Anda di halaman 1dari 51

LTM

“ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUTAN PADA BERDUKA


DISFUNGSIONAL ”

Oleh:

Sigit Yulianto, 196070300111007

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2020
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUT PADA BERDUKA
DISFUNGSIONAL

1. Konsep Berduka Disfungsional


Grieving adalah reaksi emosi terhadap kehilangan, biasanya akibat
perpisahan. Dimanifestasikan dalam perilaku, perasaan dan pemikiran.
Grieving juga merupakan proses mengalami reaksi psikologis, fisik dan
sosial terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Respon yang ada dalam
grieving yaitu keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa
bersalah dan marah. Grieving juga mencakup pikiran, perasaan dan perilaku.
( Yusuf, Rizky, & Hanik. (2015).
Breavement adalah respon subjektif (dalam masa berduka) yang dilalui
selama reaksi berduka. Biasanya berefek terhadap kesehatan. Sedangkan
meurning (berkabung) adalah periode penerimaan terhadap kehilangan dan
berduka yang terjadi selama individu dalam masa kehilangan. Sering
dipengaruhi oleh kebudayaan dan kebiasaan Yusuf, Rizky, & Hanik. (2015)..
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi
sebagian atau keseluruhan. Kehilangan dan berduka merupakan suatu proses
integral dari kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau
terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut.
Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa
kekerasan atau traumatik, diantisipasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian
atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. Kehilangan merupakan
pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang
kehidupannya. (Wahyudi & Wahid, 2016)
Berduka Kompleks adalah perpanjangan dari proses berduka yang
normal dengan karakteristik yang berbeda. Ini merusak kesehatan mental dan
fisik dan berpotensi sangat berdampak pada kualitas hidup penderita dan
keluarga mereka. Prevalensi dan karakteristik kesedihan yang rumit pada
populasi umum saat ini tidak jelas. Kematian orang yang dicintai adalah
salah satu peristiwa buruk yang paling umum terjadi pada usia yang lebih tua
(Bonanno, 2004). Meskipun itu adalah peristiwa yang mengganggu dan
mayoritas orang dewasa pulih, sebagian terus berduka untuk waktu yang
lama dan mulai menunjukkan gejala keadaan yang dikenal sebagai Berduka
Kompleks (Bonanno, 2004; Prigerson et al., 2009).
GRIEF dianggap sebagai reaksi normal terhadap kematian orang yang
dicintai atau kehilangan pribadi seperti menjadi tua, kehilangan kemandirian,
atau penyakit.1 Definisi kesedihan sebagaimana diusulkan dalam analisis
konsep oleh Jacob adalah “normal, dinamis, individual proses yang
menyerang setiap aspek (fisik, emosional, sosial, spiritual) orang yang
mengalami kehilangan orang lain yang signifikan. ”2 (p1789) Kesedihan
akut meningkat seiring dengan waktu dan biasanya tidak memerlukan
intervensi.3 berduka kompleks (CG), pada sebaliknya, sering digunakan
untuk menggambarkan kematian setelah kehilangan orang yang dicintai yang
berkepanjangan, terus-menerus mengganggu banyak aspek kehidupan, dan
membutuhkan intervensi. Deskripsi Berduka Kompleks yang serupa
ditemukan dalam literatur. Prigerson dan rekannya14 menggambarkan gejala
kerinduan yang intens, kesulitan menerima kematian, kepahitan yang
berlebihan, kebas, kekosongan, dan perasaan tidak nyaman untuk
melanjutkan hidup.14 Ellifritt et al15 menggambarkan tidak adanya
kesedihan normal sebagai terdistorsi atau berkepanjangan, rumit, dan
maladaptif. Zetumer dan kolega16 juga termasuk intens dan kesedihan yang
berkepanjangan karena beberapa ciri dari kesedihan yang belum
terselesaikan atau CG. Berkepanjangan, mengganggu kegiatan normal, dan
disertai dengan pikiran dan perilaku destruktif adalah deskripsi lain yang
ditemukan dalam literatur.
Ada alasan bagus untuk memfokuskan penyelidikan ilmiah secara
khusus pada fenomena dan manifestasi CG. CG semakin diakui sebagai
entitas yang berbeda, terkait dengan (tetapi dapat dibedakan dari) sejumlah
gangguan kesehatan mental lainnya, yang membutuhkan perawatan
psikologis khusus (Doering & Eisma, 2016). CG dikaitkan dengan hasil
psikologis yang parah, termasuk penurunan kualitas hidup dan
kecenderungan bunuh diri, di luar yang diprediksi oleh depresi, PTSD, atau
kecemasan (mis., Latham & Prigerson, 2017). Dalam sistem DSM-5,
gangguan yang ditandai oleh kesedihan yang parah, persisten dan
melumpuhkan yang disebut Persistent Complex Bereavement Disorder
(PCBD; American Psychiatric Association, 2013) terdaftar sebagai syarat
untuk penelitian lebih lanjut. Gangguan terkait tetapi berbeda (lih. Boelen,
Lenferink, & Smid, 2019) yang dikenal sebagai Gangguan Gangguan
Berkepanjangan (PGD) baru-baru ini menjadi kategori diagnostik yang
mapan di ICD-11 (Organisasi Kesehatan Dunia, 2018). Jelas, memahami
sifat komplikasi kesedihan relevan dengan diskusi yang sedang berlangsung
tentang status diagnostik dan simtomatologi CG
Kesedihan yang rumit Faktor risiko, intervensi, dan sumber daya untuk
perawat onkologi Cindy S. Tofthagen, grief adalah bagian dari pengalaman
manusia dan reaksi normal terhadap kematian orang yang dicintai. Meskipun
rasa sakit kehilangan mungkin tidak pernah benar-benar mereda, kebanyakan
orang menyesuaikan diri dengan kehidupan tanpa orang mati dan
mengembangkan rasa normal baru dari waktu ke waktu. Bagi yang lain,
proses kesedihan menjadi berkepanjangan. Individu yang memiliki kesulitan
menerima kematian dan berasimilasi ke dalam hidup tanpa pengalaman
almarhum apa yang dikenal sebagai Berduka Kompleks (CG), atau gangguan
kesedihan yang berkepanjangan (Shear, 2010)
Pada beberapa orang, kesedihan bertahan untuk waktu yang sangat lama
dan bisa sangat parah sehingga memengaruhi fungsi dan kualitas hidup.
Ketika terkait dengan kematian orang yang dicintai, kondisi ini disebut
berduka kompleks (CG), kesedihan berkepanjangan, atau gangguan
berkabung rumit yang terus-menerus (PCBD), sebuah diagnosis relatif baru
yang dirinci dalam edisi kelima dari Manual Diagnostik dan Statistik
Gangguan Mental (DSM-5) .4 Menurut Shear et al., 5 kesedihan menjadi
rumit karena keadaan di sekitar kehilangan atau "masalah internal" dengan
proses adaptasi. Pada sebagian besar hari selama setidaknya 6 bulan setelah
kematian seseorang yang dekat, orang-orang dengan CG sering memikirkan
hal-hal yang sibuk atau kerinduan yang terus-menerus untuk orang yang
tidak percaya yang telah meninggal, menyalahkan diri sendiri,
ketidakpercayaan pada orang lain, ketidakmampuan untuk menerima
kematian, penghindaran yang berlebihan dari pengingat orang yang sudah
meninggal, dan / atau kesulitan membayangkan masa depan yang
bermakna.4 Gejala dan perilaku ini menyebabkan tekanan atau kerusakan
yang signifikan secara klinis, dan tingkat kehilangan berada di luar budaya
seseorang. atau norma agama. 4 Gangguan identitas sosial yang
berkepanjangan, keinginan untuk mati bersama dengan almarhum, perasaan
bahwa hidup tidak ada artinya sekarang, dan kesulitan atau keengganan
untuk merencanakan masa depan juga sangat menyarankan CG. Dalam
ukuran besar, pikiran dan emosi yang menyusahkan ini, bersama dengan
perilaku yang disfungsional, mengkompromikan kemampuan individu yang
berduka untuk menyesuaikan diri dengan kehilangan orang yang dicintainya.
Meskipun mekanisme pastinya masih belum jelas, banyak penelitian
menunjukkan bahwa CG berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas dan biasanya dapat hidup berdampingan dengan atau menghalangi
gangguan kesehatan mental lainnya seperti gangguan depresi mayor (MDD)
dan gangguan stres pasca trauma (PTSD)
Tanda dan gejala berduka kompleks meliputi :

Tahap Respon prilaku


1. mengingkari  menolak mempercayai bahwa kehilangan itu
terjadi
contoh : “Tidak, berita itu tidak benar anak saya
nanti juga akan kembali mungkin belum mau
pulang saja “
 tidak siap menangani masalah yang berhubungan
dengan praktek atau prosedural
contoh : “ saya tidak apa-apa,sakit-saakit saja itu
dokter salah periksanya,jadi untuk apa saya
mengikuti anjuranya
2. marah  klien atau keluarga mungkin langsung marah pada
perawat
contoh :
“ jangan suka bawa berita yang tidak benar. kalau
tidak tahu pasti.

3. tawar menawar  Meminta perundingan ( menawar) untuk


menghindari kehilangan
Contoh :
“kenapa saya menginginkan pergi merantau?.
Kalau saja dulu saya tidak mengizinkan pergi”
 Mengekspresikan perasaan kesalahannya atau
hukuman atas dosa yang lalu, kenyataan atau
kesan/imagined.
“kalau saja saya dulu berobat atau kontrol teratur,
mungkin...”
4. depresi  berkabung yang berlebihan
 tidak dapat melakukan apapun
 bicara sesuka hati
 menarik diri, termenung
 sedih ,menangis
contoh :
“iya.. saya tidak mau anak saya merantau lagi
5. penerimaan  mulai menrima arti kehilangan
 menurunya ketertarikan dengan lingkungan
 tidak tergantung dengan orang yang mensuport
 mulai membuat perencanaan
contoh :
“ya Allah maha segalanya semua atas
kehendaknya..”
“Hidup sehat itu penting mencegah lebih baik dari
padamengobati”

Tanda dan Gejala

Obyektif Subjektif
Menolak mempercayai bahwa kehilangan
itu terjadi
Ungkapan kehilangan Tidak siap menangani masalah yang
Menangis berhubungan dengan praktik atau
Gangguan tidur prosedural
Kehilangan nafsu makan Klien atau keluarga mungkin langsung
Susah konsentrasi marah pada perawat
Meminta perundingan (menawar) untuk
menghindari kehilangan

a. Reaksi Berduka
a. Menolak dan isolasi
- Tidak percaya terhadap hal tersebut.
- Tidak siap menghadapi masalah.
-Memperhatikan kegembiraan yang dibuat-buat (menolak
berkepanjangan).
b. Marah (Anger)
- Marah terhadap orang lain untuk hal-hal sepele: iritabel/sensitif.
c. Bargaining/tawar menawar
- Mulai tawar menawar terhadap loss
- Mengekspresikan rasa bersalah, takut, putisment terhadap rasa
berdosa, baik nyata maupun imajinasi.
d. Depresi
- Rasa berduka terhadap apa yang terjadi.
- Kadang bicara bebas atau menarik diri.
e. Acceptance/penermaan
- Penurunan interest lingkungan sekitar.
- Berkeinginan untuk membuat rencana-rencana.

empat tugas berduka yang memudahkan penyesuaian yang sehat


terhadap kehilangan, dirancang dalam akronim “TEAR” yaitu :

1. T – untuk menerima realitas dari kehilangan


2. E – mengalami kepedihan akibat kehilangan
3. A – menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencangkup orang, benda,
atau aspek dari yang hilang
4. R – memberdayakan kembali energi emosional ke dalam hubungan yang
baru.
Tugas ini tidak terjadi dalam urutan yang khusus, pada kenyataannya orang
yang berduka mungkin melewati keempat tugas tersebut secara bersamaan,
atau hanya satu atau yang menjadi prioritas

b. Menurut (Wahyudi & Wahid, 2016), tahapan kehilangan atau berduka terdiri
dari:
1) Fase menyangkal (denial)
Respon individu selama fase ini adalah menunjukkan sikap tidak percaya
dan tidak siap dalam menghadapi peristiwa kehilangan. Reaksi fisik dapat
mencangkup pingsan/syok, menangis, berkeringat, mual, diare, frekuensi
jantung cepat, gelisah insomnia dan keletihan, tidak bergairah, serta
menunjukkan kegembiraan yang dibuat – buat.
Implikasi keperawatan :
Tugas perawat pada fase ini adalah memberikan dukungan secara verbal.
Dukung kebutuhan emosi tanpa memperkuat penyangkalan. Tawarkan diri
untuk tetap bersama klien, tanpa mendiskusikan alasan dan perilaku atau
kebutuhan untuk mengatasi kecuali klien mengawalinya. Tawarkan klien
perawatan dasar seperti makanan, minuman, kenyamanan dan keamanan.
2) Fase marah (anger)
Respons individu selama fase ini adalah individu mulai merasa kehilangan
secara tiba – tiba dan mengalami keputusasaan yang sifatnya iritabel. Secara
mendadak terjadi marah, rasa bersalah, frustasi, depresi dan kehampaan.
Biasanya, kemarahan tersebut diproyeksikan pada benda atau orang yang
ditandai dengan suara keras, meledak –ledak, tangan mengepal, muka merah
padam, perilaku agresif, gelisah, nadi cepat, dan nafas tersengal – sengal.
Implikasi keperawatan:
Tugas perawat selam fase ini adalah membantu klien memahami bahwa rasa
marah selama fase ini adalah normal, mencegah klien mengalami depresi
akibat kemarahan yang tidak terkontrol, mencari alternatif kebutuhan yang
lebih berarti saat marah, menganjurkan klien untuk mengontrol emosi, atau
mengendalikan kemarahannya. Berikan dorongan pada klien untuk
mengekspresikan perasaan mereka.

3) Fase tawar menawar (bargaining)


Respon individu selama fase adalah mulai mengungkapkan rasa marah
terhadap peristiwa kehilangan yang terjadi, melakukan tawar menawar,
mengekspresikan rasa bersalah dan rasa takut terhadap hukuman untuk dosa
– dosanya di masa lalu.
Implikasi keperawatan :
Tugas perawat dalam fase ini adalah mendengarkan dengan penuh
perhatian, mempertahankan kontak mata, dan menganjurkan klien untuk
mengekspresikan perasaannya, menghilangkan rasa bersalah dan ketakutan
yang sifatnya irasional, dan bila mungkin memberikan dukungan spiritual
pada mereka. Berikan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan.
4) Fase depresi (depresion)
Respons individu selama fase ini adalah berduka atas apa yang terjadi,
menarik diri, tidak mau berbicara, putus asa.
Implikasi keperawatan :
Tugas perawat selama fase ini adalah membantu klien mengekspresikan
kesedihannya dan memberikan dukungan verbal kepada mereka. Berikan
dukungan dan empati, kaji risiko yang membahayakan diri dan rujuk apabila
diperlukan.
5) Fase penerimaan (acceptance)
Respons individu selama fase ini adalah mulai kehilangan minat terhadap
lingkungan sekitar dan individu pendukung. Sejalan dengan itu, individu
juga mulai membuat berbagai rencana guna mengatasi dampak dari
peristiwa kehilangan yang terjadi. Selain itu, pikiran terhadap objek yang
hilang juga sudah mulai berkurang.
Implikasi keperawatan:
Berikan kesempatan berbagi perasaan secara verbal atau dalam bentuk
tulisan, seni, atau dengan rekaman. Biarkan dan dorong pengungkapan
sesering yang klien inginkan, tunjukkan penerimaan kelabilan klien dan
bantu dalam mendiskusikan rencana masa mendatang.

c. Teori Teori Berduka


a. Teori Kehilangan Berdasarkan Maslow
Menurut Maslow (1954 dalam Videbeck, 2020), tindakan
manusia didukung oleh hierarki kebutuhan yang dimulai
dengan kebutuhan fisiologis (makanan, udara, air, tidur),
kebutuhan keselamatan (tempat yang aman untuk tinggal
dan bekerja), kebutuhan keamanan dan kebutuhan yang
memiliki (hubungan yang memuaskan). Kebutuhan
berikutnya termasuk kebutuhan harga diri, yang mengarah
pada perasaan kecukupan dan kepercayaan diri (Videbeck,
2020). Maslow juga menyebutkan kebutuhan seperti
makanan, air, udara, termasuk suhu sekitar diperlukan
dalam mempertahankan kehidupan, sehingga seseorang
memerlukan motivasi untuk memenuhinya sebagai upaya
mempertahankan kehidupan. Apabila kebutuhan tersebut
tidak terpenuhi dan terjadi ketidak seimbangan maka dapat
menimbulkan kematian atau kehilangan (Taormina, 2013).
Namun ketika kebutuhan tersebut dapat terpenuhi, maka
dapat diartikan jika individu didukung oleh kebutuhan harga
diri yang menimbulkan rasa percaya diri yang adekuat.
Kebutuhan yang terakhir ialah aktualisasi diri, suatu upaya
untuk mencapai potensi diri secara keseluruhan. Apabila
kebutuhan manusia tersebut tidak terpenuhi atau diabaikan
karena suatu alasan, individu mengalami suatu kehilangan
(Videbeck, 2020). Beberapa contoh kehilangan yang
relevan dengan kebutuhan manusia dalam hierarki Maslow
adalah sebagai berikut:

a. Kehilangan fisiologis: kehilangan pertukaran udara yang


adekuat, kehilangan fungsi pankreas yang adekuat,
kehilangan suatu ekstremitas, dan gejala atau kondisi
somatik lain yang menandakan kehilangan fisiologis.
Contohnya termasuk amputasi anggota badan,
mastektomi atau histerektomi, atau kehilangan mobilitas
(Videbeck, 2020).

b. Kehilangan keselamatan: Kehilangan lingkungan yang


aman terbukti dalam kekerasan dalam rumah tangga,
pelecehan anak, atau kekerasan publik. Rumah
seseorang harus menjadi tempat yang aman ketika
anggota keluarga dapat memberikan perlindungan
bukan kekerasan. Beberapa lembaga publik, seperti
sekolah dan gereja, sering dikaitkan dengan
keselamatan juga. Perasaan aman itu hilang ketika
kekerasan terjadi di kampus atau di tempat suci. Titik
awal proses duka cita yang panjang misalnya, sindrom
stres pasca trauma. Terungkapnya rahasia dalam
hubungan profesional dapat dianggap sebagai suatu
kehilangan keselamatan psikologis sekunder akibat
hilangnya rasa percaya antara klien dan pemberi
perawatan (Videbeck, 2020)

c. Kehilangan rasa aman dan rasa memiliki: Kehilangan


orang yang dicintai memengaruhi kebutuhan untuk
mencintai dan perasaan dicintai. Kehilangan menyertai
perubahan dalam hubungan, seperti kelahiran,
pernikahan, perceraian, penyakit, dan kematian; karena
makna suatu hubungan berubah, seseorang dapat
kehilangan peran dalam keluarga atau kelompok
(Videbeck, 2020)

d. Kehilangan harga diri: Setiap perubahan yang terjadi


antar hubungan teman di tempat kerja atau dengan
dirinya sendiri dapat mengancam harga diri. Harga diri
seseorang dpat tertantang atau merasa kehilangan
ketika persepsi tentang dirinya sendiri berubah. Hal ini
merupakan perubahan atau persepsi seseorang yang
berkaitan dengan perubahan nilai. Kematian orang yang
dicintai, hubungan yang terputus, kehilangan pekerjaan,
dan pensiun adalah contoh perubahan yang mewakili
kehilangan dan dapat mengakibatkan ancaman terhadap
harga diri. Kehilangan fungsi peran sehingga kehilangan
persepsi dan harga diri karena keterkaitannya dengan
peran tertentu, dapat terjadi bersamaan dengan
kematian seseorang yang dicintai (Videbeck, 2020)

e. Kehilangan aktualisasi diri: Tujuan pribadi dan potensi


individu dapat terancam atau hilang seketika krisis
internal atau eksternal menghambat upaya pencapaian
tujuan dan potensi tersebut. Perubahan tujuan atau arah
akan menimbulkan periode duka cita yang pasti ketika
individu berhenti berpikir kreatif untuk memperoleh arah
dan gagasan baru. Seseorang yang ingin berpendiidkan
tinggi dan berkarir mencapai titik kehidupan ketika
terrcapai maka aktualisasi dirinya tercapai. Namun
ketika rencana itu tidak akan pernah terwujud atau
seseorang kehilangan harapan bahwa ia akan
menemukan jodoh dan memiliki anak maka perasaan
kehilamgan akan muncul. Contoh lain misalnya atau
seseorang kehilangan penglihatan atau pendengaran
ketika mengejar tujuan menjadi artis atau composer
(Videbeck. 2020).

b. Teori Identities of Griefing


Model Dr. Berger melihat dampak kehilangan seumur hidup dan
bagaimana hal itu membentuk identitas dan pandangan individu.
Keyakinannya bahwa kehilangan akan merubah kehidupan kita selamanya,
setelah kehilangan kita harus menemukan kembali identittas diri, dan
mencari makna kehilangan tersebut. Pola yang dibentuk dalam model ini
yaitu bagaimana seseorang memberntuk identitasnya dari yang lama ke
baru setelah mengalami berduka (Terranova, 2018)..

a. Nomads
Pada fase ini berkaitan dengan beragai kondisi emosi, seperti
penolakan, kemarahan, kecemasan, dan kebingungan serta kesulitan
memahami bagaimana kehilangan memengaruhi kehidupan mereka.
Kecemasan dan kesedihan karena ditinggalkan orang yang dicintai
adalah reaksi yang normal. Dalam tahap ini individu memerlukan
dukungan untuk kembali pulih dan menemukan identitas baru
kemudian mendapatkan perspektif tujuan yang sama sesuai.
b. Memorialists
Memorialis adalah mereka yang berkomitmen untuk
mempertahankan memori orang yang mereka cintai. Mereka sering
melakukannya dengan ritual tradisi, atau peringatan. Sebagai contoh,
seorang memorialist mungkin menghormati orang yang mereka
cintai dengan menciptakan seni, menulis puisi atau lagu, merawat
taman, atau menciptakan beberapa hal yang bermakna. Hal ini
bertujuan untuk menjaga hubungan kasih sayang dengan orang yang
di kasihisaat kita melanjutkan perjalanan menuju penyembuhan
setelah kehilangan

c. Normalizer
Normalizer terus memberi nilai lebih pada teman, keluarga, dan
komunitas mereka saat mereka bergerak maju dalam kesedihan
mereka. Melakukan hal itu membantu normalizers menciptakan
perasaan memiliki tujuan baru.
d. Aktivis
Aktivis adalah mereka yang terus membantu orang lain setelah
kehilangan orang yang mereka cintai. Dengan membantu orang lain
dan meningkatkan kualitas hidup di komunitas mereka, mereka
menemukan tujuan baru. Ini khususnya mereka yang kehilangan
orang yang dicintai karena penyakit tertentu seperti kanker, atau
keadaan tragis seperti overdosis obat. Banyak yang akan menjadi
advokat, pendidik, atau penyelenggara untuk penggalangan dana
atau program sukarela.
e. Seekers
Pencari cenderung melihat keluar ke arah keyakinan spiritual,
filosofis, atau agama untuk membantu mereka menciptakan makna
setelah kehilangan. Mereka menemukan kenyamanan dalam
kelompok atau kepercayaan ini dan dalam menjalin hubungan baru
dengan anggota lain.

c. Teori parkes and bowlbys four phase of grief


Banyak model dan teori kesedihan berasal dari karya psikolog John
Bowlby. Menariknya, karya Bowlby sendiri tidak fokus pada kesedihan -
setidaknya tidak pada awalnya. Pekerjaan utamanya berfokus pada teori
kasih sayang - khususnya kasih saying psikologis antara anak dan orang tua
mereka.
Teori kasih sayang menyatakan bahwa begitu suatu keterikatan telah
terbentuk - misalnya, antara seorang anak dan orang tua mereka - suatu
tanggapan (biasanya ketakutan, kemarahan, frustrasi, atau kesedihan) tidak
dapat dihindari ketika keterikatan atau ikatan terputus. Teori kasih sayang
mengeksplorasi semua jenis ikatan, dari orang ke orang, orang ke benda,
atau orang ke situasi. Itu juga mengeksplorasi berbagai jenis respons
emosional yang dirasakan seseorang ketika keterikatan ini rusak.
Menurut Videbeck (2018) John Bowlby mengusulkan sebuah teori bahwa
manusia secara naluriah mencapai dan mempertahankan ikatan pengaruh
dengan orang lain yang signifikan melalui perilaku kedekatan. Perilaku
kedekatan ini sangat penting untuk pengembangan rasa aman dan
kelangsungan hidup. Orang mengalami emosi yang paling intens ketika
membentuk ikatan seperti jatuh cinta, mempertahankan ikatan seperti
mencintai seseorang, mengganggu ikatan seperti dalam perceraian, dan
memperbarui keterikatan seperti menyelesaikan konflik atau memperbarui
hubungan (Bowlby, 1980 ). Keterikatan yang dipertahankan adalah sumber
keamanan; keterikatan yang diperbarui adalah sumber sukacita. Namun,
ketika sebuah ikatan terancam atau putus, orang itu merespons dengan
cemas, protes, dan amarah.
Sangat mudah untuk melihat bagaimana teori kasih saying masuk ke dalam
studi teori tentang kesedihan. Dan itulah yang dilakukan psikiater Colin
Murray Parkes. Parkes memperluas teori kasih sayang Bowlby.
Premis dari model kesedihan ini adalah bahwa ketika keterikatan pada
orang yang dicintai dirusak melalui sesuatu seperti kematian, perasaan
kesedihan yang kita rasakan adalah respon adaptif yang normal terhadap
kehilangan.
Bowlby dan Parker menggambarkan proses berduka memiliki empat fase:
a. Mengalami mati rasa dan menyangkal kehilangan : Ini adalah fase awal
setelah kehilangan orang yang dicintai. Penyangkalan dan mati rasa
disebabkan karena tidak siap menerima kenyataan kehilangan. Menurut
Parkes dan Bowlby, fase ini adalah mekanisme pertahanan diri yang
memungkinkan seseorang untuk segera mengatasi setelah mengetahui
tentang kehilangan mereka.
b. Secara emosional merindukan orang yang hilang dan melakukan
pemaknaan kehilangan : Dalam fase ini, seseorang mengalami semua
jenis emosi - dari kecemasan hingga kemarahan, keputusasaan,
kebingungan, kesedihan, dan banyak lagi. Mereka yang berduka mulai
merindukan kembalinya orang yang mereka cintai, serta mencari makna
dalam kehilangan mereka.
c. Mengalami disorganisasi kognitif dan keputusasaan emosional dengan
kesulitan berfungsi di dunia sehari-hari : Pada fase ini, seseorang mulai
menerima kenyataan kehilangan mereka. Ketika mereka melakukannya,
mereka mungkin merasa perlu untuk menarik diri dari kehidupan
sehari-hari mereka atau dari kegiatan dan hobi yang pernah mereka
nikmati. Mereka mulai memahami bahwa realitas lama mereka tidak
akan pernah sama, dan ini mengarah pada perasaan putus asa
d. Mengatur ulang dan mengintegrasikan kembali perasaan diri untuk
menyatukan kembali kehidupan : Ini adalah fase ketika seseorang mulai
memahami bahwa kehidupan lama mereka selamanya berubah, tetapi
mereka mulai menerima "hal normal" yang baru. Ini adalah proses yang
lambat, tetapi seseorang mulai memahami aspek positif dari kehidupan
mereka setelah kehilangan. Mereka mulai meningkatkan energi dan
emosi positif, dan menemukan minat baru dalam kegiatan dan hobi. Itu
tidak berarti seseorang berhenti berduka - mereka masih akan
mengalami saat-saat kesedihan tetapi mereka juga akan mulai memiliki
ingatan yang lebih positif tentang hubungan mereka dengan orang yang
mereka cintai.
d. Rando’s six r process of mouning
Therese Rando adalah Direktur Klinis di Institut untuk Studi dan Perawatan
pasien yang mengalami kehilangan. Sejak 1970, Dr. Rando telah bekerja
dalam penelitian berduka, menyediakan terapi untuk yang berduka, dan
menulis beberapa buku tentang kehilangan, kesedihan, dan kematian.
Itu adalah penelitian dan pengalamannya yang luas dalam membantu orang
yang berduka yang membuat Dr. Rando mengembangkan model
kesedihannya sendiri, yaitu Six R's. teori ini mirip dengan empat model
tugas Worden dalam enam tahap kesedihan R. Sebaliknya, mereka harus
dilihat sebagai keadaan emosi yang berbeda, atau tugas, yang akan
dirasakan oleh orang yang berduka saat mereka menjalani perjalanan
kesedihan mereka.
Dr. Rando mendefinisikan berkabung sebagai enam keadaan yang berbeda
(enam R). Dia kemudian mengelompokkan setiap point ke dalam tiga
kategori emosional. Enam R tersebut adalah :
1. Recognize the loss
2. React to the separation
3. Recollect and re-experience
4. Relinquish old attachments
5. Readjust
6. Reinvest
Sedangkan Tiga kategori emosional adalah
1. Fase Penghindaran
Pada Fase penghindaran seseorang memiliki satu tugas yaitu
Recognize the loss (mengenali kehilangan). Ini adalah bagian awal
dari duka dimana kita harus menerima kenyataan kehilangan. Rando
menyarankan bahwa sampai kita menyelesaikan R pertama, di mana
kita mengenali dan mengakui kematian telah terjadi, kita akan tetap
berada dalam fase penghindaran emosional ini. Begitu kita siap
menerima kenyataan bahwa orang yang kita cintai telah tidak ada.
2. Fase Konfrontasi
Fase konfrontasi terdiri dari kesedihan kita dan menemukan cara di
mana kita dapat mengekspresikan serangkaian emosi kompleks yang
kita rasakan. Selama fase ini, ada tiga tugas yaitu :
Kita harus react to the separation (bereaksi terhadap pemisahan).
Proses ini berarti kita akan bereaksi terhadap emosi kita, serta
perubahan yang diciptakan oleh kehilangan kita. Perubahan ini
dikenal sebagai kehilangan sekunder. Misalnya, kehilangan sekunder
mencakup hilangnya rasa aman, identitas, atau tradisi dan rutinitas.
Rando menggambarkan tugas bereaksi ini sebagai bagaimana kita
“merasakan, mengidentifikasi, menerima, dan memberikan beberapa
bentuk ekspresi terhadap semua reaksi psikologis terhadap
kehilangan.”
Selama fase konfrontasi, seseorang juga Recollect and re-experience
(mengingat kembali dan mengalami kembali) hubungan dengan
almarhum. Proses ini melibatkan peninjauan kembali kenangan dan
pengalaman yang dibagikan kepada orang yang dicintai. Misalnya,
berupa tempat khusus yang dikunjungi bersama, atau bahkan momen
kecil sehari-hari yang dibagikan bersama. Ketika kita melewati fase
ingatan ini, ingatan-ingatan ini menjadi bagian penting dari bagaimana
kita melanjutkan hubungan kita dengan orang yang kita cintai setelah
meninggal.
R terakhir dalam fase konfrontasi melibatkan pelepasan keterikatan
lama. Tugas ini adalah proses yang panjang. Ini melibatkan menerima
bahwa kehidupan lama kita tidak akan pernah sama setelah
kehilangan, dan kita mulai memproses dampak kerugian pada kita.
R terakhir dalam fase konfrontasi melibatkan relinquishing old
attachments (pelepasan keterikatan lama). Tugas ini adalah proses
yang panjang. Ini melibatkan menerima bahwa kehidupan lama kita
tidak akan pernah sama setelah kehilangan, dan kita mulai memproses
dampak kehilangan pada kita.
3. Fase Akomodasi.
Fase akomodasi menampilkan dua R terakhir dari model Rando. Pada
fase ini, kita mulai menemukan makna - dari kehilangan dan
kehidupan lagi. Itu tidak berarti kita tidak akan mengalami beberapa R
lainnya lagi, seperti ingatan atau reaksi terhadap kehilangan, tetapi
kita mulai bergerak menuju saat-saat bahagia lagi.
Dalam fase ini, kita mulai (Readjust) menyesuaikan diri dengan
realitas baru kita. Kita mulai menerima peran baru kita dalam
kehidupan dan tanggung jawab baru kita. Misalnya, seorang janda
atau duda akan mulai mengambil peran baru mereka sebagai pengasuh
tunggal rumah tangga. Rando menggambarkan bagian ini sebagai
bergerak "secara adaptif ke dunia baru tanpa melupakan yang lama."
Di sinilah kita menemukan hubungan baru kita dengan almarhum,
serta identitas baru kita.
Kami juga Reinvest (menginvestasikan kembali) energi dan emosional
kami. Ini berarti kita mulai menemukan perasaan bahagia dari
kehidupan lagi. Kita mungkin memulai hobi atau proyek baru, atau
bahkan menemukan tujuan baru. Penting untuk dicatat bahwa ini tidak
berarti penutupan atau kehilangan. Sebaliknya, Rando
menggambarkan tahap ini sebagai pembelajaran untuk hidup kembali.

e. Dual Theory of Grieving


Dual Process Model (DPM) merupakan ilmu tentang cara individu untuk
berdamai dengan kematian orang yang dicintai dengan menggunakan
strategi koping yang dinamis antara konfirmasi maupun penghindaran
untuk menyesuaikan dengan dua tipe stressor yang berorientasi pada
kehilangan dan tugas-tugas restorasi yang juga berdinamika dalam proes
berduka yang dilihat setiap waktu. (Lund et al, 2010). DPM merupakan
upaya untuk mengintegrasikan beberapa konsep berduka yang telah ada
sebelumnya, seperti konsep grief work-individu yang berduka bekerja
melali kesedihan untuk melepas kelekatan dan hubungan dengan
almarhum, teori attachment ketika berduka individu bekerja melalui
kesedihannya untuk merepresentasi atau memulihkan kedekatan dengan
almarhum, teori task model individu yang berduka perlu untuk
menyesuaikan diri dengan dukacita, mengambil waktu untuk tidak
bersedih, teori stress kognitif– penjelasan mengenai karakteristik stresor,
proses koping, dan hasil dari proses tersebut. Penguasaan situasi yang
penuh tekanan dilakukan dengan koping yaitu konfrontasi dan
penghindaran untuk mengubah masalah yang menyebabkan stress (Stroebe
& Schut, 2016).

Menurut DPM, model atau konsep-konsep dukacita terdahulu hanya


berfokus pada kesedihan akibat kehilangan atau kematian, sedangkan
diketahui bahwa masih ada sumber stres yang lainnya, seperti tantangan
keuangan, tugas baru pasca kematian orang yang dicintai, dan lain lain
(Lund et al, 2010). Model atau konsep dukacita terdahulu lebih sering
menekankan pada rangkaian mengatasi permasalahan melalui strategi
mengatasi dukacita sebagai tahap awal yang kemudian diikuti dengan
adanya upaya pemulihan. Hal tersebut berbeda dengan konsep DPM yang
menjelaskan bahwa koping terhadap kehilangan (loss) dan upaya pemulihan
(restoration) dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan (Richardson,
2010). DPM juga merupakan teori mengenai strategi adaptif orang berduka
yang mengarah pada pengurangan konsekuensi negatif bagi kesehatan
psikososial dan fisik sehingga dapat menurunkan kesedihan (Stroebe &
Schut, 2016).
Komponen dual proses model terdiri dari beberapa yaitu stressor,
strateggi koping dan efek koping.
a. Stressor yang terjadi selama berduka
Stressor dukacita terbagi menjadi dua yaitu loss-oriented (LO)
dan restoration- oriented (RO) dimana kedua kedua kategori stresor
tersebut terkait dengan adanya konsekuensi emosional, seperti tekanan
dan kecemasan, serta konsekuensi kesehatan fisik dan mental bagi
individu yang berduka (Stroebe & Schut, 2016).
1) Stresor yang berorientasi pada kehilangan (loss-oriented stressor)
Loss-oriented stressor merupakan stresor yang berkaitan dengan
pengalaman kehilangan terutama terkait dengan orang yang
meninggal (Stroebe & Schut, 2016). Loss oriented stressor
mencakup beberapa tantangan, sebagai berikut:
a. Grief work dan intrusion of grief
Individu yang berduka dihadapkan pada tantangan yang
berkaitan dengan hubungan, kelekatan atau ikatan dengan
sosok yang sudah meninggal (Stroebe & Schut, 2016).
b. Breaking bonds / ties / relocated
Ketika berdukacita, individu dihadapkan pada stresor yang
berkaitan dengan tugas atau tantangan melepaskan diri dari
kelekatan dengan sosok yang telah meninggal (Stroebe &
Schut, 2016).
c. Stressor kehadiran internal
Stresor kehadiran internal ditandai dengan adanya pikiran dan
perasaan subjektif pada individu yang berduka (Dayez et al,
2016).
d. Pengingat eksternal almarhum
Pengingat eksternal merupakan hal-hal yang ada di sekitar
yang dapat memunculkan ingatan akan sosok yang
meninggalkan (Dayez et al, 2016).
e. Stressor harian terkait tidak adanya almarhum

Stresor harian karena tidak adanya almarhum merupakan


pemicu stres yang terkait dengan kesepian atau kesendirian
yang erat kaitannya dengan kebutuhan dan kerinduan (Dayez
et al, 2016).

2) Stresor yang berorientasi pada tugas-tugas restorasi (restoration-


oriented stressor)
Restoration-oriented stressor berkaitan dengan penguasaan
tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan oleh / atau bersama
almarhum, pengaturan atau reorganisasi identitas baru dari istri
menjadi janda (Stroebe & Schut, 2016). Restoration-oriented
(RO) mengacu pada perubahan kehidupan dan psikososial yang
melibatkan stresor seperti adanya masalah keuangan, rumah
tangga, keterampilan diri, peran, tanggung jawab, dan hubungan
social (Neimeyer, 2016). Restoration membantu individu yang
berduka dalam membangun kembali asumsi yang telah hancur
mengenai kehidupan mereka setelah kematian orang yang dicintai
(Santrock, 2012). Restoration Oriented Stressor terllihat dalam
beberapa perubahan pad aindividu yaitu tsebagai berikut:
a. Perubahan praktis
Perubahan praktis merupakan salah satu stresor yang terjadi
dalam bentuk perubahan terkait dengan masalah
perekonomian dan kesulitan yang biasanya dilakukan
bersama almarhum (Dayez et al, 2016).
b. Stresor interpersonal
Stresor interpersonal biasanya muncul dalam bentuk
hilangnya hubungan atau adanya konflik dengan teman dan /
atau dengan anggota keluarga(Dayez et al, 2016).
c. Perubahan identitas
Stresor ini biasanya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
perubahan identitas, kesulitan mengambil identitas baru,
hilangnya harga diri, dan hilangnya identitas diri setelah
kehilangan (Dayez et al, 2016).
d. Stresor yang terkait dengan pengambilan keputusan

Stresor ini merupakan hal-hal yang berkaitan dengan


kesulitan dalam pembuatan atau pengambilan keputusan
tanpa nasehat atau persetujuan sosok yang sudah meninggal
(Dayez et al, 2016).

b. Strategi Koping untuk berdamai dengan peristiwa kematian


Komponen khas yang terdapat dalam DPM, yakni proses dinamis
yang disebut osilasi (osillation). Osilasi merupakan dasar untuk koping
yang bersifat adaptif, yakni perubahan atau perpindahan koping yang
berkaitan dengan kehilangan dan restorasi, serta perpindahan antara
koping dari salah satu stresor ke stresor yang lain, atau tidak adanya
koping sama sekali. Proses koping tersebut sifatnya dinamis dan dapat
berubah seiring berjalannya waktu (Stroebe & Schut, 2016). Osilasi
antara dua jenis stresor (LO dan RO) diperlukan untuk mengatasi
dukacita secara adaptif dan fleksibel (Neimeyer, 2016).
1) Konfrontasi (confrontation) – penghindaran (avoidance)
Loss-oriented stressor dan restoration-oriented stressor adalah
sumber stres yang menghasilkan kesusahan dan kecemasan pada
individu yang berduka sehingga individu yang berduka
melakukan koping dengan cara konfrontasi (confrontation) dan
menghindar (avoidance). Koping konfrontasi terdiri dari 3
strategi (Dayez et, al)
a. Strategi perilaku
Merupakan salah satu strategi koping yang berfokus pada
perilaku yang dilakukan untuk mengurangi stres ataupun
kesedihan yang dialami. Dalam koping konfrontasi
(confrontation) strategi perilaku dibedakan menjadi 4 macam:
perilaku terhadap almarhum, dengan orang lain, objek, dan
perubahan yang dialami selepas kematian orang yang dicintai.
Sedangkan Koping penghindaran (avoidance) dibedakan
menjadi dua yaitu: menghindari hal-hal terkait stressor dan
fokus pada hal-hal yang tidak terkait stressor (Dayez et al,
2016).
b. Strategi kognitif
Dalam koping konfrontasi (confrontation), strategi kognitif
dilakukan dengan memaknai kembali pikiran-pikiran yang
berkaitan dengan stresor yang muncul selama berdukacita.
Sedangkan dalam koping penghindaran (avoidance), strategi
kognitif cenderung dilakukan dengan menekan atau
melakukan supresi atas suatu pikiran tentang almarhum dan
stresor yang muncul ke dalam alam bawah sadar (Dayez et al,
2016).
c. Strategi afektif
Dalam koping konfrontasi (confrontation), strategi afektif
dilakukan dengan menerima segala emosi yang muncul akibat
kehilangan. Sedangkan dalam koping penghindaran
(avoidance), dilakukan dengan menekan atau melakukan
supresi atas emosi (Dayez at al, 2016).
2) Waktu Istirahat
Dalam osilasi dijelaskan bahwa pada saat berdukacita, individu
dapat mengambil waktu untuk tidak melakukan apapun. Waktu
istirahat merupakan kondisi dimana individu yang berduka
mengambil waktu untuk beristirahat dari hal-hal yang
mengganggu dan menyakitkan untuk dikonfrontasi dan dihindari
sehingga mereka hanya bersantai dan memulihkan diri (Stroebe
& Schut, 2016).
3) Analisis kognisi terkait konfrontasi-penghindaaran
Analisis kognisi ini melibatkan pemaknaan, asumsi, dan jenis
ekspresi individu yang berduka terkait dengan penyesuaian
adaptif dan maladaptive (Stroebe & Schut, 2016).
a. Positive meaning (re)construction
Individu cenderung berfokus untuk mencari dan menemukan
makna positif dari stres yang muncul karena dukacita yang
dialaminya, maka hal tersebut akan meningkatkan pengaruh
positif pada dirinya untuk mengurangi tekanan yang ia
rasakan. Analisis kognitif yang termasuk adaptif terdiri dari:
positive repprasial, Revised (constructive) goals, Positive
event interpretation, dan Expressing positive affect (Dayez et
al, 2016).
b. Negative meaning (re)construction
Pembentukan atau membangun makna negatif dari kejadian
berduka dapat mengarah pada penyesuaian yang maladaptif.
Individu yang cenderung merenungkan hal negatif, seperti
pikiran atau perasaan negatif yang muncul terus-menerus
mengenai peristiwa kehilangan, harapan-harapan yang tidak
masuk akal, fokus pada kesedihan yang dialaminya, dan
menginterpretasi pengalaman kehilangan dialaminya sebagai
suatu hal yang negatif, maka mereka akan semakin
mengalami kesulitan untuk pulih dari dukacitanya. Beberapa
bentuknya: rumination, wishful thinking, revised
(unconstructive) goals, negative event interpretation, dan
ventilating dysphoria (Morin, 2019).
c. Efek Koping
Dalam Dual proses model mempelajari juga bagaimanan dampak
dri strategi koping yang digunakan individu dalam menghadapi peristiwa
berduka (Fiore, 2019). Koping (coping outcomes) dikategorikan menjadi
dua yaitu:
1) Penyesuaian adaptif
Penyesuaan adaptif ditandai dengan 2 hal yaitu (a)
distres berkurang, yakni berkurangya atau hilangnya perasaan
cemas, takut, marah dan frustasi; dan (b) dukacita menurun,
berkurangnya reaksi dan perasaan kesedihan, kesepian,
keputusasaan sebagai akibat dari meninggalnya sosok yang
dicintai (Fiore, 2019).
2) Penyesuaian maladaptive
Individu yang berduka cenderung melakukan negative
meaning (re)construction, maka mereka cenderung mengarah
pada penyesuaian yang negatif yaitu: berpikir negative
tentang situasi dan kehidupan, perilaku sehari-hari menjadi
terganggu dan kurang efektif dalam pemecahan masalah
(Fiore, 2019).
f. Worden’s Four Tasks of Grieving
William Worden menunjukkan empat tugas berduka. Tugas ini, menurut
Worden, harus dicapai selama proses berkabung.

a) Tugas 1 untuk menerima kenyataan kehilangan


Tugas ini mengenai bagaimana berdamai dengan akhir kehidupan
seseorang. Hal ini tidak jarang mengalami shock atau ketidak percayaan
setelah kehilangan, atau merasa seolah-olah dalam mimpi. Anda terus-
menerus mengharapkan orang yang dicintai masih ada. Penerimaan tidak
harus berarti. dalam kasus kehilangan orang yang dicintai, penerimaan
mungkin hanya menjadi saat kita siap untuk memulai perjalanan
penyembuhan. Terlibat dalam ritual seperti pemakaman atau menulis
surat kepada orang yang telah meninggal, berbicara dengan terapis,
teman dekat atau anggota keluarga adalah cara yang membantu untuk
berdamai dengan realitas situasi.

b) Tugas 2 untuk mengatasi rasa sakit dan kesedihan


Kesedihan yang dialami disertai dengan berbagai emosi yang intens
seperti kesedihan, kerinduan, kekosongan, kesepian, kemarahan, mati
rasa, kemarahan, kecemasan, dan kebingungan. Ini bagian dari proses
berduka yang dianggap adaptif oleh banyak spesialis di bidang
kesedihan dan kerugian. Proses berduka dapat menyebabkan kelelahan
yang lengkap, sakit, hilangnya nafsu makan, dan kesulitan berfokus serta
membuat keputusan.

c) Tugas 3 untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru


Perlahan-lahan atau dalam beberapa kasus, akan mulai untuk
melanjutkan rutinitas normal kita. Siswa akan harus kembali ke sekolah,
dan orang dewasa harus baik kembali bekerja atau terus terlibat dalam
kegiatan masyarakat. Seiring waktu akan muncul peran baru pada
individu tersebut. Worden mengakui bahwa menyesuaikan diri dengan
lingkungan tanpa orang yang telah tiada dapat berarti bahwa hal itu
berbeda. Tugas penyesuaian terjadi beberapa waktu, dan dapat
memerlukan penyesuaian internal, eksternal dan spiritual.

d) Tugas 4 untuk menemukan dan bertahan hubungan dengan almarhum


dan tetap bergerak maju dengan kehidupan
Tugas ini termasuk menemukan hubungan yang tepat dan berkelanjutan
dalam kehidupan emosional kita dengan orang yang telah meninggal,
dan membuat individu untuk terus hidup. Itu berarti bahwa membiarkan
pikiran dan kenangan, dan secara bersamaan terlibat dalam kegiatan
yang bermakna bagi kita dan yang membawa kita kepada kesenangan.
g. Continuing bonds
Pada tahun 1996, Klass, Silverman, dan Nickman menjelaskan konsep
berkabung yang penting dalam buku Obligasi Berkelanjutan: Pemahaman
Baru tentang Kesedihan. Obligasi berkelanjutan hanya sebagai fenomena
yang tidak ada, kami juga tidak menganggap obligasi berkelanjutan sebagai
penangkal kerugian. Kemudian mulai berpikir akan sejarah di banyak
budaya orang mati yang kembali sebagai hantu, roh-roh, dan makhluk lain
untuk menghantui atau membahayakan kehidupan. Selanjutnya anggapan
positif dan negatif ini berkaitan dengan kesedihan yang berkelanjutan
setelah ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Obligasi merupakan respon
kesedihan setelah ditinggalkan.
Konsep kesedihan merupakan konsep yang berhubungan dengan ikatan.
Adanya rasa ikatan karena kesedihan ini muncul karena adanya rasa ikatan
antara individu dengan orang yang dicintai telah meninggalkannya
sehingga ketika berduka terjadi proses ikatan yang berkelanjutan. Empat
hal yang berkaitan dengan ikatan yang berkelanjutan pada konsep berduka
yaitu:

a) Obligasi berkelanjutan menyatakan bahwa kesedihan sedang berlangsung


dan tidak akan berakir tetapi seiring berjalannya waktu akan muncul rasa
berdamai, menemukan kebahagiaan baru dan peran baru. Dimana
kenangan hangat tetap ada namun hubungan baru akan mulai tumbuh.
b) Obligasi berkelanjutan mengatakan bahwa tetap terhubung dengan orang
yang dicintai adalah hal yang normal. Hal ini mendukung gagasan bahwa
kita sebagai orang yang berduka, tetap terhubung dengan orang-orang
yang kita cintai. Hal ini tidak selalu ditemukan di masyarakat, teman dan
keluarga, atau bahkan dalam keyakinan dan sikap kita sendiri tentang
kesedihan dan koping.
c) Ikatan yang berkelanjutan dapat menggambarkan banyak perilaku terkait
kesedihan. Tetap mempertahankan barang-barang, kebiasaan sehari-hari,
ritual pribadi, percakapan dengan orang yang dicintai, mengunjungi
tempat-tempat merasa dekat dengan mereka, semua ini adalah cara untuk
melanjutkan ikatan dengan orang yang dicintai yang telah meninggal. Ini
adalah perilaku yang sering muncul secara alami pada orang-orang yang
berduka, tetapi mungkin terlihat kondisi patologis oleh model kesedhan
yang lain.
d) Ikatan yang berkelanjutan mengatakan bahwa tidak hanya perilaku ini
normal, tetapi mereka dapat membantu mengatasi kesedihan. Pandangan
masyarakat pada umumnya ketika menjumpai orang yang tetap
mempertahankan cintanya kepada orang yang telah meninggal adalah hal
yang tidak normal. Akan tetapi terdapat penelitian yang menyatakan
bahwa keterhubungan itu justru akan membantu seseorang untuk pulih
dan bangkit dari proses berduka yang dialaminya, termasuk menghadapi
perubahan hidup mereka

Rentang Respon Berduka Disfungsional dalam Respon Emoosi


Berduka adalah respon adaptif terhadap proses perpisahan yang sehat,
yang mencoba untuk mengatasi stres akibat kehilangan. Berduka atau
berkabung, bukan proses patofisiologis; hal ini adalah respon adaptif terhadap
stresor yang nyata. Tidak adanya berduka saat menghadapi kehilangan
menunjukkan maladaptif. Berikut adalah rentang respon adaptif dan maladaptif
dari respon emosional (Stuart, 2013)

Berikut adalah rentang respon adaptif dan maladaptif dari respon


emosioan dimana rentang respon yang adapif adalah respon emosi dan rentang
respon yang maladaptif adalah depresi atau mania (Sutejo, 2019).

a) Respon emosional (emotional responsiveness) adalah respon yang


paling adaptif. Adaptif menyiratkan keterbukaan dan kesadaran akan
perasaan.
b) Reaksi berduka yang rumit (uncomplicated grief reaction) adalah
respon adaptif dalam menghadapi stres. Reaksi tersebut menyiratkan
bahwa seseorang sedang menghadapi realitas kehilangan dan
tenggelam dalam kondisi berduka.
c) Supresi emosi (supression of emotions) adalah respon maladaptif.
Respon maladaptif adalah penolakan perasaan atau keteguhan diri
seseorang.
d) Reaksi berduka yang tertunda (delayed grief reaction) adalah respon
maladaptif. Reaksi ini melibatkan supresi emosi berkepanjangan
yang menganggu fungsi efektif.
Depresi dan mania (depressions/mania) yang terlihat pada gangguan
bipolar adalah respon emosional yang paling maladatif. Gangguan
suasana hati yang parah dikenali melalui intensitas, kegunaan, ketekunan
dan gangguang fungsi sosial dan fisiologis

2. PATHOPHYSIOLOGY
Betapapun tak terhindarkan dan sangat menyakitkan seperti berduka atas
kehilangan orang yang dicintai, beberapa penelitian telah mencoba untuk
menyelidiki patofisiologi kesedihan. Sebagai gantinya, beberapa penelitian
mengungkap sudut berbeda dari variasi neuronal yang sekarang dikaitkan
dengan kesedihan. Shear et al5 mengeksplorasi disregulasi dan disfungsi
pada pasien CG dengan MDD atau PTSD yang hidup berdampingan,
mengungkapkan kekurangan dalam memori dan pemecahan masalah.
Penelitian lain telah mengungkapkan bahwa orang yang mengalami
kesedihan akut menunjukkan peningkatan katekolamin urin dan plasma,
peningkatan detak jantung, tekanan darah dan resistensi perifer, dan stres
kardiomiopati, yang semuanya berpotensi terkait dengan peningkatan
aktivasi sistem simpatis-adrenal-medula oleh kesedihan. sebuah penelitian
menemukan bahwa pasien dengan tingkat epinefrin tertinggi sebelum
perawatan psikoterapi menunjukkan tingkat gejala CG tertinggi setelah
pengobatan. Efeknya, temuan O'Connor et al pada 2013 menunjukkan bahwa
orang dengan epinefrin tinggi (dan perilaku hyperarousal dan penghindaran
yang lebih tinggi) menderita lebih banyak gangguan fungsi kognitif dan akan
mendapat manfaat dari terapi CG yang ditargetkan Intensitas tinggi,
persisten, dan berkepanjangan, maka, dikaitkan dengan respon stres
fisiologis yang tinggi. Peningkatan kortisol, disregulasi kortisol, disfungsi
sistem kekebalan tubuh, dan peradangan sel juga dikaitkan dengan
berkabung, morbiditas, dan mortalitas.3 CG berhubungan dengan kematian
yang lebih tinggi, penyakit jantung, kanker, dan ide bunuh diri dibandingkan
dengan kehilangan normal, namun jalur fisiologis masih belum jelas.9,15
Penelitian telah menunjukkan bahwa pada populasi umum, kematian orang
yang dicintai dapat memicu stres emosional yang mengarah pada infark
miokard hingga 6 bulan setelah kematian, dengan tingkat lebih tinggi pada
keluhan dibandingkan dengan yang tidak menderita. 15 Dengan mengingat
hal ini, orang dewasa dapat berada pada risiko yang lebih tinggi untuk
mengembangkan CG karena status kesehatan keseluruhan yang buruk,
tingkat kerusakan kognitif, dan / atau isolasi sosial. Untuk beberapa orang
dewasa yang lebih tua yang terisolasi, PCP adalah satu-satunya kontak yang
bisa dihubungi, terutama karena orang dewasa yang lebih tua cenderung
mengalami kesedihan dengan cara yang lebih somatik daripada orang
dewasa yang lebih muda.
3. Faktor Presdisposisi
Biologis
Dalam biologis yang harus dikaji yakni :Riwayat keluarga : diturunkan
melalui kromosom orangtua, ada depresi, Riwayat janin : prenatal dan
perinatal, Kondisi fisik : neurotransmiter dopamin berlebihan, tidak
seimbang dengan kadar serotonin, Status nutrisi : KEP dan malnutrisi,
rambut rontok, anoreksia, bulimia nervosa, Status kesehatan secara umum :
adanya keluhan fisik (nyeri perut, nyeri dada, nafas pendek, rasa tercekik,
konstipasi, impotensi,infertilitas, kelemahan, penurunan aktivitas, cacat fisik,
penyakit terminal dan keganasan), kurang tidur, gangguan irama sirkadian
dan jam biologis, masa menopause, amputasi, Riwayat penggunaan zat :
intoksikasi obat,aspirin, kafein, kokain, halusinogen, Riwayat putus zat
:alkohol,narkotik,sedatif-hipnotik
Psikologis
Intelegensi: Riwayat kerusakan pada otak lobus frontal, pasokan oksigen dan
glukosa kurang, kemampuan verbal: gangguan ketrampilan verbal akibat
faktor komunikasi keluarga, gagap pelo, lokasi tempat tinggal yg terisolasi,
moral: lingkungan keluarga broken home, daerah konflik, lapas, terlibat
tindak kriminal, konflik dg norma atau peraturan, kepribadian: depresif,
mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, introvert, pengalaman
masa lalu: pengalaman kehilangan, anak yg diasuh orgtua pencemas,
penolakan atau tindak kekerasan dlm rentang hidup klien, penganiayaan
seksual baik sebagai pelaku atau korban, konsep diri: ideal diri tdk realistis,
harga diri rendah, krisis identitas, krisis peran, gambaran diri negative,
motivasi : riwayat kegagalan, motivasi rendah, kurangnya penghargaan,
pertahanan psikologi : ambang toleransi terhdap stress rendah, riwayat
gangguan perkembangan, tidak mampu menahan diri terhdp dorongan yg
kurang positif
sosio cultural
Pendidikan: rendah, riwayat pustus sekolah, kurikulum pendidikan terlalu
ketat, penghasilan rendah, pekerjaan: pengangguran, pekerjaan stressfull,
pekerjaan resiko tinggi, status sosial: tunawisma, kehidupan terisolasi,
dengan label negatif (psk, transeksualisme, homoseksualisme), latar
belakang: tuntutan sosial budaya, stigma masyarakat negative, agama dan
keyakinan: riwayat tidak bisa menjalankan aktivitas keagamaan, secara rutin,
kesalahan persepsi terhadap ajaran tertentu, pengikut aliran sesat, riwayat
kegagalan dalam aktivitas politik, perubahan kehidupan karena adanya
bencana, perang, kerusuhan, kesulitan dalam mencari pekerjaan,
memperoleh anak, riwayat berulang kegagalan

4. Faktor Presipitasi
1. Nature: Terdiri dari beberapa aspek diantaranya yaitu biologi seperti ada
lesi daerah frontal, gangguan nutrisi, kurang tidur, intoksikasi obat dan
sering terpapar zat radiasi, keracunan Co2, asbesitosis. Aspek kedua
yaitu psikologi: kerusakan kemampuan verbal, tinggal dilingkungan yg
mempengaruhi moral. Kepribadian mudah kecewa, pesimistis, depresif
introvert, dan aspek ketiga yaitu sosial budaya: ketidaksesuaian tugas
perkembangan dengan usia, isolasi sosial, diskriminasi.
2. Origin: Kegagalan persepsi individu terhadap sesuatu yang diyakini,
Keluarga dan masyarakat mengalami kegagalan dalam merespon sesuatu
yang diyakini
3. Timing: Stres dapat terjadi dalam waktu yang berdekatan, stress dapat
berlangsung lama atau stres dapat berlangsung secara berulang-ulang
4. Number: Sumber stres dapat lebih dari satu dan terjadi selama usia
perkembangan dan pertumbuhan dan biasanya stressor dinilai sebagai
masalah yang sangat berat

5. Penilaian Terhadap Stresor


Respon terhadap berduka dijelaskan dalam 5 dimensi yaitu Videbeck, 2001
dalam (Putri, 2013) :
a. Respon Kognitif : Gangguan asumsi dan keyakinan,Mempertanyakan dan
berupaya menemukan makna kehilangan, Berupaya mempertahankan
keberadaan orang yang meninggal atau sesuatu yang hilang, Percaya pada
kehidupan akhirat seolah – olah orang yang meninggal adalah pembimbing
b. Respon Emosional : Marah, sedih , cemas, Kebencian, Merasa bersalah
dan kesepian, Perasaan mati rasa, Emosi tidak stabil, Keinginan kuat untuk
mengembalikan ikatan dengan individu atau benda yang hilang, Depresi,
apatis, putus asa selama fase diorganisasi dan keputusasaan
c. Respon Spiritual : Kecewa dan marah pada Tuhan, Penderitaan karena
ditinggalkan atau merasa ditinggalkan atau kehilangan, Tidak memiliki
harapan, kehilangan makna
d. Respon Perilaku: Menangis terisak atau tidak terkontrol, Gelisah,
Iritabilitas atau perilaku bermusuhan, Mencari atau menghindar tempat
atau aktivitas yang dilakukan bersama orang yang telah meninggal,
Kemungkinan menyalahgunakan obat atau alkohol, Kemungkinan
melakukan upaya bunuh diri atau pembunuhan
e. Respon Fisiologis: Sakit kepala, insomnia, Gangguan nafsu makan,Tidak
bertenaga, Gangguan pencernaan, Perubahan sistem imun dan endokrin
a. Rentang Respon
Adaptif Maldaptif
 Menangis, menjerit,  Diam/tidak menangis
menyangkal, menyalahkan  Menyalahkan diri
diri sendiri, menawar, berkepanjangan
bertanya – tanya  Rendah diri
 Membuat rencana untuk  Mengasingkan diri
yang akan datang  Tak berminat hidup
 Berani terbuka dengan
kehilangan

(Yusuf et al., 2015)

6. Sumber Koping
Hal selanjutnya yang perlu dikaji adalah sumber koping dengan empat
komponen yaitu personal ability, social support, material asset dan positive
belief. Pada komponen personal ability, perawat perlu mengkaji kemampuan
klien memecahkan masalah, pengetahuan dan kemampuan klien berinteraksi.
Pada komponen social support, perawat perlu mengkaji hubungan klien
dengan individu lain, keluarga, kelompok dan masyarakat. Pada komponen
material asset, perawat perlu mengkaji kemampuan ekonomi klien serta
layanan kesehatan yang berada di lingkungan klien. Pada komponen positive
belief, perawat perlu mengkaji ada tidaknya distress spiritual atau motivasi.
7. Mekanisme Koping
Koping yang sering dipakai oleh individu dengan respon kehilangan antara
lain (Vaughans, 2013; Yosep, 2007):

 Denial
Menolak meyakini atau menerima sesuatu sebagai kebenaran. Misalnya
penolakan seorang ibu yang berharap untuk meyakini bahwa ia tidak
hamil lagi setelah keguguran.
 Represi
Membenamkan sesuatu secara tidak fakultatif ke dalam tingkat
pemikiran bawah sadar atau tidak sadar. Misal : mendorong keluar
memori perceraian, tetapi pada saat bersamaan pengalaman tersebut
mempengaruhi hubungan saat ini.
 Rasionalisasi
Meyakinkan diri bahwa tidak salah melakukan saat menggunakan alasan
yang salah. Misalnya : seseorang yang makan berlebihan dan
membenarkan kebiasaan tersebut dengan mengatakan bahwa hal tersebut
dapat diterima karena itu acara khusus.
 Regresi
Kembali ke perilaku yang lebih sesuai untuk tahap perkembangan
sebelumnya. Misalnya : orang dewasa yang berteriak – teriak untuk
mendapatkan keinginannya
 Supresi
Sama dengan represi, namun dalam supresi ada keputusan yang sadar
atau sukarela untuk mendorong pemikiran bawah sadar atau tak sadar.
Misal : keputusan sadar untuk menyangkal status positif HIV yang
dibuktikan dengan menjawab “tidak” pada pertanyaan yang berkenaan
dengan status HIV dan menolak mengisi preskripsi medis.
 Proyeksi
Distorsi batasan dikarakteristikkan oleh seseorang yang mengatributkan
pemikiran, emosi, karakteristik atau motifnya pada orang lain. Misal :
seorang suami yang kasar memanipulasi istrinya hingga percaya bahwa
dia yang bertanggung jawab terhadap masalah pernikahan mereka.
 Formasi Reaksi
Ekspresi atau perasaan yang berlawanan dengan perasaan orang yang
sebenarnya atau perasaan yang akan sesuai dengan situasi tersebut. Misal
: bersikap manis pada seseorang ketika sebenarnya anda akan
meremehkan orang tersebut.

8. Diagnosa
Berduka Kompleks

9. Intervensi
8.1 . Psikoterapi individu,keluarga dan kelompok pada ketidakefektifan
manajement kesehatan
Terapi Individu : CBT (COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY
Terapi Kognitif Perilakuan (Cognitive Behavior Therapy) Terapi kognitif
perilakuan adalah perpaduan pendekatan kognitif dan behavioristik yang bersifat
aktif, direktif, mempunyai batas waktu yang jelas, dan terstrukstur. Terapi ini
dilandasi asumsi bahwa perasaan dan perilaku individu ditentukan oleh
bagaimana cara individu memandang dunia. Terapi ini bertujuan untuk
mengenali pola-pola pemikiran yang terdistorsi dan perilaku disfungsional.
Cognitive Behaviour Therapy
CBT merupakan kombinasi dari terapi cognitive dan behaviour, dan memiliki
pengaruh untuk mengatasi gangguan mood dan ansietas (Chambless &
Ollendick, 2001; DeRubeis & Crists-Christoph, 1998 dalam Cully & Teten,
2008). CBT adalah salah satu bentuk terapi komunikasi (Kassel & Rais, 2010),
Sehingga dapat dikatakan bahwa CBT merupakan terapi yang menggunakan
pendekatan penyelesaian masalah dengan mempelajari cara pengontrolan pikiran
melalui perubahan persepsi terhadap orang dan situasi tertentu.Stallard (2002),
menyebutkan bahwa CBT adalah intervensi terapeutik yang bertujuan untuk
mengurangi tingkah laku mengganggu dan maladaptif dengan mengembangkan
proses kognitif. CBT didasarkan pada asumsi bahwa afek dan tingkah laku
adalah produk dari kognitif oleh karena itu intervensi kognitif dan tingkah laku
dapat membawa perubahan dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku. CBT
pada dasarnya bertujuan untuk mengubah keadaan atau status emosi individu,
akan tetapi emosi tidak dapat diintervensi secara langsung. Emosi dihasilkan
dari adanya stimulasi internal dan eksternal dan dipengaruhi oleh adanya
perubahan pola pikir dan perilaku. Tujuan untuk menstabilkan emosi dicapai
menggunakan CBT dengan merubah pikiran dan perilaku yang berkontribusi
menyebabkan distress emosi. CBT bertujuan untuk menciptakan ketrampilan
yang memungkinkan individu untuk meningkatkan kesadaran akan pikiran dan
perasaannya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran dan perilaku
mempengaruhi perasaan dan meningkatkan kemampuan untuk merubah pikiran
dan perilaku maladaptif (Cully & Teten, 2008).
Pada proses pelaksanaan terapi perilaku kognitif dibagi dalam 5 sesi, setiap sesi
dilaksanakan selama 30-45 menit untuk setiap klien.
Sesi 1 CBT: Pengkajian
Pengalaman berupa ancaman yang terjadi pada diri seseorang dapat
menyebabkan hilangnya kemampuan memproses informasi secara efektif, oleh
Aaron T. Beck dikenal dengan distorsi kognitif. Proses tersebut yang membuat
seseorang sering mempunyai pikiran negatif yang selanjutnya akan
mempengaruhi perilaku yang ditunjukannya.
Sesi 2 CBT: Terapi Kognitif
Terapi kognitif berusaha memfokuskan untuk menempatkan suatu pikiran,
keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self talk) terhadap orang lain yang
lebih positif. Selain itu, terapi juga memfokuskan pada upaya membelajarkan
klien agar dapat memiliki cara berpikir yang lebih positif dalam berbagai
peristiwa kehidupan. Pada sesi ini klien akan mengevaluasi pikiran negatif yang
masih ada dan melanjutkan dengan melatih mengatasi pikiran negatif yang
kedua menggunakan pikiran positif.
Sesi 3 CBT: Terapi Perilaku
Perilaku merupakan respon yang timbul secara eksternal, dipengaruhi oleh
stimulus lingkungan & dapat dikontrol secara primer oleh konsekuensi-
konsekuensinya. Perilaku dapat diamati, diukur, & dicatat oleh diri sendiri
maupun orang lain. Perilaku dapat ditingkatkan frekuensi terjadinya melalui
reinforcement. Modifikasi perilaku seperti itu menurut Murray dan Wilson
disebut operant conditioning. Dalam operant conditioning ini lingkungan sosial
digunakan untuk membantu klien dalam meningkatkan kontrol terhadap perilaku
yang berlebihan atau berkurang.
Sesi 4 CBT: Evaluasi Terapi Kognitif Dan Terapi Perilaku
Langkah berikut adalah untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengalaman klien
dengan masalah dengan menggunakan analisis perilaku. Analisis ini terdiri dari
tiga bagian (ABC dari perilaku): Antecedent: stimulus atau isyarat yang terjadi
sebelum perilaku dan mengarah ke manifestasinya.
Behaviour/Perilaku: apa yang orang katakan atau tidak katakan atau lakukan.
Consequence/Konsekuensi: apa efeknya (positif, negatif, atau netral) orang
berpikir hasil dari perilaku.
Sesi 5 CBT : Kemampuan Merubah Pikiran Negatif Dan Perilaku
Maladaptif Untuk Mencegah Kekambuhan
Pikiran akan mempengaruhi respon emosi dan perilaku. Pikiran yang positif
akan menghasilkan perasaan dan perilaku yang positif dan dapat diterima
oleh orang lain sehingga dapat menimbulkan kenyamanan. Ketrampilan
berpikir dan berperilaku positif harus dilatih secara terus menerus sehingga
menjadi suatu kebiasaan dalam hiduP

Terapi keluarga :

terapi yang digunakan adalah Triangles Family therapy yang diarahkan untuk
menangani masalah harga diri rendah. Dalam Triangles Family therapy setiap
hubungan antara terapis, klien dan keluarga dalam psikoterapi merupakan bagian
dari triangle relationship (hubungan segitiga). Hal ini karena setiap klien
merupakan bagian dari multi generasi yang disebut keluarga. Setiap terapi
berpengaruh bagi keluarga dan dipengaruhi oleh keluarga. Hal ini sesuai dengan
konsep triangle therapy bahwa jika dua orang anggota keluarga terjadi konflik,
maka dibutuhkan pihak ketiga untuk menyelesaikan dan mendukung penyelesaian
masalah mereka. Secara alamiah, proses dalam kehidupan manusia dipengaruhi
oleh tiga sisi jaringan hubungan 2 tersebut. Ketiga jaringan tersebut membentuk
hubungan yang disebut ”emotional triangle”. Pada klien dengan harga diri rendah
kronis, pola interaksi dengan keluarga tidak berjalan dengan baik. Sehingga
dengan dilakukannya triangle therapy ini dapat membantu klien dalam
mengekspresikan perasaannya dan klien dapat diterima dalam keluarganya dan
mendapat support dari keluarga dalam penyelesaian masalah klien. Inti dari terapi
ini adalah bukan saja menghilangkan gejala yang ditimbulkan dari masalah yang
dihadapi.

Terapi Kelompok :
Logo Terapi
Logo terapi merupakan terapi untuk menyembuhkan, mengurangi,
meringankan krisis eksistensial melalui pemaknaan hidup dengan tujuan
untuk meningkatkan pemaknaan terhadap setiap tindakan yang pernah
dilakukan oleh individu dan konsekuensi yang harus diterima oleh individu
akibat dari tindakan yang dilakukan (Townsend, 2013). Logoterapi
berdasarkan etimologinya mengandung dua arti. Logoterapi berasal dari
kata logos suatu istilah dalam bahasa Yunani yang dapat berarti spiritual
atau makna, sedangkan terapi berarti penyembuhan atau pengobatan.
a. Indikasi Logoterapi
Logoterapi digunakan pada masalah dan diagnosis, yaitu : koping pada
penyakit kronis terminal, koping pada penyakit fisik kronis, proses berduka
atau berkabung depresi, post traumatic syndrome disorder (PTSD),
manajemen stress, pencegahan dan pemulihan akibat ketergantungan
alkohol, gangguan personal, gangguan obsesi kompulsi, phobia, gangguan
neurosis somatogenik, ganggua neurosis psikogenik, gangguan neurosis
noogenik, depresi.(Kanine & Helena, 2016)
b. Teknik Logoterapi
 Teknik Paradoxical Intention
Teknik paradoxical intention diindikasikan pada kasus fobia,
obsessive compulsive, insomnia. Sedangkan kontra indikasi adalah pada
kasus depresi dengan kecenderungan bunuh diri. Pada dasarnya teknik
paradoxical intention memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self
detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi diri
sendiri dan lingkungan dengan memanfaatkan rasa humor (sense of
humor).
Teknik paradoxical intention diaplikasikan pada kasus fobia dengan
mengubah perasaan yang semula takut menjadikan akrab dengan objek
yang ditakutinya sedangkan pada kasus obsessive compulsive yaitu
dengan mengendalikan dan memunculkan secara ketat dorongan –
dorongannya agar tak tercetus dengan sikap humor. Teknik ini memiliki
keterbatasan karena akan terasa sulit dilakukan pada klien yang kurang
memiliki rasa humor.
 Value Awareness Technique
VAT merupakan teknik yang membantu individu menyadari nilai –
nilai atau potensi yang masih dimiliki dan dapat digunakan walaupun
dalam kondisi yang sulit. Merupakan penggunaan teknik untuk
menyembuhkan atau mengurangi atau meringankan krisis eksistensial
melalui penemuan makna hidup. Teknik ini bertujuan untuk
meningkatkan makna pengalaman hidup individu yang diarahkan kepada
pengambilan keputusan yang bertanggungjawab. Pelaksanaan logoterapi
dengan teknik VAT dilakukan pada individu yang mengalami perubahan
kondisi fisik dan kehilangan yang mengakibatkan munculnya pikiran
tidak berdaya dan merasa hampa.
 Medical Ministry
Logoterapi dengan mengarahkan klien untuk berusaha
mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif dan
merealisasikan nilai-nilai bersikap (attitudinal values) sebagai salah satu
sumber makna hidup disebut medical ministry. Tujuan utama teknik ini
adalah membantu seseorang menemukan makna hidup dari
penderitaannya. Penderitaan memang dapat memberikan makna dan
manfaat apabila seseorang dapat mengubah sikap terhadap penderitaan
itu menjadi lebih baik lagi.
Hal yang akan diubahbukanlah keadaannya melainkan sikap
(attitude) yang diambil dalam menghadapi keadaan. Bastaman
memberikan contoh apabila menghadapi keadaan yang tidakmungkin
diubah atau dihindari maka sikap yang tepat adalah menerima
denganpenuh ikhlas dan tabah pada hal-hal tragis yang tidak mungkin
dihindari lagi dapatmengubah pandangan seseorang dari semula yang
diwarnai penderitaan sematamata menjadi pandangan yang mampu
melihat makna dan hikmah daripenderitaan.
Mendalami nilai-nilai bersikap pada dasarnya memberi kesempatan
kepada seseorang untuk mengambil sikap yang tepat atas kondisi tragis
dan kegagalanyang telah terjadi dan tidak dapat dielakkan lagi.
 Merenungkan penderitaan
Teknik untuk mendalami nilai-nilai bersikap terkait dengan
merenungkan penderitaan, yaitu :
- Mengingat kembali suatu penderitaan yang pernah dialami pada
waktu lalu
- Bagaimanakah perasaan waktu lalu
- Bagaimanakah cara mengatasinya
- Bagaimanakah perasaan kita sekarang atas pengalaman tersebut
- Pelajaran apa yang kita peroleh dan hikmah apa yang ada dibalik
penderitaan ini.
 Membandingkan penderitaan :
- Menghubungi kenalan yang pernah mengalami penderitaan yang
sama dan telah berhasil mengatasinya
- Menanyakan pelajaran dan hikmah apa yang diperolehnya dari
peristiwa itu
- Membandingkan dengan keadaan sekarang
c. Pelaksanaan Logoterapi
 Sesi 1 : Identifikasi masalah, penyebab dan harapan
Sesi ini bertujuan untuk mengidentifikasi atau mengenal masalah yang
dihadapi, mengidentifikasi penyebab dari masalah tersebut dan mengenal
atau mengidentifikasi harapan yang diinginkan dari masalah tersebut.
Masalah yang dihadapi terkait perubahan fisik, psikologis dan
sosiokultural.
 Sesi 2 : Menyampaikan alasan dari harapan dan maksan dari alasan –
alasan tersebut
Pada sesi kedua ini, klien diminta untuk mengenal dampak atau akibat
dari harapan yang diinginkan,mengungkapkan alasan dari pemilihan
harapan tersebut dan menemukan dan mengambil makna dari harapan
yang telah dipilih tersebut. Terapis memberikan stimulus pada klien
untuk membayangkan jika alasan tercapai apa makna bagi diri klien.
 Sesi 3 : Latihan Kegiatan yang memberi makna
Pada sesi ketiga ini terapis membantu klien dan mendiskusikan,
menemukan dan mengambil atau memilih makna hidup yang paling
berarti dan mengidentifikasi kegiatan yang dapat anda lakukan dan
mempunyai makna bagi klien.
 Sesi 4 : Evaluasi dan terminasi
Evaluasi ini bertujuan untuk menilai kegiatan yang telah dipilih dan
memberikan makna, dan setelah melakukan klien dapat menemukan dan
mengambil makna dari kegiatan tersebut dan klien mampu memperoleh
beberapa makna hidup yang dapat menyemangati diri klien sendiri
sehingga akan lebih nyaman dan dapat menghadapi dan menyelesaikan
masalah dengan baik

d. Peran dan Kegiatan Terapis


Adapun peran terapis dalam kegiatan kelompok sebagai berikut :
 Menjaga hubungan yang akrab dan pemisahan ilmiah
Terapis menciptakan hubungan antara klien dengan mencari
keseimbangan antaradua ekstrem yaitu hubungan yang akrab seperti
simpati dan pemisahan secara ilmiahdalam menangani klien sejauh ia
melibatkan diri dalam teknik terapi.
 Mengendalikan filsafat pribadi
Terapis tidak memaksakan konsep tentang nilai-nilainya sendiri pada
klien ataumemindahkan filsafat pribadi pada klien karena logoterapi
bertujuan untukmenangani masalah-masalah yang berkaitan dengan nilai-
nilai spiritual sepertiaspirasi terhadap hidup yang bermakna, makna cinta,
makna penderitaan dansebagainya.
 Terapis bukan guru atau pengkhotbah
Terapis harus membiarkan klien untuk tugas hidupnya sebagai orang
yang bertanggungjawab terhadap masyarakat, terhadap suara hatinya atau
terhadap Tuhan. Terapis adalah memberikan kemungkinan kepada klien
untuk melihat dunia sebagaimana adanya dan bukan seorang pelukis
yang menyajikan dunia sebagaimana ia melihat sendiri.
 Membantu individu menemukan makna hidupnya
Penemuan makna hidup adalah sesuatu hal yang kompleks dan
membutuhkan proses perenungan yang mendalam. Hal yang perlu
diperhatikan selama pelaksanaan logoterapi adalah menghindari untuk
memaksakan makna tertentu kepada klien, melainkan sebaliknya
mengarahkan dan mempertajam akan makna hidupnya. Upaya dari
terapis dalam membantu klien agar mengenali apa yang dilakukan dalam
hidupnya adalah mempedulikan dan menciptakan kondisi bersahabat
sehingga klien secara bebas memahami keunikan dirinya tanpa merasa
takut atau kuatir ditolak.

8.2 Interpersonal therapy


IPT ini adalah terapi fokus singkat kepada hubungan personal pasien dan
interaksinya dengan yang lain. Pasien dan terapis bersama-sama
menemukan masalah interpersonal yang akan menjadi fokus utama
pengobatan. Masalah interpersonal secara empiris dibagi menjadi 4
kategori yaitu grief reaksi kedukaan yang komplek yang terjadi saat
kematianatau, kehilangan seseorang yang dicintai, role transition
perubahan kehidupan yang sangat drastis (sakit keras/paliatif, kelahiran
anak, pension), role dispute konflik dengan relasi yang mmegang
peranan penting (ayah, bos, suami/ istri), atau deficit interpersonal –
isolasi sosial.
IPT sebagai intervensidukungan sosial pada pasien akan memeriksa
dukungan sosial sebagai mediatorperubahan yang terjadi pada pasien.
Pengaruh sosial pada kesehatan mental danperilaku (latihan, nutrisi,
tidur, dsb.) didapatkan dari perbandingan sosial dan tekanan positif dari
sekitarnya yang menjadikan persahabatan bagi pasien sendiriakan
menghasilkan efek yang positif. Adapun masalah interpersonal pada IPT
seperti peran transisi (perceraian,pensiunan, penyakit) yang merubah
kehidupan sehingga mengganggu kehidupansosial.
8.3 Psychodinamic therapy
Psikodinamika terapi merupakan sebuah metode terapi yang diterapkan
dari teori Sigmund Freud. Teori psikoanalitik telah secara berulang
diperbaiki dan ditinjau ulang selama satu abad terakhir, namun prinsip
dari psikoterapi dinamik tetap merupakan eksplorasi bertahap yang
serupa dengan pemikiran dan konflik pasien yang sebelumnya tidak
secara langsung dapat diakses oleh pikiran sadar.
Tujuan dari terapi psikodinamik yaitu mengurangi gejala dan tentu saja
membuat seseorang merasa lebih baik selain itu juga bertujuan
meningkatkan kesehatan mental dan fungsi (Summers, R. & Barber, J.
2015).
Tiga elemen dalam melakukan terapi psikodinamik yaitu 1) kerangka
kerja: model yang jelas dan ringkas, 2) Perasaan: menceritakan
pengalaman apa yang terjadi dalam terapi termasuk gambaran besar
pengobatan, 3) Kebebasan: kesempatan untuk berlatih dilingkungan yang
aman tidak menghakimi dengan banyak umpan balik dan kesempatan
untuk mengeksplorasi, mengalami, membuat kesalahan, dan
mencerminkan.

8.4 Komplenter
Terapi psikoreligius yaitu suatu perlakuan dan pengobatan yang
ditujukan kepada penyembuhan suatu penyakit mental, kepada setiap
individu, dengan kekuatan batin atau rohani, yang berupa ritual
keagamaan bukan pengobatan dengan obatobatan. Pendekatan spiritual
dikalangan rumah sakit perlu dilaksanakan dengan mendatangkan
rohaniawan ke rumah sakit secara berkala dan mendoakan penyembuhan.
Komitmen seseorang terhadap agama menunjukkan peningkatan taraf
kesehatan jiwa , seperti pada kegiatan keagamaan/ibadah dapat
menurunkan gejala psikiatrik. Sehingga religiusitas mampu mencegah
dan melindungi diri dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan
meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan. Psikoreligius tidak
diarahkan untuk merubah agama klien tetap menggali sumber koping.
(Yosep, 2007)
10. Dokumentasi keperawatan
Dokumentasi keperawatan pada catatan perkembangan perawatan sangat
penting dilakukan perawat. Dokumen ini merupakan bukti tertulis asuhan
keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dokumen ini jga
merupakan media komunikasi antara perawat maupun perawat- tenaga
kesehatan lainnya sebagai pertimbangan perencanaan tindakan selanjutnya
(Wuryaningsih, Windarwati, Dewi, Deviantony & Hadi, 2018).
Psikopatologi Berduka Disfungsional

Usia produktif baik


Riwayat Penyakit Fisik,
pria/wanita
trauma/cedera Riwayat pengguna
Kehilangan NAPZA
Beberapakali dirawat dirumah sakit Pendidikan/Pekerjaan
dan mengharuskan control rutin
Perubahan peran, Perubahan Hormon dan
perunahan ekonomi Neurotransmiter
Perubahan hormone dan neuro
transmiter
Merasa Kehilangan karena
Sedih, kehilangan,
perubahan kehidupan merasa tidak berguna
Keseimbangan
Neurotransmiter terganggu Kekurangan dukungan
keluarga, teman Perubahan
Penurunan kadar serotonin suasana hati
TRI ANGGEL
TERAPI
Logo
Perubahan suasana hati
Therapy
CT (Cognitive
Merasa sedih, berduka Therapy)
dan kehilangan
Supportive
Terapi
Depresi
Berduka Kompleks

Muncul keluhan fisik


(asimtomatik)
AT

(Asertive
Kolaborasi Therapy)
pemberian
CBT
farmakoterapi
(Kognitif
Behavior
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L,M., Zainuri, I., Akbar,A. (2016). Buku Ajar Kesehatan Jiwa. Yogyakarta :
Indomedika Pustaka.

Bastaman, H, D. (2007). Logoterapi : psikologi untuk menemukan makna hidup dan


meraih hidup bermakna. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Chintya, HYF., Senior, C., Russel, T., Weinbegger, D., Murra, R. (2003).
Neuroimaging in Psychiatry. London : Martin Dunitz.

Domes G, Heinrichs M, Michel A, Berger C, Herpertz SC. Oxytocin improves “mind-


reading” in humans. Biol Psychiatry 2007b;61:731–3.

Delalibera M et al. (2015). Family dynamics during the grieving process: a systematic
literature review. Ciencia & saude coletiva. April 2015. DOI: 10.1590/1413-
81232015204.09562014.

Dayez, R.A.-S., Zech, E., Mac Cord, J., & Taverne, C. (2016). Daily life stressors and
coping strategies during widowhood: A diary study after one year of
bereavement. Death Studies, 40(8), 461–478.
doi:10.1080/07481187.2016.1177750
Fiore, J. (2019). A Systematic Review of the Dual Process Model of Coping With
Bereavement (1999–2016). OMEGA Journal of Death and Dying,
003022281989313. doi:10.1177/0030222819893139

Fahrizal, et al., Changes in The Signs, Symptoms, and Anger Management of Patients
with a Risk of Violent Behavior. JKI, Vol. 23, No. 1, March 2020, 1–14 . DOI:
10.7454/jki.v23i1.598

FIK UI. (2016). Modul Keperawatan Jiwa. Workshop Keperawatan Jiwa ke-X, Depok.
23 Agustus 2016 Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
FIK UI. (2016). Standart Asuhan Keperawatan Jiwa. Workshop Ke.perawatan Jiwa ke-
X, Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia

Gershon, E.S. (2013). Genetic Approaches to Mental Disorders. American Psychiatric


Press, Washington.

Heinrichs M, Baumgartner T, Kirschbaum C, Ehlert U. Social support and oxytocin


interact to suppress cortisol and subjective responses to psychosocial stress.
BiolPsychiatry 2003;54:1389–9

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2015). NANDA International nursing diagnoses:


definitions & classification, 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2018). NANDA International nursing diagnoses:
definitions & classification, 2018-2020. Oxford: Wiley Blackwell.
Howarth. R.A. (2011). Concepts and Controversies in Grief and Loss. Journal of Mental
Health Counseling, 33(1), 4–10.
Keliat, B.A & Pawirowiyono, A. (2016). Keperawatan jiwa: terapi aktivitas kelompok,
Ed. 2. Jakarta: EGC Pe erbit Buku Kedokteran.
Kendler, K.(2005). A gen for.. the nature of gene action in psychiatric disorders. Am J
Psychiatric 162:124

Keyes, K.M., Pratt, C., Galea, S., McLaughlin, K.A. (2014). The burden of loss:
Unexpected death of a loved one and psychiatric disorders across the life
course in a national study. Am J Psychiatry, 171(8), 864–871.
Kolubinski, D. C., Frings, D., Nikcevic, A. V., Lawrence, J. A., & Spada, M. M. (2018).
A systematic review and meta-analysis of CBT interventions based on the
Fennell model of low self-esteem. Psychiatry Research, 267, 296–305.
doi:10.1016/j.psychres.2018.06.025.
Klass, D. (2006). Continuing Conversation about Continuing Bonds. Death Studies,
30(9), 843–858. doi:10.1080/07481180600886959
Lewis, Dirksen. 2011. Medical Surgical Nursing Assessment and Management of
Clinical Problems. United States of America: Elsevier Mosby.
Lund, D., Caserta, M., Utz, R., & De Vries, B. (2010). Experiences and early coping of
bereaved spouses/partners in an intervention based on the dual process model
(dpm). Omega, 61(4), 291–313. https://doi.org/10.2190/OM.61.4.c

Morin, A. (2019). What Is Dysphoria?. Article verywell mind


https://www.verywellmind.com/what-is-dysphoria-4588634

Mashall H. (2011). Logoterapi: pemaknaan hidup. Jakarta : EGC


Neimeyer, R. A., & Harris, D. (2016). Bereavement and Grief. Encyclopedia of Mental
Health, 163–169. doi:10.1016/b978-0-12-397045-9.00175-0

Okan, N., Eksi, H. (2017). Spirituality in logotherapy. Spiritual Psichology and


Counseling. DOI 10.12738/spc.2017.2.0028 -2017 August 2(2)143–164.
Peedicayil, P. (2014). A Brief History of Epigenetics in Psychiatry. Department of
Pharmacology and Clinical Pharmacology. Christian Medical College, Vellore,
India. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-417114-5.00003-6

PPNI. (2016). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia: definisi dan indikator


diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Rochmawati, DH., Febriana, B., Nugroho, PA. (2013). Pengaruh Logoterapi terhadap
Konsep Diri dan Kemampuan Memaknai Hidup pada NarapidanaRemaja di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Semarang. Universitas Islam Sultan Agung
Semarang, Kampus Unissula, Semarang, Indonesia.
Renzi, C., Provenca., Bassil, KC., Evers, K., Kihlbom, EJ., Kpupil, I., Myhsok, BM,
Hanson MG, Rutten, BPF. (2018). From Epigenetic Associations to Biological
and Psychosocial in Mental Health. Progress in Molecular Biology and
Translational Science. ISSN 1877-117.
https://doi.org/10.1016/bs.pmbts.2018.04.011

Rochelle Perper, Ph.D. (2015).Worden’s Four Tasks of Grieving.


https://therapychanges.com/blog/2015/05/review-wordens-four-tasks-of-
grieving/

Saphire-Bernstein, S., Way, B. M., Kim, H. S., Sherman, D. K., & Taylor, S. E. (2011).
Oxytocin receptor gene (<em>OXTR</em>) is related to
psychological resources. Proceedings of the National Academy of Sciences,
108(37), 15118. doi: 10.1073/pnas.1113137108.

Richardson, V. (2010). The dual process model of coping with bereavement: A decade
later. Omega: Journal of Death and Dying, 61, 269–271.

Santrock, J. W. (2012). Life-span development: Perkembangan masa hidup.


(Widyasinta, B., terj). Edisi 13, Jilid 2. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.

Stroebe, M. S. & Schut, H. A. W. (2016). Overload: A missing link in the dual process
model?. OMEGA-Jornal of Death and Dying, 74(1), 96-109. doi:
10.1177/0030222816666540.

Sadock, B.J., & Sadock, V.A. (2013). Buku ajar psikiatri klinis edisi 2. Jakarta: EGC.
Sadowsky, Michael. (2017). Grief as a Skill. Retrieved from Sophia, the St. Catherine
University repository website: https://sophia.stkate.edu/msw_papers/787
Summers, R. F., & Barber, J. P. (2015).Practicing psychodynamic therapy: A casebook.
New York: The guilford press.
Smith, S.S. (2014). Traumatic loss in low-income communities of color. Focus, 31(1),
32–34.
Sonmez, N., Hagen, R., Andreassen, O. A., Romm, K. L., Grande, M., Jensen, L. H.,
Rossberg, J. I. (2014). Cognitive Behavior Therapy in First-Episode Psychosis
With a Focus on Depression, Anxiety, and Self-Esteem. Cognitive and
Behavioral Practice, 21(1), 43–54. doi:10.1016/j.cbpra.2013.06.001.
Stuart, G. W. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing. China: Elsevier.

Stuart, G. W., Budi, A.K., Jesika, P. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan
Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi Indonesia: Elsevier.

Subandi., Udi W. (2018). Effect of Family psychoeducation on Low Self-Esteem and


Neglect of the Elderly at Ciseeng, Bogor Regency. Proceeding of The 1st
International Conference on Interprofesional Health Collaboration an
Community Empowerment.
Sutejo. (2019). Keperawatan jiwa : konsep dan praktik asuhan keperawatan kesehatan
jiwa : Gangguan Jisa Psikososial. Yogyakarta : Pustaka Baru.
Taormina, & Gao. (2013). Maslow and the Motivation Hierarchy: Measuring
Satisfaction of the Needs. The American Journal of Psychology, 126(2), 155.
doi:10.5406/amerjpsyc.126.2.0155

Tasman, A, Kay, J, Lieberman, J,A, First, M.B, Maj, M. (2009). Psychiatry. John
Wiley and Sons, New York.

Torrente, M. P., Gelenberg, A. J., & Vrana, K. E. (2012). Boosting serotonin in the
brain: is it time to revamp the treatment of depression?. Journal of
psychopharmacology (Oxford, England), 26(5), 629-635. doi:
10.1177/0269881111430744

Terranova, J (2018). Grief Theories Series: Berger’s Identities Of Grievers.


https://www.frazerconsultants.com/2018/03/grief-theories-series--bergers-
identities-of-grievers/
Teranova, J. (2018). Grief Theories Series: Parkes And Bowlby’s Four Phases Of Grief.
Article Frzer Grief and Los. https://www.frazerconsultants.com/2018/03/grief-
theories-series-parkes-and-bowlbys-four-phases-of-grief/

Teranova, J. (2018). Grief Theories Series: Rando’s Six R Process Of Mourning. Article
Frzer Grief and Los. https://www.frazerconsultants.com/2018/03/grief-
theories-series-randos-six-r-process-of-mourning/

TsankovaJ, et al. (2007). Epigenetik regulation in psychiatric disorder, Nat rev


Neurosci 8 :355.

Tsuang, D. (2005). Schizophrenia: Genes and Environment. Biology of Psychiatry


47(3):210-220

Townsend, M. (2018). Psychiatric mental health nursing: concept of care in evidence-


base practice. Philadelphia: F.A. Davix Company.

Videback, S. L. (2020). Psychiatric-mental health nursing. Philadelphia: Lippincott


williams & Wilkins.
Wuryaningsih, E W., Windarwati, HD., Dewi, EI., Deviantony, F., Hadi, E. (2018).
Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember : UPT Percetakaan & penerbitan
Universitas Jember.

Yusuf, A., Fitryasari, R & Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Yosep, I., Sutini, T. (2016). Buku ajar keperawatan jiwa dan advance health mental
nursing. Bandung :Refika Aditama.

Annie Perng, MSN, AGNP-C, And Susan Renz, Phd, GNP-BC, Identifying And Treating
Complicated Grief In Older Adults Www.Npjournal.Org The Journal For
Nurse Practitioners – JNP 2017

Rachel S. Newson a, Paul A. Boelen d, Karin Hek a,b


, Albert Hofman a, Henning
Tiemeie, The prevalence and characteristics of complicated grief in older
adults Journal of Affective Disorders journal homepage: www.elsevier.
com/locate/j ad Corresponding author at: Department of Epidemiology,
Erasmus University Medical Centre, PO Box 2040, 3000 CA Rotterdam,
The Netherlands. Tel.: +31 10 7043482; fax: +31 10 7044657. E-mail
address: h.tiemeier@erasmusmc.nl (H. Tiemeier).

Tina M. Mason, MSN, ARNP, AOCN, AOCNS; Cindy S. Tofthag Complicated Grief of
Immediate Family Caregivers A Concept Analysis Advances in Nursing
Science Vol. 42, No. 3, pp. 255–265 Copyright c 2019 Wolters Kluwer Health,
Inc. All rights reserved

Anne Dodd, Suzanne Guerin, Susan Delaney, Philip


Dodd Complicated grief: Knowledge, attitudes, skills and
training of mental health professionals: A systematic review
PII: S0738-3991(17)30139-8 DOI:
http://dx.doi.org/doi:10.1016/j.pec.2017.03.010
Reference: PEC 5613 To appear in: Patient Education and
Counseling Received date: 11-11-2016 Revised date: 28-2-
2017 Accepted date: 5-3-2017
M. Rodríguez-Álvaro , P. R. Brito-Brito, A. M. García-Hernández, A. Aguirre-Jaime,
and D. A. Fernandez-Gutierrez The Grieving Nursing Diagnoses in the
Primary Healthcare Setting C 2018 NANDA International, Inc. International
Journal of Nursing Knowledge Volume 30, No. 1, January 2019

Maarten C. Eisma, Margaret S. Stroebe Emotion Regulatory Strategies in Complicated


Grief: A Systematic Review PII: S0005-7894(20)30054-X DOI:
https://doi.org/10.1016/j.beth.2020.04.004 Reference: BETH 991
To appear in: Behavior Therapy Received date: 30 August 2019
Accepted date: 8 April 2020

Anda mungkin juga menyukai