ISOLASI SOSIAL
(Diajukan untuk memenuhi tugas praktik klinik keperawatan jiwa di Rehabilitasi Prima
Harapan)
Disusun Oleh :
juliana
191FK01063
(.........................) (.........................)
1. Definisi
2. Penyebab
Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart dan
Sundeen (2007), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab
gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang mungkin
mempengaruhi antara lain yaitu:
a. Faktor predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1) Faktor perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan
pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian, dan kehangatan dari
ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya diri dan dapat mengembangkan
tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari.
Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak
merasa diperlakukan sebagai objek.
2) Faktor sosial budaya
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal meliputi:
1) Stresor sosial budaya
3. Rentang Respon
Berdasarkan buku keperawatan jiwa dari Stuart (2006) menyatakan bahwa manusia
adalah makhluk sosial, untuk mencapai kepuasan dalam kehidupan, mereka harus
membina hubungan interpersonal yang positif. Individu juga harus membina saling
tergantung yang merupakan keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian
dalam suatu hubungan
Interdependen
Respon adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang masih dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan budaya lingkungannya yang umum berlaku dan
lazim dilakukan oleh semua orang.. respon ini meliputi:
a. Solitude (menyendiri)
Adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya juga suatu cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah-langkah selanjutnya.
b. Otonomi
Adalah suatu hubungan saling tergantung antara individu dengan orang lain
dalam rangka membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya lingkungannya yang umum berlaku dan
tidak lazim dilakukan oleh semua orang. Respon ini meliputi: (Trimelia, 2011: 9)
a. Kesepian adalah kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasing dari
lingkungannya, merasa takut dan cemas.
b. Menarik diri adalah individu mengalami kesulitan dalam membina hubungan
dengan orang lain.
c. Ketergantungan (dependen) akan terjadi apabila individu gagal mengembangkan
rasa percaya diri akan kemampuannya. Pada gangguan hubungan sosial jenis ini
orang lain diperlakukan sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah
pengendalian orang lain, dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri
atau tujuan, bukan pada orang lain.
d. Manipulasi adalah individu memperlakuakan orang lain sebagai objek, hubungan
terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan individu cenderung
berorientasi pada diri sendiri.
e. Impulsif adalah individu tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu
belajar dari pengalaman dan tidak dapat diandalkan.
f. Narcisisme adalah individu mempunyai harga diri yang rapuh, selalu berusaha
untuk mendapatkan penghargaan dan pujian yang terus menerus, sikapnya
egosentris, pencemburu, dan marah jika orang lain tidak mendukungnya.
1) Faktor perkembangan
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang
harus dilalui individu dengan sukses agar tidak terjadi gangguan dalam
hubungan sosial. Apabila tugas ini tidak terpenuhi, akan mencetuskan seseorang
sehingga mempunyai masalah respon sosial maladaptif. (Damaiyanti, 2012)
2) Faktor biologis
Isolasi sosial merupakan faktor utama dalam gangguan berhubungan. Hal ini
diakibatkan oleh norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain,
atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif seperti lansia,
orang cacat, dan penderita penyakit kronis.
4) Faktor komunikasi dalam keluarga
b. Stressor presipitasi
Stres dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor
berpisah
keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan dari orang yang
berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat di rumah sakit.
2) Stressor psikologis
a. Gejala subjektif
b. Gejala objektif
1) Menjawab pertanyaan dengan singkat, yaitu “ya” atau “tidak” dengan pelan
2) Respon verbal kurang dan sangat singkat atau tidak ada
6. Akibat
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi
sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa dialami pasien dengan
latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan, dan
kecemasan. (Prabowo, 2014: 112)
Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien makin sulit dalam mengembangkan
berhubungan dengan orang lain. Akibatnya pasien menjadi regresi atau mundur,
mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan
dan kebersihan diri. Pasien semakin tenggelam dalam perjalinan terhadap penampilan
dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga berakibat lanjut halusinasi. (Stuart dan Sudden dalam Dalami, dkk 2009)
7. Mekanisme Koping
b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat diterima
secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya
kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau
bertentangan antara sikap dan perilaku.
8. Penatalaksanaan
Menurut dalami, dkk (2009) isolasi sosial termasuk dalam kelompok penyakit
skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan
adalah:
Adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak dengan
menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis
kiri dan kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung
25-30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak
menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam otak.
b. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam
proses terapeutik , upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman
dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima
pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya
secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien.
c. Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan harga diri seseorang. (Prabowo,
2014: 113)
9. Pohon Masalah
Effect
↓
Isolasi sosial : menarik diri
Core problem
↓
Gangguan konsep diri
Causa
(1) Sapa pasien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
(9) Beri perhatian dan penghargaan : temani pasien walau tidak menjawab
Kriteria hasil :
(3) Lingkungan
(5) Upaya yang telah dilakukan untuk mendekatkan diri dengan orang
lain
(a) Kaji pengetahuan pasien tentang perilaku menarik diri dan tanda-
tandanya
(b) Beri kesemapatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan
penyebab menarik diri tidak mau bergaul
(c) Diskusikan pada pasien tentang perilaku menarik diri, tanda serta
penyebab yang muncul
(d) Berikan reinforcement (penguatan) positif terhadap kemampuan
pasien dalam mengungkapkan perasaannya.
c) Pasien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain
dan kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain.
Kriteria hasil :
Setelah ..x pertemuan, pasien dapat menyebutkan keuntungan
berhubungan dengan orang lain, misal:
(1) Banyak teman
(1) Sendiri
(2) Tidak punya teman, kesepian
Intervensi
(3) Kelompok
Intervensi
Intervensi
(1) Bina hubungan saling percaya dengan keluarga: salam, perkenalkan
diri, sampaikan tujuan, buat kontrak eksplorasi perasaan keluarga
(2) Diskusikan pentingnya peranan keluarga sebagai pendukung untuk
mengatasi perilaku menarik diri
(3) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang: perilaku menarik diri ,
penyebab perilaku menarik diri, akibat yang akan terjadi jika
perilaku menarik diri tidak ditanggapi, cara keluarga menghadapi
pasien menarik diri
(4) Diskusikan potensi keluarga untuk membantu mengatasi pasien
menarik diri
(5) Latih keluarga merawat pasien menarik diri
DAFTAR PUSTAKA
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama.
Trimeilia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur: TIM.
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
(Diajukan untuk memenuhi tugas praktik klinik keperawatan jiwa di Rehabilitasi Prima
Harapan)
Disusun Oleh :
Juliana
191FK01063
(.........................) (.........................)
h) Masalah Utama
Defisit Perawatan Diri
i) Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat
adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas
perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan
merawat kebersihan diri di antaranya mandi, makan dan minum secara mandiri,
berhias secara mandiri, dan toileting ( buang air besar atau (BAB) buang air kecil
(BAK) )
Defisit perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya, kesehatannya dan
kesejahteraan yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Klien dinyatakan
terganggu perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan dirinya. (Aziz
R. 2003 )
b. Etiologi
Menurut tarwoto dan wartonah (2000) penyebab kurang perawatan diri
adalah kelelahan fisik dan penurunan kesadaran menurut Depkes (2006)
perawatan diri adalah:
i. Faktor Predisposisi
1. Perkembangan
Keluarga selalu melindungi dan memanjakan sehingga perkembangan
inisiatif terganggu
2. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri
3. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dan kemampuan realitas Sakura
menyebabkan ketidak apel dan pendirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri
4. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri di
lingkungannya. situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
ii. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual, cemas, lelah atau
lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000), faktor- faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
c) Body image. Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya
d) Praktik social. Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri,
maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene
e) Status social ekonomi. personal hygiene memerlukan alat dan bahan
seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampoo, alat mandi yang semuanya
memerlukan uang untuk menyediakannya
f) Pengetahuan. Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan misalnya pada
pasien penderita diabetes melitus ia harus menjaga kekudusan kakinya
g) Budaya. Di sebagian masyarakat jika individu saat tertentu tidak boleh
dimandikan
h) Kebiasaan seseorang. Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk
tertentu dalam perawatan ini seperti penggunaan sabun shampo dan lain-
lain
i) Kondisi fisik atau psikis. Pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan
untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya
c. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri
Menurut Nanda – 1 ( 2012), jenis perawatan diri terdiri dari :
i. Defisit Perawatan Diri : Mandi :
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi atau
aktivitas perawatan diri untuk diri sendiri
ii. Defisit Perawatan Diri : Berpakaian :
Hambatan kemampuan untuk makan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian
dan berhias untuk diri sendiri
iii. Defisit Perawatan Diri : Makan :
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
sendiri
iv. Defisit Perawatan Diri : Eliminasi :
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri
d. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah
sebagai berikut :
i. Mandi atau hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam Badan, memperoleh atau mendapat
sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan Perlengkapan
mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi
ii. Berpakaian atau berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh akan menukar pakaian.
Klien juga memiliki kemampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih
pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik,
melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan
pada tingkat yang memuaskan, mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.
iii. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, membuka container, manipulasi makanan
dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu memasukkannya ke
mulut, melengkapi makanan , mencerna makanan menurut cara yang
diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup
makanan dengan aman.
iv. Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
zaman atau kamar kecil, susuk atau bangkit dari jamban, manipulasi pakaian
atau toileting, membersihkan diri setelah BAB atau BAK dengan tepat dan
menyiram toilet atau kamar kecil.
Menurut Depkes (2000), tanda dan gejala lain dengan defisit perawatan diri
adalah:
c) Fisik
d) Badan bau , Pakaian kotor
e) Rambutan dan kulit kotor
f) Kuku panjang dan kotor
g) Gigi kotor disertai bau mulut
h) Penampilan tidak rapi
d) Psikologis
3) Malas, tidak inisiatif
4) Menarik diri, isolasi diri
5) Berdaya rendah diri dan merasa hina
e) Sosial
g) Interaksi kurang
h) Kegiatan kurang
i) Tidak mampu berperilaku sesuai norma
j) Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat,
gosok gigi, dan mandi tidakmampu Mandiri
e. Batasan Karakteristik
Menurut Nanda- 1 (2012), batasan karakteristik klien dengan defisit perawatan
diri adalah :
i. Defisit Perawatan Diri : Mandi;
c) Ketidakmampuan untuk mengakses kamar mandi
d) Ketidakmampuan mengeringkan tubuh
e) Ketidakmampuan mengambil perlengkapan kamar mandi
f) Ketidakmampu menjangkau sumber air
g) Ketidakmampuan mengatur air mandi
h) Ketidakmampuan membasuh tubuh
ii. Defisit Perawatan Diri : Berpakaian;
3) Ketidakmampuan mengancing pakaian
4) Ketidakmampuan mendapatkan pakaian
5) Ketidakmampuan mengenakan atribut pakaian
6) Ketidakmampuan mengenakan sepatu
7) Ketidakmampuan mengenakan kaos kaki
8) Ketidakmampuan pelepasan atribut pakaian
9) Ketidakmampuan melepas sepatu
10) Ketidakmampu melepas kaos kaki
11) Hambatan memilih pakaian
12) Hambatan mempertahankan penampilan yang memuaskan
13) Hambatan mengambil pakaian
14) Hambatan menggunakan pakaian pada bagian tubuh bawah
15) Hambatan mengenakan pakaian pada bagian tubuh atas
16) Hambatan memasang sepatu
17) Hambatan memasang kaos kaki
18) Hambatan melepas pakaian
19) Hambatan melepas sepatu
20) Hambatan melepas kaki
21) Hambatan menggunakan alat bantu
22) Hambatan menggunakan resleting
iii. Defisit Perawatan Diri : Makan;
2 Ketidakmampuan mengambil makanan dan memasukan ke mulut
3 Ketidakmampuan mengunyah makanan
4 Tidakmampu menghabiskan makanan
5 Ketidakmampuan menempatkan makanan ke perlengkapan makan
6 Ketidakmampuan menggunakan perlengkapan makan
7 Ketidakmampuan memakan makanan dalam cara yang dapat diterima
secara sosial
8 Ketidakmampu memakan makan dengan aman
9 Ketidakmampuan memakan makanan dalam jumlah memadai
10 Ketidakmampuan memanipulasi makanan dalam mulut
11 Ketidakmampuan membuka wadah makanan
b) Ketidakmampuan mengambil gelas dan cangkir
c) Ketidakmampuan memakan makanan untuk dimakan
d) Ketidakmampuan menelan makanan
e) Ketidakmampuan menggunakan alat bantu
iv. Defisit perawatan diri; eleminasi;
c. Ketidakmampuan melakukan hygiene eleminasi yang tepat
d. Ketidakmampuan menyiram toilet atau kursi buang air (commode)
e. Ketidakmampuan naik ke toilet atau commode
f. Ketidakmampuan memanipulasi pakaian untuk eleminasi
g. Ketidakmampuan berdiri dari toilet atau commode
h. Ketidakmampuan untuk duduk di toilet atau commode
f. Dampak Masalah Defisit Perawatan Diri
c) Dampak Fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang
sering terjadi adalah: gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa
mulut, infeksi pada mata dan telinga, gangguan fisik pada kuku.
d) Dampak Psikologi
Masalah yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga
diri. Aktualisasi diri, dan gangguan interaksi sosial.
g. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2 Pengkajian
2) Data yang biasa ditemukan dalam Defisit Perawatan Diri adalah :
d. Data Subjektif
c) Pasien merasa lemah
d) Malas untuk beraktivitas
e) Merasa tidak berdaya
e. Data Objektif
d. Rambut kotor, acak-acakan
e. Badan dan pakaian kotor dan bau
f. Mulut dan gigi bau
g. Kulit kusam dan kotor
h. Kuku panjang dan tidak terawat
3) Mekanisme koping :
b. Regrasi
c. Penyangkalan
d. Isolasi sosial, menarik diri
e. Intelektualisasi
Format/ data fokus pengkajian pada klien dengan Defisit Perawatan Diri
c) Status Mental
c) Penampilan
[ ] Tidak Rapi
[ ] Penggunaan pakaian tidak sesuai
[ ] Cara berpakaian tidak seperti biasa
Jelaskan …………………………………………………………..
Masalah Keperawatan …………………………………………...
d) Kebutuhan Sehari-hari
b. Kebersihan diri
[ ] Bantuan minimal [ ] Bantuan total
c. Makan
[ ] Bantuan minimal [ ] Bantuan total
d. BAB/BAK
[ ] Bantuan minimal [ ] Bantuan total
e. Berpakaian/berhias
[ ] Bantuan minimal [ ] Bantuan total
Jelaskan …………………………………………………………..
Masalah Keperawatan …………………………………………...
j) POHON MASALAH
Gangguan pemeliharaan
kesehatan ( BAB, BAK,
mandi, makan, minum)
Defisit Perawatan
diriEffect
Menurunnya motivasi
dalam perawatan diri
Core Problem
Objektif :
Klien terlihat:
(2) Rambut kotor, acak-acakan
(3) Badan dan pakaian kotor dan bau
(4) Mulut dan gigi bau
(5) Kulit kusam dan kotor
(6) Kuku panjang dan tidak terawat
k) DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Defisit Perawatan Diri
l) RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
NO Rencana Tindakan Keperawatan Rasional
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
(Diajukan untuk memenuhi tugas praktik klinik keperawatan jiwa di Rehabilitasi Prima Harapan)
Oleh :
Juliana
191FK01063
(.........................) (.........................)
PRODI DIII KEPERAWATAN
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
2. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan yaitu :
a. Faktor psikologis
Psychoanalytical theory: teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan
akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku anusia dipengaruhi
oleh dua insting. Kesatu insting hidup yang di ekspresikan dengan seksualitas dan
kedua insting kematian yang di ekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-aggresion theory: teori yang dikembangkan oleh pengikut freud ini
berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan
memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang
menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan tindakan agrresif
mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung pentingnya
peran dari perkembangan presdiposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan
pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak
merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut:
1. Kerusakan otak organik, retardasi mental sehingga tidak mampu untuk
menyelesaikan secara efektif.
2. Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-
kanak,atau seduction parental, yang mungkin telah merusak hubungan saling
percaya dan harga diri.
3. Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atau
mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan
atau koping.
b. Faktor soosial budaya
Social-Learning Theory: teory yang dikembangkan oleh Bandura (1977)
dalam Yosep (2009) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-
respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan
semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk
terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap kebangkitan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pelajaran ini bisa internal atau
eksternal.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat
diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan
cara yang asertif.
c. Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agrsif mempunyai
dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian
stimulus elektris ringan pada hipotalamus bidatang ternyata menimbulkan perilaku
agresif. Rangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus
dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya,
mendesis dll.
Jika kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus
frontal (untuk pemikiran rasional) dan lobus temporal. Neurotransmiter yang sering
dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin, norepineprine, acetilkolin
dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung:
1. Masa kanak-kanak yang mendukung
2. Sering mengalami kegagalan
3. Kehidupan yang penuh tindakan agresif
4. Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)
3. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
(a) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
(b) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
(c) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
(d) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
(e) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
(f) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap
4. Jenis
a. Kekerasan fisik: yaitu jenis kekerasan yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa melihatnya
karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya adalah:
menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan
barang, dll.
b. Kekerasan non fisik: yaitu jenis kekerasan yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa
langsung diketahui perilakunya apabila tidak jeli memperhatikan, karena tidak terjadi
sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Kekerasan non fisik ini dibagi menjadi dua,
yaitu;
1) Kekerasan verbal: kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata. Contohnya: membentak,
memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip,
menuduh, menolak dengan kata kata kasar, mempermalukan didepan umum dengan
lisan, dll
2) Kekerasan psikologis/psikis : kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh, contohnya
memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan,
mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir dan memelototi.
5. Fase Fase
Fase- fase perilaku kekerasan
a. Triggering incidents
Ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien. Beberapa faktor yang
dapat menjadi pemicu agresi antara laian: provokasi, responterhadap kegagalan,
komunikasi yang buruk, situasi yang menyebabkan frustrasi, pelanggaran batas terhadap
jarak personal, dan harapan yang tidak terpenuhi. Pada fase ini klien dan keluarga baru
datang.
b. Escalation phase
Ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat diseterakan dengan respon fight
or flight. Pada fase escalasi kemarahan klien memuncak, dan belum terjadi tindakan
kekerasan. Pemicu dari perilaku agresif klien gangguan psikiatrik bervariasi misalnya:
halusinasi, gangguan kognitif, gangguan penggunaan zat, kerusakan neurologi/kognitif,
bunuh diri dan koping tidak efektif.
c. Crisis point
Sebagai lanjutan dari fase escalasi apabila negosiasi dan teknik de escalation gagal
mencapai tujuannya. Pada fase ini klien sudah melakukan tindakan kekerasan.
d. Settling phase
Klien yang melakukan kekerasan telah melepaskan energi marahnya. Mungkin
masih ada rasa cemas dan marah dan berisiko kembali ke fase awal.
e. Post crisis depression
Klien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan berfokus pada
kemarahan dan kelelahan.
f. Return to normal functioning
Klien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan cemas, depresi, dan kelelahan.
6. Rentang Respon
Menurut Yosep ( 2007 ) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang
ekstrim dari marah atau ketakutan ( panik ).
Respon Adaptif Respon Maladaptif Asertif
Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif sampai
kekerasan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a. Asertif : individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan ketenangan.
b. Frustasi : individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemuka alternatif.
c. Pasif : individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
d. Agresif : perilaku yang menyertai marah terdapat dorongan untuk menuntut tetapi
masih terkontrol.
e. Kekerasan : perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan
yang dimanivestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan
suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu. Orang
yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa ia
”tidak setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituruti atau
diremehkan.” Rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon normal
(asertif) sampai pada respon yang tidak normal (maladaptif).
7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah:
a. Sublimasi, yaitu melampiaskan masalah pada objek lain.
b. Proyeksi, yaitu menyatakan orang lain mengenal kesukaan/ keinginan tidak baik.
c. Represif, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan dengan
melebihkansikap atau perilaku yang berlawanan.
d. Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan
dengan melebihkan sikap perilaku yang berlawanan.
e. Displecement, yaitu melepaskan perasaan tertekan dengan bermusuhan pada objek
yang berbahaya.
f. Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan
dari seseorang karna ditinggal oleh orang yang dianggap berpangaruh dalam
hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang
harga diri rendah (HDR), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain tidak dapat diatasi maka akan muncul
halusinasi berupa suara-suara atau bayang- bayangan yang meminta klien untuk
melakukan kekerasan. Hal ini data berdampak pada keselamatan dirinya dan orang
lain (resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
g. Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang
kurang baik dalam mengahadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan
klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini yang menyebabkan klien sering keluar
masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal
(regimen terapeutik inefektif).
No Data Masalah
1 Subjektif Resiko perilaku
Tindakan
Titik awal penanganan:
(1)Beri kesempatan mengungkapkan perasaan jengkel / kesal
(2)Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan
jengkel/kesa
(3) Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan dengan
sikap tenang
(3) Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan. Rasional:
Untuk mengetahui hal yang dialami dan dirasakan saat melakukan perilaku
kekerasan.
Tindakan
(1) Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami dan dirasakannya
saat jengkel/marah.
(2) Observasi tanda dan gejala perilaku kekerasan pada klien
(3) Simpulkan bersama klien tanda dan gejala jengkel/kesal yang dialami
klien.
(4) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
Rasional: Untuk mengetahui perilaku kekerasan yang biasa klien lakukan dan
dengan bantuan perawat bisa membedakan perilaku konstruktif dengan
destruktif
Tindakan:
(1) Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan klien (verbal, pada orang lain, pada lingkungan dan pada diri
sendiri)
(2) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.
(3) Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya selesai
(5) Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
Rasional: Dengan mengetahui akibat perilaku kekerasan diharapkan klien
dapat mengubah perilaku destruktidf menjadi konstruktif.
Tindakan:
(1) Bicarakan akibat/ kerugian dari cara yang telah dilakukan klien
(2) Bersama klien simpulkan akibat cara yang digunakan oleh klien.
(3) Tanyakan pada klien apakah ”apakah ingin mempelajari cara baru
yang sehat”
(6) Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku
kekerasan.
Rasional: Penyaluran rasa marah yang konstruktif dapat menghindari
perilaku kekerasan
Tindakan:
(1) Diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien.
(2) Beri reinforcement positif atas kegiatan fisik yang biasa dilakukan
klien.
(3) Diskusikan dua cara fisik yang paling mudah dilakukan untuk mencegah
perilaku kekerasan, yaitu: tarik nafas dalam dan pukul kasur dan bantal.
(4) Diskusikan cara melakukan tarik nafas dalam dengan klien
(5) Beri contoh kepada klien tentang cara menarik nafas dalam
(6) Minta klien untuk mengikuti contoh yang diberikan sebanyak 5 kali
(7) Beri pujian positif atas kemampuan klien mendemonstrasikan cara
menarik nafas dalam
(8) Diskusikan dengan klien mengenai frekuensi latihan yang akan
dilaksanakan sendiri oleh klien
(9) Susun jadwal kegiatan untuk melatih cara yang telah dipelajari
(10) Klien mengevaluasi pelaksanaan latihan cara pencegahan
perilakukekerasan yang telah dilakukan dengan mengisi jadwal
kegiatan harian (self evaluation)
(7) Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku
kekerasan.
Rasional: dengan berbicara yang baik (meminta, menolak dan
mengungkapkan perasaan) dapat menhindari perilaku kekerasan
Tindakan
(1) Diskusikan cara bicara yang baik pada klien.
(2) Beri contoh cara bicara yang baik: meminta dengan baik, menolak
dengan baik dan mengungkapkan perasaan yang baik).
(3) Minta klien mengikuti contoh cara bicara yang baik.
(4) Diskusikan dengan klien tentang waktu dan kondisi cara bicara yang
dapat dilakukan diruangan.
(5) Klien mengevaluasi pelaksanaan latihan cara bicara yang baik
dengan mengisi jadwal kegiatan harian (self evaluation)
(8) Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah perilaku
kekerasan
Rasional: ibadah yang biasa dilakukan dapat digunakan untuk menetramkan
jiwa sehingga perilaku kekerasan dapat terhindar
Tindakan:
(1) Diskusikan dengan klien tentang kegiatan ibadah yang pernah
dilakukan
(2) Bantu klien menilai kegiatan ibadah yang dapt dilakukan
(3) Diskusikan dengan klien tentang waktu pelaksanan kegiatan ibadah
(4) Klien mengevaluasi pelaksanaan kegiatan ibadah dengan mengisi
jadwal kegiatan harian (self evaluation)
(9) Klien mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah
perilaku kekerasan.
Rasional: Klien dapat memiliki kesadaran pentingnya minum obat dan
bersedia minum obat dengankesadaran sendiri.
Tindakan:
(1) Diskusikan dengan klien tentang jenis obat yang diminumnya
(nama, warna, besar); waktu minum obat;cara minum obat.
(2) Diskusikan dengan klien tentang manfaat minum obat secara
teratur.
(3) Jelaskan prinsip benar minum obat (nama, dosis, waktu, cara
minum).
(4) Anjurkan klien minta obat dan minum obat tepat waktu.
(5) Anjurkan klien melapor kepada perawat/ dokter bila
merasakan efek yang tidak
menyenangkan.
(6) Berikan pujian pada klien bila minum obat dengan benar.
(10) Klien dapat mengikuti Terapi Aktivitas Kelompok (TAK): stimulasi
persepsi pencegahan perilaku kekerasan.
Rasional: dengan mengikuti TAK klien bisa mengungkapan perasaan yang
berhubungan dengan perilaku kekerasan kepada temen dan perawat.
Tindakan :
(1) Anjurkan klien untuk ikut TAK: stimulasi persepsi pencegahan
perilaku kekerasan.
(2) Fasilitasi klien untuk mempraktikan hasil kegiatan TAK dan beri
pujian atas keberhasilanya.
(11) Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan pencegahan
perilaku kekerasan.
Rasional: Keluarga adalah orang yang terdekat dengan klien, dengan
melibatkan keluarga, maka mencegah klien kambuh.
Tindakan :
(1) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien sesuai dengan
yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini
(2) Jelaskan cara-cara merawat klien: terkait dengan cara mengontrol
perilaku marah secara konstruktif, sikap dan carabicara.
(3) Diskusikan dengan keluarga tentang tanda-tanda marah, penyebab
marah dan cara menghadapi klien saat marah
(4) Beri reinforcement positif pada hal-hal yang dicapai keluarga
VI. SUMBER
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan LP dan SP . Jakarta:
Selemba Medika
(Diajukan untuk memenuhi tugas praktik klinik keperawatan jiwa di Rehabilitasi Prima Harapan)
Disusun Oleh :
Juliana
191FK01063
(.........................) (.........................)
2021
LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH
k) MASALAH UTAMA
Menurut NANDA (2005), harga diri rendah adalah berkembangnya persepsi diri
yang negatif dalam berespon terhadap situasi yang sedang terjadi. Sedangkam
menurut CMHN (2006), harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak
berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri. Harga diri rendah adalah suatu kondisi dimana individu
menilai dirinya atau kemampuan dirinya negatif atau suatu perasaan menganggap
dirinya sebagai seseorang yang tidak berharga dan tidak dapat bertanggung jawab atas
kehidupannya sendiri.
Herdman (2012), mengatakan bahwa, harga diri rendah kronik merupakan
evaluasi diri negatif yang berkepanjangan/ perasaan tentang diri atau kemampuan diri
Harga diri rendah yang berkepanjangan termasuk kondisi tidak sehat mental karena
dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan lain, terutama kesehatan jiwa.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa: harga diri rendah
dikarenakan penilaian internal maupun penilaian eksternal yang negatif. Penilaian
internal merupakan penilaian dari individu itu sendiri, sedangkan penilaian eksternal
merupakan penilaian dari luar diri individu (seperti orang tua, teman saudara dan
lingkungan) yang sangat mempengaruhi penilaian individu terhadap dirinya.
a. Faktor Predisposisi
i. Biologis
Faktor heriditer (keturunan) seperti adanya riwayat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa Selain itu adanya riwayat penyakit kronis atau
trauma kepala merupakan merupakan salah satu faktor penyebab gangguan
jiwa,
ii. Psikologis
Masalah psikologis yang dapat menyebabkan timbulnya harga diri rendah
adalah pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, penolakan dari
lingkungan dan orang terdekat serta harapan yang tidak realistis. Kegagalan
berulang, kurang mempunyai tanggungjawab personal dan memiliki
ketergantungan yang tinggi pada orang lain merupakan faktor lain yang
menyebabkan gangguan jiwa. Selain itu pasiendengan harga diri rendah
memiliki penilaian yang negatif terhadap gambaran dirinya, mengalami krisis
identitas, peran yang terganggu, ideal diri yang tidak realistis.
iii. Faktor Sosial Budaya
Pengaruh sosial budaya yang dapat menimbulkan harga diri rendah adalah
adanya penilaian negatif dari lingkungan terhadap klien, sosial ekonomi
rendah, pendidikan yang rendah serta adanya riwayat penolakan lingkungan
pada tahap tumbuh kembang anak.
b. Faktor Presipitasi
i. Trauma
Masalah spesifik dengan konsep diri adalah situasi yang membuat individu
sulit menyesuaikan diri, khususnya trauma emosi seperti penganiayaan
seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian yang mengancam
kehidupannya.
Ketegangan peran adalah rasa frustasi saat individu merasa tidak mampu
melakukan peran yang bertentangan dengan hatinya atau tidak merasa sesuai
dalam melakukan perannya. Ketegangan peran ini sering dijumpai saat
terjadi konflik peran, keraguan peran, dan terlalu banyak peran. Konflik peran
terjadi saat individu menghadapi dua harapan yang bertentangan dan tidak
dapat dipenuhi. Berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan
dimana individu mengalaminya sebagai frustasi, ada tiga jenis
transisi peran :
1. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam
kehidupan individu atau keluarga dan norma- norma budaya, nilai-nilai dan
tekanan penyesuaian diri.
2. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambahnya atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran atau kematian.
3. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke
keadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh.
Perubahan bentuk, ukuran, panampilan, dan fungsi tubuh. Perubahan fisik
berhubungan dengan tumbuh kembang normal. Prosedur medis keperawatan.
c. Jenis
Konsep diri dipelajari mulai kontak social dan pengalaman berhubungan dengan
orang lain. Pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh begaimana
individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya. Konsep diri
seseorang terletak pada suatu rentang respons antara ujung adaptif dan ujung
maladaptif, yaitu aktualisasi diri, konsep diri positif, harga diri rendah,
kekacauan identitas, dan depersonalisasi.
(7)Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
(8)Konsep diri positif apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negatifdari dirinya.
(9)Harga diri rendah adalah individu cenderung untuk menilai dirinya negatif dan merasa
lebih rendah dari orang lain.
(10) Identitas kacau adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial kepribadian pada
masa dewasa yang harmonis.
(11) Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri
sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.
f. Mekanisme Koping
n) DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Tindakan Keperawatan:
(2) Perkenalkan diri dengan klien: perkenalkan nama dan nama panggilan yang
Perawat sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasienyang disukai.
(4) Buat kontrak asuhan: apa yang Perawat akan lakukan bersama klien,berapa
lama akan dikerjakan, dan tempatnya dimana.
(2) Beri pujian yang realistik dan hindarkan memberikan penilaian yangnegatif
setiap kali bertemu dengan klien.
(1) Bantu pasienmenilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini (pilih daridaftar
kegiatan): buat daftar kegiatan yang dapat dilakukan saat ini.
(1) Diskusikan kegiatan yang akan dipilih untuk dilatih saat pertemuan.
(4) Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan dua kali per hari.
(5) Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang diperlihatkan
klien.
Tindakan Keperawatan:
k) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya harga diri rendah dan
mengambil keputusan merawat klien
Disusun Oleh :
Juliana
191FK01063
(.........................) (.........................)
r) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari
4) Faktor Biologis : Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa (herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).
5) Faktor Psikologis Memiliki riwayat kegagalan yang berulang. Menjadi korban,
pelaku maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya kasih sayang dari
orang-orang disekitar atau overprotektif.
6) Sosiobudaya dan lingkungan Sebahagian besar pasien halusinasi berasal dari
keluarga dengan sosial ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki riwayat
penolakan dari lingkungan pada usia perkembangan anak, pasien halusinasi
seringkali memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta pernahmmengalami
kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri), serta tidak bekerja.
s) Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi ditemukan adanya
riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak, adanya riwayat
kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup, kemiskinan,
adanya aturan atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan
pasien serta konflik antar masyarakat.
r) POHON MASALAH
s) DIAGNOSA KEPERAWATAN
g) Resiko Menciderai Diri Sendiri Oranglain dan Lingkungan b.d Halusinasi
h) Perubahan Persepsi Sensori b.d Halusinasi
i) Isolasi Sosial b.d Menarik Diri
t) RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Setelah menetapkan diagnose keperawatan lakukanlah tindakan keperawatan pada pasien
dengan gangguan sensori persepsi: halusinasi. Tindakan keperawatan harus ditujukan juga
untuk keluarga karena keluarga memegang peranan penting didalam merawat pasien dirumah
setelah pasien pulang dari rumah sakit.. Saat melakukan asuhan keperawatan baik di
Puskesmas dan kunjungan rumah, perawat menemui keluarga terlebih dahulu sebelum
menemui pasien. Saat melakukan pelayanan di Puskesmas dan kunjungan rumah,, perawat
menemui keluarga terlebih dahulu sebelum menemui pasien. Bersama keluarga, perawat
mengidentifikasi masalah yang dialami pasien dan keluarga. Setelah itu, perawat menemui
pasien untuk melakukan pengkajian, mengevaluasi dan melatih satu cara lagi untuk
mengatasi masalah yang dialami pasien. Jika pasien telah mendapatkan terapi psikofarmaka
(obat), maka hal pertama yang harus dilatih perawat adalah pentingnya kepatuhan minum
obat. Setelah perawat selesai melatih pasien, perawat menemui keluarga untuk melatih cara
merawat pasien. Selanjutnya perawat menyampaikan hasil tindakan yang telah dilakukan
terhadap pasien dan tugas yang perlu keluarga yaitu untuk mengingatkan pasien melatih
kemampuan mengatasi masalah yang telah diajarkan oleh perawat.
a. Tindakan Keperawatan Untuk Pasien Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi.
Tujuan: Pasien mampu:
h) Membina hubungan saling percaya
i) Mengenal halusinasi dan mampu mengontrol halusinasi dengan menghardik
j) Mengontrol halusinasi dengan enam benar minum obat
k) Mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
l) Mengontrol halusinasi dengan melakukan aktifitas sehari-hari
Tindakan Keperawatan
l) Membina Hubungan Saling Percaya dengan cara:
o. Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien dan
p. Berkenalan dengan pasien: perkenalkan nama dan nama panggilan yang
perawat sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan yang disukai
pasien
q. Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini
r. Buat kontrak asuhan apa yang perawat akan lakukan bersama pasien,
berapa lama akan dikerjakan, dan tempat pelaksanaan asuhan
keperawatan.
s. Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh
untuk kepentingan terapi
t. Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien
u. Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
m) Membantu pasien menyadari ganguan sensori persepsi halusinasi
o) Tanyakan pendapat pasien tentang halusinasi yang dialaminya: tanpa
mendukung, dan menyangkal halusinasinya.
p) Mengidentifikasi isi, frekuensi, waktu terjadinya, situasi pencetus,
perasaan, respon dan upaya yang sudah dilakukan pasien untuk
menghilangkan atau mengontrol halusinasi.
q) Melatih Pasien cara mengontrol halusinasi: Secara rinci tahapan melatih
pasien mengontrol halusinasi dapat dilakukan sebagai berikut:
i. Jelaskan cara mengontrol halusinasi dengan menghardik, 6(enam)
benar minum obat, bercakap-cakap dan melakukan kegiatan
dirumah seperti membereskan kamar, merapihkan tempat tidur
serta mencuci baju.
j. Berikan contoh cara menghardik, 6(enam) benar minum obat,
bercakapcakap dan melakukan kegiatan dirumah seperti
membereskan kamar, merapihkan tempat tidur serta mencuci baju.
k. Berikan kesempatan pasien mempraktekkan cara menghardik,
6(enam) benar minum obat, bercakap-cakap dan melakukan
kegiatan dirumah seperti membereskan kamar, merapihkan tempat
tidur serta mencuci baju yang dilakukan di hadapan Perawat
l. Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan
oleh pasien.
m. Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah melakukan
tindakan keperawatan untuk mengontrol halusinasi. Mungkin
pasien akan mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya. Beri
dorongan terus menerus agar pasien tetap semangat meningkatkan
latihannya.
u) DAFTAR PUSTAKA
i) Nurhalimah.2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan.
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Pusdik kesehatan Badan
pengembangan sumber daya manusia kesehatan.
j) Direja,Ade Herman S. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika