Anda di halaman 1dari 61

LTM

“ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUT PADA POPULASI KHUSUS :


ANAK, REMAJA DAN PSIKOGERIATRI”

Oleh :
Nadya Karlina Megananda
(196070300111005)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020

RINGKASAN
A. Konsep Dasar
1. Konsep Dasar Anak
1) Pengertian
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-undang No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menjelaskan
bahwa, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun dan
termasuk anak yang masih didalam kandungan, yang berarti segala
kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap anak sudah
dimulai sejak anak tersebut berada didalam kandungan hingga berusia
18 tahun (Damayanti,2008)
Anak diartikan seseorang yang berusia kurang dari delapan belas
tahun dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus, baik
kebutuhan fisik, psokologis, sosial, dan spiriual (Hidayat, 2012). Anak
adalah antara usia 0-14 tahun karena diusia inilah risiko cenderung
menjadi besar (WHO, 2019).
Manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan dimulai dari
lahir, bayi tumbuh menjadi anak, remaja, melalui masa dewasa, tua
sampai akhirnya meninggal dunia. Selama perjalanan dari bayi,
seorang anak akan melalui titik kritis perkembangan yang timbul di
setiap tahap perkembangannya. Titik kritis akan menentukan berhasil
tidaknya anak mencapai tugas perkembangan pada tahap yang
bersangkutan. Titik kritis ini menentukan apakah anak mampu
bertahan dan melanjutkan perkembangan secara progresif atau anak
akan mengalami stagnasi perkembangan prekoks.
Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak
merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari
bayi (0-1 tahun) usia bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-
5), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini
berada antara anak satu dengan yang lain mengingat latar belakang
anak berbeda. Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan
perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses
perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola
koping dan perilaku sosial. Ciri fisik adalah semua anak tidak
mungkin pertumbuhan fisik yang sama akan tetapi mempunyai
perbedaan dan pertumbuhannya. Demikian juga halnya perkembangan
kognitif juga mengalami perkembangan yang tidak sama. Adakalanya
anak dengan perkembangan kognitif yang cepat dan juga adakalanya
perkembangan kognitif yang lambat. Hal tersebut juga dapat
dipengaruhi oleh latar belakang anak. Perkembangan konsep diri ini
sudah ada sejak bayi, akan tetapi belum terbentuk secara sempurna
dan akan mengalami perkembangan seiring dengan pertambahan usia
pada anak. Demikian juga pola koping yang dimiliki anak hamper
sama dengan konsep diri yang dimiliki anak. Bahwa pola koping pada
anak juga sudah terbentuk mulai bayi, hal ini dapat kita lihat pada saat
bayi anak menangis.Salah satu pola koping yang dimiliki anak adalah
menangis seperti bagaimana anak lapar, tidak sesuai dengan
keinginannya, dan lain sebagainya. Kemudian perilaku sosial pada
anak juga mengalami perkembangan yang terbentuk mulai bayi. Pada
masa bayi perilaku social pada anak sudah dapat dilihat seperti
bagaimana anak mau diajak orang lain, dengan orang banyak dengan
menunjukkan keceriaan. Hal tersebut sudah mulai menunjukkan
terbentuknya perilaku social yang seiring dengan perkembangan usia.
Perubahan perilaku social juga dapat berubah sesuai dengan
lingkungan yang ada, seperti bagaimana anak sudah mau bermain
dengan kelompoknya yaitu anak-anak (Azis, 2005).
2) Tahap Perkembangan Anak
a. Dasar kepercayaan (basic trust) vs ketidakpercayaan (mistrust)
(0–1,5 tahun).
Bayi sejak dilahirkan dan mulai kontak dengan dunia luar sangat
bergantung pada oranglain dan lingkungannya. Ia mengharapkan
mendapatkan rasa aman dan rasa percaya padalingkungan,
terutama ibunya sebagai perantara dengan lingkungan luar.
Apabila hubunganorang tua dengan bayi berjalan dengan baik,
maka rasa percaya (trust) terhadap lingkungandapat berkembang
dengan baik, dan sebaliknya. Bayi menggunakan mulut dan
pancainderasebagai alat untuk berhubungan dengan dunia luar.
Gangguan yang mungkin timbul pada anak usia ini antara lain
seperti sulit makan(setelah usia 6 bulan), iritabilitas,
takut/cemas, dan ingin selalu melekat pada ibu. Adanyatingkat
bergantung yang kuat dapat diinterpretasikan sebagai kurang
berkembangnya dasarkepercayaan dan menjadi faktor
predisposisi dalam menimbulkan kelainan jiwa sepertidepresi,
skizofrenia, dan adiksi.
b. Otonomi (autonomy) vs malu dan ragu (shame and doubt) (1,5
tahun).
Anak pada usia 1,5 tahun tumbuh dan berkembang sejalan
dengan kemampuan alat gerak, dandidukung rasa kepercayaan
dari ibu dan lingkungan, maka tumbuh kesadaran bahwa
dirinyadapat bergerak dan ingin mendapatkan kepuasan gerak
sehingga anak berbuat sesuai dengankemauannya. Pada usia ini
berkembang rasa otonomi diri bahwa dirinya dapat
menolakataupun memberi sesuatu pada lingkungannya sesuai
dengan keinginannya tanpa dipengaruhiorang lain. Kemampuan
ini penting sebagai dasar membentuk keyakinan yang kuat dan
hargadiri seorang anak di kemudian hari. Saat berhubungan
dengan orang lain, anak cenderungegosentrik.
Lingkunganpun berperan dalam membentuk kepribadian anak,
sehingga gangguan pada masa ini menyebabkan anak menjadi
pemalu, ragu-ragu, dan cenderung memberipengekangan pada
diri. Gangguan jiwa yang mungkin timbul yaitu kemarahan,
sadistik, keras kepala, menentang, agrasi, enkopersis, enuresis,
obsesi kompulsif, dan paranoid.
c. Inisiatif (initiative) vs rasa bersalah (guilt) (3–6 tahun).
Tahap ketiga anak belajar cara mengendalikan diri dan
memanipulasi lingkungan. Rasa inisiatifmulai timbul menguasai
anak, tetapi lingkungan mulai menuntut anak untuk melakukan
tugas tertentu. Anak akan merasa bahwa dirinya adalah bagian
dari lingkungannya daningin diikutsertakan sebagai seorang
individu yang mempunyai peran. Adanya keterbatasanseorang
anak dalam memenuhi tuntutan lingkungan akan menimbulkan
rasa kecewa danrasa bersalah. Hubungan ibu, ayah, dan anak
sangat penting karena akan menjadi dasarkemantapan identitas
diri. Selain itu, anak mulai membentuk peran sesuai jenis
kelamin yangwajar, serta mencoba berlatih mengintegrasikan
peran sosial dan tanggung jawab. Hubungandengan teman
sebaya atau saudara akan cenderung untuk menang sendiri.
Gangguan yang mungkin timbul pada masa ini adalah kesulitan
belajar, masalah disekolah, pergaulan dengan teman-teman,
serta anak menjadi pasif, takut, dan mungkinterjadi neurosis
d. Kerja keras (industry) vs inferioritas (inferiority) (7–11 tahun).
Anak mulai mengenal lingkungan yang lebih luas, yaitu sekolah.
Anak dihadapkan padakeadaan yang menuntut untuk mampu
menyelesaikan suatu tugas dan perbuatan hinggamenghasilkan
sesuatu. Hubungan ibu-ayah-anak mulai berakhir dan anak siap
meninggalkanrumah dan orang tua dalam waktu terbatas untuk
pergi ke sekolah. Anak mulai merasakansifat kompetitif,
mengembangkan sikap saling memberi dan menerima, serta
setia kawan danberpegangan pada aturan yang berlalu.
Gangguan yang mungkin timbul pada masa ini adalah rasa
kekurangan pada diri,merasa tidak mampu, rasa inferior,
gangguan pada prestasi belajar, dan takut berkompetisi.

e. Identitas (identity) vs difusi peran (role diffusion) (12–18


tahun).
Anak mengalami banyak perubahan dan perkembangan dalam
berbagai aspek. Secara fisik,anak merasa sudah dewasa karena
pertumbuhan badan yang pesat, tetapi secara psikososialanak
belum memiliki hak-hak seperti orang dewasa. Pada masa ini
juga dikenal sebagai masastandardisasi diri karena anak
berusaha mencari identitas diri dalam hal seksual, umur,
danjenis kegiatan.Lingkungan memberikan pengaruh utama
dalam pembentukan jiwa anak remaja.Peran orang tua sebagai
sumber perlindungan dan sumber nilai utama mulai berkurang
dananak lebih senang mendapatkannya dari lingkungan luar.
Anak lebih memilih berkelompokuntuk bereksperimen dengan
peranannya untuk menyalurkan ekspresi. Anak akancenderung
memilih orang dewasa yang lebih penting untuk mereka jadikan
sebagai bantuandi saat yang kritis.
3) Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang
Aspek tumbuh kembang pada anak dewasa ini adalah salah satu aspek
yang diperhatikan secara serius oleh para pakar, karena hal tersebut
merupakan aspek yang menjelaskan mengenai proses pembentukan
seseorang, baik secara fisik maupun psikososial. Namun, sebagian
orang tua belum memahami hal ini, terutama orang tua yang
mempunyai tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang relatif
rendah. Mereka menganggap bahwa selama anak tidak sakit, berarti
anak tidak mengalami masalah kesehatan termasuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Sering kali para orang tua mempunyai pemahaman
bahwa pertumbuhan dan perkembangan mempunyai pengertian yang
sama ( Nursalam, 2005).
a. Faktor Mikrokosmos
Faktor mikrokosmos adalah faktor yang ada dalam diri anak,
seperti kondisi genetika danberbagai masalah intrauterin.
Kondisi genetika ditentukan oleh komposisi kromosom,
yangakan memengaruhi identitas gender, kecenderungan
perlakuan berikutnya, dan pewarisansifat orang tuanya. Masalah
intrauterin meliputi usia (ibu atau janin), nutrisi, obat-
obatanyang dikonsumsi ibu, radiasi, dan berbagai komplikasi
kehamilan lainnya
a) Genetik
Terdiri dari 1) Komposisi kromosom: Komposisi
kromosom XX akan menjadi seorang pria dengan berbagai
sifatnya. Stimulasi pertumbuhan dan perkembanganpun
disesuaikan dengan sifat gender yang ada. XY akan
menjadi sorang wanita dengan berbagai sifatnya.
Meskipun jarang, terkadang ditemukan komposisi
kromosom XXY atau XYY. 2) Identitas gender: adalah
ciri sifat yang ditentukan oleh komposisi kromosom pria
atauwanita.3) Kecenderungan perlakuan: adalah bentuk
perlakuan yang ditampilkan orang tua dan
anggota keluarganya terkait kondisi anak. 4). Mewariskan
sifat Pewarisan sifat orang tua kepada anak disampaikan
melalui komposisi kromosom kedua orang tua mulai saat
pembuahan sampai perkembangan pembelahan
berikutnya.
b) Masalah Intrauterin
Berbagai masalah dalam kandungan antara lain usia baik
ibu maupun usia janin, nutrisi ibuselama hamil, berbagai
obat yang konsumsi ibu selama hamil, radiasi, atau
berbagai komplikasikehamilan lainnya.Usia ibu yang
paling ideal untuk hamil dan siap melahirkan anak adalah
umur 25sampai 35 tahun. Sebelum atau sesudah itu perlu
dipertimbangkan kesiapan fisik organreproduksi dan
kesiapan mental untuk mengandung, melahirkan, serta
mengasuh anak.

b. Faktor Makrokosmos
Faktor makrokosmos merupakan faktor luar dari anak yang juga
akan memengaruhipertumbuhan perkembangan. Faktor tersebut
meliputi pola asuh yang dilakukan ayah, ibu,saudara, atau teman
di lingkungannya.
a) Asuhan Lingkungan
Ayah, ibu, saudara, dan teman lebih sering mendidik anak
seperti keinginannya. pola asuh orang tua harus tetap
mengajarkan strategi kehidupan yang akurat untuk
menghadapi tantangan pada zamannya anak. Berikan
gambaran (figur) orang tua dalam menghadapi kehidupan.
b) Lingkungan
Lingkungan dengan berbagai macam keadaannya
menuntut anak mampu beradaptasi,serta membandingkan
dengan ajaran yang telah diperoleh atau dipelajari dari
rumah untuk dikembangkan dalam lingkungan sosial.
Lingkungan adalah mediator dan fasilitator dalam
pembentukan perilaku anak

4) Gangguan Jiwa pada Anak


Gangguan jiwa yang lazim terjadi pada usia anak lebih banyak
berbentuk gangguan perilaku akibat gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Psikotik jarang terjadi pada anak, kalaupun ada
jumlahnya sangat jarang.
Berikut adalah beberapa gangguan yang sering terjadi pada masa anak
menurut DSM IV. Di antara sekian banyak bentuk gangguan di bawah
ini, kasus yang paling sering timbul dan menimbulkan permasalahan
bagi orang tua adalah gangguan hiperaktif, autisme, dan retardasi
mental. Meskipun demikian, beberapa gangguan lain juga merupakan
masalah berat yang harus dihadapi orang tua.
a. Gangguan Retardasi Mental
Adalah fungsi intelektual di bawah angka 7, yang muncul
bersamaandengan kurangnya perilaku adaptif, serta kemampuan
beradaptasi dengan kehidupan social sesuai tingkat
perkembangan dan budaya (Yusuf & Fitriyasari, 2015).
a) Ciri pertumbuhan dan perkembangan retardasi mental
 Umur 0–5 tahun (pematangan dan perkembangan).
Dapat mengembangkan keterampilan sosial dan
komunikasi, keterbelakangan minimaldalam bidang
sensoris motorik. Anak yang mengalami retarditasi
mental sering tidak dapat dibedakan dari normal
hingga usia lebih tua.
 Umur 6–20 tahun (latihan dan pendidikan).
Dapat belajar keterampilan akademik sampai kira-
kira kelas 6 pada umur belasan tahun(dekat umur 20
tahun), serta dapat dibimbing ke arah konformitas
sosial.
 Masa dewasa, yaitu 21 tahun atau lebih (kecukupan
sosial dan pekerjaan).
Biasanya dapat mencapai keterampilan sosial dan
pekerjaan yang cukup untuk mencarinafkah, tetapi
memerlukan bimbingan dan bantuan bila mengalami
stres sosial ekonomiyang luar biasa.
b) Etiologi
Menurut Maramis (2010), faktor penyebab retardasi
mental yaitu sebagai berikut: Faktor genetik, Faktor
prenatal (infeksi dan penyalahgunaan obat selamaibu
mengandung), Faktor perinatal (luka-luka pada saat
kelahiran, sesak napas, premature), Faktor pascanatal
(meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis, dan infeksi
pada bagian tubuh lain yangmenahun), Rudapaksa
(trauma) dan/ sebab fisik lain, Gangguan metabolisme,
pertumbuhan, atau gizi.
c) Karakteristik
Menurut Somantri (2007), beberapa karakteristik anak
retardasi mental sebagai berikut: Keterbatasan kecerdasan,
Keterbatasan sosial, Keterbatasan fungsi mental lainnya.
Sedangkan menurut Delphie (2005) antara lain
mempunyai pola perkembangan perilaku yang tidak sesuai
dengan kemampuan potensialnya.mempunyai kelainan
perilaku maladaptif, yangberkaitan dengan sifat agresif
secara verbal atau fisik, perilaku yang suka menyakitidiri
sendiri, terhambatnya perkembangan gerak, tingkat
pertumbuhan yang tidak normal, kecacatan sensori,
kelainan penyerta serebral palsi, kelainan saraf otot, tidak
mempunyai kemampuan.
d) Masalah keperawatan yang timbul
 Risiko mutilasi diri sendiri berhubungan dengan
gangguan neurologis.
 Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan
gangguan neurologis.
 Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan
stimulasi sensor yang kurang,menarik diri.
 Gangguan identitas diri berhubungan dengan
stimulasi sensori yang kurang.
e) Intervensi
 Pencegahan Primer
Dengan dilakukan pendidikan kesehatan pada
masyarakat, perbaikan keadaan sosial ekonomi,
konseling genetik, dan tindakan kedokteran,
misalnya perawatan prenatal, pertolongan
persalinan, pengurangan kehamilan pada wanita
adolesen dan di atas usia 40 tahun, serta pencegahan
radang otak pada anak-anak.
 Pencegahan Sekunder
Meliputi diagnosis dan pengobatan dini pada
keadaan yang menyebabkan terjadinya retardasi
mental.
 Pencegahan Tertier
Meliputi latihan dan pendidikan di sekolah luar
biasa, obat-obatan neuroleptika, serta obatyang dapat
memperbaiki mikrosirkulasi dan metabolisme otak.
b. Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)
Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) merupakan
gangguan perilaku yangditandai oleh rentang perhatian yang
buruk dan tidak sesuai dengan perkembangan atau ciri
hiperaktivitas dan impulsif atau keduanya yang tidak sesuai
dengan usia (Kaplan dan Sandock,2007).ADHD memiliki tiga
ciri utama yaitu:tidak mampu memusatkan perhatian, kesulitan
mengendalikan impuls, hiperaktivitas
a) Etiologi
Faktor genetic, Faktor biokimia (dopamin, norefineprin,
serotonin), Kerusakan otak, Faktor prenatal (ibu merokok
saat hamil, keracunan, alkohol), Perinatal (fetal distres,
asfiksia), Postnatal (kejang, CNS abnormalitas), Zat
makanan (pengawet), Faktor lingkungan dan psikososial
(stres, gangguan jiwa pada ibu saat mengandung,
kemiskinan, besar di penjara).
b) Tanda dan Gejala
 Perhatian Kurang (inattention):
Sering gagal dalam memberikan perhatian secara
mendetail, Sering mengalami kesulitan dalam
memberikan perhatian pada tugas atau aktivitas
bermain, Sering tampak tidak memperhatikan jika
berbicara secara langsung, Sering tidak mengikuti
instruksi dan gagal menyelesaikan tugas, Sering
mengalami kesulitan dalam menyusun tugas, Sering
menolak dan tidak menyukai dalam tugas yang
memerlukan usaha mengendalian mental, Sering
kehilangan hal-hal yang diperlukan untuk aktivitas,
Sering mudah dikacaukan dengan stimulus lain,
Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari
 Hiperaktif (Hyperactive)
Sering gelisah dan duduk tidak tenang, Sering
meninggalkan tempat duduk di ruang kelas, Sering
lari-lari atau memanjat pada keadaan yang tidak
semestinya, Sering mengalami kesulitan dalam
aktivitas bermain atau melakukan aktivitas
dengantenang, Sering bertindak seolah-olah sedang
mengemudikan motor, Sering berbicara secara
berlebihan,
 Impulsif (Impulsive)
Sering berkata tanpa berpikir dalam menjawab
sebelum pertanyaan selesai, Sering mengalami
kesulitan dalam menunggu giliran, Sering menyela
atau mengganggu orang lain
c) Masalah keperawatan yang timbul pada anak adhd
 Risiko cedera berhubungan dengan impulsivitas,
ketidakmampuan mendeteksi bahaya.
 Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan
perilaku immatur.
 Harga diri rendah berhubungan dengan sistem
keluarga yang disfungsi/umpan balik negative
d) Tindakan Keperawatan Pada Anak ADHD
Tindakan keperawatan disesuaikan dengan masalah
keperawatan yang timbul. Secara umum,terapi yang
diberikan adalah farmakoterapi, psikoterapi, terapi
perilaku, dan bimbinganbelajar. Fokus pemberian terapi
diutamakan untuk memperbaiki fungsi keluarga,
fungsisosial, dan mengurangi agresivitas.
Tindakan yang dapat dilakukan pada anak selain dari yang
disebutkan diatas yaitu obat-obatan untuk meningkatkan
funsi otak, pelatihan ketrampilan social.
c. Autisme
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang
autisme seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Istilah
autisme baru diperkenalkan oleh Leo Kanner sejak tahun 1943
(Handojo, 2008). Autisme bukan suatu gejala penyakit, tetapi
berupa sindroma (kumpulan gejala) yang terjadi penyimpangan
perkembangan sosial, kemampuan berbahasa, dan kepedulian
terhadap sekitar (Yatim, 2003). Menurut kamus psikologi,
pengertian dari autisme adalah anak dengan kecenderungan
diam dan suka menyendiri yang ekstrem. Anak autisme bisa
duduk dan bermain berjam-jam lamanya dengan jemarinya
sendiri atau dengan serpihan kertas, serta tampaknya mereka itu
tenggelam dalam satu dunia sendiri.
a) Penyebab autism
Autisme dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.
Faktor internal meliputi genetik, psikologis, neorobiologis,
prenatal, natal, infeksi virus, dan trauma kelahiran.
Sementara aktor eksternalnya antara lain lingkungan
bahan kimia beracun, merkuri, timbal, kadmium, arsenik,
dan aluminium (Handojo, 2008).
b) Faktor Internal
 Faktor psikologis
Orang tua yang emosional, kaku, dan obsesif, yang
mengasuh anak mereka yang secara emosional atau
akibat sikap ibu yang dingin (kurang hangat).
 Neurobiologis
Kelainan perkembangan sel-sel otak selama dalam
kandungan atau sudah anak lahir dan menyebabkan
berbagai kondisi yang memengaruhi sistem saraf
pusat. Hal ini diduga karena adanya disfungsi dari
batang otak dan neurolimbik.
 Faktor genetik
Adanya kelainan kromosom pada anak autisme,
tetapi kelainan itu tidak berada pada kromosom yang
selalu sama. Ditemukan 20 gen yang terkait dengan
munculnya gangguan autisme, tetapi gejala autisme
baru bisa muncul jika kombinasi dari banyak gen.
 Faktor perinatal
Adanya komplikasi prenatal, perinatal, dan neonatal.
Komplikasi yang paling sering adalah perdarahan
setelah trimester pertama, fetal distress, dan
penggunaan obat tertentu pada ibu yang sedang
hamil. Komplikasi waktu bersalin, terlambat
menangis, gangguan pernapasan, dan anemia pada
janin.
c) Faktor eksternal
Faktor eksternal berasal dari lingkungan yaitu kontaminasi
bahan kimia beracun dan logamlogam berat berikut ini
(Yatim, 2003).
 Merkuri (Hg)
Logam berat merkuri merupakan cairan yang
berwarna putih keperakan. Paparan logam berat Hg
dapat berupa metyl mercury dan etyl mercury
(thimerosal) dalam vaksin. Merkuri dapat
memengaruhi otak, sistem saraf, dan saluran cerna.
Racun merkuri menyebabkan defisit kognitif dan
sosial termasuk kehilangan kemampuan berbicara
atau kegagalan untuk mengembangkan gangguan
memori, konsentrasi yang buruk,
kesulitan dalam mengartikan kata-kata dari berbagai
macam tingkah laku autisme.
 Timbal
Timbal dikenal sebagai neurotoksin yang diartikan
sebagai pembunuh sel-sel otak. Kadar timbal yang
berlebihan pada darah anak-anak akan memengaruhi
kemampuan belajar anak, defisit perhatian, dan
sindroma hiperaktivitas.
 Kadmium (Cd)
Kadmium merupakan bahan alami yang terdapat
pada kerak bumi. Logam berat ini murni berupa
logam. Logam berwarna putih perak lunak dapat
menyebabkan kerusakan sel membran sehingga
logam berat lain dipercepat atau dipermudah masuk
ke dalam sel.
 Arsenik (As)
Arsenik banyak digunakan pengusaha atau
kontraktor untuk membangun ruang bermain,
geladak kapal, atau pagar rumah. Arsenik dapat
diisap, ditelan, dan diabsorbsi lewat kontak kulit.
Arsenik dapat disimpan di otak, tulang, dan jaringan
tubuh, serta akan merusaknya secara serius.
Gejalanya yang berlangsung lambat dapat
menyebabkan diabetes dan kanker, juga dapat
menyebabkan stroke dan sakit jantung. Dalam
jangka lama dapat merusak liver, ginjal, dan susunan
saraf pusat.
 Aluminium (Al)
Keracunan aluminium adalah keadaan serius yang
terjadi bila mengabsorbsi sejumlah besar aluminium
yang sering disimpan di dalam otak. Pemaparan
aluminium didapatkan dari konsumsi aluminium dari
produk antasid dan air minum (panic aluminium).
Aluminium masuk ke tubuh lewat sistem digestif,
paru-paru, dan kulit sebelum masuk ke jaringan
tubuh.
2. Konsep Remaja
1) Konsep Remaja
a. Pengertian Remaja
Secara umum, definisi remaja berdasarkan penjelasan tersebut
yaitu seseorang dengan usia antara 10 – 19 tahun yang sedang
dalam proses pematangan baik itu kematangan mental,
emosional, sosial, maupun kematangan secara fisik. Adolesence
merupakan istilah dalam bahasa Latin yang menggambarkan
remaja, yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai
kematangan”. Adolescence sebenarnya merupakan istilah yang
memiliki arti yang luas yang mencakup kematangan mental,
sosial, emosional, dan fisik (Hurlock, 2010). WHO (2017)
mendefinisikan remaja sebagai masa tumbuh kembang manusia
setelah masa anak-anak dan sebelum masa dewasa dalam
rentang usia 10-19 tahun. Secara umum, definisi remaja
berdasarkan penjelasan tersebut yaitu seseorang dengan usia
antara 10 – 19 tahun yang sedang dalam proses pematangan baik
itu kematangan mental, emosional, sosial, maupun kematangan
secara fisik.
Tahap perkembangan remaja usia 12-18 tahun dimana pada saat
ini remaja harus mampu mencapai identitas diri meliputi peran,
tujuan pribadi, keunikan dan ciri khas diri. Bila hal ini tidak
tercapai maka remaja akan mengalami kebingungan peran yang
berdampak pada rapuhnya kepribadian sehingga akan terjadi
gangguan konsep diri (Keliat, Helena & Farida, 2011).
b. Teori yang Mendasari
Teori yang menjadi landasan utama untuk memahami tentang
perkembangan remaja ialah (Muhith, A., 2015):
a) Teori perkembangan
Memungkinkan perawat untuk mengidentifikasi
penyimpangan yang terjadi pada proses tumbuh kembang
remaja. Proses perkembangan identitas diri remaja
memerlukan self image (citra diri) juga hubungan antar
peran yang akan datang dengan pengalaman masa lalu.
Untuk mendapatkan kesinambungan remaja harus
mengulangi penyelesaian krisismasa lalu dengan
mengintegrasikan elemen masa lalu dan membina identitas
akhir. Periode krisis yang perlu ditinjau kembali ialah 1)
rasa percaya, konflik yang tidak terselesaikan pada tahap
pertama ini membuat remaja merasa ditinggalkan, ucapan
kasar dan bermusuhan. 2) rasa otonomi, remaja belajar
bertindak dan membuat keputusannya sendiri. 3) rasa
inisiatif, anak tidak lagi memntingkan bagaimana berjalan,
tetapi apa yang dapat dilakukan dengan kemampuan
tersebut.
b) Teori interaksi humanistik
Perawat perlu memperhatikan dampak tahapan
perkembangan, factor social budaya, pengaruh keluarga
dan konflik psikodinamika yang dimanifestasikan melalui
perilaku remaja.
c. Tahap Perkembangan Remaja
Menurut Sarwono (2006) ada 3 tahap perkembangan remaja
dalam proses penyesuaian diri menuju dewasa :
a) Remaja Awal (Early Adolescence)
Seorang remaja pada tahap ini berusia 10-12 tahun masih
terheran–heran akan perubahan-perubahan yang terjadi
pada tubuhnya sendiri dan dorongan - dorongan yang
menyertai perubahan - perubahan itu. Mereka
mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada
lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan
dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah
berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini
ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”.
Hal ini menyebabkan para remaja awal sulit dimengerti
orang dewasa.
b) Remaja Madya (Middle Adolescence)
Tahap ini berusia 13-15 tahun. Pada tahap ini remaja
sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senag kalau
banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan
“narastic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai
teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama
dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi
kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang
mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri,
optimis atau pesimis, idealis atau meterialis, dan
sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri
dari Oedipoes Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri
pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan
dengan kawan-kawan dari lawan jenis.
c) Remaja Akhir (Late Adolescence)
Tahap ini (16-19 tahun) adalah masa konsolidasi menuju
periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal
dibawah ini.
 Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi
intelek.
 Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan
orang-orang lain dan dalam pengalaman-
pengalaman baru.
 Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah
lagi.
 Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada
diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara
kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
 Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya
(private self) dan masyarakat umum (the public).
d. Karakteristik Perkembangan Remaja
Menurut Wong (2009), karakteristik perkembangan remaja
dapat dibedakan menjadi :
a) Perkembangan Psikososial
Teori perkembangan psikososial menurut Erikson dalam
Wong (2009), menganggap bahwa krisis perkembangan
pada masa remaja menghasilkan terbentuknya identitas.
Periode remaja awal dimulai dengan awitan pubertas dan
berkembangnya stabilitas emosional dan fisik yang relatif
pada saat atau ketika hampir lulus dari SMU. Pada saat ini,
remaja dihadapkan pada krisis identitas kelompok versus
pengasingan diri. Pada periode selanjutnya, individu
berharap untuk mencegah otonomi dari keluarga dan
mengembangkan identitas diri sebagai lawan terhadap
difusi peran. Identitas kelompok menjadi sanga penting
untuk permulaan pembentukan identitas pribadi. Remaja
pada tahap awal harus mampu memecahkan masalah
tentang hubungan dengan teman sebaya sebelum mereka
mampu menjawab pertanyaan tentang siapa diri mereka
dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat.
 Identitas kelompok
Selama tahap remaja awal, tekanan untuk memiliki
suatu kelompok semakin kuat. Remaja menganggap
bahwa memiliki kelompok adalah hal yang penting
karena mereka merasa menjadi bagian dari
kelompok dan kelompok dapat memberi mereka
status. Ketika remaja mulai mencocokkan cara dan
minat berpenampilan, gaya mereka segera berubah.
Bukti penyesuaian diri remaja terhadap kelompok
teman sebaya dan ketidakcocokkan dengan
kelompok orang dewasa memberi kerangka pilihan
bagi remaja sehingga mereka dapat memerankan
penonjolan diri mereka sendiri sementara menolak
identitas dari generasi orang tuanya. Menjadi
individu yang berbeda mengakibatkan remaja tidak
diterima dan diasingkan dari kelompok.
 Identitas Individual
Pada tahap pencarian ini, remaja
mempertimbangkan hubungan yang mereka
kembangkan antara diri mereka sendiri dengan
orang lain di masa lalu, seperti halnya arah dan
tujuan yang mereka harap mampu dilakukan di masa
yang akan datang. Proses perkembangan identitas
pribadi merupakan proses yang memakan waktu dan
penuh dengan periode kebingungan, depresi dan
keputusasaan. Penentuan identitas dan bagiannya di
dunia merupakan hal yang penting dan sesuatu yang
menakutkan bagi remaja. Namun demikian, jika
setahap demi setahap digantikan dan diletakkan pada
tempat yang sesuai, identitas yang positif pada
akhirnya akan muncul dari kebingungan. Difusi
peran terjadi jika individu tidak mampu
memformulasikan kepuasan identitas dari berbagai
aspirasi, peran dan identifikasi.
 Identitas peran seksual
Masa remaja merupakan waktu untuk konsolidasi
identitas peran seksual. Selama masa remaja awal,
kelompok teman sebaya mulai mengomunikasikan
beberapa pengharapan terhadap hubungan
heterokseksual dan bersamaan dengan kemajuan
perkembangan, remaja dihadapkan pada
pengharapan terhadap perilaku peran seksual yang
matang yang baik dari teman sebaya maupun orang
dewasa. Pengharapan seperti ini berbeda pada setiap
budaya, antara daerah geografis, dan diantara
kelompok sosioekonomis.
 Emosionalitas
Remaja lebih mampu mengendalikan emosinya pada
masa remaja akhir. Mereka mampu menghadapi
masalah dengan tenang dan rasional, dan walaupun
masih mengalami periode depresi, perasaan mereka
lebih kuat dan mulai menunjukkan emosi yang lebih
matang pada masa remaja akhir. Sementara remaja
awal bereaksi cepat dan emosional, remaja akhir
dapat mengendalikan emosinya sampai waktu dan
tempat untuk mengendalikan emosinya sampai
waktu dan tempat untuk mengekspresikan dirinya
dapat diterima masyarakat. Mereka masih tetap
mengalami peningkatan emosi, dan jika emosi itu
diperlihatkan, perilaku mereka menggambarkan
perasaan tidak aman, ketegangan, dan kebimbangan.
b) Perkembangan Kognitif
Teori perkembangan kognitif menurut Piaget dalam Wong
(2009), remaja tidak lagi dibatasi dengan kenyataan dan
aktual, yang merupakan ciri periode berpikir konkret;
mereka juga memerhatikan terhadap kemungkinan yang
akan terjadi. Pada saat ini mereka lebih jauh ke depan.
Tanpa memusatkan perhatian pada situasi saat ini, mereka
dapat membayangkan suatu rangkaian peristiwa yang
mungkin terjadi, seperti kemungkinan kuliah dan bekerja;
memikirkan bagaimana segala sesuatu mungkin dapat
berubah di masa depan, seperti hubungan dengan orang
tua, dan akibat dari tindakan mereka, misalnya
dikeluarkan dari sekolah. Remaja secara mental mampu
memanipulasi lebih dari dua kategori variabel pada waktu
yang bersamaan. Misalnya, mereka dapat
mempertimbangkan hubungan antara kecepatan, jarak dan
waktu dalam membuat rencana perjalanan wisata. Mereka
dapat mendeteksi konsistensi atau inkonsistensi logis
dalam sekelompok pernyataan dan mengevaluasi sistem,
atau serangkaian nilai-nilai dalam perilaku yang lebih
dapat dianalisis.
c) Perkembangan Moral
Teori perkembangan moral menurut Kohlberg dalam
Wong (2009), masa remaja akhir dicirikan dengan suatu
pertanyaan serius mengenai nilai moral dan individu.
Remaja dapat dengan mudah mengambil peran lain.
Mereka memahami tugas dan kewajiban berdasarkan hak
timbal balik dengan orang lain, dan juga memahami
konsep peradilan yang tampak dalam penetapan hukuman
terhadap kesalahan dan perbaikan atau penggantian apa
yang telah dirusak akibat tindakan yang salah. Namun
demikian, mereka mempertanyakan peraturan-peraturan
moral yang telah ditetapkan, sering sebagai akibat dari
observasi remaja bahwa suatu peraturan secara verbal
berasal dari orang dewasa tetapi mereka tidak mematuhi
peraturan tersebut.
d) Perkembangan Spiritual
Pada saat remaja mulai mandiri dari orang tua atau otoritas
yang lain, beberapa diantaranya mulai mempertanyakan
nilai dan ideal keluarga mereka. Sementara itu, remaja lain
tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ini sebagai elemen
yang stabil dalam hidupnya seperti ketika mereka berjuang
melawan konflik pada periode pergolakan ini. Remaja
mungkin menolak aktivitas ibadah yang formal tetapi
melakukan ibadah secara individual dengan privasi dalam
kamar mereka sendiri. Mereka mungkin memerlukan
eksplorasi terhadap konsep keberadaan Tuhan.
Membandingkan agama mereka dengan orang lain dapat
menyebabkan mereka mempertanyakan kepercayaan
mereka sendiri tetapi pada akhirnya menghasilkan
perumusan dan penguatan spiritualitas mereka.
e) Perkembangan Sosial
Untuk memperoleh kematangan penuh, remaja harus
membebaskan diri mereka dari dominasi keluarga dan
menetapkan sebuah identitas yang mandiri dari wewenang
orang tua. Namun, proses ini penuh dengan ambivalensi
baik dari remaja maupun orang tua. Remaja ingin dewasa
dan ingin bebas dari kendali orang tua, tetapi mereka takut
ketika mereka mencoba untuk memahami tanggung jawab
yang terkait dengan kemandirian
 Hubungan dengan orang tua
Selama masa remaja, hubungan orang tua-anak
berubah dari menyayangi dan persamaan hak. Proses
mencapai kemandirian sering kali melibatkan
kekacauan dan ambigulitas karena baik orang tua
maupun remaja berajar untuk menampilkan peran
yang baru dan menjalankannya sampai selesai,
sementara pada saat bersamaan, penyelesaian sering
kali merupakan rangkaian kerenggangan yang
menyakitkan, yang penting untuk menetapkan
hubungan akhir. Pada saat remaja menuntut hak
mereka untuk mengembangkan hak-hak
istimewanya, mereka sering kali menciptakan
ketegangan di dalam rumah. Mereka menentang
kendali orang tua, dan konflik dapat muncul pada
hampir semua situasi atau masalah.
 Hubungan dengan teman sebaya
Walaupun orang tua tetap memberi pengaruh utama
dalam sebagian besar kehidupan, bagi sebagian
besar remaja, teman sebaya dianggap lebih berperan
penting ketika masa remaja dibandingkan masa
kanak-kanak. Kelompok teman sebaya memberikan
remaja perasaan kekuatan dan kekuasaan.
- Kelompok teman sebaya
Remaja biasanya berpikiran sosial, suka
berteman, dan suka berkelompok. Dengan
demikian kelompok teman sebaya memiliki
evaluasi diri dan perilaku remaja. Untuk
memperoleh penerimaan kelompok, remaja
awal berusaha untuk menyesuaikan diri secara
total dalam berbagai hal seperti model
berpakaian, gaya rambut, selera musik, dan
tata bahasa, sering kali mengorbankan
individualitas dan tuntutan diri. Segala sesuatu
pada remaja diukur oleh reaksi teman
sebayanya.
- Sahabat
Hubungan personal antara satu orang dengan
orang lain yang berbeda biasanya terbentuk
antara remaja sesama jenis. Hubungan ini
lebih dekat dan lebih stabil daripada hubungan
yang dibentuk pada masa kanak-kanak
pertengahan, dan penting untuk pencarian
identitas. Seorang sahabat merupakan
pendengar terbaik, yaitu tempat remaja
mencoba kemungkinan peran-peran dan suatu
peran bersamaan, mereka saling memberikan
dukungan satu sama lain.
e. Tugas Perkembangan Remaja
Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja menurut
(Hurlock, 2011) antara lain :
a) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan
teman sebaya baik pria maupun wanita
Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut
perubahan besar dalam sikap dan perilaku anak.
Akibatnya, hanya sedikit anak laki-laki dan anak
perempuan yang dapat diharapkan untuk menguasai
tugastugas tersebut selama awal masa remaja, apalagi
mereka yang matangnya terlambat. Kebanyakan harapan
ditumpukkan pada hal ini adalah bahwa remaja muda akan
meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan sikap dan pola
perilaku.
b) Mencapai peran sosial pria, dan wanita
Perkembangan masa remaja yang penting akan
menggambarkan seberapa jauh perubahan yang harus
dilakukan dan masalah yang timbul dari perubahan itu
sendiri. Pada dasarnya, pentingnya menguasai tugas-tugas
perkembangan dalam waktu yang relatif singkat sebagai
akibat perubahan usia kematangan yang menjadi delapan
belastahun, menyebabkan banyak tekanan yang
menganggu para remaja.
c) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya
secara efektif
Seringkali sulit bagi para remaja untuk menerima keadaan
fisiknya bila sejak kanak-kanak mereka telah
mengagungkan konsep mereka tentang penampilan diri
pada waktu dewasa nantinya. Diperlukan waktu untuk
memperbaiki konsep ini dan untuk mempelajari cara-cara
memperbaiki penampilan diri sehingga lebih sesuai
dengan apa yang dicita-citakan.
d) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang
bertanggung jawab
Menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat
tidaklah mempunyai banyak kesulitan bagi laki-laki;
mereka telah didorong dan diarahkan sejak awal masa
kanak-kanak. Tetapi halnya berbeda bagi anak perempuan.
Sebagai anak-anak, mereka diperbolehkan bahkan
didorong untuk memainkan peran sederajat, sehingga
usaha untuk mempelajari peran feminin dewasa yang
diakui masyarakat dan menerima peran tersebut, seringkali
merupakan tugas pokok yang memerlukan penyesuaian
diri selama bertahun-tahun. Karena adanya pertentangan
dengan lawan jenis yang sering berkembang selama akhir
masa kanak-kanak dan masa puber, maka mempelajari
hubungan baru dengan lawan jenis berarti harus mulai dari
nol dengan tujuan untuk mengetahui lawan jenis dan
bagaimana harus bergaul dengan mereka. Sedangkan
pengembangan hubungan baru yang lebih matang dengan
teman sebaya sesama jenis juga tidak mudah.
e) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan
orang-orang dewasa lainnya
Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian,
usaha untuk mandiri secara emosional dari orang tua dan
orang-orang dewasa lain merupakan tugas perkembangan
yang mudah. Namun, kemandirian emosi tidaklah sama
dengan kemandirian perilaku. Banyak remaja yang ingin
mandiri, juga ingin dan membutuhkan rasa aman yang
diperoleh dari ketergantungan emosi pada orang tua atau
orang-orang dewasa lain. Hal ini menonjol pada remaja
yang statusnya dalam kelompok sebaya tidak meyakinkan
atau yang kurang memiliki hubungan yang akrab dengan
anggota kelompok.
f) Mempersiapkan karier ekonomi
Kemandirian ekonomi tidak dapat dicapai sebelum remaja
memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja.
Kalau remaja memilih pekerjaan yang memerlukan
periode pelatihan yang lama, tidak ada jaminan untuk
memperoleh kemandirian ekonomi bilamana mereka
secara resmi menjadi dewasa nantinya. Secara ekonomi
mereka masih harus tergantung selama beberapa tahun
sampai pelatihan yang diperlukan untuk bekerja selesai
dijalani.
g) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
Kecenderungan perkawinan muda menyebabkan persiapan
perkawinan merupakan tugas perkembangan yang paling
penting dalam tahuntahun remaja. Meskipun tabu sosial
mengenai perilaku seksual yang berangsur-ansur
mengendur dapat mempermudah persiapan perkawinan
dalam aspek seksual, tetapi aspek perkawinan yang lain
hanya sedikit yang dipersiapkan. Kurangnya persiapan ini
merupakan salah satu penyebab dari masalah yang tidak
terselesaikan, yang oleh remaja dibawa ke masa remaja.
h) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai
pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideology
Sekolah dan pendidikan tinggi mencoba untuk membentuk
nilai-nilai yang sesuai dengan nilai dewasa, orang tua
berperan banyak dalam perkembangan ini. Namun bila
nilai-nilai dewasa bertentangan dengan teman sebaya,
masa remaja harus memilih yang terakhir bila mengharap
dukungan teman-teman yang menentukan kehidupan
social mereka. Sebagian remaja ingin diterima oleh teman-
temannya, tetapi hal ini seringkali diperoleh dengan
perilaku yang oleh orang dewasa dianggap tidak
bertanggung jawab.
f. Perkembangan Remaja
a) Perkembangan fisik
Perkembangan fisik pada remaja ditandai dengan
tumbuhnya rambut di tubuh seperti di ketiak dan sekitar
alat kemaluan. Pada anak laki-laki tumbuhnya kumis dan
jenggot, dan suara membesar. Organ reproduksinya juga
sudah mencapai puncak kematangan yang ditandai dengan
kemampuannya dalam ejakulasi, dan sudah bisa
menghasilkan sperma. Anak laki-laki mengalami ejakulasi
pertama kali saat tidur atau yang lebih sering dikenal
dengan mimpi basah (Sarwono, 2011). Perkembangan
fisik pada anak perempuan yaitu tumbuhnya payudara,
panggul yang membesar, dan suara yang berubah menjadi
lembut. Pada anak perempuan mengalami puncak
kematangan reproduksi yang ditandai dengan menstruasi
pertama (menarche). Menstruasi merupakan tanda bahwa
anak perempuan sudah mampu memproduksi sel telur
yang tidak dibuahi, sehingga akan keluar bersama dengan
darah menstruasi melalui vagina (Sarwono, 2011).
b) Perkembangan emosi
Pada remaja awal mulai ditandai dengan lima kebutuhan
dasarnya yaitu : fisik, rasa aman, afiliasi sosial,
penghargaan, dan perwujudan diri. Setiap remaja juga
masih menunjukkan reaksireaksi dan ekspresi emosinya
yang masih labil. Remaja awal masih belum terkendali
dalam meluapkan ekspresinya seperti pernyataan marah,
gembira, dan sedih yang setiap saat dapat berubah-ubah
dalam waktu yang cepat (Mubiar, 2011)
c) Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif remaja dapat dilihat dari mereka
dalam menyelesaikan masalahnya yaitu dengan
penyelesaian yang logis. Dalam menyelesaikan masalah
remaja juga dapat mencari solusi dan jalan keluarnya
secara efektif. Remaja juga mampu berpikir secara abstrak
setiap menyelesaikan masalah (Potter & Perry, 2009).
d) Perkembangan psikososial
Perkembangan psikososial pada remaja biasanya ditandai
dengan ketertarikannya remaja tersebut untuk bersosial
pada teman sebayanya. Remaja pada masa ini biasanya
mengalami masalah pada teman dan memiliki ketertarikan
pada lawan jenisnya. Remaja sudah memiliki rasa
solidaritas yang tinggi dan memiliki rasa saling
menghormati pada teman sebayanya maupun
orang yang lebih tua pada mereka. Pada masa ini remaja
sudah mementingkan penampilannya ketika bertemu
seseorang yang sesama jenis ataupun lawan jenisnya
(Potter & Perry, 2009).
g. Masalah Kesehatan Jiwa pada Remaja
Masa remaja (10-19 tahun) adalah waktu yang unik dan
formatif. Berbagai perubahan fisik, emosional dan sosial,
termasuk paparan kemiskinan, pelecehan, atau kekerasan, dapat
membuat remaja rentan terhadap masalah kesehatan mental.
Mempromosikan kesejahteraan psikologis dan melindungi
remaja dari pengalaman buruk dan faktor risiko yang dapat
mempengaruhi potensi mereka untuk berkembang sangat
penting bagi kesejahteraan mereka selama masa remaja dan
untuk kesehatan fisik dan mental mereka di masa dewasa
(WHO, 2019). Masa remaja adalah periode penting untuk
mengembangkan dan mempertahankan kebiasaan sosial dan
emosional yang penting untuk kesejahteraan mental. Ini
termasuk mengadopsi pola tidur yang sehat; berolahraga secara
teratur; mengembangkan keterampilan koping, pemecahan
masalah, dan interpersonal; dan belajar mengelola emosi.
Lingkungan yang mendukung dalam keluarga, di sekolah dan di
komunitas yang lebih luas juga penting. Diperkirakan 10-20%
remaja secara global mengalami kondisi kesehatan mental,
namun ini masih kurang terdiagnosis dan diobati (Kessler et al.,
2007). Masalah kesehatan mental pada remaja dipengaruhi oleh
beberapa factor yaitu: remaja yang tinggal dengan keluarga inti
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak; remaja yang tinggal
dengansalah satu orang tua saja karena perpisahan atau
perceraian; ibu yang bekerja diluar rumah atau selain ibu rumah
tangga; jumlah uang saku yang diberikan orang tua untuk
kepentingan sekolah dengan tujuan akadeik; dan tingkat
pendidikan orang tua. Jadi, dapat disimpulkan jika struktur
keluarga berkaitan erat dengan masalah psikososial pada remaja.
Sehinnga mewujutkan struktur lingkungan yang ramah remaja
dan menjadikan keluarga serta sekolah sebagai pusat innformasi
penanganan koping bagi remaja yang mengalami masalah
psikososisal sangat baik dilakukan (Di Manno et al., 2018).
Faktor lain yaitu keinginan untuk mandiri, tekanan untuk
menyesuaikan diri dengan lingungan, eksplorasi identitas diri
sesuai gender dan penggunaan teknologi, kekerasan dalam
pengasuhan, intimidasi dan masalah social ekonomi keluarga,
pernkahan dini, putus sekolah, korban kekersan atau elecehan
seksual, remaja denganmasalah fisik dan mengalami ganggan
mental (WHO, 2019).
Masalah Psikososial yang sering terjadi pada remaja menurut
WHO (2019) :
a) Gangguan emosi: Gangguan emosi umumnya muncul
selama masa remaja. Selain depresi atau kegelisahan,
remaja dengan gangguan emosional juga cepat marah,
frustrasi, atau kemarahan yang berlebihan. Gejala dapat
disertai dnegan keluhan fisik seperti sakit perut, sakit
kepala atau mual. Secara keseluruhan, depresi merupakan
penyebab utama keempat penyakit dan kecacatan di antara
remaja berusia 15-19 tahun dan kelima belas untuk mereka
yang berusia 10-14 tahun. Kecemasan adalah penyebab
utama kesembilan untuk remaja berusia 15-19 tahun dan
keenam bagi mereka yang berusia 10-14 tahun. Gangguan
emosi dapat sangat mempengaruhi bidang-bidang seperti
tugas sekolah dan kehadiran di sekolah. Isolasi social
dapat menyebabkan kondisi kesepian pada remaja yang
dapat berakibat pada depresi dapat pula menyebabkan
resiko bunuh diri ada remaja
b) Gangguan perilaku anak: Gangguan perilaku anak adalah
penyebab utama kedua beban penyakit pada remaja muda
berusia 10-14 tahun dan penyebab utama kesebelas di
antara remaja yang lebih tua berusia 15-19 tahun.
Gangguan perilaku masa kanak-kanak termasuk gangguan
hiperaktif defisit perhatian (ditandai dengan kesulitan
memperhatikan, aktivitas berlebihan dan bertindak tanpa
memperhatikan konsekuensi, yang sebaliknya tidak sesuai
untuk usia seseorang), dan melakukan gangguan (dengan
gejala perilaku destruktif atau menantang). Gangguan
perilaku anak-anak dapat memengaruhi pendidikan remaja
dan dapat mengakibatkan perilaku kriminal.
c) Gangguan Makan: Gangguan makan umumnya muncul
selama masa remaja dan dewasa muda. Gangguan makan
mempengaruhi perempuan lebih sering daripada laki-laki.
Kondisi seperti anoreksia nervosa, bulimia nervosa dan
gangguan makan berlebihan ditandai oleh perilaku makan
yang berbahaya seperti membatasi kalori atau makan
berlebihan. data-sf-ec-immutable = ""> Gangguan makan
merusak kesehatan dan seringkali hidup berdampingan
dengan depresi, kecemasan, dan / atau penyalahgunaan
zat.
d) Psikosis: Kondisi yang termasuk gejala psikosis paling
sering muncul pada remaja akhir atau dewasa awal.
Gejalanya dapat berupa halusinasi atau delusi.
Pengalaman-pengalaman ini dapat merusak kemampuan
remaja untuk berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari
dan pendidikan dan seringkali mengarah pada stigma atau
pelanggaran hak asasi manusia.
e) Bunuh diri dan melukai diri sendiri: Diperkirakan 62.000
remaja meninggal pada tahun 2016 sebagai akibat dari
melukai diri sendiri. Bunuh diri adalah penyebab utama
kematian ketiga pada remaja yang lebih tua (15-19 tahun).
Hampir 90% remaja dunia tinggal di negara
berpenghasilan rendah atau menengah dan lebih dari 90%
remaja yang bunuh diri adalah di antara remaja yang
tinggal di negara-negara itu. Faktor-faktor risiko untuk
bunuh diri beragam, termasuk penggunaan alkohol yang
berbahaya, penyalahgunaan di masa kanak-kanak, stigma
terhadap pencarian bantuan, hambatan untuk mengakses
perawatan dan akses ke sarana. Komunikasi melalui media
digital tentang perilaku bunuh diri merupakan keprihatinan
yang muncul untuk kelompok usia ini.
f) Perilaku pengambilan risiko: Banyak perilaku
pengambilan risiko untuk kesehatan, seperti penggunaan
narkoba atau pengambilan risiko seksual, dimulai pada
masa remaja. Perilaku mengambil risiko dapat menjadi
strategi yang tidak membantu untuk mengatasi kesehatan
mental yang buruk dan dapat sangat berdampak pada
kesehatan mental dan fisik remaja. Di seluruh dunia,
prevalensi minum episodik di kalangan remaja berusia 15-
19 tahun adalah 13,6% pada 2016, dengan laki-laki paling
berisiko. Penggunaan tembakau dan ganja adalah masalah
tambahan. Pada tahun 2016, berdasarkan data yang
tersedia dari 130 negara, diperkirakan 5,6% dari anak-
anak berusia 15-16 tahun telah menggunakan ganja
setidaknya satu kali pada tahun sebelumnya (2). Banyak
perokok dewasa memiliki rokok pertama sebelum berusia
18 tahun. Melakukan kekerasan adalah perilaku
mengambil risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan
rendahnya tingkat pendidikan, cedera, keterlibatan dalam
kejahatan atau kematian. Kekerasan antarpribadi
menduduki peringkat kedua sebagai penyebab utama
kematian remaja laki-laki pada tahun 2016.
h. Promosi dan pencegahan
Promosi kesehatan mental dan intervensi pencegahan bertujuan
untuk memperkuat kapasitas individu untuk mengatur emosi,
meningkatkan alternatif perilaku pengambilan risiko,
membangun ketahanan dalam situasi dan kesulitan yang sulit,
dan mempromosikan lingkungan sosial dan jaringan sosial yang
mendukung. Program-program ini membutuhkan pendekatan
multilevel dengan berbagai platform pengiriman - misalnya,
media digital, pengaturan perawatan kesehatan atau sosial,
sekolah atau komunitas, dan beragam strategi untuk menjangkau
remaja, terutama yang paling rentan.
i. Deteksi dan pengobatan dini
Sangat penting untuk memenuhi kebutuhan remaja dengan
kondisi kesehatan mental yang ditentukan. Menghindari
institusionalisasi dan over-medikalisasi, memprioritaskan
pendekatan nonfarmakologis, dan menghormati hak-hak anak
sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hak Anak dan instrumen
hak asasi manusia lainnya adalah kunci bagi remaja. Program
Aksi Celah kesehatan mental WHO (mhGAP) menyediakan
pedoman berbasis bukti bagi non-spesialis untuk memungkinkan
mereka mengidentifikasi lebih baik dan mendukung kondisi
kesehatan mental prioritas dalam pengaturan sumber daya yang
lebih rendah.
3. Konsep Psikogeriati
1) Pengertian
Usia lanjut adalah seseorang yang usianya sudah tua yang merupakan
tahap lanjut dari suatu proses kehidupan. Ada berbagai kriteria umur
bagi seseorang yang dikatakan tua. Menurut Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1998, lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia60
(enam puluh) tahun ke atas. World Health Organization (WHO, 2019)
memberikan klasifikasi usia lanjut sebagai berikut:
a. Usia pertengahan (middle age) : 45–59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) : 60–74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) : 75–90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) : di atas 90 tahun
2) Proses Menua
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu
sebagai berikut (Yusuf & Fitriyasari, 2015):
a. Teori biologi
a) Teori genetik dan mutasi:
Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
yang diprogram oleh molekulmolekul (DNA) dan setiap
sel pada saatnya akan mengalami mutase.
b) Teori nongenetik
Teori ini merupakan teori ekstrinsik dan terdiri atas
berbagai teori, di antaranya adalahsebagai berikut: 1)
Teori rantai silang (cross link): menjelaskan bahwa
molekul kolagen dan zat kimia mengubah fungsijaringan,
mengakibatkan jaringan yang kaku pada proses penuaan,
c) Pemakaian dan rusak: Kelebihan usaha dan stres
menyebabkan sel-sel tubuh lelah (terpakai), 3) Teori
immunology slow virus:
Sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia
dan masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan
kerusakan organ tubuh, 4) Teori radikal bebas: Radikal
bebas dapat terbentuk di alam bebas, Radikal bebas
terdapat di lingkungan seperti asap kendaraan bermotor
danrokok, zat pengawet makanan, radiasi, dan sinar
ultraviolet, yang mengakibatkanterjadinya perubahan
pigmen dan kolagen pada proses penuaan.
b. Teori sosial
a) Teori interaksi social: mencoba menjelaskan mengapa
lanjut usia bertindak pada situasi tertentu,yaitu atas dasar
hal-hal yang dihargai masyarakat.
b) Teori penarikan diri: Kemiskinan yang diderita lanjut usia
dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan
seseorang lanjut usia secara perlahan menarik diri dari
pergaulan sekitarnya.
c) Teori aktivitas: Teori ini dikembangkan oleh Palmore
(1965) dan Lemon, dkk. (1972) yang menyatakan: bahwa
penuaan yang sukses bergantung pada bagaimana
seseorang lanjut usia merasakan: kepuasan dalam
melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas
tersebut selamamungkin.
d) Teori kesinambungan : mengemukakan adanya
kesinambungan di dalam siklus kehidupan lanjut
usia,sehingga pengalaman hidup seseorang pada suatu saat
merupakan gambarannya kelakpada saat menjadi lanjut
usia.
e) Teori perkembangan : menekankan pentingnya
mempelajari apa yang telah dialami oleh lanjut usia pada
saat muda hingga dewasa. Menurut Havighurst dan Duval,
terdapat tujuh tugasperkembangan selama hidup yang
harus dilaksanakan oleh lanjut usia yaitu sebagai berikut:
 Penyesuaian terhadap penurunan fisik dan psikis.
 Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan
pendapatan.
 Menemukan makna kehidupan.
 Mempertahankan pengaturan hidup yang
memuaskan.
 Menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga.
 Penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal
dunia.
 Menerima dirinya sebagai seorang lanjut usia.
c. Teori psikologis
Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang berespons pada
tugas perkembangannya. Padadasarnya perkembangan
seseorang akan terus berjalan meskipun orang tersebut
telahmenua.
a) Teori hierarki kebutuhan dasar manusia Maslow
(Maslow’s hierarchy of human needs) lima tingkatan
mulaidari yang terendah kebutuhan fisiologi, rasa aman,
kasih sayang, harga diri sampaipada yang paling tinggi
yaitu aktualisasi diri.Menurut Maslow, semakin tua usia
individu maka individu akanmulai berusaha mencapai
aktualisasi dirinya.
b) Teori individualisme Jung (Jung’s theory of
individualism)
Menurut Carl Jung, sifat dasar manusia terbagi menjadi
dua yaitu ekstrovert dan introvert. Menua yang sukses
adalah jikadia bisa menyeimbangkan antara sisi introvert
dan ekstrovertnya, tetapi lebih condongke arah introvert.
c) Teori delapan tingkat perkembangan Erikson (Erikson’s
eigth stages of life). Menurut Erikson, tugas
perkembangan terakhir yang harus dicapai individu adalah
integritas ego vs menghilang (ego integrity vs disappear).
Jika sukses mencapai tugas ini maka lansia akan menjadi
arif dan bijaksana, namun jika tidak bisa mencapai ini
maka akan hidup penuh dengan keputusasaan.
3) Perubahan pada Lansia
a. Fisik
a) Pancaindera
 Mata
Respons terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap
gelap menurun, akomodasi menurun, lapang
pandang menurun, dan terjadi katarak atau gangguan
pengelihatan lainnya. Lansia yang mulai tidak jelas
pengelihatannya, sehingga sering menjadi curiga
dengan sosok bayangan yang datang atau berada di
rumahnya. Cucunya dianggap pencuri dan
sebagainya, sehingga semakin tidak jelas
pengelihatannya, maka semakin menjadi pencuriga.
 Telinga
Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan
pendengaran, yaitu menjadi sangat peka atau
berkurang pendengarannya. Respons perilaku lansia
menjadi lebih pencuriga, apalagi jika pengelihatan
tidak jelas dan pendengaran berkurang. Anggota
keluarga yang tinggal serumah sering menjadi
sasaran kecurigaan lansia, berbicara keras dianggap
marah, serta berbicara pelan dianggap ngerasani
atau menggunjingkan lansia.
 Perabaan
Kemampuan jari untuk meraba atau menggenggam
menjadi menurun (clumsy), akibatnya tidak mampu
memegang sesuatu yang berat, misalnya makan
dengan piring, mudah jatuh dan pecah atau minum
dengan gelas, mudah jatuh dan pecah Jika diberi
piring melamin akan merasa marah, karena dianggap
tidak menghargai orang tua. Selain menjadi
pencuriga, lansia menjadi mudah marah karena
perubahan mata, telinga, dan perabaan
 Penciuman
Kemampuan hidung untuk membau harum, gurih,
dan lezat sudah menurun, yang akibatnya nafsu
makan menjadi menurun. Permasalahan perilaku
muncul dengan membenci siapa yang masak di
rumah, apalagi jika yang masak adalah menantu. Di
sinilah awal mula terjadinya suasana tidak kondusif
antara menantu wanita dengan mertua.
 Pengecapan
Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan lidah
untuk merasakan rasa asam, asin, manis, gurih,
pedas, dan semua rasa lezat, yang akibatnya nafsu
makan menurun. Terkadang lansia masih
menambahkan gula pada makanan yang sudah manis
atau menambahkan garam pada makanan yang
sudah asin. Hal akan menjadi berbahaya apabila
lansia memiliki penyakit diabetes atau tekanan darah
tinggi. Dengan keadaan ini, lansia dapat semakin
membenci menantu wanitanya, karena sudah tidak
bisa masak atau jika masak, tidak ada aroma dan
rasanya. Perubahan pancaindera mengakibatkan
berbagai perubahan perilaku pada lansia, menjadi
pencuriga, mudah marah, dan membenci seseorang.
b) Otak
Terjadi penurunan kemampuan berpikir, daya ingat, dan
konsentrasi. Penurunan kemampuan berpikir terutama
untuk memikirkan hal baru (new learning), kalaupun bisa
terjadi secara lambat (slow learning). Sering lansia tidak
bisa menerima pemikiran anak muda, karena menganggap
bahwa apa yang lansia pikirkan itulah kebenaran. Lansia
menjadi skeptis dengan pola pikirnya, sehingga sulit
menerima sesuatu yang baru.
c) Paru-paru
Kekuatan otot pernapasan menurun dan kaku, elastisitas
paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga
menarik napas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya
menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi
penyempitan pada bronkus.
d) Gastrointestinal
Pada sistem ini esofagus melebar, asam lambung
menurun, lapar menurun, dan peristaltik menurun
sehingga terjadilah penumpukan makanan. Apabila daya
absorbsi masih baik, maka racun akan ikut terabsorbsi,
sehingga terjadi konstipasi. Ukuran lambung mengecil
serta fungsi organ asesori menurun sehingga menyebabkan
berkurangnya produksi hormon dan enzim pencernaan.
Lansia menjadi sangat banyak keluhan terkait
gastrointestinal.
e) Saluran kemih
Kondisi ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun,
penyaringan di glomerulus menurun, dan fungsi tubulus
menurun sehingga kemampuan mengonsentrasikan urine
ikut menurun. Plastisitas buli-buli menurun, sehingga
menjadi sering kencing. Kemampuan sfinkter uri
menurun, sehingga lansia menjadi ngompol. Respons
perilaku berupa lansia sering mengeluh tidak bisa tidur,
sering terbangun untuk kencil, ngompol, beser, dan
sebagainya.
f) Otot dan tulang
Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh
(osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian membesar
dan menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor, tendon
mengerut, serta mengalami sklerosis. Respons perilaku
berupa lansia menjadi banyak mengeluhdengan sistem
muskuloskeletalnya. Hal ini sangat bergantung pada
aktivitas olahragasemasa muda. Tindakan yang sesuai
adalah senam taichi atau jalan mars.
g) Kardiovaskular
Katub jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa
darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume),
elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya
resistansi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah
meningkat. Risiko terjadiinfark, stroke, dan sebagainya.
h) Endokrin
Kemampuan tubuh untuk meregulasi endokrin menurun,
sehingga mudah terjadi asam urat, kolesterol, diabetes, dan
sebagainya.
b. Psikologis
Perubahan psikologis lansia sering terjadi karena perubahan
fisik, dan mengakibatkan berbagai masalah kesehatan jiwa di
usia lanjut. Beberapa masalah psikologis lansia antara lain
sebagai berikut.
a) Paranoid
Respons perilaku yang ditunjukkan dapat berupa curiga,
agresif, atau menarik diri. Lansia selalu curiga pada orang
lain, bahkan curiga pada televisi. Oleh karena lansia tidak
mendengar suara TV, tetapi melihat gambarnya tersenyum
atau tertawa, maka TV dianggap mengejek lansia.
Pembantu dianggap mencuri, karena mengambil gula atau
beras untuk dimasak, padahal instruksi pembantu berasal
dari majikan yang tidak diketahui lansia. Tindakan untuk
mengatasi hal ini adalah jangan mendebat, karena kita
dianggap menantang, serta jangan mengiyakan, karena
dianggap kita berteman. Berikan aktivitas sesuai
kemampuan lansia, sehingga lansia tidak sempat
memperhatikan apa yang dapat menimbulkan paranoid.
b) Gangguan tingkah laku
Sifat buruk pada lansia bertambah seiring perubahan
fungsi fisik. Lansia merasa kehilangan harga diri,
kehilangan peran, merasa tidak berguna, tidak berdaya,
sepi, pelupa, kurang percaya diri, dan sebagainya.
Akibatnya bertambah sangat banyak sifat buruk setiap
adanya penurunan fungsi fisik.
c) Gangguan tidur
Lansia mengalami tidur superfisial, tidak pernah mencapai
total bed sleep, merasa tengen, setiap detik dan jam selalu
terdengar, desakan mimpi buruk, serta bangun lebih cepat
dan tidak dapat tidur lagi. Lansia selalu mengeluh tidak
bisa tidur. Padahal jika diamati, kebutuhan tidur lansia
tidak terganggu, hanya pola tidur yang berubah. Hal ini
terjadi karena lansia mengalami tidur superfisial, sehingga
tidak pernah merasa tidur nyenyak. Misalnya, jam 04.00
sudah bangun, lalu aktivitas beribadah, jalan-jalan.
d) Depresi
Ada banyak jenis depresi yang terjadi pada lansia, di
antaranya depresi terselubung, keluhan fisik menonjol,
berkonsultasi dengan banyak dokter (umum/spesialis),
merasa lebih pusing, nyeri, dan sebagainya. Depresi sering
dialami oleh lansia muda wanita karena terjadinya
menopause. Apabila lansia muda wanita tidak siap
menghadapi menopause, maka depresi sangat menonjol
akan dialami. Namun, bagi yang siap menghadapi
menopause akan merasa lebih bahagia karena dapat
beribadah sepanjang waktu tanpa harus cuti haid. Pada
lansia pria, penyebab depresi terutama karena sindrom
pascakekuasaan (postpower syndrom). Lansia mulai
berkurang penghasilan, teman, dan harga diri.
Tanda yang sering muncul adalah tidur (sleep) meningkat,
ketertarikan (interest) menurun, rasa bersalah(guilty)
meningkat, energi (energy) menurun, konsentrasi
(concentration) menurun, nafsu makan(appetite) menurun,
psikomotor (psycomotor) menurun, bunuh diri (suicide)
meningkat—SIGECAPS.
e) Demensia
Demensia adalah suatu sindrom gejala gangguan fungsi
luhur kortikal yang multipel, seperti daya ingat, daya
pikir, daya tangkap, orientasi, berhitung, berbahasa, dan
fungsi nilai sebagai akibat dari gangguan fungsi otak.
Demensia banyak jenisnya yang bergantung pada
penyebab dan gejala yang timbul, di antaranya demensia,
multiinfark demensia, alzheimer, atau bahkan retardasi
mental.
4) Faktor predisposisi
a. Biologi meliputi latar belakang genetik: Tidak ada riwayat
kembar dengan orangtua gangguanjiwa, status nutrisi: Riwayat
status nutrisi baik (gizi berlebihan / gizi kurang), kondisi
kesehatan secara umum: Terjadi perubahan-perubahan fisik
pada sel, sistem persarafan, pendengaran, penglihatan,
kardiovaskuler, pengaturantemperatur tubuh, respirasi,
gastrointestinal, geniturinaria, endokrin, integumen dan
muskuloskeletal, sensitivitas Biologi: Kadar Dopamin seimbang
dengan serotonin, GABA, asetilkolin di SSP (substansia Nigra,
midbrain, hipotalamus-pituitari), paparan terhadap racun: Tidak
terpapar mercury, tidak terpapar insektisida, tidakterjadi
keracunan dan penyalahgunaan zat.
b. Psikologis seperti Inteligensi: Tidak berubah dengan informasi
matematika dan perkataan verbal, keterampilan verbal:
Kemampuan komunikasi baik verbal dan non verbal masihbaik ,
moral: mampu membedakan dan memilih mana yang baik dan
buruk. Kepribadian: Struktur mental seimbang id, ego, super
egodanpengalaman masa lalu: Mengalami pengalaman yang
dapat dijadikan pelajaranuntuk kematangan diri. (FIK UI, 2016)
c. Sosial kultural meliputi usia: 65 tahun keatas, gender: pria /
wanita, pendidikan: telah menempuh pendidikan formal,
pendapatan: memiliki pendapatan dan mandiri dalam ekonomi,
pekerjaan: memiliki tanggung jawab dalam pekerjaan, status
social: memisahkan diri dari autokritas keluarga, latar belakang
budaya: tidak memiliki nilai budaya yang bertentangan dengan,
nilai kesehatan , agama dan keyakinan: mempunyai religi dan
nilai yang baik dan peran sosial.
5) Penilaian Terhadap Stressor
a. Kognitif berupa stressor sebagai tantangan untuk lebih
berkembang lagi,
b. afektif reaksi afek dan emosi sesuai dengan stressornya,
c. fisiologis berupa refleks respon fisiologi : kompensasi wajar,
d. perilaku berupa prilaku menghadapi stressor dan
menyelesaikannya,
e. sosial seperti membandingkan kemampuan dan kapasitas diri
dengan orang lain yang mempunyai masalah yang sama.
6) Sumber Koping
a. Personal Ability dimana klien mampu untuk mencari informasi,
mampu identifikasi masalah , kondisi fisik normal, semangat
dan antusias, mempunyai pengetahuan dan intelegensi yang
cukup untuk menghadapi stressor, mempunyai pedoman hidup
yang realistis, mampu melaksanakan rencana tindakan.
b. Sosial supportmendapat dukungan dari keluarga dan
masyarakat, diterima menjadi bagian dari keluarga dan
masyarakat, ikut dalam kegiatan atau perkumpulan di
masyarakat (formal dan non formal), tidak ada pertentangan
nilai budaya.
c. Material asset berupa mempunyai penghasilan yang layak untuk
tumbang di usia lansia, mempunyai tabungan untuk
mengantisipasi kebutuhan hidup, mampu mengakses pely kes
yang ada.
d. Positive believeberupa keyakinan dan nilai hidup yang positif,
motivasi masih tinggi dan bersemangat menjalani hidup,
mempunyai keyakinan bahwa lebih baik mencegah daripada
mengobati. (FIK UI, 2016)
B. Intervensi dan Implementasi Keperawatan pada Populasi Khusus
1. Psikoterapi
Psikoterapi adalah terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara
psikologik, dilakukan oleh seseorang yang terlatih khusus, yang menjalin
hubungan kerjasama secara profesional dengan seorang klien dengan tujuan
untuk menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala dan
penderitaan akibat penyakit (Elvira & Hadisukanto, 2010). Psikoterapi
individu adalah suatu metode terapi yang bertujuan untuk menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara fikir
dan cara individu tersebut berperilaku (Videbeck, 2008)
Menurut hasil workshop keperawatan jiwa ke X (FK UI, 2016) psikoterapi
pada populasi tertentu meliputi :
1) Pada Anak
a. Bayi
a) Psikoedukasi keluarga/Family Psychoeducation (FPE)
Tujuan terapi: keluarga dapat memahami masalah yang
dialami saat merawat anggota keluarganya yang berusia
bayi, mampu mengatasi masalah yang muncul pada diri
keluarga, mengatasi beban pada keluarga dan
memanfaatkan sarana dikomunitas untuk membantu
keluarga dalam merawat anggota keluarga yang berusia
bayi. Pelaksanaan terapi terdiri dari 5 sesi:
Sesi 1 : identifikasi masalah keluarga dalam merawat
anggota keluarga dan masalah pribadi yang dialami
caregiver
Sesi 2 : cara merawat/stimulasi anak oleh keluarga
Sesi 3 : manajemen stress oleh keluarga
Sesi 4 : manajemen beban keluarga
Sesi 5 : pemberdayaan komunitas dalam membantu
keluarga.
b) Terapi Kelompok Terapeutik (TKT) anak usia infant
(Restiana, Keliat, Gayatri, dan Helena (2010).
Tujuan terapi: keluarga mampu meningkatkan
kemampuandalam memberikan kebutuhan tahap tumbuh
kembang anak usia infant baik secara kognitif maupun
psikomotor.
Pelaksanaan terapi terdiri dari 7 sesi:
Sesi 1 : penjelasan konsep stimulasi rasa percaya diri
Sesi 2 : penerapan stimulasi pada aspek motorik
Sesi 3 : penerapan stimulasi pada aspek kognitif dan,
bahasa
Sesi 4 : penerapan stimulasi aspek emosional dan
kepribadian
Sesi 5 : penerapan stimulasi pada aspek moral dan
spiritual
Sesi 6 : penerapan stimulasi pada aspek psikososial
Sesi 7 : sharing pengalaman.
c) Terapi suportif (Keliat, Akemat, Daulima, & Nurhaeni,
2007; Bulucheck, Butcher, & Dochterman, 2013).
Tujuan terapi: memberikan support terhadap keluarga
sehingga mampu menyelesaikan krisis yang dihadapinya
dengan cara membangun hubungan yang bersifat suportif
antara klien-terapis, meningkatkan kekuatan keluarga,
meningkatkan keterampilan koping keluarga,
meningkatkan kemampuan keluarga menggunakan sumber
kopingnya, meningkatkan otonomi keluarga dalam
keputusan tentang pengobatan, meningkatkan kemampuan
keluarga mencapai kemandirian seoptimal mungkin,serta
meningkatkan kemampuan mengurangi distress subyektif
dan respons koping yang maladaptif.
Pelaksanaan terapi:
Sesi 1: identifikasi kemampuan keluarga dan sumber
pendukung yang ada
Sesi 2 : menggunakan system pendukung dalam keluarga,
monitor hambatan
Sesi 3: menggunakan sistem pendukung di luar keluarga,
monitor dan hambatannya
Sesi 4: evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber
b. Toodler
a) Psikoedukasi keluarga/Family Psychoeducation (FPE)
Tujuan terapi adalah keluarga dapat memahami masalah
yang dialami saat merawat anggota keluarganya yang
berusia toddler, mampu mengatasi masalah yang muncul
pada diri keluarga, mengatasi beban pada keluarga dan
memanfaatkan sarana di komunitas untuk membantu
keluarga dalam merawat anggota keluarga yang berusia
toddler. Pelaksanaan terapi terdiri dari 5 sesi:
Sesi 1 : identifikasi masalah keluarga dalam merawat
anggota keluarga dan masalah pribadi yang dialami
caregiver.
Sesi 2 : cara merawat/stimulasi anak oleh keluarga
Sesi 3 : manajemen stress oleh keluarga
Sesi 4 : manajemen beban keluarga
Sesi 5 : pemberdayaan komunitas dalam membantu
keluarga
b) Terapi Kelompok Terapeutik (TKT) anak usia Toddler
Tujuan terapi: keluarga mampu meningkatkan
kemampuan dalam memberikan kebutuhan tahap tumbuh
kembang anak usia toddler baik secara kognitif maupun
psikomotor. Pelaksanaan terapi terdiri dari 7 sesi:
Sesi 1 : penjelasan konsep stimulasi otonomi
Sesi 2 : penerapan stimulasi pada aspek motorik
Sesi 3 : penerapan stimulasi pada aspek kognitif dan
bahasa
Sesi 4 : penerapan stimulasi pada aspek emosional dan
Kepribadian
Sesi 5: penerapan stimulasi pada aspek moral dan spiritual
Sesi 6: penerapan stimulasi pada aspek psikososial
Sesi 7: sharing pengalaman
c) Terapi suportif
Tujuan terapi: memberikan support terhadap keluarga
sehingga mampu menyelesaikan krisis yang dihadapinya
dengan cara membangun hubungan yang bersifat suportif
antara klien-terapis, meningkatkan kekuatan keluarga,
meningkatkan keterampilan koping keluarga,
meningkatkan kemampuan keluarga menggunakan sumber
kopingnya, meningkatkan otonomi keluarga dalam
keputusan tentang pengobatan, meningkatkan kemampuan
keluarga mencapai kemandirian seoptimal mungkin, serta
meningkatkan kemampuan mengurangi distres subyektif
dan respons koping yang maladaptif. Pelaksanaan terapi:
Sesi 1 : identifikasi kemampuan keluarga dan sumber
pendukung yang ada
Sesi 2 : menggunakan sistem pendukung dalam keluarga,
monitor dan hambatannya
Sesi 3 : menggunakan sistem pendukung di luar keluarga,
monitor dan hambatannya.
Sesi 4 : evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber
c. Pra sekolah
Terapi Kelompok Terapeutik (TKT) adalah terapi yang
dilakukan, secara berkelompok dimana masing-masing anggota
kelompok memiliki hubungan satu sama lain dan memiliki
norma tertentu (Townsend 2003). Adapun TKT bertujuan dapat
mempertahankan homeostatis, berfokus pada disfungsi perasaan,
pikiran dan perilaku dan juga mengatasi stres emosi, penyakit
fisik, krisis tumbuh kembang atau penyesuaian sosial
(Montgomery, 2002). Tujuan TKT dapat mengantisipasi dan
mengatasi masalah dengan mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh anggota kelompok itu sendiri (Keliat 2005). Modul
TKT anakini terdiri dari 6 (enam) sesi kegiatan yaitu :
Sesi 1: Stimulasi adaptasi perubahan aspek biologis dan seksual.
Sesi 2 : Stimulasi adaptasi perubahan aspek psikologis (kognitif)
Sesi 3 : Stimulasi adaptasi perubahan aspek kognitif (emosional)
Sesi 4 : Stimulasi adaptasi perubahan aspek sosial
Sesi 5 : Stimulasi adaptasi perubahan aspek spiritual
Sesi 6 : Sharing dan evaluasi kemampuan integritas diri
d. Sekolah
Terapi Kelompok : Terapi Kelompok Terapeutik : anak usia
sekolah. Hasil penelitian Walter, Keliat dan Hastono (2010)
menyatakan terapi kelompok teraupetik terhadap perkembangan
industri anak usia sekolah. Istiana, Keliat dan Nuraini (2011)
menyatakan Terapi kelompok teraupetik dapat meningkatkan
kemampuan orang tua dan guru dalam menstimulasi
perkembangan mental anak. Hasil penelitian Sunarto, Keliat dan
Pujasari (2011) menyatakan bahwa terapi kelompok teraupetik
terhadap anak, orang tua dan guru serta perkembangan mental
anak usia sekolah. TKT anak usia sekolah sesi 1 – 7 antara lain:
Sesi 1 : Penjelasan konsep stimulasi industr
Sesi 2 : Penerapan stimulasi pada aspek motorik
Sesi 3 : Penerapan stimulasi pada aspekkognitif dan bahasa
Sesi 4 : Penerapan stimulasi pada aspek emosional dan
kepribadian
Sesi 5 : Penerapan stimulasi pada aspek moral dan spritual
Sesi 6 : Penerapan stimulasi pada aspek psikososial
Sesi 7 : Sharing pengalaman
e. Remaja
a) Terapi Kelompok : Terapi Kelompok Terapeutik Remaja
Hasil penelitian Bahari, Keliat, dan Gayatri (2010) yang
menyatakan terapi kelompok teraupetik mampu
meningkatkan perkembangan identitas diri remaja.
Hasil penelitian Dinarwiyata, Mustikasari dan Setiawan
(2014) yang menyatakan Terapi kelompok teraupetik
terhadap remaja dapat mengendalikan emosi marah pada
remaja. Hasil penelitian Windu, Helena dan Rahmah
(2015) yang menyatakan terapi kelompok teraupetik
mampu meningkatkan kecerdasan pada Remaja.
Sesi 1 : Pengkajian dan diskusi perkembangan remaja
Sesi 2 : Stimulasi perkembangan biologis/ fisik dan
psikoseksual
Sesi 3 : Stimulasi perkembangan kognitif dan bahasa
Sesi 4 : Stimulasi perkembangan moral dan spiritual
Sesi 5 : Stimulasi perkembangan emosi dan psikososial
Sesi 6 : Stimulasi perkembangan bakat dan kreatifitas
Sesi 7 : Evaluasi stimulasi
b) Psikoedukasi keluarga/Family Psychoeducation (FPE)
c) Triangel Therapy
f. Lansia
Terapi Kelompok Terapeutik (TKT) adalah terapi yang
dilakukan, secara berkelompok dimana masing-masing anggota
kelompok memiliki hubungan satu sama lain dan memiliki
norma tertentu. Adapun TKT bertujuan dapat mempertahankan
homeostatis, berfokus pada disfungsi perasaan, pikiran dan
perilaku dan juga mengatasi stres emosi, penyakit fisik, krisis
tumbuh kembang atau penyesuaian sosial serta mengantisipasi
dan mengatasi masalah dengan mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh anggota kelompok itu sendiri. Modul TKT lansia
ini terdiri dari 6 (enam) sesi kegiatan yaitu :
Sesi 1: Stimulasi adaptasi perubahan aspek biologis dan seksual.
Sesi 2: Stimulasi adaptasi perubahan aspek psikologis (kognitif)
Sesi3 : Stimulasi adaptasi perubahan aspek kognitif (emosional)
Sesi 4 : Stimulasi adaptasi perubahan aspek sosial
Sesi 5 : Stimulasi adaptasi perubahan aspek spiritual
Sesi 6 : Sharing dan evaluasi kemampuan integritas diri
g. Acceptance and Commitment Therapy (ACT)
ACT merupakan terapi yang membantu menolong klien dengan
menggunakan penerimaan psikologi sebagai strategi koping
dalam situasi stress baik eksternal maupun internal yang tidak
mudah untuk dapat diatasi. Klien dibantu untuk menerima
kejadian yang tidak diinginkan, mengidentifikasi dan focus pada
aksi secara langsung sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Tujuan terapi ACT yaitu: 1) Mengajarkan penerimaan terhadap
pikiran dan perasaan yang tidak diinginkan yang tidak bisa
dikontrol oleh klien, membantu klien dalam mencapai dan
menjalani kehidupan yang lebih bermakna tanpa harus
menghilangkan pikiran – pikiran kurang menyenangkan yang
terjadi serta melatih klien untuk komitmen dan berperilaku
dalam hidupnya berdasarkan nilai yang dipilih oleh klien
sendiri.
ACT membantu individu dalam mengurangi penderitaan yang
dialami dengan meningkatkan kesadaran dan kemampuan
individu tersebut terhadap apa yang diinginkannya dalam hidup
ini. Komponen yang digunakan dalam ACT antara lain terdiri
dari Accept, Choose direction, dan Take Action (Eifert &
Forsyth, 2005) yang dijelaskan sebagai berikut :
a) Accept : Menerima pikiran dan perasaan termasuk
didalamnya hal yang tidak diinginkan/ tidak
menyenangkan seperti rasa bersalah, rasa malu, rasa
cemas dan lainnya.
b) Choose Direction ( Memilih Arah) : Klien dibantu untuk
memilih arah hidup mereka dengan cara mengidentifikasi
dan fokus pada apa yang mereka inginkan dan nilai apa
yang akan mereka pilih untuk hidup mereka.
c) Take Action (Melakukan kegiatan/perilaku) : Disinilah
terjadi komitmen terhadap kegiatan yang akan dipilih
termasuk langkah yang diambil untuk mencapai tujuan
hidup yaitu ingin dihargai.
Berdasarkan teori dan konsep yang dijelaskan tentang
Acceptance and Commitment Therapy (ACT), mempunyai 4 sesi
dan masing-masing sesi dilaksanakan selama 30-45 menit untuk
setiap klien. Adapun uraian kegiatan tiap sesi adalah sebagai
berikut:
Sesi 1 : Mengidentifikasi kejadian, pikiran dan perasaan yang
muncul serta dampak perilaku yang muncul akibat pikiran dan
perasaan.
- Pada tahap ini terapis mendiskusikan bersama klien
tentang : Kejadian buruk /tidak menyenangkan yang
dialami klien pada saat ini, Pikiran yang muncul serta
respon perasaan klien terkait dengan kejadian/ peristiwa
yang terjadi, Perilaku yang dilakukan terkait dengan
pikiran dan perasaan yang terjadi terkait kejadian.
- Meminta klien menuliskan kejadian/ peristiwa yang
dialami, pikiran, perasaan yang muncul akibat kejadian ke
dalam buku kerja.
- Meminta klien untuk menuliskan perilaku yang dilakukan
terkait dengan kejadian dan pikiran yang dirasakan.
Sesi 2 : Mengidentifikasi nilai berdasarkan pengalaman klien
- Pada tahap ini yang harus dilakukan lien adalah
mendiskusikan kejadian buruk/tidak menyenangkan yang
terjadi dan menceritakan upaya yang dilakukan terkait
dengan kejadian yang dialami berdasarkan pada
pengalaman klien (bisa hubungan keluarga, sosial,
pekerjaan, kesehatan atau spiritual) baik destruktif
maupun konstruktif kepada terapis.
- menentukan apakah yang dilakukan klien sudah sesuai dan
baik
- memberikan reinforcement positif dan membantu klien
untuk menyadari perilaku yang belum tepat serta
menentukan perilaku yang belum konstruktif/ belum baik
untuk dilatih.
Sesi 3 : Berlatih Menerima Kejadian dengan menggunakan nilai
yang dipilih
- Pada tahap ini terapis meminta klien untuk : Menentukan
salah satu perilaku yang masih perlu ditingkatkan untuk
dilatih bersama
- Mengikuti dan mengulang kembali cara yang sudah
dicontohkan oleh terapis dan Berlatih berperilaku sesuai
dengan nilai yang dipilih
- Memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian
- Dan yang terakhir memberikan reinforcement positif pada
klien
Sesi 4 : Komitmen dan Mencegah kekambuhan
- Terapis menanyakan kepada klien tentang komitmen yang
dimiliki klien yaitu apa yang akan dilakukan untuk
menghindari berulangnya perilaku buruk yang terjadi
- Terapis menganjurkan klien untuk mendiskusikan tentang
apa yang akan dilakukan untuk menghindari berulangnya
perilaku buruk yang terjadi
- Terapis kemudian meminta klien untuk menuliskannya
kedalam buku kerja kolom 2
- Terapis menanyakan apa yang akan dilakukan klien untuk
mempertahankan perilaku yang baik
- Terapis kemudian meminta klien untuk menuliskannya
kedalam buku kerja pada kolom ke 3
- Terapis menanyakan apa yang akan dilakukan oleh klien
untuk meningkatkan kemampuan berperilaku baik
- Terapis kemudian meminta klien untuk menuliskannya
kedalam buku kerja pada kolom ke 4
- Terapis menanyak kepada klien apa keuntungan
memanfaatkan pelayanan kesehatan
- Terapis meminta klien untuk mengungkapkan akibat jika
stress tidak ditangani segera
- Terapis meminta klien untuk mengungkapkan manfaat
pengobatan bagi klien
- Terapis meminta klien untuk menyebutkan manfaat terapi
modalitas lain untuk kesembuhan
- Memberikan reinforcemen positif atas kemampuan klien
berlatih
2. Interpersonal Therapy
Interpersonal Psikoterapi adalah sebuat psikoterapu yang memiliki batasan
waktu yang jelas, berfokus pada hubungan interpersonal dan memiliki
tujuan untuk menghilangkan gejala dan meningkatkan fungsi interpersonal
individu (Robertson et al, 2008). Tujuan IPT adalah untuk membantu pasien
meningkatkan keterampilan komunikasi interpersonal dan intrapersonal
dalam hubungan dan untuk meningkatkan dukungan sosial dan harapan
yang realistis terhadap peristiwa dalam kehidupan sehari-hari serta klien
mampu menghadapi berbagai stressor interpersonal yang muncul (Cuijpers
et al, 2016).
Sesi 1 : Initial assessment (tahap orientasi)
Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan bantuan
dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara
efektif dalam pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana
perawat melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan
terjadi pengumpulan data.
Pada tahap awal ini, dilakukan semacam pengukuran untuk melihat
kesesuaian karakteristik klien dengan pendekatan IPT.
Tahap ini kemudian ditutup dengan disepakatinya kontrak mengenai proses
terapi dengan menggunakan teknik IPT yang akan dilaksanakan. Termasuk
penjelasan mengenai IPT, tujuan IPT, jumlah sesi yang akan dilangsungkan,
dan hasil yang diharapkan.
Sesi 2 : Initial session (Identifikasi)
Sesi-sesi pertama mencakup beberapa jenis tugas, antara lain adalah
mengembangkan hipotesis detail mengenai penyebab klien mengalami
kesulitan dalam hubungan interpersonalnya. Dalam tahap ini, klien juga
diberikan ‘sick role’ terkait kondisinya dan diberikan penekanan bahwa
gejala-gejala yang ia rasakan tidak berbeda halnya dengan penyakit fisik
yang dapat ‘disembuhkan’ bila klien mau bekerja sama dengan terapis.
Dalam tahap ini terapis dan klien kemudian juga mengembangkan
interpersonal inventory (IPI) yang merupakan catatan terstruktur mengenai
konteks interpersonal klien terkait dengan permasalahan yang sedang
dihadapi.
Sesi 3 : Middle session
Pada tahap ini, berdasarkan perumusan IPT dalam tahap sebelumnya, terapis
kemudian dapat mengambil kesepakatan dengan klien mengenai area
permasalahan yang akan disasar untuk ditangani. Terapis kemudian juga
mengumpulkan lebih banyak informasi mengenai area permasalahan yang
telah ditentukan tersebut dan mengklarifikasi temuan yang didapatkan
dalam sesi. Terapis semakin menekankan keterkaitan antara konteks
interpersonal dengan permasalahan yang dialami klien untuk kemudian
bersama-sama merumuskan pilihan-pilihan solusi yang dapat dilakukan.
Beberapa teknik IPT seperti analisis pola komunikasi, pengembangan
kemampuan problem solving, memodifikasi ekspektasi klien mengenai
hubungan sosial yang dimilikinya, dan pemberian edukasi serta melatih
keterampilan sosial baru dengan role-play. Dalam sesi-sesi selanjutnya,
solusi yang telah dipilih kemudian terus menerus dilatih dan dikaji
bagaimana pengaruhnya terhadap hubungan sosial klien.
Fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase
ini perawat membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan
seluruh aspek yang terlibat didalamnya
Sesi 4 : Conclusion/termination sessions
Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk mengembangkan kemandirian
klien setelah mengikuti proses terapi. Pada tahap ini diharapkan klien
merasa telah mengembangkan kompetensinya untuk berinteraksi dalam
hubungan sosial. Idealnya, klien telah memperoleh kemampuan komunikasi
yang baru, telah berhasil mengembangkan insight mengenai pola
komunikasi mereka dan kaitannya dengan permasalahan yang timbul, dan
telah mulai membangun jaringan dukungan sosialuntuk membantu mereka
jika nantinya menemui permasalahan baru.
Pada tahap ini, terapis akan melakukan review terhadap perkembangan yang
telah dicapai oleh klien dan memberikan umpan balik positif terhadap
perkembangan tersebut. Perkembangan yang dimaksud adalah penyelesaian
masalah yang telah berhasil dilakukan, juga perkembangan kemampuan
klien dalam membina hubungan sosial secara umum. Perlu ditekankan
bahwa segala bentuk keberhasilan adalah hasil dari usaha klien, bukan
karena terapis, meskipun terapis memang bertindak sebagai coach yang
membantu.
Terapis juga mendiskusikan dengan klien kemungkinan kemunculan
permasalahan serupa dan perencanaan soal bagaimana klien akan
mengatasinya, termasuk juga mengantisipasi kemungkinan munculnya
permasalahan-permasalahan interpersonal baru. Terapis juga mendiskusikan
dengan klien mengenai permasalahan yang belum terselesaikan melalui
terapi dan mempertimbangkan proses maintenance terapi dengan melakukan
pembaharuan kontrak kesepakatan terapi.
3. Psychodynamic Therapy
Menurut Wade dan Tavris (2015), terapi psikodinamika adalah suatu jenis
psikoterapi dengan tujuan mirip dengan tujuan psikoanalisis, yaitu
mempelajari dinamika ketidaksadaran pada kepribadian; meskipun dalam
berbagai hal memiliki perbedaan dengan Freudian.
Terapi psikodinamik efektif diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa,
terjadi peningkatan psikologis yang signifikan dan bertahan lama, bahkan
sampai pengobatan selesai, psikodinamik psikoterapi juga lebih hemat
dalam segi biaya (Kennedy, 2018).
Dengan menggunakan model dynamic interpersonal terapy yang terdiri dari
3 fase yaitu (Luyten, P., De Meulemeester, C., & Fonagy, P. 2019):
Fase 1 (sesi 1-4)
Melibatkan pasien dalam perawatan adalah fokus pertama dari fase awal.
Pasien biasanya datang menolak penjelasan psikologis untuk kondisinya dan
memiliki riwayat negative dengan para profesional kesehatan. Satu-satunya
cara bagi terapis untuk melakukannya melawan perasaan ini adalah dengan
validasi empati dan perasaan kuat dari pembatalan pasien, dalam kombinasi
dengan mengakui realitas penderitaan mereka. sebagian dicapai oleh terapis
dan pasien memutuskan bersama pada focus terapi yang akan dijalankan.
mengacu pada pola hubungan atau kelekatan afektif kognitif berulang yang
berhubungan dengan timbulnya dan lamanya gejala pasien.
Fase 2 (sesi 5-12)
Terdiri dari bekerja melalui rencana terapi yang telah disusun di sesi awal
dan memperkuat kemajuan terapeutik. Tujuan ini dicapai dengan proses
bersama dimana pasien dibantu untuk mengenali pola perlekatan
interpersonal tipikal dalam kehidupan sehari-hari, dengan fokus pada
kapasitas pasien untuk merenungkan dampak dari pola ini pada diri yang
diwujudkan, orang lain, dan hubungan diri dengan orang lain. Di dinamyc
interpersonal terapi, terapis secara aktif mendorong dan mendukung
perubahan. Di fase tengah terapis menggunakan rangkuman penuh
intervensi psikodinamik: (1) mendukung intervensi (jaminan, dukungan, dan
empati); (2) intervensi yang menumbuhkan mentalisasi; (3) intervensi
ekspresif seperti pandangan teoritis, yang termasuk terbatas fokus pada
hubungan transferensi saat yang tepat, (4) teknik pengarahan (mis.,
mendorong pasien untuk mengubah cara dia berinteraksi dengan orang lain).
Fase 3 (sesi 13-16)
Berfokus pada pemberdayaan pasien untuk melanjutkan proses perubahan
terapi sendiri. Ini dimulai dengan berbagi draft "selamat tinggal" surat yang
ditulis oleh terapis. Surat ini memberikan gambaran umum tentang (1)
masalah yang muncul, (2) focus terapi, (3) apa yang telah dicapai dalam hal
berubah, dan (4) apa yang belum tercapai. Surat ini sering memancing
reaksi emosional yang sangat kuat pada pasien.
C. Evaluasi Keperawatan
Proses evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan dari tindakan keperawatan
dan strategi rencana tindakan keperawatan selanjutnya. Evaluasi tindakan pada
pasien untuk menilai adanya penurunan atau peningkatan tanda dan gejala harga
diri rendah pasien serta kemampuan pasien dalam meningkatkan dan menyadari
kemampuan positif yang pasien miliki (Wuryaningsih, Windarwati, Dewi,
Deviantony & Hadi, 2018).
D. Dokumentasi Keperawatan
Dokumentasi keperawatan pada catatan perkembangan perawatan sangat penting
dilakukan perawat. Dokumen ini merupakan bukti tertulis asuhan keperawatan
yang dapat dipertanggung jawabkan. Dokumen ini jga merupakan media
komunikasi antara perawat maupun perawat- tenaga kesehatan lainnya sebagai
pertimbangan perencanaan tindakan selanjutnya (Wuryaningsih, Windarwati,
Dewi, Deviantony & Hadi, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad dan Mubiar, (2011). Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja


(Tinjauan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Bandung: Refika
Aditama.
Ariani, N. K.(2016). Interpersonal Therapy (IPT) Pada Pasien Paliatif. Tinjauan
Pustaka Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa FK
UDAYANA/RSUP Sanglah Bali.
Cuijpers, Pim; Geraedts, Anna S.; van Oppen, Patricia; Andersson, Gerhard;
Markowitz, John C.; van Straten, Annemieke (2011). Interpersonal
Psychotherapy for Depression: A Meta-Analysis. American Journal of
Psychiatry. 168 (6): 581–92. doi:10.1176/appi.ajp.2010.10101411.
Delphie, B. 2005. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: Refika Aditama
Eifert, Georg H dan John P Forsyth. 2005. Acceptance & Commitment
Therapy for Anxiety Disorders : A Practitioner’s Treatment Guide to
Using Mindfulness, Acceptance, and Values-Based Behavior Change
Strategies. USA : New Harbinger publications, Inc.
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri. Badan
Penerbit FK UI. Jakarta, 2013 pp. 173-198
FIK UI. (2016). Standart Asuhan Keperawatan Jiwa. Workshop Keperawatan Jiwa ke-
X, Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia
Fitriani, A., (2018). Psikoterapi Suportif Pada Penderita Skizofrenia Hebefrenik.
Proyeksi. 13. (2): 15-26.
Friedman, M. 2010. Buku Ajar Keperawatan keluarga : Riset, Teori, dan Praktek.
Edisi ke-5. Jakarta: EGC.
Harvey, C., (2017). Family psychoeducation for people living with schizophrenia and
their families. BJPsych Advances. vol. 24: 9–19, doi: 10.1192/bja.2017.4
Hurlock, Elizabeth B. (2011). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga
Kazak, A. E., Alderfer, M., Rourke, M. T., Simms, S., Streisand, R., &
Grossman, J. R. 2004. Posttraumatic stress symptoms (PTSS) and
posttraumatic stress disorder (PTSD) in families of adolescent
childhood cancer survivors. Journal of Pediatric Psychology, 29,
211–219
Keliat, B.A, Akemat, Helena Novy, dan Nurhaeni Heni. 2011. Keperawatan
Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta :EGC
Luyten, P., De Meulemeester, C., & Fonagy, P. (2019). Psychodynamic therapy in
patients with somatic symptom disorder. Contemporary Psychodynamic
Psychotherapy, 191–206. doi:10.1016/b978-0-12-813373-6.00013-1 
Maramis W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Kiwa: Teori Dan Aplikasi. Yogyakarta:
Penerbit Andi
Mutiara. (2017). Penerapan Terapi Suportif untuk Meningkatkan Manajemen Emosi
Negatif padaIndividu yang Memiliki Pasangan Skizofrenia. Jurnal Muara
Ilmu Sosial, Humaniora,dan Seni. Vol. 1, No. 1, April. Hal. 105-115.
Potter & Perry. 2009. Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta : Salemba
Medika
Robertson, Michael, Rushton, dkk. (2008). Interpersonal Psychotherapies : An
Overview. Psychotheraphy in Australia. Vol 14(3), May 2008
Sarwono, S.W. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
__________.2011. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Shives, L. R. (2005). Basic Concepts of Psychiatric-Mental Health Nursing.
Lippincott: William Wilkins.
Stuart G. W, Keliat, dkk. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. St
Louis Missouri: Elsevier Mosby
Stuart, G.W& Laraia, M.T. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (7
th Ed) St. Louis: Mosby
Stuart, Gail W. (2009). Principles & Practice of Psychiatric Nursing ed.8.
Philadelphia:
Elsevier Mosby
Summers, R. F., & Barber, J. P. (2015). Practicing psychodynamic therapy: A
casebook. New York: The guilford press.
Townsend, M. (2018). Psychiatric mental health nursing: concept of care in evidence-
base practice. Philadelphia: F.A. Davix Company.
Varcarolis, E.M., & Halter, M.J. (2010). Foundations of psychiatric mental health
nursing: a clinical approach. Missouri: saunders Elsevier
Videbeck, S.L. (2017). Psychiatric-Mental Health Nursing. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins
Wade, Carole., Tavris, Carol & Garry, Maryanne. 2014. “Psikologi: Edisi
Kesebelas Jilid 1”. Jakarta: Erlangga.
Wong, D, dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume 1. Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Wuryaningsih, E W., Windarwati, HD., Dewi, EI., Deviantony, F., Hadi, E. (2018).
Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember : UPT Percetakaan & penerbitan
Universitas Jember.
Yusuf, A., Fitryasari, R & Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Zhang, Y., Peters, A., & Bradstreet, J. (2018). Relationships among sleep quality,
coping styles, and depressive symptoms among college nursing students:
A multiple mediator model. Journal of Professional Nursing, 34(4), 320–
325. doi:10.1016/j.profnurs.2017.12.004

Anda mungkin juga menyukai