Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

TUJUH DIAGNOSA GANGGUAN

PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN JIWA

OLEH:

Yang Gusti Mulya, S.Kep


2041312053

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2022
LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

1. Definisi

Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami


penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Pasien isolasi sosial mengalami gangguan dalam berinteraksi dan
mengalami perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain disekitarnya,
lebih menyukai berdiam diri, mengurung diri, dan menghindar dari orang lain
(Yosep, Sutini, 2014).
Isolasi sosial juga merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami suatu
kebutuhan atau mengharapakan untuk melibatkan orang lain, akan tetapi tidak
dapat membuat hubungan tersebut (Carpenito, 2004). Menurut Kim (2006) isolasi
sosial merupakan kesendirian yang dialami individu dan dirasakan sebagai beban
oleh orang lain dan sebagai keadaan yang negatif atau mengancam. Isolasi sosial
merupakan keadaan ketika individu atau kelompok mengalami atau merasakan
kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain
tetapi tidak mampu untuk membuat kontak (Carpenito-Moyet, 2007).
Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan
kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain (Townsend
M.C. dalam Muhith A, 2015). Sedangkan, penarikan diri atau withdrawal
merupakan suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian ataupun minatnya
terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau
menetap (Depkes RI, dalam Muhith A, 2015). Jadi menarik diri adalah keadaan
dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan dan
menghindari interaksi dengan orang lain secara langsung yang dapat bersifat
sementara atau menetap.
2. Penyebab

Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart


dan Sundeen (2007), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab
gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang mungkin
mempengaruhi antara lain yaitu:
 Faktor predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1) Faktor perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang
memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan
orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian, dan kehangatan
dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang
dapatmenghambat terbentuknya rasa percaya diri dan dapat
mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan
di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa
ini, agar anak tidak merasa diperlakukan sebagai objek.
2) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan
oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga,
seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
3) Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang jelas
mempengaruhi adalah otak . Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada
keluarga yang anggota keluarganya ada yang menderita skizofrenia.
Klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial
terdapat kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel,
penurunan berat volume otak serta perubahan struktur limbik.

 Faktor presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor
internal maupun eksternal meliputi:
1) Stresor sosial budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kesepian karena
ditinggal jauh, dirawat di rumah sakit atau dipenjara.
2) Stresor psikologi
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya

kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. (Damaiyanti,


2012: 79)
3. Rentang respon

Berdasarkan buku keperawatan jiwa dari Stuart (2006) menyatakan bahwa


manusia adalah makhluk sosial, untuk mencapai kepuasan dalam kehidupan,
mereka harus membina hubungan interpersonal yang positif. Individu juga harus
membina saling tergantung yang merupakan keseimbangan antara ketergantungan
dan kemandirian dalam suatu hubungan

Perasaan tidak beharga  klien sulit mengembangkan hubungan/komunikasi


dengan orang lain  klien menghindar dari orang lain (regresi/mundur)  klien
tidak mau berkomunikasi dengan orang lain  isolasi sosial

4. Proses terjadinya masalah


 Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan

Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan


yang harus dilalui individu dengan sukses agar tidak terjadi gangguan
dalam hubungan sosial. Apabila tugas ini tidak terpenuhi, akan
mencetuskan seseorang sehingga mempunyai masalah respon sosial
maladaptif. (Damaiyanti, 2012)
2) Faktor biologis
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif
3) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial merupakan faktor utama dalam gangguan berhubungan. Hal
ini diakibatkan oleh norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap
orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif
seperti lansia, orang cacat, dan penderita penyakit kronis.
4) Faktor komunikasi dalam keluarga
Pada komunikasi dalam keluarga dapat mengantarkan seseorang dalam
gangguan berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal
yang negative dan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah.
Seseorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan
dalam waktu bersamaan, ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang
menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
 Stressor presipitasi
1) Stressor sosial budaya
Stres dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor
keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari
orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat di rumah
sakit.
2) Stressor psikologis
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah
dengan orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.

5. Tanda dan gejala


 Gejala subjektif
1) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3) Klien merasa bosan
4) Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
5) Klien merasa tidak berguna

 Gejala objektif
1) Menjawab pertanyaan dengan singkat, yaitu “ya” atau “tidak” dengan pelan
2) Respon verbal kurang dan sangat singkat atau tidak ada
3) Berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri
4) Menyendiri dalam ruangan, sering melamun
5) Mondar-mandir atau sikap mematung atau melakukan gerakan
secara berulang-ulang
6) Apatis (kurang acuh terhadap lingkungan)
7) Ekspresi wajah tidak berseri
8) Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
9) Kontak mata kurang atau tidak ada dan sering menunduk
10) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan
sekitarnya (Trimelia, 2011: 15)
6. Akibat
Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien makin sulit dalam
mengembangkan berhubungan dengan orang lain. Akibatnya pasien menjadi
regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya
perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Pasien semakin tenggelam
dalam perjalinan terhadap penampilan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah
laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut halusinasi
(Stuart dan Sudden dalam Dalami, dkk 2009)

7. Mekanisme koping
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang
sering digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi. (Damaiyanti,
2012: 84)
 Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
 Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat
diterima secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
 Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan
timbulnya kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan
motivasi atau
bertentangan antara sikap dan perilaku.

8. Penatalaksanaan
Menurut dalami, dkk (2009) isolasi sosial termasuk dalam kelompok penyakit
skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis yang bisa
dilakukan adalah:
 Electro Convulsive Therapy (ECT)
Adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak
dengan menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala
(pelipis kiri dan kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall
yang berlangsung
25-30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak
menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam otak.
 Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam
proses terapeutik , upaya dalam psikoterapi ini meliputi:
memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik,
bersifat empati, menerima pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat
mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur
kepada pasien.
 Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan harga diri seseorang.(Prabowo,
2014: 113)
9. Pohon masalah

resiko gangguan persepsi (efek)


sensori : Halusinasi

Isolasi sosial (care problem)

Harga diri rendah (etiologi)

10. Diagnosa keperawatan

a. Perubahan sensori persepsi halusinasi b/d menarik diri

b. Isolasi sosial menarik diri b/d harga diri


rendah (Prabowo, 2014: 114)
11. Rencana Asuhan Keperawatan
 SP 1
1. Identifikasi penyebab isolasi sosial: siapa yang serumah, siapa yang dekat,
yang tidak dekat, dan apa sebabnya
2. Keuntungan punya teman dan bercakap-cakap
3. Kerugian tidak punya teman dan tidak bercakap-cakap
4. Latih cara berkenalan dengan pasien dan perawat atau tamu
5. Masukan pada jadual kegiatan untuk latihan berkenalan

 SP 2
1. Evaluasi kegiatan berkenalan (berapa orang). Beri pujian
2. Latih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (latih 2 kegiatan)
3. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan berkenalan 2- 3 orang pasien,
perawat dan tamu, berbicara saat melakukan kegiatan harian
 SP 3
1. Evaluasi kegiatan latihan berkenalan (berapa orang) & bicara saat
melakukan dua kegiatan harian. Beri pujian

2. Latih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (2 kegiatan baru)

3. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan berkenalan 4-5 orang,


berbicara saat melakukan 4 kegiatan harian

 SP 4
1. Evaluasi kegiatan latihan berkenalan, bicara saat melakukan empat kegiatan
harian. Beri pujian

2. Latih cara bicara sosial: meminta sesuatu, menjawab pertanyan

3. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan berkenalan >5 orang, orang
baru, berbicara saat melakukan kegiatan harian dan sosialisasi
 SP 5 s.d 12
1. Evaluasi kegiatan latihan berkenalan, berbicara saat melakukan kegiatan
harian dan sosialisasi. Beri pujian

2. Latih kegiatan harian

3. Nilai kemampuan yang telah mandiri

4. Nilai apakah isolasi sosial teratasi

DAFTAR PUSTAKA

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT
Refika Aditama.
Trimeilia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur: TIM.
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

1. Definisi
Menurut Dermawan & Rusdi (2013) Defisit perawatan diri adalah gangguan
kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri seperti
mandi,berhias,makan,toileting. Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang
mengalami kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur,
tidak menyisir rambut, pakian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan tidak rapi.
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri
secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan BAB atau
BAK (toileting) (Fitria, 2009).
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri
menurun. Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri
diantaranya mandi, makan dan minum secara mandiri, berhias secara mandiri, dan
toileting.

2. Proses Terjadinya Masalah


a. Faktor Predisposisi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kurang perawatan diri adalah,
Perkembangan. Dalam perkembangan, keluarga yang terlalu melindungi dan
memanjakan klien dapat menimbulkan perkembangan inisiatif dan keterampilan.
Lalu faktor predisposisi selanjutnya adalah Faktor Biologis, beberapa penyakit
kronis dapat menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri secara
mandiri. Faktor selanjutnya adalah kemampuan realitas yang menurun. Klien
dengan gangguan jiwa mempunyai kemampuan realitas yang kurang, sehingga
menyebabkan ketidak pedulian dirinya terhadap lingkungan termasuk perawatan
diri. Selanjutnya adalah faktor Sosial, kurang dukungan serta latihan kemampuan
dari lingkungannya, menyebabkan klien merasa
b. Faktor Presipitasi.
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya
atau penurunan motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual, cemas, lelah / lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri. Sedangkan menurut Depkes tahun 2000 faktor yang mempengaruhi
personal hygiene adalah body Image, praktik social, status sosial ekonomi,
pengetahuan, budaya, kebiasaan dan kondisi fisik.

b. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri


Menurut Nanda (2012),jenis perawatan diri terdiri dari :
a. Defisit perawatan diri : mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi/beraktivitas
perawatan diri untuk diri sendiri.
b. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian
dan berhias untuk diri sendiri
c. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri
d. Defisit perawatan diri : eliminasi / toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas eliminasi sendiri.
c. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah
sebagai berikut :
1) Mandi/Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,memperoleh atau
mendapatkan sumber air,mengatur suhu atau aliran air mandi,mendapatkan
perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi
2) Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan pakaian
,menanggalkan pakaian,serta memperoleh atau menukar pakaian.Klien juga memiliki
ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam,memilih pakaian,mengambil
pakaian dan mengenakan sepatu
3) Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,mempersiapkan
makanan,melengkapi makanan,mencerna makanan menurut cara yang diterima
masyarakat,serta mencerna cukup makanan dengan aman
4) Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau
kamar kecil,duduk atau bangkit dari jamban,memanipulasi pakaian untuk
toileting,membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat,dan menyiram toilet atau
kamar kecil.

d. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Keterangan :
1. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk
berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
melakukan perawatan diri.
2. Kadang perawatan diri kadang tidak : saat klien mendapatkan stresor kadang
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
3. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa
melakukan perawatan saat stresor.
e. Penjabaran Masalah
Effect Gangguan pemeliharaan
Kesehatan (BAB/BAK,
mandi, makan, minum)

Core problem Defisit perawatan diri

Causa Menurunnya motivasi dalam


Perawatan diri

Isolasi sosial : menarik diri


a) Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji :
Masalah yang ditemukan adalah : Defisit Perawatan Diri (SP 1 Kebersihan Diri,
SP 1 Makan, SP 1 Toileting (BAB / BAK), SP 1 Berhias)
Contoh data yang biasa ditemukan dalam Defisit Perawatan Diri : Kebersihan Diri
adalah :
a) Data Subjektif :
Pasien merasa lemah,malas untuk beraktivitas,dan merasa tidak berdaya
b) Data Objektif :
Rambut kotor acak-acakan,badan dan pakaian kotor serta bau, mulut dan
gigi bau,kulit kusam dan kotor,kuku panjang dan tidak terawat.
c) Mekanisme Koping :
Regresi, penyangkalan, isolasi social menarik diri, intelektualisasi.
Defisit perawatan diri bukan merupakan bagian dari komponen pohon masalah
(causa,core problem,effect) tetapi sebagai masalah pendukung.
a) Effect
b) Core Problem
c) Causa
d) Defisit Perawatan Diri.

b) Diagnosa keperawatan
● Defisit Perawatan Diri
c) Rencana Keperawatan
 SP 1
1. Identifikasi masalah perawatan diri: kebersihan diri, berdandan,
makan/minum, BAB/BAK
2. Jelaskan pentingnya kebersihan diri
3. Jalaskan cara dan alat kebersihan diri
4. Latih cara menjaga kebersihan diri: mandi dan ganti pakaian, sikat gigi,
cuci rambut, potong kuku
5. Masukan pada jadual kegiatan untuk latihan mandi, sikat gigi (2 kali per
hari), cuci rambut (2 kali per minggu), potong kuku (satu kali per minggu)
 SP 2
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri. Beri pujian
2. Jelaskan cara dan alat untuk berdandan
3. Latih cara berdandan setelah kebersihan diri: sisiran, rias muka untuk
perempuan; sisiran, cukuran untuk pria
4. Masukkan pada jadual kegiatan untuk kebersihan diri dan berdandan
 SP 3
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri dan berdandan. Beri pujian
2. Jelaskan cara dan alat makan dan minum
3. Latih cara makan dan minum yang baik
4. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan kebersihan diri, berdandan dan
makan & minum yang baik

 SP 4
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri, berdandan, makan & minum. Beri pujian
2. Jelaskan cara BAB dan BAK yang baik
3. Latih BAB dan BAK yang baik
4. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan kebersihan diri, berdandan,
makan & minum dan BAB&BAK
 SP 5 s.d 12
1. Evaluasi kegiatan latihan perawatan diri: kebersihan diri, berdandan, makan
& minum, BAB & BAK. Beri pujian
2. Latih kegiatan harian
3. Nilai kemampuan yang telah mandiri
4. Nilai apakah perawatan diri telah baik

DAFTAR PUSTAKA
Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier

Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(Basic Course).
Jakarta: EGC

Fitria Nita.2009.Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Srategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan(LP dan SP).Jakarta:Salemba Medika.

Damaiyanti Mukhripah,dkk.2012.Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung: PT Refika Aditama


LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

1. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah suatu keadaan dimana klien mengalami perubahan sensori
persepsi yang disebabkan stimulus yang sebenarnya itu tidak ada (Sutejo, 2017).
Menurut Surya, (2011) dalam Pambayung (2015) halusinasi adalah hilangnya
kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari pancaindera
tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia, 2001).Halusinasi
merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya
tidak terjadi.
Berdasarkan pendapat diatas, yang dimaksud dengan halusinasi adalah gangguan
persepsi sensori dimana klien mempersepsikan sesuatu melalui panca indera tanpa ada
stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan ilusi, dimana klien mengalami persepsi
yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya
stimulus eksternal yang terjadi, stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang
nyata ada oleh klien.
2. Etiologi
Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Pambayun (2015), faktor-faktor yang
menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah sebagai berikut :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom tertentu.
Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor penentu gangguan
ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar identik memiliki
kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami
skizofrenia, sementara jika dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang
salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami
skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya
menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal, khususnya dopamin,
serotonin, dan glutamat.
1) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotonin.
2) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat menjadi faktor
predisposisi skizofrenia.
3) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia
antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu
melindungi, dingin, dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil
jarak dengan anaknya.
2. Faktor Presipitasi
1) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan memproses
informasi di thalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
3) Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur, ketidakseimbangan
irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat sistem syaraf pusat, kurangnya
latihan, hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
4) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di rumah
tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup, pola aktivitas
sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan orang lain, isolasi social,
kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, kurang ketrampilan dalam bekerja,
stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
5) Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah, putus asa, tidak
percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa punya kekuatan
berlebihan, merasa malang, bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia
maupun kebudayaan, rendahnya kernampuan sosialisasi, perilaku agresif,
ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.
3. Jenis Halusinasi

Menurut Stuart (2007) dalam Yusalia (2015), jenis halusinasi antara lain :
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang,
biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan
seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum.Biasanya
berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang
terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang
lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan,
merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
6. Halusinasi cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
7. Halusinasi kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

4. Tanda Gejala
Beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi adalah tersenyum atautertawa yang
tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara, bicarasendiri,pergerakan mata cepat,
diam, asyik dengan pengalamansensori,kehilangan kemampuan membedakan
halusinasi dan realitas
Rentang perhatian yang menyempit hanya beberapa detik atau menit,
kesukaranberhubungan dengan orang lain, tidak mampu merawat diri,perubahan
Berikut tanda dan gejala menurut jenis halusinasi Stuart & Sudden, (1998)
dalam Yusalia (2015).
Jenis halusinasi Karakteriostik tanda dan gejala
Pendengaran Mendengar suara-suara / kebisingan,
paling sering suara kata yang jelas,
berbicara dengan klien bahkan sampai
percakapan lengkap antara dua orang
yang mengalami halusinasi. Pikiran
yang terdengar jelas dimana klien
mendengar perkataan bahwa pasien
disuruh untuk melakukan sesuatu
kadang-kadang dapat membahayakan.

Penglihatan Stimulus penglihatan dalam kilatan


cahaya, gambar giometris, gambar
karton dan atau panorama yang luas dan
komplek. Penglihatan dapat berupa
sesuatu yang menyenangkan /sesuatu
yang menakutkan seperti monster.

Penciuman Membau bau-bau seperti bau darah,


urine, fases umumnya baubau yang
tidak menyenangkan. Halusinasi
penciuman biasanya sering akibat
stroke, tumor, kejang / dernentia.

Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa


darah, urine, fases.
Perabaan Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan
tanpa stimulus yang jelas rasa tersetrum
listrik yang datang dari tanah, benda
mati atau orang lain.

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran


Sinestetik darah divera (arteri), pencernaan
makanan.

Kinestetik Merasakan pergerakan sementara


berdiri tanpa bergerak

5. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan keparahannya Stuart &
Sundeen, (2006) dalam Bagus, (2014), membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan
tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat
fase halusinasi, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh
halusinasinya.
Fase halusinasi Karakteristik Perilaku pasien

1 2 3

Fase 1 : Klien mengalami keadaan Menyeringai atau


Comforting-ansietas emosi seperti ansietas, tertawa yang tidak
tingkat sedang, kesepian, rasa bersalah, dan sesuai, menggerakkan
secara umum, takut serta mencoba untuk bibir tanpa
halusinasi bersifat berfokus pada penenangan menimbulkan suara,
menyenangkan pikiran untuk mengurangi pergerakan mata yang
ansietas. Individu mengetahui cepat, respon verbal
bahwa pikiran dan yang lambat, diam dan
pengalaman sensori yang
dialaminya tersebut dapat
dikendalikan jika ansietasnya dipenuhi oleh sesuatu
bias diatasi yang mengasyikkan.

(Non psikotik)

Fase II: Pengalaman sensori bersifat Peningkatan sistem


Condemning-ansieta menjijikkan dan menakutkan, syaraf otonom yang
s tingkat berat, klien mulai lepas kendali dan menunjukkan ansietas,
secara umum, mungkin mencoba untuk seperti peningkatan
halusinasi menjadi menjauhkan dirinya dengan nadi, pernafasan, dan
menjijikkan sumber yang dipersepsikan. tekanan darah;
Klien mungkin merasa malu penyempitan
karena pengalaman kemampuan
sensorinya dan menarik diri konsentrasi, dipenuhi
dari orang lain. dengan pengalaman
sensori dan kehilangan
(Psikotik ringan)
kemampuan
membedakan antara
halusinasi dengan
realita.

Fase III: Klien berhenti menghentikan Cenderung mengikuti


Controlling-ansietas tingkat perlawanan terhadap petunjuk yang
berat, halusinasi dan menyerah diberikan halusinasinya
pengalaman sensori menjadi pada halusinasi tersebut. Isi daripada menolaknya,
berkuasa halusinasi menjadi menarik, kesukaran berhubungan
dapat berupa permohonan. dengan orang lain,
Klien mungkin mengalarni rentang perhatian hanya
kesepian jika pengalaman beberapa detik atau
sensori tersebut berakhir. menit, adanya
(Psikotik) tanda-tanda fisik
ansietas berat :
berkeringat, tremor,
tidak mampu mengikuti
petunjuk.

Fase IV: Conquering Pengalaman sensori menjadi Perilaku


mengancam dan menakutkan menyerang-teror seperti
Panik, umumnya
jika klien tidak mengikuti panik, berpotensi kuat
halusinasi menjadi
perintah. Halusinasi bisa melakukan bunuh diri
lebih rumit, melebur
berlangsung dalam beberapa atau membunuh orang
dalam halusinasinya
jam atau hari jika tidak ada lain, Aktivitas fisik
intervensi terapeutik. yang merefleksikan isi
halusinasi seperti
(Psikotik Berat)
amuk, agitasi, menarik
diri, atau katatonia,
tidak mampu berespon
terhadap perintah yang
kompleks, tidak
mampu berespon
terhadap lebih dari satu
orang.
6. Penatalaksanaan
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan keperawatan untuk
membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling
percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin sebelum
mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk merasa
nyaman menceritakan pengalaman aneh halusinasinya agar informasi tentang halusinasi
yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara konprehensif. Untuk itu perawat harus
memperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa keberadaan
perawat adalah betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga harus sabar,
memperlihatkan penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan klien saat
menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau menertawakan klien
walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh dan menggelikan bagi perawat.
Perawat harus bisa mengendalikan diri agar tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan selanjutnya adalah
membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi halusinasi, waktu, frekuensi
terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi, dan perasaan
klien saat halusinasi muncul). Setelah klien menyadari bahwa halusinasi yang
dialaminya adalah masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih
bagaimana cara yang bisa dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses
ini dimulai dengan mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa
usaha yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan
efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan, sementara jika
cara yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu dengan cara-cara baru.
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara yang bisa
dilatihkan kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
1. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien harus
berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien dilatih
untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau lihat”. Ini dianjurkan untuk
dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu pasien mengenal halusinasi,
jelaskan cara-cara kontrol halusinasi, ajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan
2. Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat ketidakseimbangan
neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk itu, klien perlu diberi
penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi, serta bagairnana
mengkonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara
optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi yang benar dalam
pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan
teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien yang
mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini penting dilakukan
dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem di mana klien berasal.
Pengaruh
sikap keluarga akan sangat menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah
mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa
mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi
sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis), sekalipun klien
pulang ke rumah, mungkin masih mengalarni halusinasi. Dengan mendidik keluarga
tentang cara penanganan halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis
begitu klien kembali ke rumah. Latih pasien menggunakan obat secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
a. Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala – gejala lain yang
biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresi, gangguan
personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
b. Haloperidol ( Haldol, Serenace ), Warna : Putih besar
Indikasi:
Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la tourette pada
anak – anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat pada anak –
anak.
c. Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil
Indikasi:
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia.
3. Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya. Dengan
meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat memvalidasi
persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningkatan stimulus eksternal
jika berhubungan dengan orang lain. Dua hal ini akan mengurangi fokus perhatian
klien terhadap stimulus internal yang menjadi sumber halusinasinya. Latih pasien
mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain:
4. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian. Kebanyakan
halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak dimanfaatkan dengan
baik oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan halusinasinya. Untuk itu, klien perlu
dilatih menyusun rencana kegiatan dari pagi sejak bangun pagi sampai malam
menjelang tidur dengan kegiatan yang bermanfaat. Perawat harus selalu memonitor
pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga klien betul-betul tidak ada waktu lagi untuk
melamun tak terarah. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga, yaitu
melaksanakan aktivitas terjadwal
7. Diagnosa Keperawatan
Halusinasi
8. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
SP 1 : Mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
SP 2 : Mengontrol halusinasi dengan cara menggunakan obat.
SP 3 : Mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap.
SP 4 : Mengontrol halusinasi dengan cara melakukan aktifitas.
9. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Mendiskusikan dengan pasien isi, frekuensi, waktu terjadi, situasi pencetus, perasaan,
respon terhadap halusinasi.
b. Menjelaskan dan melatih cara mengontrol halusinasi:
c. Menghardik halusinasi
d. Menjelaskan cara menghardik halusinasi, memperagakan cara menghardik, meminta
pasien memperagakan ulang, memantau penerapan cara ini, dan menguatkan perilaku
pasien.
e. Menggunakan obat secara teratur
f. Menjelaskan pentingnya penggunaan obat, jelaskan bila obat tidak digunakan sesuai
program, jelaskan akibat bila putus obat, jelaskan cara mendapat obat/ berobat, jelaskan
cara menggunakan obat dengan prinsip 6 benar (benar jenis, guna, frekuensi, cara,
kontinuitas minum obat).
g. Bercakap –cakap dengan orang lain.
h. Melakukan aktifitas yang terjadwal.
i. Menjelaskan pentingnya aktifitas yang teratur, mendiskusikan aktifitas yang biasa
dilakukan oleh pasien, melatih pasien melakukan aktifitas, menyusun jadual aktifitas
sehari–hari sesuai dengan jadual yang telah dilatih, memantau jadual pelaksanaan
kegiatan, memberikan reinforcement.

DAFTAR PUSTAKA

Stuart GW, Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC, 1995
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Keliat BA. Asuhan Klien Gangguan Hubungan Sosial: Menarik Diri. Jakarta : FIK UI.
1999 Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999
Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo, 2003
Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP
Bandung, 2000
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

1. Definisi
Perilaku kekerasan merupakan hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau
ketakutan (panik) sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik berupa ancaman
serangan fisik atau konsep diri (Stuart 2013). Keliat, Akemat, Helena dan Nurhaeni
(2012) menyatakan bahwa perilaku kekerasan adalah salah satu respon marah yang
diekspresikan dengan melakukan ancaman,mencederai orang lain, dan atau merusak
lingkungan . Perasaan terancam ini dapat berasal dari stresor eksternal (penyerangan
fisik, kehilangan orang berarti dan kritikan dari orang lain) dan internal (perasaan
gagal di tempat kerja, perasaan tidak mendapatkan kasih sayang dan ketakutan
penyakit fisik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik terapi generalis maupun
terapi spesialis memberikan hasil yang signifikan untuk menurunkan perilaku
kekerasan. Tindakan keperawatan generalis pada pasien dan keluarga dapat
menurunkan lama rawat klien (Keliat, dkk 2009).
Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan
merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol
(Yosep, 2007). Resiko mencederai diri yaitu suatu kegiatan yang dapat menimbulkan
kematian baik secara langsung maupun tidak langsung yang sebenarnya dapat dicegah
(Depkes, 2007).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan
yaitu ungkapan perasaan marah yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana
individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

2. Penyebab
Menurut Direja (2011) faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan pada
pasien gangguan jiwa antara lain
Faktor Predisposisi

a. Faktor psikologis
1) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi perilaku kekerasan.
2) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang
tidak menyenangkan.
3) Rasa frustasi.
4) Adanya kekerasan dalam rumah, keluarga, atau lingkungan.
5) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan
dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
6) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologik dipengaruhi oleh contoh peran
eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut
Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain.
Faktor ini dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan
penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat
mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat
diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaiannya masalah perilaku kekerasan
merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
c. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya stimulus elektris ringan
pada hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif,
dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus
frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi
indra penciuman dan memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil
berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada di sekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut
a) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respon agresif.
b) Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,
dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi
dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen dan
norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan
serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang menyebabkan
timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang
umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak kriminal (narapidana)
d) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus
temporal) trauma otak, apenyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus
temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa
injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor pencetus
perilaku kekerasan adalah klien, interaksi dan lingkungan

3. Manifestasi Klinis
Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku
kekerasan terdiri dari :
a. Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar, ketus.
c. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel,tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan,
dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral,
dan kreativitas terhambat.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
h. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual

Subjektif
1. Mengungkapkan perasaan kesal atau marah

2. Keinginan untuk melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

3. Klien suka membentak dan menyerang orang lain

Objektif
1. Mata melotot/ pandangan tajam
2. Tangan mengepal dan Rahang mengatup
3. Wajah memerah
4. Postur tubuh kaku
5. Mengancam dan Mengumpat dengan kata-kata kotor
6. Suara keras
7. Bicara kasar, ketus
8. Menyerang orang lain dan Melukai diri sendiri/ orang lain
9.Merusak lingkungan
4. Rentang Respon

Rentang Respon Marah


Respon Adaptif Respon Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Perilaku Kekerasan

a. Asertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang


lain, tanpa merendahkan harga diri orang lain.
b. Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan
c. Pasif adalah respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang dialami, sifat tidak berani mengemukakan keinginan dan pendapat sendiri,
tidak ingin terjadi konflik karena takut akan tidak disukai atau menyakiti
perasaan orang lain.
d. Agresif adalah sikap membela diri sendiri dengan cara melanggar hak orang lain.
e. Perilaku kekerasan adalah perilaku destruktif dan tidak terkontrol disebut
sebagai gaduh gelisah atau amuk.

5. Diagnosa Keperawatan
• Perilaku Kekerasan
• Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
• Harga diri rendah

6. Asuhan Keperawatan
 SP I
1. Identifikasi penyebab, tanda & gejala, PK yang dilakukan, akibat PK
2. Jelaskan cara mengontrol PK: fisik, obat, verbal, spiritual
3. Latihan cara mengontrol PK secara fisik: tarik nafas dalam dan pukul kasur dan
bantal
4. Masukan pada jadual kegiatan untuk latihan fisik
 SP 2
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik. Beri pujian
2. Latih cara mengontrol PK dengan obat (jelaskan 6 benar: jenis, guna, dosis,
frekuensi, cara, kontinuitas minum obat)
3. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan fisik dan minum obat
 SP 3
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik & obat. Beri pujian
2. Latih cara mengontrol PK secara verbal (3 cara, yaitu: mengungkapkan,
meminta, menolak dengan benar)
3. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan fisik, minum obat dan verbal

 SP 4
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik & obat & verbal. Beri pujian
2. Latih cara mengontrol spiritual (2 kegiatan)
3. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan fisik, minum obat, verbal dan
spiritual

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, RI. 2007. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Magelang: RSJ Prof. Dr.
Soeroyo Magelang.

Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Dwi, A. S., & Prihantini, E. 2014. Keefektifan Penggunaan Restrain terhadap Penurunan
Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan , 138-
139.

Farida, K., & Yudi, H. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba
Medika.

Jenny, M., Purba, S. E., Mahnum, L. N., & Daulay, W. 2008. Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.

Keliat, D. B. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Buku Kedokteran

EGC. Undang-Undang No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa

Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa (Cetakan 1). Bandung: PT Refika Aditama.


LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH (HDR)

A. Pengertian
Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri
termasuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya,
pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. (Departemen Kesehatan RI, 2000)
Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Pencapaian ideal diri
atau cita-cita atau harapan langsung menghasilkan perasaan bahagia.(Keliat, Budi,
2006)

B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Yang mempengaruhi harga diri : penolakan orang tua, harapan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan berulang
b. Yang mempengaruhi performa peran : sterotip peran gender, tuntutan peran
kerja dan harapan peran budaya
2. Faktor Presipitasi
a. Trauma : misal penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan yang
mengancam kehidupan
b. Ketegangan peran : hubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan
individu mengalaminya sebagai frustasi : Ada 3 transisi peran yaitu transisi
perkembangan seperti perubahan normatif yang berkaitan dengan
pertumbuhan. Transisi peran situasi, terjadi dengan bertambahnya atau
berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran dan kematian. Transisi
peran sehat sakit, terjadi akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan
sakit.(Stuart GW, Sundeen S.J.2005)

C. Manifestasi Klinis
1. Data subjektif:
a. Perasaan tidak mampu
b. Rasa bersalah
c. Mengkritik diri sendiri atau orang lain
d. Sikap negative pada diri sendiri
e. Sikap pesimis pada kehidupan
f. Keluhan sakit fisik
g. Pandangan hidup yang terpolarisasi
h. Menolak kemampuan diri sendiri
i. Mengungkapkan kegagalan diri sendiri
j. Ketidakmampuan menetukan tujuan

2. Data objektif:
a. Produktivitas menurun
b. Mengukur diri sendiri dan orang lain
c. Destruktif pada orang lain
d. Destruktif terhadap diri sendiri
e. Menolak diri secara sosial
f. Penyalahgunaan obat
g. Menarik diri dan realistis
h. Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah
i. Menunujukkan tanda depresi (susah tidur dan tidak nafsu makan)
(Sudden & Stuart, 2005)

D. Pohon Masalah

Isolasi Sosial : Menarik Diri

Gangguan Konsep diri : Harga Diri Rendah

Koping individu
E. Penatalaksanaan
1. Psikofarmako
a. Cloppromazine (CPZ)
Indikasi untuk sindrom psikologis yaitu berat dalam kemampuan menilai
realistis, kesadaran diri terganggu, waham, halusinasi, gangguan perasaan dan
perilaku aneh
Efek samping sedasi, gangguan otonomik dan endokrin
b. Haloperidol (HPL)
Indikasi : berdaya berat dalam kemampuan menilai realistis dalam fungsi
netral serta fungsi kehidupan sehari-hari
Efek samping : sedasi, gangguan otonomik dan endokrin.
c. Trihexypheridyl (THP)
Indikasi : Segala jenis penyakit parkinson, termasuk pascaenchepalitis dan
idiopatik
Efek samping : hpersensitive terhadap trihexyphenidyl, psinosis
berat, psikoneurosis, dan obstruksi saluran cerna
2. Psikoterapi
a. Terapi okupasi/ rehabilitasi
Terapi terarah bagi pasien, fisik maupun mental dengan menggunakan
aktivitas terpilih sebagai media. Aktivitas tersebut berupa kegiatan yang
direncanakan sesuai tujuan.

b. Terapi psikososial
Rencana pengobatan skizofrenia harus ditujukan pada kemampuan dan
kekurangan pasien. Selain itu sebagai strategi penurunan stress dan mengenal
masalah dan perlibatan kembali pasien ke dalam aktivitas.
c. Psikoterapi
Psikoterapi dapat membantu penderita adalah psikoterapi suportif dan
individual atau kelompok serta bimbingan yang praktis dengan maksud untuk
3. Manipulasi lingkungan
a. Bersikap menerima psien dan negatifismenya
b. Melibatkan pasien dalam aktivitas kelompok dan aktivitas di ruangan
c. Memberi kesempatan pada pasien untuk mengerjakan tugas dan
tanggungjawabnya sendiri. Misalnya, menata tempat tidur, membersihkan alat
makan, dan minum obat.
d. Memberikan umpan balik positif untuk tugas-tugas yang dilakukan secara mandiri

F. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


a. Fokus Pengkajian
- Data Subyektif : Klien mengatakan tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-
apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaaan malu terhadap
orang lain dari diri-sendiri
- Data Obyektif : Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ ingin mengakhiri hidup.
(Stuart GW.Sundeen, 2005)

b. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
2. Isolasi sosial
(Keliat, BA.2006)

c. Intervensi

 SP 1
1. Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif pasien
(buat daftar kegiatan)
2. Bantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini (pilih dari daftar
kegiatan)
3. : buat daftar kegiatan yang dapat dilakukan saat ini
4. Bantu pasien memilih salah satu kegiatan yang dapat dilakukan saat ini untuk dilatih
5. Latih kegiatan yang dipilih (alat dan cara melakukannya)
6. Masukan pada jadual kegiatan untuk latihan dua kali per hari
 SP 2
1. Evaluasi kegiatan pertama yang telah dilatih dan berikan pujian
2. Bantu pasien memilih kegiatan kedua yang akan dilatih
3. Latih kegiatan kedua kedua (alat dan cara)
4. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan: dua kegiatan masing2 dua kali per hari
 SP 3

1. Evaluasi kegiatan pertama dan kedua yang telah dilatih dan berikan pujian
2. Bantu pasien memilih kegiatan ketiga yang akan dilatih
3. Latih kegiatan ketiga (alat dan cara)
4. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan: tiga kegiatan, masing-masing dua
kali per hari

 SP 4

1. Evaluasi kegiatan pertama, kedua, dan ketiga yang telah dilatih dan berikan pujian
2. Bantu pasien memilih kegiatan keempat yang akan dilatih
3. Latih kegiatan keempat (alat dan cara)
4. Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan: empat kegiatan masing-masing dua
kali per hari
 SP 5 s.d 12

1. Evaluasi kegiatan latihan dan berikan pujian.


2. Latih kegiatan dilanjutkan sampai tak terhingga
3. Nilai kemampuan yang telah mandiri
4. Nilai apakah harga diri pasien meningkat

DAFTAR PUSTAKA
Aziz R.dkk.2004. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang. RSJD Dr. Amino
Gonohutomo
Carpenito. L.J.2003. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 1,
Jakarta : EGC
Keliat, B.A. 2006.Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(Basic
Course). Jakarta: EGC
Maramis, W,F.2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Edisi 9. Surabaya : Airlangga
univertsity. Press
Rasmun.2004. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatrik. Terintegrasi Dengan Keluarga Edisi
1. Jakarta : CV.Sagung Seto
LAPORAN PENDAHULUAN RISIKO BUNUH DIRI
(RBD)

A. Pengertian
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri disebabkan
karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal dalam
melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah. Beberapa
alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk beradaptasi, sehingga
tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan
hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti, perasaan marah/
bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri, cara untuk
mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2006).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008). Menciderai diri adalah tindakan
agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri
mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah
yang dihadapi (Captain, 2008).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi. (Budi Anna Kelihat, 2000).
Bunuh diri menurut Gail W. Stuart dalam buku “Keperawatan Jiwa”
dinyatakan sebagai suatu aktivitas yang jika tidak dicegah, dimana aktivitas ini dapat
mengarah pada kematian (2007).
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki
4 pengertian, antara lain:
 Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
 Bunuh diri dilakukan dengan intensi
 Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
 Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif),
misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau
secara sengaja berada di rel kereta api.

Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus harapan


merupakan rentang adaptif maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku,
sedangkan respon maladaptif merupakan respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
budaya setempat. Respon maladaptif antara lain:
1. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.
Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan masalah,
karena merasa tidak mampu mengembangkan koping yang bermanfaat sudah
tidak berguna lagi, tidak mampu mengembangkan koping yang baru serta yakin
tidak ada yang membantu.
2. Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan
merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya :
Kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan
merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang semuanya dapat berakhir dengan
bunuh diri.
a) Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan
kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat individu ke
luar dari keadaan depresi berat.

b) Bunuh diri
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Laraia, 2005).
B. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
● Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang
tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri
mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita
lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
● Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh
individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
● Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan
terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.

Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri, meliputi:

▪ Bunuh diri anomik

Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk
bunuh diri.

▪ Bunuh diri altruistik


Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
▪ Bunuh diri egoistik

Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri
seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.

C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
● Mempunyai ide untuk bunuh diri
● Mengungkapkan keinginan untuk mati
● Impulsif
● Menunjukan perilaku yang mencurigakan
● Mendekati orang lain dengan ancaman
● Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
● Latar belakang keluarga

D. Faktor yang mempengaruhi


1. Faktor Mood dan Biokimiawi otak
Ghansyam pandey menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam manusia bisa
mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey
mengetahui faktor tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34
remaja yang 17 diantaranya meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa
tingkat aktivitas protein kinase C (PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah
dibanding mereka yang meninggal bukan karena bunuh diri.
Hj. Rooswita mengatakan, “depresi berat menjadi penyebab utama. Depresi
timbul karena pelaku tidak kuat menanggung beban permasalahan yang
menimpa. Karena terus menerus mendapat tekanan, permasalahan kian
menumpuk dan pada puncaknya memicu keinginan bunuh diri.”
2. Faktor riwayat gangguan mental
Dalam otak kita gterdapat berbagai jaringan, termasuk pembuluh darah. Di
dalamnya juga terdapat serotonin, adrenalin, dan dopamin.
Ketiga cairan dalam otak itu bisa menjadi petunjuk dalam
neurotransmiter(gelombang/gerakan dalam otak) kejiwaan manusia. Karena itu,
kita harus waspadai bila terjadi peningkatan kadar ketiga cairan itu di dalam otak.
Biasanya, bila kita lihat dari hasil otopsi para korban kasus bunuh diri, cairan otak
ini tinggi, terutama serotonin.
Apa penyebab umum yang meningkatkan kadar cairan otak itu? Sebagai contoh
adanya masalah yang membebani seseorang sehingga terjadi stress atau depresi.
Itulah yang sering membuat kadar cairan otak meningkat.
3. Faktor meniru, imitasi, dan pembelajaran
Dalam kasus bunuh diri, dikatakan ada Proses Pembelajaran. Para korban
memiliki pengalaman dari salah satu keluarganya yang pernah melakukan
percobaan bunuh diri atau meninggal karena bunuh diri.
4. Faktor isolasi sosial dan Human Relations
Secara umum, stress muncul karena kegagalan beradaptasi. Ini dapat terjadi di
lingkungan pekerjaan, keluarga, sekolah, pergaulan dalam masyarakat, dan
sebagainya.
5. Faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar
Penyebab bunuh diri yang lain adalah rasa tidak aman. Rasa tidak aman
merupakan penyebab terjadinyabanyak kasus bunuh diri di Jakarta dan sekitarnya
akhir-akhir ini. tidak adanya rasa aman untuk menjalankan usaha bagi warga serta
ancaman terhadap tempat tinggal mereka berpotensi kuat memunculkan
gangguan kejiwaan seseorang hingga tahap bunuh diri.
E. Stressor pencetus
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang memalukan,
seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan,
atau ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui seseorang yang mencoba atau
melakukan bunuh diri atau terpengaruh media untuk bunuh diri, juga membuat
individu semakin rentan untuk melakukan perilaku bunuh diri.
F. Penilaian stressor
Upaya bunuh diri tidak mungkin diprediksikan pada setiap tindakan. Oleh karena itu,
perawat harus mengkaji faktor resiko bunuh diri pada pasien.
G. Sumber koping
Pasien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali pasien secara sadar memilih
untuk bunuh diri.
H. Mekanisme koping
Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang berhubungan
dengan perilaku destruktif-diri tidak langsung adalah penyangkalan, rasionalisasi,
intelektualisasi, dan regresi.
I. Pohon Masalah

J. Diagnosa Keperawatan

Resiko Bunuh Diri

K. Intervensi
 SP 1
1. Identifikasi beratnya masalah risiko bunuh diri: isarat, ancaman, percobaan
(jika percobaan segera rujuk)
2. Identifikasi benda-benda berbahaya dan mengankannya (lingkungan aman
untuk pasien)

3. Latihan cara mengendalikan diri dari dorongan bunuh diri: buat daftar aspek
positif diri sendiri, latihan afirmasi/berpikir aspek positif yang dimiliki
4. Masukan pada jadual latihan berpikir positif 5 kali per hari

 SP 2

1. Evaluasi kegiatan berpikir positif tentang diri sendiri, beri pujian. Kaji ulang
risiko bunuh diri

2. Latih cara mengendalikan diri dari dorongan bunuh diri: buat daftar aspek positif
keluarga dan lingkungan, latih afirmasi/berpikir aspek positif keluarga dan
lingkungan
3. Masukkan pada jadual latihan berpikir positif tentang diri, keluarga dan lingkungan
 SP 3

1. Evaluasi kegiatan berpikir positif tentang diri, keluarga dan lingkungan. Beri
pujian. Kaji risiko bunuh diri

2. Diskusikan harapan dan masa depan


3. Diskusikan cara mencapai harapan dan masa depan
4. Latih cara-cara mencapai harapan dan masa depan secara bertahap (setahap
demi setahap)

5. Masukkan pada jadual latihan berpikir positif tentang diri, keluarga dan
lingkungan dan tahapan kegiatan yang dipilih

 SP 4

1. Evaluasi kegiatan berpikir positif tentang diri, keluarga dan lingkungan serta
kegiatan yang dipilih. Beri pujian
2. Latih tahap kedua kegiatan mencapai masa depan
3. Masukkan pada jadual latihan berpikir positif tentang diri, keluarga dan
lingkungan, serta kegiatan yang dipilih untuk persiapan masa depan

 SP 5 s.d 12

1. Evaluasi kegiatan latihan peningkatan positif diri, keluarga dan lingkungan. Beri pujian
2. Evaluasi tahapan kegiatan mencapai harapan masa depan
3. Latih kegiatan harian
4. Nilai kemampuan yang telah mandiri
5. Nilai apakah risiko bunuh diri teratasi

DAFTAR PUSTAKA

Captain, C. (2008). Assessing suicide risk, Nursing made incrediblyeasy, Volume 6(3).

Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan

Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.


Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.

Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama


LAPORAN PENDAHULUAN PERUBAHAN PROSES PIKIR : WAHAM

A. Definisi
Waham adalah keyakinan tentang suatu pikiran yang kokoh, kuat, tidak
sesuai dengan kenyataan, tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang
budaya, selalu dikemukakan berulang-ulang dan berlebihan biarpun telah
dibuktikan kemustahilannya atau kesalahannya atau tidak benar secara umum.
(Tim Keperawatan PSIK FK UNSRI, 2005).
Waham adalah keyakinan keliru yang sangat kuat yang tidak dapat dikurangi
dengan menggunakan logika (Ann Isaac, 2004)
Waham adalah keyakinan tentang suatu isi pikiran yang tidak sesuai dengan
kenyataannya atau tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang
kebudayaannya, biarpun dibuktikan kemustahilannya (Maramis,W.F,1995)
Waham adalah keyakinan yang salah dan menetap dan tidak dapat
dibuktikan dalam kenyataan (Harold I, 1998).

B. Etiologi
Waham merupakan salah satu gangguan orientasi realitas. Gangguan
orientasi realitas adalah ketidakmampuan klien menilai dan berespons pada
realitas. Klien tidak dapat membedakan rangsangan intern al dan eksternal, tidak
dapat membedakan lamunan dan kenyataan. Klien tidak mampu memberi respons
secara akurat, sehingga tampak perilaku yang sukar dimengerti dan mungkin
menakutkan.
Gangguan orientasi realitas disebabkan oleh fungsi otak yang terganggu
yaitu fungsi kognitif dan isi fikir; fungsi persepsi, fungsi emosi, fungsi motorik
dan fungsi sosial. Gangguan pada fungsi kognitif dan persepsi mengakibatkan
kemampuan menilai dan menilik terganggu. Gangguan fungsi emosi, motorik dan
sosial mengakibatkan kemampuan berespons terganggu yang tampak dari
perilaku nonverbal (ekspresi muka, gerakan tubuh) dan perilaku verbal
(penampilan hubungan sosial). Oleh karena gangguan orientasi realitas terkait
dengan fungsi otak maka gangguan atau respons yang timbul disebut pula respons
neurobiologik.
C. Proses terjadinya Waham
- Individu diancam oleh lingkungan, cemas dan merasa sesuatu yang tidak
menyenangkan.
- Individu mengingkari ancaman dari persepsi diri atau objek realitas yang
menyalahartikan kesan terhadap kejadian
- Individu memproyeksikan pikiran, perasaan dan keinginan negative atau
tidak dapat diterima menjadi bagian eksternal
- Individu memberikan pembenarn atau interpretasi personal tentang realita
pada diri sendiri atau orang lain.

D. Faktor Penyebab Terjadinya Waham


1) Faktor Predisposisi
a. Faktor Biologis
- Gangguan perkembangan otak, frontal dan temporal
- Lesi pada korteks frontal, temporal dan limbik
- Gangguan tumbuh kembang
- Kembar monozigot, lebih beresiko dari kembar dua telur
b. Faktor Genetik
- Gangguan orientasi realita yang ditemukan pada klien dengan skizoprenia
c. Faktor Psikologis
- Ibu pengasuh yang cemas/over protektif, dingin, tidak sensitif
- Hubungan dengan ayah tidak dekat/perhatian yang berlebihan
- Konflik perkawinan
- Komunikasi “double bind”
- Sosial budaya
- Kemiskinan
- Ketidakharmonisan sosial
- Stress yang menumpuk
2) Faktor Presipitasi
a. Stressor sosial budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas
keluarga, perpisahan dengan orang yang paling penting, atau diasingkan
dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Penelitian tentang pengaruh dopamine, inorefinefrin, lindolomin, zat
halusinogen diduga berkaitan dengan orientasi realita
c. Faktor psikologi
Intensitas kecemasan yang ekstrim dan menunjang disertai terbatasnya
kemampuan mengatasi masalah memungkinkan berkurangnya orientasi
realiata.

E. Jenis-jenis Waham
Menurut Mayer Gross, waham dibagi 2 macam :
1. Waham Primer
Timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari luar. Misal
seseorang merasa istrinya sedang selingkuh sebab ia melihat seekor cicak
berjalan dan berhenti dua kali.
2. Waham Sekunder
Biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara bagi
penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lainnya.
Ada beberapa jenis waham :
1. Waham Kejar
Klien mempunyai keyakinan ada orang atau komplotan yang sedang
mengganggunya atau mengatakan bahwa ia sedang ditipu, dimata-matai atau
kejelekannya sedang dibicarakan.
2. Waham Somatik
Keyakinan tentang (sebagian) tubuhnya yang tidak mungkin benar,
umpamanya bahwa ususnya sudah busuk, otaknya sudah cair, ada seekor kuda
didalam perutnya.
3. Waham Kebesaran
Klien meyakini bahwa ia mempunyai kekuatan, pendidikan, kepandaian atau
kekayaan yang luar biasa, umpamanya ia adalah Ratu Kecantikan, dapat
membaca pikiran orang lain, mempunyai puluhan rumah atau mobil.
4. Waham Agama
Keyakinan klien terhadap suatu agama secara berlebihan dan diucapkan secara
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
5. Waham Dosa
Keyakinan bahwa ia telah berbuat dosa atau kesalahan yang besar, yang tidak
dapat diampuni atau bahwa ia bertanggung jawab atas suatu kejadian yang
tidak baik, misalnya kecelakaan keluarga, karena pikirannya yang tidak baik
6. Waham Pengaruh
Yakin bahwa pikirannya, emosi atau perbuatannya diawasi atau dipengaruhi
oleh orang lain atau suatu kekuatan yang aneh
7. Waham Curiga
Klien mempunyai keyakinan bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusah merugikan atau mencederai dirinya yang disampaikan secara
berulang-ulang dan tidak sesuai dengan kenyataan
8. Waham Nihilistik
Klien yakin bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia atau meninggal yang
dinyatakan secara berulang-ulang dan tidak sesuai dengan kenyataan.

9. Delusion of reference
Pikiran yang salah bahwa tingkah laku seseorang ada hubunganya dengan dirinya.

F. Karakteristik atau Kriteria Waham


- Klien percaya bahwa keyakinannya benar
- Bersifat egosentris
- Tidak sesuai dengan rasio atau logika
- Klien hidup menurut wahamnya

G. Tanda dan Gejala


1. Kognitif :
a. Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
b. Individu sangat percaya pada keyakinannya
c. Sulit berfikir realita
d. Tidak mampu mengambil keputusan
2. Afektif
a. Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
b. Afek tumpul
3. Prilaku dan Hubungan Sosial
a. Hipersensitif
b. Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
c. Depresif
d. Ragu-ragu
e. Mengancam secara verbal
f. Aktifitas tidak tepat
g. Streotif
h. Impulsif
i. Curiga
4. Fisik
a. Higiene kurang
b. Muka pucat
c. Sering menguap
d. BB menurun
e. Nafsu makan berkurang dan sulit tidur

H. Pohon Masalah dan Analisa Data

Resiko Tinggi, mencederai


diri, orang lain dan
lingkungan

Perubahan Isi Pikir : Kerusakan


Waham Komunikasi
Verbal

Gangguan Konsep Diri :


Harga Diri Rendah
I. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
- Perubahan Isi Pikir : Waham
- Resiko mencederai diri sendiri dan lingkungan
- Gangguan konsep diri : harga diri rendah
- Kerusakan komunikasi verbal
J. Intervensi
 SP 1

1. Identifikasi tanda dan gejala waham

2. Bantu orientasi realitas: Panggil nama, orientasi waktu, orang


dan tempat/lingkungan
3. Diskusikan kebutuhan pasien yang tidak terpenuhi
4. Bantu pasien memenuhi kebutuhannya yang realistis
5. Masukan pada jadual kegiatan pemenuhan kebutuhan

 SP 2

1. Evaluasi kegiatan pemenuhan kebutuhan pasien dan berikan pujian


2. Diskusikan kemampuan yang dimiliki
3. Latih kemampuan yang dipilih, berikan pujian
4. Masukkan pada jadual pemenuhan kebutuhan dan kegiatan yang telah dilatih

 SP 3
1. Evaluasi kegiatan pemenuhan kebutuhan pasien, kegiatan yang
dilakukan pasien dan berikan pujian
2. Jelaskan tentang obat yang diminum (6 benar: jenis, guna, dosis,
frekuensi, cara, kontinuitas minum obat) dan tanyakan manfaat yang
dirasakan pasien
3. Masukkan pada jadual pemenuhan kebutuhan, kegiatan yang telah dilatih
dan obat
 SP 4
1. Evaluasi kegiatan pemenuhan kebutuhan pasien,kegiatan yang telah
dilatih, dan minum obat Berikan pujian
2. Diskusikan kebutuhan lain dan cara memenuhinya
3. Diskusikan kemampuan yang dimiliki dan memilih yang akan
dilatih. Kemudian latih
 Masukkan pada jadual pemenuhan kebutuhan, kegiatan yang telah
dilatih, minum obat
 SP 5 s.d 12

1. Evaluasi kegiatan pemenuhan kebutuhan, kegiatan yang dilatih dan


minum obat. Beri pujian
2. Nilai kemampuan yang telah mandiri
3. Nilai apakah frekuensi munculnya waham berkurang, apakah
waham terkontrol

DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk. 2003. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr. amino
Gondoutomo
Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP & SP ) untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa
Berat bagi Program S1 Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta
Keliat Budi A. 1999. Proses keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Bandung
: RSJP.
Townsend M.C. 1998. Diagnose keperawatan pada keperawatan psikiatri; Pedoman untuk
pembuatan rencana keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai