
kepada seseorang untuk mengambil sikap yang tepat atas kondisi tragis
dan kegagalanyang telah terjadi dan tidak dapat dielakkan lagi.
Merenungkan penderitaan
Teknik untuk mendalami nilai-nilai bersikap terkait dengan
merenungkan penderitaan, yaitu :
- Mengingat kembali suatu penderitaan yang pernah dialami pada
waktu lalu
- Bagaimanakah perasaan waktu lalu
- Bagaimanakah cara mengatasinya
- Bagaimanakah perasaan kita sekarang atas pengalaman tersebut
- Pelajaran apa yang kita peroleh dan hikmah apa yang ada dibalik
penderitaan ini.
Membandingkan penderitaan :
- Menghubungi kenalan yang pernah mengalami penderitaan yang
sama dan telah berhasil mengatasinya
- Menanyakan pelajaran dan hikmah apa yang diperolehnya dari
peristiwa itu
- Membandingkan dengan keadaan sekarang
c. Pelaksanaan Logoterapi
Sesi 1 : Identifikasi masalah, penyebab dan harapan
Sesi ini bertujuan untuk mengidentifikasi atau mengenal masalah yang
dihadapi, mengidentifikasi penyebab dari masalah tersebut dan mengenal
atau mengidentifikasi harapan yang diinginkan dari masalah tersebut.
Masalah yang dihadapi terkait perubahan fisik, psikologis dan
sosiokultural.
Sesi 2 : Menyampaikan alasan dari harapan dan maksan dari alasan –
alasan tersebut
Pada sesi kedua ini, klien diminta untuk mengenal dampak atau akibat
dari harapan yang diinginkan,mengungkapkan alasan dari pemilihan
harapan tersebut dan menemukan dan mengambil makna dari harapan
yang telah dipilih tersebut. Terapis memberikan stimulus pada klien
untuk membayangkan jika alasan tercapai apa makna bagi diri klien.
Sesi 3 : Latihan Kegiatan yang memberi makna
Pada sesi ketiga ini terapis membantu klien dan mendiskusikan,
menemukan dan mengambil atau memilih makna hidup yang paling
berarti dan mengidentifikasi kegiatan yang dapat anda lakukan dan
mempunyai makna bagi klien.
Sesi 4 : Evaluasi dan terminasi
Evaluasi ini bertujuan untuk menilai kegiatan yang telah dipilih dan
memberikan makna, dan setelah melakukan klien dapat menemukan dan
mengambil makna dari kegiatan tersebut dan klien mampu memperoleh
beberapa makna hidup yang dapat menyemangati diri klien sendiri
sehingga akan lebih nyaman dan dapat menghadapi dan menyelesaikan
masalah dengan baik
8.4 Komplenter
Terapi psikoreligius yaitu suatu perlakuan dan pengobatan yang
ditujukan kepada penyembuhan suatu penyakit mental, kepada setiap
individu, dengan kekuatan batin atau rohani, yang berupa ritual
keagamaan bukan pengobatan dengan obatobatan. Pendekatan spiritual
dikalangan rumah sakit perlu dilaksanakan dengan mendatangkan
rohaniawan ke rumah sakit secara berkala dan mendoakan penyembuhan.
Komitmen seseorang terhadap agama menunjukkan peningkatan taraf
kesehatan jiwa , seperti pada kegiatan keagamaan/ibadah dapat
menurunkan gejala psikiatrik. Sehingga religiusitas mampu mencegah
dan melindungi diri dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan
meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan. Psikoreligius tidak
diarahkan untuk merubah agama klien tetap menggali sumber koping.
(Yosep, 2007)
10. Dokumentasi keperawatan
Dokumentasi keperawatan pada catatan perkembangan perawatan sangat
penting dilakukan perawat. Dokumen ini merupakan bukti tertulis asuhan
keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dokumen ini jga
merupakan media komunikasi antara perawat maupun perawat- tenaga
kesehatan lainnya sebagai pertimbangan perencanaan tindakan selanjutnya
(Wuryaningsih, Windarwati, Dewi, Deviantony & Hadi, 2018).
Psikopatologi Berduka Disfungsional
(Asertive
Kolaborasi Therapy)
pemberian
CBT
farmakoterapi
(Kognitif
Behavior
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L,M., Zainuri, I., Akbar,A. (2016). Buku Ajar Kesehatan Jiwa. Yogyakarta :
Indomedika Pustaka.
Chintya, HYF., Senior, C., Russel, T., Weinbegger, D., Murra, R. (2003).
Neuroimaging in Psychiatry. London : Martin Dunitz.
Delalibera M et al. (2015). Family dynamics during the grieving process: a systematic
literature review. Ciencia & saude coletiva. April 2015. DOI: 10.1590/1413-
81232015204.09562014.
Dayez, R.A.-S., Zech, E., Mac Cord, J., & Taverne, C. (2016). Daily life stressors and
coping strategies during widowhood: A diary study after one year of
bereavement. Death Studies, 40(8), 461–478.
doi:10.1080/07481187.2016.1177750
Fiore, J. (2019). A Systematic Review of the Dual Process Model of Coping With
Bereavement (1999–2016). OMEGA Journal of Death and Dying,
003022281989313. doi:10.1177/0030222819893139
Fahrizal, et al., Changes in The Signs, Symptoms, and Anger Management of Patients
with a Risk of Violent Behavior. JKI, Vol. 23, No. 1, March 2020, 1–14 . DOI:
10.7454/jki.v23i1.598
FIK UI. (2016). Modul Keperawatan Jiwa. Workshop Keperawatan Jiwa ke-X, Depok.
23 Agustus 2016 Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
FIK UI. (2016). Standart Asuhan Keperawatan Jiwa. Workshop Ke.perawatan Jiwa ke-
X, Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia
Keyes, K.M., Pratt, C., Galea, S., McLaughlin, K.A. (2014). The burden of loss:
Unexpected death of a loved one and psychiatric disorders across the life
course in a national study. Am J Psychiatry, 171(8), 864–871.
Kolubinski, D. C., Frings, D., Nikcevic, A. V., Lawrence, J. A., & Spada, M. M. (2018).
A systematic review and meta-analysis of CBT interventions based on the
Fennell model of low self-esteem. Psychiatry Research, 267, 296–305.
doi:10.1016/j.psychres.2018.06.025.
Klass, D. (2006). Continuing Conversation about Continuing Bonds. Death Studies,
30(9), 843–858. doi:10.1080/07481180600886959
Lewis, Dirksen. 2011. Medical Surgical Nursing Assessment and Management of
Clinical Problems. United States of America: Elsevier Mosby.
Lund, D., Caserta, M., Utz, R., & De Vries, B. (2010). Experiences and early coping of
bereaved spouses/partners in an intervention based on the dual process model
(dpm). Omega, 61(4), 291–313. https://doi.org/10.2190/OM.61.4.c
Saphire-Bernstein, S., Way, B. M., Kim, H. S., Sherman, D. K., & Taylor, S. E. (2011).
Oxytocin receptor gene (<em>OXTR</em>) is related to
psychological resources. Proceedings of the National Academy of Sciences,
108(37), 15118. doi: 10.1073/pnas.1113137108.
Richardson, V. (2010). The dual process model of coping with bereavement: A decade
later. Omega: Journal of Death and Dying, 61, 269–271.
Stroebe, M. S. & Schut, H. A. W. (2016). Overload: A missing link in the dual process
model?. OMEGA-Jornal of Death and Dying, 74(1), 96-109. doi:
10.1177/0030222816666540.
Sadock, B.J., & Sadock, V.A. (2013). Buku ajar psikiatri klinis edisi 2. Jakarta: EGC.
Sadowsky, Michael. (2017). Grief as a Skill. Retrieved from Sophia, the St. Catherine
University repository website: https://sophia.stkate.edu/msw_papers/787
Summers, R. F., & Barber, J. P. (2015).Practicing psychodynamic therapy: A casebook.
New York: The guilford press.
Smith, S.S. (2014). Traumatic loss in low-income communities of color. Focus, 31(1),
32–34.
Sonmez, N., Hagen, R., Andreassen, O. A., Romm, K. L., Grande, M., Jensen, L. H.,
Rossberg, J. I. (2014). Cognitive Behavior Therapy in First-Episode Psychosis
With a Focus on Depression, Anxiety, and Self-Esteem. Cognitive and
Behavioral Practice, 21(1), 43–54. doi:10.1016/j.cbpra.2013.06.001.
Stuart, G. W. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing. China: Elsevier.
Stuart, G. W., Budi, A.K., Jesika, P. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan
Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi Indonesia: Elsevier.
Tasman, A, Kay, J, Lieberman, J,A, First, M.B, Maj, M. (2009). Psychiatry. John
Wiley and Sons, New York.
Torrente, M. P., Gelenberg, A. J., & Vrana, K. E. (2012). Boosting serotonin in the
brain: is it time to revamp the treatment of depression?. Journal of
psychopharmacology (Oxford, England), 26(5), 629-635. doi:
10.1177/0269881111430744
Teranova, J. (2018). Grief Theories Series: Rando’s Six R Process Of Mourning. Article
Frzer Grief and Los. https://www.frazerconsultants.com/2018/03/grief-
theories-series-randos-six-r-process-of-mourning/
Yusuf, A., Fitryasari, R & Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, I., Sutini, T. (2016). Buku ajar keperawatan jiwa dan advance health mental
nursing. Bandung :Refika Aditama.
Annie Perng, MSN, AGNP-C, And Susan Renz, Phd, GNP-BC, Identifying And Treating
Complicated Grief In Older Adults Www.Npjournal.Org The Journal For
Nurse Practitioners – JNP 2017
Tina M. Mason, MSN, ARNP, AOCN, AOCNS; Cindy S. Tofthag Complicated Grief of
Immediate Family Caregivers A Concept Analysis Advances in Nursing
Science Vol. 42, No. 3, pp. 255–265 Copyright c 2019 Wolters Kluwer Health,
Inc. All rights reserved