Anda di halaman 1dari 120

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN ISOLASI

SOSIAL DI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO

OLEH :

FEBRIYANTI YESTELDA REBOKH

SN231069

PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 20223/2024
1. PENGERTIAN
Isolasi sosial didefenisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang individu
mengalami kondisi penurunan, bahkan ketidakmampuan dalam berinteraksi sosial
dengan orang disekitarnya. kondisi ini mengakibatkan individu tersebut kurang
komprehensif dalam keterlibatan dengan orang dan komunitas. sehingga
menyebabkan individu menjadi sosok yang senang berdiam diri bahkan menghindari
keterlibatan dengan orang disekitar. (Evans et al, 2019).
Isolasi sosial adalah kondisi dimana individu mengalami keadaan penurunan
bahkan sama sekali tidak mampu berkomunikasi atau berinteraksi, dengan orang
disekelilingnya. pasien dengan isolasi sosial sebagian besar mengalami perasaan tidak
diterima oleh orang lain, tidak bergun bagi orang lain, cepat putus asah, menjadi
orang yang tidak mudah tertarik dengan kegiatan sosial, dan tidak mampu konsentrasi
dalam membuat suatu kesepakatan. (Mista et al, 2018).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu selalu merasa sendiri dengan
merasa bahwa kehadiran orang lain merupakan sebuah ancaman terhadap dirinya
sehingga individu cenderung menutup diri (Kirana, 2018).
Berdasarkan pengertian yang sudah di sampaikan oleh beberapa jurnal dapat
disimpulkan bahwa Isolasi sosial merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan
berinteraksi dengan orang lain maupun komunitas di sekitarnya. sehingga
menyebabkan individu menarik diri dari lingkungan serta tidak dapat menyesuaikan
diri dengan orang yang ada disekitar akibatnya timbul perasaan tidak berguna, cepat
putus asa, merasa tidak diterima dan tidak berguna bahkan mengganggap orang
disekitar adalah ancaman untuk diri sendiri.

2. RENTAN RESPON
Respon Adaptif Respon Maladaptif

- Menyendiri - Merasa Sendiri - Manipulasi


- Otonom - Menarik diri - Impulsif
- Bekerjasama - Ketergantungan - Narcisissm
- Saling ketergantungan
(Interdependen)
Penjelasan :
Menurut Surjono & Teguh (2009). Respon adaptif merupakan sebuah respons dari
individu untuk dapat merenungkan
o Menyendiri : adalah kondisi dimana individu dapat merenungkan kondisi yang
dihadapi selama ini dengan secara langsung dapat mengevaluasi diri sendiri.
o Otonom : Sebuah proses individu dalam menentukan serta menyampaikan ide
dan gagasan, perasaan dalam hubungan individu dengan sosial. Sehingga
tercipta keadaan interdependen dan dapat mengatur diri.
o Bekerjasama : adalah sebuah proses terbentuknya sebuah hubungan yang
solid, dalam memberi dan menerima hubungan intrapersonal.
o Ketergantungan : adalah sebuah hubungan yang memiliki ketergantungan
saling membuat hubungan interpesonal Anatara seseorang dengan orang
lainnya.

Respon maladatif adalah kondisi Dimana individu melakukan sebuah penyelesaian


masalah dengan cara yang berlainan dengan ajaran dan peraturan yang dianut oleh
masyarakat. Surjono & Teguh (2009)
o Manipulasi : Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan
orang lain sebagai obyek. Hubungan berpusat pada masalah dalam
mengendalikan orang lain dan individu cenderung berorientasi pada diri
sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai pertahanan terhadap
kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat untuk berkuasa pada orang lain
o Impulsif : Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subyek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu
merencanakan, tidak mampu untuk belajar dari pengalaman dan miskin
penilaian.

3. ETIOLOGI
Isolasi sosial pada individu disebabkan karena adanya dua faktor pencetus, yaitu
faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi disebabkan karena
adanya tahap tumbuh kembang yang belum dihadapi oleh individu dengan sempurna.
penyebab dari terbentuknya isolasi sosial pada seorang individu adalah hubungan
serta komunikasi antar anggota keluarga yang tidak harmonis, terjadinya kesalahan
dalam proses menganut norma-norma atau ajaran yang salah serta Adanya faktor
biologis berupa gen yang diturunkan oleh keluarga sehingga memicu individu
mengalami sakit jiwa. kemudian ada faktor presipitasi yang menjadi sumber masalah
utama karena adannya stressor sosial budaya, serta stressor psikologis yang bisa
menyebabkan individu menjadi muda mengalami kecemasan (Prabowo, 2014). Isolasi
sosial disebabkan karena 2 faktor yaitu :
1) Faktor Predisposisi
1. Faktor biologis : Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat
mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya
pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial
memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta
perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal.
2. Faktor komuikasi dalam keluarga : Dalam Keluarga Gangguan
komunikasi merupakan faktor pendukung untuk terjadinya gangguan
hubungan sosial, seperti adanya komunikasi yang tidak jelas (double bind)
yaitu suatu keadaan dimana individu menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan, dan ekspresi emosi yang tinggi di setiap
berkomunikasi.
3. Faktor Sosial Budaya : Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan
sosial merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam
hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang salah dianut oleh
keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut
usia, berpenyakitan kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan
sosial.
2) Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) proses terjadinya gangguan terhadap hubungan
sosial yang disebabkan karena. Faktor internal dan eksternal yang terjadi lada
individu. Faktor stressor presipitasi meliputi:
1. Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor
keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari
orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah
sakit.
2. Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah
dengan orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.

4. MANIFESTASI KLINIS
1) Gejala subjektif
o Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
o Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
o Klien merasa bosan
o Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
o Klien merasa tidak berguna
2) Gejala objektif
o Menjawab pertanyaan dengan singkat, yaitu “ya” atau “tidak” dengan
pelan
o Respon verbal kurang dan sangat singkat atau tidak ada
o Berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri
o Menyendiri dalam ruangan, sering melamun
o Mondar-mandir atau sikap mematung atau melakukan gerakan secara
berulang-ulang
o Apatis (kurang acuh terhadap lingkungan)
o Ekspresi wajah tidak berseri
o Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
o Kontak mata kurang atau tidak ada dan sering menunduk
o Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
(Trimelia, 2011: 15)

5. AKIBAT
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau
isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa dialami pasien
dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan,
dan kecemasan.(Prabowo, 2014: 112).
Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien makin sulit dalam mengembangkan
berhubungan dengan orang lain. Akibatnya pasien menjadi regresi atau mundur,
mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan
dan kebersihan diri. Pasien semakin tenggelam dalam perjalinan terhadap penampilan
dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga berakibat lanjut halusinasi (Stuart dan Sudden dalam Dalami, dkk 2009)

6. MEKANISME KOPING
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang sering
digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi. (Damaiyanti, 2012: 84)
a. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat
diterima secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya
kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau

bertentangan antara sikap dan perilaku.

Mekanisme koping yang muncul yaitu :


a. Perilaku curiga : regresi, represi
b. Perilaku dependen: regresi
c. Perilaku manipulatif: regresi, represi
d. Isolasi/menarik diri: regresi, represi, isolasi
(Prabowo, 2014:113)

7. PENATALAKSANAAN
Menurut dalami, dkk (2009) isolasi sosial termasuk dalam kelompok penyakit
skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan
adalah :
1) Electro Convulsive Therapy (ECT) :
Adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak dengan
menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri
dan kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung 25-
30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak
menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam otak.
2) Psikoterapi :
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam
proses terapeutik , upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman
dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima
pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya
secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien.
3) Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan harga diri seseorang.
(Prabowo, 2014: 113)

8. POHON MASALAH

Risiko Gangguan Persepsi Sensori


Halusinasi

Effect

Isolasi Sosial: menarik diri

Core Problem

Gangguan Konsep Diri

Harga Diri Rendah

Causa

9. PROSES KEPERAWATAN
1) Diagnosa Keperawatan
Isolasi sosial menarik diri b/d harga diri rendah (D.0121)
2) Rencana Keperawatan

Rencana Intervensi Keperawatan


Diagnosa Tujuan & Kriteria
No Intervensi
Keperawatan Hasil
(SIKI)
(SLKI)

1 Isolasi sosial Setelah dilakukan Terapi Kelompok (I.13500)


tindakan keperawatan 1. Identifikasi topik, tujuan dan proses
selama…. jam maka kelompok
masalah isolasi sosial 2. Monitor keterlibatan aktif setiap anggota
menurun dengan kelompok
Kriteria hasil : 3. Bentuk kelompok 5-12 anggota
4. Tentukan waktu dan tempat yang sesuai
untuk pertemuan kelompok
Keterlibatan sosial
5. Ciptakan suasana nyanam
(L.13116)
1. Minat interaksi 6. Mulai dan akhiri kegiatan tepat waktu
meningkat (5) 7. Berikan arahan dan informasi yang sesuai
2. Verbalisasi isolasi 8. Hindari interaksi kelompok tidak produktif
menurun (5) 9. Arahkan anggota kelompok untuk terlibat
3. Perilaku menarik aktif
diri menurun (5) 10. Anjurkan berbagi perasaan, pengalaman
4. Afek dan pengetahuan
murung/sedih 11. Anjurkan saling membantu dalam
menurun (5) kelompok
5. Kontak mata 12. Latih tanggung jawab dan mengendalikan
membaik (5) diri dalam kelompok
3) Implementasi Keperawatan

Pasien Keluarga

SP1P SP1K

1. Mengidentifikasi penyebab 1. Mengidentifikasi masalah


isolasi sosial pasien. yang dirasakan keluarga dalam
2. Berdiskusi dengan pasien merawat pasien
tentang keuntungan 2. Menjelaskan pengertian, tanda
berinteraksi dengan orang dan gejala isolasi sosial yang
lain. dialami klien beserta proses
3. Berdiskusi dengan pasien terjadinya
tentang kerugian berinteraksi 3. Menjelaskan cara – cara
dengan orang lain merawat klien dengan isolasi
4. Mengajarkan pasien cara sosial
berkenalan dengan satu orang
5. Menganjurkan pasien
memasukkan kegiatan latihan
berbincang-bincang dengan
orang lain dalam kegiatan
harian.
SP2P SP2K

1. Mengevaluasi jadwal 1. Melatih keluarga


kegiatan harian pasien. mempraktikkan cara merawat
2. Memberikan kesempatan klien dengan isolasi sosial
kepada pasien 2. Melatih keluarga
mempraktekkan cara mempraktikkan cara merawat
berkenalan dengan satu langsung kepada klien isolasi
orang. sosial
3. Membenatu pasien
memasukkan kegiatan
berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu
kegiatan harian.
SP3P SP3K

1. Mengevaluasi jadwal kegitan 1. Membantu keluarga membuat


harian pasien. jadwal aktivitas di rumah
2. Memberikan kesempatan pada termasuk minum obat
klien berkenalan. (discharge planning)
3. Menganjurkan pasien 2. Menjelaskan follow up klien
memasukkan kedalam jadwal setelah pulang
kegiatan harian.
STRATEGI PELAKSANAAN ISOLASI SOSIAL

Pertemuan : 1
SP 1 Klien : Membina hubungan saling percaya, membantu klien mengenali
penyebab isolasi sosial, membantu klien mengenal keuntungan berhubungan
dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain dan mengajarkan pasien
berkenalan
I. Orientasi
a. Salam terapeutik
“Selamat pagi ibu, perkenalkan nama saya ...(sebutkan) , saya
dipanggil...(sebutkan), saya perawat yang akan merawat ibu pagi
ini. Nama ibu siapa dan senang dipanggil siapa? “
b. Evaluasi
Bagaimana perasaan ibu S saat ini? Masih ingat ada kejadian apa
sampai ibu S dibawa kerumah sakit ini? Apa keluhan ibu S hari
ini? Dari tadi saya perhatikan ibu S duduk menyendiri, ibu S duduk
menyendiri, ibu S tidak tampak ngobrol dengan teman-teman yang
lain? Ibu S sudah mengenal teman-teman yang ada disini?
c. Kontrak
“Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga dan
teman-teman ibu S? Juga tentang apa yang menyebabkan ibu S
tidak mau ngobrol dengan teman-teman? “Ibu mau berapa lama
bercakap-cakap? Bagaimana kalau 15 menit.” “Dimana enaknya
kita duduk untuk berbincang-bincang ibu S? Bagaimana kalau
disini saja? “

II. Fase kerja


Siapa saja yang tinggal satu rumah dengan ibu S? siapa yang paling dekat
dengan ibu S? siapa yang jarang bercakap-cakap dengan ibu S? Apa yang
membuat ibu S jarang bercakap-cakap denganya? Apa yang ibu S rasakan
selama dirawat disini? O... ibu S merasa sendirian? Siapa saja yang ibu S
kenal diruangan ini? O... belum ada? Apa yang menyebabkan ibu S tidak
mempunyai teman disini dan tidak mau bergabung atau ngobrol dengan
teman-teman yang ada disini? Kalau ibu S tidak mau bergaul dengan
teman-teman atau orang lain, tanda-tandanya apa saja? mungkin ibu S
selalu menyendiri ya... terus apalagi bu... (sebutkan) Ibu S tahu
keuntungan kalau kita mempunyai banyak teman? coba sebutkan apa saja?
keuntungan dari mempunyai banyak teman itu bu S adalah... (sebutkan)
Nah kalau kerugian dari tidak mempunyai banyak teman ibu S tahu tidak?
coba sebutkan apa saja? Ya ibu S kerugian dari tidak mempunyai banyak
teman adalah...(sebutkan). Jadi banyak juga ruginya ya kalau kita tidak
punya banyak teman. Kalau begitu inginkan ibu S berkenalan dan bergaul
dengan orang lain? Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita belajar
berkenalan dengan orang lain. Begini lo ibu S, untuk berkenalan dengan
orang lain caranya adalah : pertama kita mengucapkan salam sambil
berjabat tangan, terus bilang “ perkenalkan nama lengkap, terus bilang “
perkenalkan nama lengkap, terus nama panggilan yang disukai, asal kita
dan hobby kita. Contohnya seperti ini “assalamualaikum, perkenalkan
nama saya Febriana, saya lebih senang dipanggil Febri, asal saya dari
Bandung dan hobby nya membaca. Selanjutnya ibu S menanyakan nama
lengkap orang yang diajak kenalan, nama panggilan yang disukai,
menanyakan juga asal dan hobbynya. Contohnya seperti ini nama ibu
siapa? Senang dipanggil apa? asalnya dari mana dan hobbynya apa? Ayo
ibu S dicoba! misalnya saya belum kenal dengan ibu S. Coba berkenalan
dengan saya! ya bagus sekali! coba sekali lagi bu S. Bagus sekali! Setelah
ibu S berkenalan dengan orang tersebut, ibu S bisa melanjutkan
percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan misalkan tentang cuaca,
hobi, keluarga, pekerjaan dan sebagainya.
III. Terminasi
a. Evaluasi respon
Bagaimana perasaan ibu S setelah berbincang-bincang tentang
penyebab ibu S tidak mau bergaul dengan orang lain dan berlatih
cara berkenalan? Coba ibu S ibu sebutkan kembali penyebab ibu S
tidak mau bergaul dengan orang lain? apa saja tanda-tandanya bu?
terus keuntungan dan kerugianya apa saja? Coba ibu S sebutkan
cara berkenalan dengan orang lain, yaitu... ya bagus. Nah sekarang
coba ibu S praktikkan lagi cara berkenalan dengan saya. Iya bagus
b. Kontrak
“Baik bu S sekarang bincang-bincangnya sudah selesai, bagaimana
kalau 2 jam lagi sekitar jam 11 saya akan datang kesini lagi untuk
melatih ibu S berkenalan dengan perawat lain yaitu teman saya
perawat N“ “ibu mau bertemu lagi jam berapa ? bagaimana kalau
jam 9 ? “ “ibu mau bercakap-cakap dimana ? “
c. Rencana tindak lanjut
o Selanjutnya ibu S dapat mengingat-ingat apa yang kita
pelajari tadi. Sehingga ibu S lebih siap untuk berkenalan
dengan orang lain. Ibu S bisa praktikkan pasien pasien lain.
o Sekarang kita buat jadwal latihannya ya bu, berapa kali
sehari ibu mau berlatih berkenalan dengan orang lain, jam
berapa saja bu? coba tulis disini. Oh jadi mau tiga kali ya
bu.
o Ya bagus bu S dan jangan lupa dilatih terus ya bu sesuai
jadwal latihanya dan ibu S bisa berkenalan dengan teman-
teman yang ada di ruangan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Pragholapati A., Muliani R., Wiramata Y.N.(2022).Description Of Socialization


Ability In Isolations Patients.

Permatasari N., Suryaningsih Y., (2021) Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. S
Dengan Isolasi Sosial; Menarik diri di Puskesmas Umbulsari Jember.

Direja S.H.A., Juksen L., Herdiani N.T., Sari N.Y.(2022). Hubungan Harga Diri
Dengan Isolasi Sosial Pada Pasien Skrizofenia di Rumah Sakit Khusus
Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu.

Suerni Titik., PH Livana, (2019). Gambaran Faktor Predisposisi Paien Isolasi


Sosial.

Damanik, R. K., Pardede, J. A., & Manalu, L. W. (2020). Terapi Kognitif


Terhadap Kemampuan Interaksi Pasien Skizofrenia Dengan Isolasi
Sosial. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, 11(2), 226-235.

Stuart, G, W., dan Laraia. (2016). Principles and praktice of pisichiatric nursing.
8ed. Philadelphia: Elsevier Mosby.

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.

Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:


PT Refika Aditama.

Trimeilia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur: TIM.
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN
WAHAM DI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO

OLEH :

FEBRIYANTI YESTELDA REBOKH

SN231069

PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 20223/2024

1. PENGERTIAN
Waham dapat diartikan sebagai keyakinan seseorang yang salah
didasarkan oleh kesimpulan yang salah tentang realita eksternal dan
dipertahankan dengan kuat (Keliat B. A., Hamid A. Y. S., dkk, 2019).
Berdasarkan pengertian yang lain waham juga diartikan sebagai
suatu keyakinan yang tidak nyata namun tetap dipegang teguh walaupun
tidak memiliki bukti-bukti yang jelas, sekalipun semua orang tidak
percaya dengan keyakinannya (Bell, Raini dan Wikinson, 2019, dalam
prakasa 2020).
Sedangkan menurut Victoryna 2020, waham merupakan gangguan
yang dimana penderitanya mengalami rasa realita yang berkurang atau
terdistorsi sehingga tidak dapat membedakan sesuatu yang nyata dan tidak
nyata.
Sehingga berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat
disimpulkan bahwa waham merupakan suatu keyakinan seseorang
terhadap sesuatu yang tidak nyata.

2. KLASIFIKASI
Klasifikasi waham terbagi menjadi 5 yaitu:
1) Waham kebesaran
Keyakinan memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, "Saya
ini direktur sebuah bank swasta lho" atau "Saya punya beberapa
perusahaan multinasional”.
2) Waham curiga
Keyakinan bahwa ada kelompok atau seseorang yang berusaha
mencederai atau merugikan dirinya, serta diucapkan berulang kali
tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya tahu..kalian semua
memasukan racun ke dalam makanan saya”.
3) Waham agama
Memilik keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya
“Kalau saya mau masuk surga saya harus membagikan uang kepada
semua orang”.
4) Waham somatic
Keyakinan bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terserang/terganggu
suatu penyakit, serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, “Saya sakit menderita penyakit menular ganas”,
setelah pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker,
tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia terserang kanker.
5) Waham nihilistic
Keyakinan bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia atau meniggal,
serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya
“Ini kan alam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh”
(Yusuf AH. et al., 2015).

3. JENIS DAN FASE


Fase terjadinya waham menurut Yusuf, AH., 2015, dibagi menjadi 6 fase
yaitu :
1) Fase kebutuhan manusia rendah (lack of human need)
Fase waham ini diawali dengan keterbatasan berbagai kebutuhan
pasien baik secara psikis maupun fisik. Secara fisik, pasien dengan
waham dapat terjadi pada orang dengan status ekonomi dan sosial
sangat terbatas. Hal ini terdapat pada pasien yang sangat miskin dan
menderita. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup
mendorongnya untuk melakukan hal yang salah. Itu terjadi karena
adanya kesenjangan antara kenyataan, yaitu tidak memiliki finansial
yang cukup dengan ideal diri (self ideal) yang sangat memiliki
berbagai kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon genggam.
2) Fase kepercayaan diri rendah (lack of self esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi menyebabkan pasien mengalami
perasaan menderita, malu, dan tidak berharga.
3) Fase pengendalian internal dan eksternal (control internal and
external)
Tahapan ini pasien mencoba berpikir rasional bahwa yang diyakini
adalah suatu kebohongan, tidak sesuai kenyataan, dan menutupi
kekurangan. Namun bagi pasien mengahadapi kenyataan adalah
sesuatu yang sangat berat, karena harus diakui, dianggap penting, dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya. Lingkungan
memberikan koreksi kepada pasien bahwa yang dikatakan tidaklah
benar. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau
memberitahukan berkepenjangan dengan alasan pengakuan pasien
tidak merugikan orang lain.
4) Fase dukungan lingkungan (environment support)
Adanya dukungan sekitar lingkungan yang mempercayai pasien
dalam lingkungannya menyebabkan pasien merasa didukung, dan pada
akhirnya pasien akan menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut
sebagai suatu kebenaran karena sering diulang. Oleh karenanya, mulai
terjadi kerusakan kontrol diri dan tidak adanya norma yang ditandai
dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5) Fase nyaman (comforting)
Pasien pun merasa nyaman dengan kebohongan dan keyakinannya
serta menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mendukung
dan mempercayai. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat
pasien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya, pasien lebih
sering menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6) Fase peningkatan (improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi,
keyakinan yang salah pada pasien akan meningkat. Jenis waham sering
berkaitan dengan kejadian traumatic masa lalu atau berbagai
kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat
menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan
ancaman diri dan orang lain.

4. RENTANG RESPON

Adaptif Maladaptif

Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan isi pikir

Persepsi akurat Kadang-kadang isi pikir Ketidakmampuan untuk


terganggu ilusi mengalami esmosi
Emosi konsisten dengan
pengalaman Reaksi emosional berlebihan Ketidakmampuan isolasi
Perilaku sesuai dengan atau kurang sosial
hubungan sosial
Perilaku ganjil atau tidak
lazim

Sumber: Keliat (1999) dalam Fitria (2012)

5. ETIOLOGI: FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESPITASI


Menurut Sutejo, 2017 faktor penyebab waham dibagi menjadi dua yaitu:
1) Faktor predisposisi, memiliki dua teori yaitu
a) Teori Biologis, yang terdiri dari beberapa pandangan yang
berpengaruh terhadap waham seperti :
- Faktor genetik, yang pastinya terlibat dalam perkembangan
suatu kelainan dimana mereka yang memiliki anggota
keluarga dengan kelainan yang sama (orangtua, saudara
kandung, dan sanak saudara lainnya).
- Teori biokimia menyatakan adanya peningkatan dari
dopamine neurotransmiter yang dipertukarkan
menghasilkan gejala peningkatan aktivitas yang berlebihan
dari pemecahan asosiasi yang umumnya diobservasi pada
psikosis.
b) Teori Psikososial
c) Teori sistem keluarga, yang menggambarkan perkembangan
waham sebagai suatu perkembangan disfungsi keluarga.
Misalnya konflik di dalam kelurga yang dapat mempengaruhi
anak.
d) Teori interpersonal, menyatakan bahwa orang yang mengalami
psikosis aka menghasilkan hubungan orangtua anak yang
penuh akan kecemasan.
e) Teori psikodinamik, menengaskan bahwa psikosis adalah hasil
dari suatu ego yang lemah.
2) Faktor Prespitasi
a) Biologis, stressor biologis yang berhubungan dengan
neurobiologis yang maladatif termasuk gangguan dalam
putaran umpan balik otak yang mengatur perubahan isi
informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi rangsangan.
b) Stress lingkungan, secara biologis menetapkan ambang
toleransi terhadap stress yang berinteraksi dengan stersor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c) Pemicu gejala, pemicu yang biasnya terdapat pada respon
neurobilogis yang maladatif berhubungan dengan Kesehatan
lingkungan, sikap dan perilaku individu, seperti: gizi buruk,
kurang tidur, infeksi, dan keletihan.

Mekanisme Koping yang baiasanya digunakan adalah: (Hermawati, 2008)

o Regresi: berhubungan dengan masalah proses informasi dan


upaya untuk mengatasi kecemasan
o Proyeksi: upaya menjelaskan kerancuan persepsi
o Menarik diri
o Pada keluarga: mengingkari
6. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Herman A., 2011 dalam prakasa 2020 tanda dan gejala yang
terjadi pada penderita waham yaitu:
i. Menolak makan
ii. Tidak ada perhatian pada perawatan diri
iii. Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan
iv. Gerakan tidak terkontrol
v. Mudah tersinggung
vi. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan
kenyataan
vii. Menghindar dari individu lain
viii. Mendominasi pembicaraan
ix. Berbicara kasar
x. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan.

7. AKIBAT
Akibat dari waham menyebabkan seseorang mengalami kerusakan
komunikasi verbal yang ditandai dengan pikiran tidak realistik, flight of
ideas, kehilangan aosiasi, pengulangan kata-kata yang didengar dan kontak
mata yang kurang. Akibat lain yang dapat ditimbulkan yaitu beresiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sehingga memberikan
kerugian bagi semua pihak.

8. PATHWAY

Resiko Tinggi Mencederai Diri,


Orang lain, dan Lingkungan

Perubahan Isi Pikir: Waham


Gangguan Konsep Diri:
Harga diri rendah

9. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Prastika, 2014 penatalaksanaan medis waham antara lain:
1. Psikoterapi : Psikofarmakologi, merupakan obat-obatan untuk
penyembuhan meliputi litium karbonat, haloperidol, dan
karbamazepin. Selain obat-obatan Adapun psikoterapi menjadi hal
yang penting sekalipun tidak sesuai dengan semua orang, terutama
kalua gejalanya terlalu berat. Adapun terapi yang termasuk dalam
psikoterapi adalah sebagai berikut:
a) Terapi Perilaku
b) Terapi Kelompok
c) Terapi Keluarga
d) Terapi Supportif
2. ECT (Electro Convusive Therapy), merupakan sebuah prosedur
dimana arus listrik melewati otak untuk pelatihan kejang singkat. Hal
tersebut menyebabkan perubahan dalam kimiawi otak yang dapat
mengurangi penyakit mental tertentu.

10. PROSES KEPERAWATAN


1) Pengkajian, meliputi
a. Data subjektif, dimana pasien menjelaskan sesuatu yang menjadi
keyakinannya seperti tentang keadaan dirinya, agama, kebesaran,
dan kecurigaan secara berulang kali dengan berlebihan namun
tidak sesui dengan kenyataanya.
Pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengkaji waham adalah
sebagai berikut:
1. Apakah pasien memiliki pikiran/isi pikir yang berulang-ulang
diungkapkan dan menetap?
2. Apakah pasien takut terhadap objek atau situasi tertentu, atau
apakah pasien cemas secara berlebihan tentang tubuh atau
kesehatannya?
3. Apakah pasien pernah merasakan bahwa benda-benda
disekitarnya aneh dan tidak nyata?
4. Apakah pasien pernah merasakan bahwa ia berada diluar
tubuhnya?
5. Apakah pasien pernah merasa diawasi atau dibicarakan oleh
orang lain?
6. Apakah pasien berpikir bahwa pikiran atau tindakannya
dikontrol oleh orang lain atau kekuatan dari luar?
7. Apakah pasien menyatakan bahwa ia memiliki kekuatan fisik
atau kekuatan lainnya atau yakin bahwa orang lain dapat
membaca pikirannya?
b. Data objektif, Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga,
bermusuhan, merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang
panik, sangat waspada, tidak tepat menilai lingkungan atau realitas,
ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.

2) Diagnosa keperawatan
1. Gangguan Isi Pikir: Waham (D.0105)
3) Rencana Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Tindakan


Medis (SLKI) (SIKI)

1 Gangguan 1. Membantu klien agar dapat SP 1 :


isi pikir : berorientasi kepada realitas
Waham secara bertahap 1. Membangun hubungan
2. Klien dapat mencapai target saling percaya antara
kebutuhan dasar nya. perawat dengan klien.
3. Klien mampu melakukan 2. Membantu klien Latihan
interaksi dengan orang orientasi realitas : orientasi
sekitarnya. orang, tempat, dan waktu
serta lingkungan yang ada
disekitar.
3. Mendiskusikan kebutuhan
dasar yang harus dimiliki
oleh klien seperti kebutuhan
piskologis, emosional
4. Penjadwalan kebutuhan
Melatih kemampuan positif
yang dimiliki

4) Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan disesuaikan dengan rencana
keperawatan dan strategi pelaksanaan yang telah disusun.
5) Evaluasi
Lakukan evaluasi setelah dilakukannya implementasi. Contoh lembar
evaluasi sebagai berikut : :

PENILAIAN KEMAMPUAN PASIEN DAN

KELUARGA DENGAN MASALAH WAHAM

NAMA PASIEN :

RUANGAN :

NAMA PERAWAT :

NO KEMAMPUAN TANGGAL

A Pasien

Berkomunikasi sesuai dengan


1
kemampuan
Menyebutkan cara memenuhi
2 kebutuhan yang tidak
terpenuhi

Mempraktikkan cara
3 memenuhi kebutuhan yang
tidak terpenuhi

Menyebutkan kemampuan
4
positif yang dimilik

Mempraktikkan kemampuan
5
positif yang dimiliki

Menyebutkan jenis jadwal dan


6
waktu minum obat

Melakukan jadwal aktivitas


7
dan minum obat sehari-hari

B Keluarga

Menyebutkan pengertian
1 waham dan proses terjadinya
waham

Menyebutkan cara merawat


2
pasien waham

Mempraktikkan cara merawat


3
pasien waham

Membuat jadwal aktivitas dan


4
minum obat untuk klien
STRATEGI PELAKSANAAN WAHAM

SP1 WAHAM

A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
S : Klien mengatakan bahwa dirinya adalah seorang bos yang kaya dan
mempunyai toko emas yang banyak.
O : Klien tampak mendominasi pembicaraan, isi pembicaraan tidak sesuai
dengan realitas.
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan proses pikir : waham
3. Tujuan Keperawatan :
1) Membina hubungan saling percaya dengan klien
2) Membantu orientasi realita pada klien
3) Membantu pasien memenuhi kebutuhannya
4. Tindakan Keperawatan
- Bina hubungan saling percaya dengan klien
- SP I :
1) Bantu orientasi realita pada klien
2) Diskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh klien
3) Bantu pasien memenuhi kebutuhannya
4) Anjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

B. Strategi Tindakan
1. Fase Orientasi
a. Salam Terapeutik :
“Selamat pagi pak, perkenalkan nama saya... (sebutkan), saya
mahasiswa keperawatan dari.... (sebutkan) yang akan praktek di
ruangan ini selama 3 minggu ke depan. Saya hari ini dinas pagi dari
pukul 07.00-14.00, saya yang akan merawat Bapak pagi ini.”
b. Evaluasi/validasi :
“Bagaimana perasaan bapak hari ini? Nama Bapak siapa?Senangnya
dipanggil apa?”
c. Kontrak
Topik : “Bapak, bisa kita berbincang-bincang tentang apa yang Bapak
rasakan sekarang?”
Tempat : “Bapak mau kita berbincang-bincang di mana?”
Waktu : “Berapa lama Bapak mau kita berbincang-bincang?
Bagaimana kalau 15 menit?”

2. Fase Kerja
“Saya mengerti Bapak merasa bahwa Bapak adalah seorang…., tapi yang
Bapak rasakan tidak dirasakan oleh orang lain”

“Tampaknya Bapak gelisah sekali, bisa Bapak ceritakan apa yang Bapak
rasakan?”

“O... jadi bang B merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak
punya hak untuk mengatur diri abang sendiri?”

“Siapamenurut Bapak yang sering mengatur-atur diri Bapak?”

“Jadi ibu yang terlalu mengatur-ngatur Bapak, juga kakak dan adik Bapak
yang lain?”

“Kalau Bapak sendiri inginnya seperti apa?”

“O... bagus Bapak sudah punya rencana dan jadwal untuk diri sendiri”

“Coba kita bersama-sama tuliskan rencana dan jadwal tersebut”

“Wah..bagus sekali, jadi setiap harinya Bapak ingin ada kegiatan diluar
rumah karena bosan kalau di rumah terus ya”

3. Fase Terminasi
a. Evaluasi Subyektif
“ Bagaimana perasaan bapak… setelah kita berbincang-bincang ?
b. Evaluasi Obyektif
“Coba bapak sebutkan hal apa saja yang tadi sudah kita
perbincangkan.”
c. Rencana Tindak lanjut
“karena waktu kita sudah habis kali ini, bagaimana kalau kita
lanjutkan besog pagi.”
d. Kontrak
 Topik : Bagaimana kalau besok kita berbicara tentang hobi bapak?.
 Tempat : mau dimana kita diskusi ?
 Waktu : “Besog jam 9 pagi y pak, kalau begitu saya pamit dulu.
Selamat Pagi pak.”
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B. A., Hamid A. Y. S., Putri Y. S. E., Daulima N. H. C., dkk (2019).
Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Prakasa, A., & Milkhatun, M. (2020). Analisis Rekam Medis Pasien Gangguan
Proses Pikir Waham dengan Menggunakan Algoritma C4. 5 di Rumah Sakit
Atma Husada Mahakam Samarinda. Borneo Student Research (BSR), 2(1),
8-15.

Prastika, Y., Mundakir S. K., dan Reliani S. K. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa
pada Pasien Waham Kebesaran dengan Diagnosa Medis Skizofrenia
Hebefrenik. Di Ruang Flamboyan Rs Jiwa Menur Surabaya (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surabaya).

Victoryna, F., Wardani I.Y., dan Fauzia F. (2020). Penerapan Standar Asuhan
Keperawatan Jiwa Ners untuk Menurunkan Intensitas Waham Pasien
Skizofrenia. Jurnal Keperawatan Jiwa, 8(1), 45-52.

Yusuf, Ah. and Fitryasari PK, Rizky and Nihayati, Hanik Endang (2015). Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Salemba empat, Surabaya.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
DI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO

OLEH :

FEBRIYANTI YESTELDA REBOKH

SN231069

PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 20223/2024
1. PENGERTIAN
Defisit perawatan diri merupakan tidak mampunya melakukan atau
menyelesaikan aktivitas perawatan diri (SDKI, 2016)
Defisit Perawatan diri adalah sebuah keadaan yang mana individu
mengalami sebuah ketidakmampuan dalam melakukan upaya perawatan
diri (Hanid dan Ibrahim, 2017)
Jadi dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa desfisit
perawatan diri adalah sebuah proses dimana individu tidak dapat
melakukan kebutuhan dasar perawatan diri dalam hal ini perawatan mandi.

2. JENIS -JENIS PERAWATAN DIRI


Menurut Nanda-I (2012); (Nurjannah, 2004:79), jenis perawatan diri
terdiri atas:
a. Defisit perawatan diri: Mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri
b. Defisit perawatan diri:
Berpakaian Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas berpakaian dan berias untuk diri sendiri
c. Defisit perawatan diri:
Makan Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas sendiri
d. Defisit perawatan diri:
Eliminasi Hambatan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas eliminasi sendiri Rentang Respon

3. ETIOLOGI: FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESPITASI


Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), Penyebab kurang perawatan
diri adalah karena Kelelahan fisik dan penurunan kesadaran.
Sedangkan Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri
adalah :
1) Faktor presdiposisi
a) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
c) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas
yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan
lingkungan termasuk perawatan diri.
d) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
2) Faktor Presipitasi
Faktor Presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri (Mukhripah &
Iskandar, 2012:148).
Menurut Depkes (2010) dalam Buku (Mukhripah &
Iskandar, 2012:148) faktor-faktor yang mempengaruhi personal
hygine adalah sebagai berikut:
a. Body image: gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya
perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
b. Praktik sosial: pada anak – anak selalu dimanja dalam
kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi peruabahan
personal hygiene.
c. Status sosial ekonomi: personal hygiene memerlukan alat dan
bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampoo, alat
mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
d. Pengetahuan: pengetahuan personal hygiene sangat penting
akrena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan
kesehatan. Misalnya, pada pasien penderita diabetes mellitus
ia harus menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya: di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu
tidak boleh dimandikan.
f. Kebiasaan orang: ada kebiasaan orang yang menggunakan
produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan
sabun, shampoo dan lain – lain.
g. Kondisi fisik atau psikis: pada keadaan tertentu seperti sakit
kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan
untuk melakukannya.

4. RENTANG RESPON

Adaptif Maladaptif

Pola Perawatan Kadang perawatan Tidak melakukan


Diri Seimbang diri, kadang tidak perawatan diri pada saat
stress

Keterangan:
Pola perawatan diri seimbang: saat klien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri
Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor
kadang-kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya
Tidak melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak peduli dan
tidak bisa
melakukan perawatan saat stresor.

5. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Depkes (2000), dalam Buku (Mukhripah & Iskandar,
2012:150, tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah
sebagai berikut:
a. Fisik
 Badan bau, pakaian kotor
 Rambut dan kulit kotor
 Kuku panjang dan kotor
 Gigi kotor disertai mulut bau
 Penampilan tidak rapi
b. Psikologis
 Malas, tidak ada inisiatif
 Manarik diri, isolasi diri
 Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
c. Sosial
 Interaksi kurang
 Kegiatan kurang
 Tidak mampu berperilaku sesuai norma
 Cara makan tidak teratur BAK dan BAB disembarangan
tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri
6. AKIBAT
Akibat dari defisit perawatan diri adalah gangguan pemeliharaan
kesehatan. Gangguan pemeliharaan kesehatan ini bentuknya bisa
bermacam-macam. Akibat dari defisit perawat diri adalah sebagai berikut:
(Wahit Iqbal, dkk., 2015:159)
a) Kulit yang kurang bersih merupakan penyebab berbagai gangguan
macam penyakit kulit (kadas, kurap, kudis, panu, bisul, kusta, patek
atau frambosa, dan borok)
b) Kuku yang kurang terawat dan kotor sebagai tempat bibit penyakit
yang masuk ke dalam tubuh. Terutama penyakit alat – alat pernapasan.
Disamping itu kuku yang kotor sebagai tempat bertelur cacing, dan
sebagai penyakit cacing pita, cacing tambang, dan penyakit perut
c) Gigi dan mulut yang kurang terawat akan berakibat pada gigi
berlubang, bau mulut, dan penyakit gusi
d) Gangguan lain yang mungkin muncul seperti gastritis kronis (karenan
kegagalan dalam makan), penyebaran penyakit dari orofecal (karena
hygiene BAB dan BAK sembarangan)

7. POHON MASALAH ATAU PATHWAY

Gangguan pemeliharaan
kesehatan (BAB/BAK,
mandi, makan dan minum)

Defisit Perawatan Diri

Menurunnya Motivasi
dalam perawatan diri

Isolasi Sosial: Menarik diri


(Keliat, 2016)

8. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Farmakologi
 Obat anti psikosi: Penotizin
 Obat anti depresi: Amitriplin
 Obat anti ansietas: Diasepam, Bromozepam, Clobozam
 Obat anti insomnia: Phnebarbital
2. Terapi
a) Terapi Keluarga
Berfokus pada keluarga dengan tujuan keluarga dapat membantu
mengatasi masalah klien dengan memberikan perhatian:
 Jangan memancing emosi klien
 Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan
keluarga
 Berikan kesempatan klien mengemukakan pendapat
 Dengarkan, bantu, dan anjurkan klien untuk
mengemukakan apa yang menjadi masalahnya
b) Terapi Aktivitas Kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, keterampilan, sosial
atau aktivitas lainnnya, dengan berdiskusi serta bermain untuk
mengembalikan keadaan klien. Dalam hal ini ada lima sesi yang
harus dilakukan, yaitu:
 Manfaat perawatan diri
 Menjaga kebersihan diri
 Tata cara makan dan minum
 Tata cara eleminasi
 Tata cara berhias
c) Terapi Musik: Musik dapat menghibur klien, membuat klien rileks,
dan bermain untuk mengembalikan kesadarannya
Penatalaksanaan Penatalaksanaan dengan defisit perawatan diri
menurut (Herdman Ade, 2011:154) adalah sebagai berikut:
a. Meningkatan kesadaran dan kepercayaan diri
b. Membimbing dan menolong klien perawatan diri
c. Ciptakan lingkungan yang mendukung
d. BHSP (bina hubungan saling percaya)

9. PROSES KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Konsep asuhan keperawatan jiwa defisit perawatan diri pada pasien
dengangangguan jiwa (Elvara, 2017). Yang harus dikaji dalam asuhan
keperawatan defisit perawatan diri yaitu:
1) Identitas yang meliputi: nama, tempat/tanggal lahir, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, telephone, alamat
2) Alasan masuk: Tanyakan kepada klien dan keluarga
 Apa yang menyebabkan klien/keluarga datang ke rumah sakit
saat ini?
 Apa yang sudah dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi
masalah?
 Bagaimana hasilnya?
3) Pemeriksaan Fisik
 Rambut: Keadaan kesuburan rambut, keadaan rambut yang
mudahrontok, keadaan rambut yang kusam, keadaan tekstur
 Kepala: Adanya botak atau alopesia, ketombe, berkutu,
kebersihan
 Mata: Periksa kebersihan mata, mata gatal atau mata merah
 Hidung: Lihat kebersihan hidung, membran mukosa
 Mulut: Lihat keadaan mukosa mulut, kelembabannya,
kebersihan
 Gigi: Lihat adakah karang gigi, adakah karies, kelengkapan
gigi
 Telinga: Lihat adakah kotoran, adakah lesi, adakah infeksi
 Kulit: Lihat kebersihan, adakah lesi, warna kulit, teksturnya,
pertumbuhan bulu
 Genetalia: Lihat kebersihan, keadaan kulit, keadaan lubang
uretra, keadaan skrotum, testis pada pria, cairan yang
dikeluarkan
4) Psikososial
 Genogram
 Konsep diri
 Hubungan sosial
 Spiritual
5) Status mental
 Penampilan
 Pembicaraan
 Aktivitas motorik
 Alam perasaan
 Afek
 Interaksi selama wawancara
 Persepsih
 Proses pikir
 Isi pikir
 Tingkat kesadaran
 Memori
 Tingkat konsentrasi dan berhitung
 Kemampuan penilaian
 Daya tilik diri
6) Kebutuhan Persiapan Pulang
 Makan
 BAB/BAK
 Mandi
 Berpakaian
 Istirahat dan tidur
 Penggunaan obat
 Pemeliharaan kesehatan
 Kegiatan didalam rumah
 Kegiatan di luar rumah
7) Mekanisme koping
Data dapat melalui wawancara pada klien atau keluarganya.
8) Masalah psikososial dan lingkungan
Data dapat melalui wawancara pada klien atau keluarganya.
Pada tiap masalah yang dimiliki klien, beri uraian spesifik,
singkat dan jelas
9) Pengetahuan
Data dapat melalui wawancara pada klien atau keluarganya. Pada
tiap item yang dimiliki oleh klien simpulkan dalam masalah
10) Aspek medik
Tuliskan diagnosa medik klien yang telah dirumuskan oleh
dokter yang merawat. Tuliskan obat-obatan klien saat ini, baik
obat fisik, psikofarmako, dan terapi lainnya
b. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri (D.0109)
c. Rencana keperawatan

No Dx. Perencanaan
Dx Keperawatan Tujuan Kriteria hasil Intervensi
I Defisit TUM : Setelah …x interaksi klien Bina hubungan saling per
Perawatan Diri Klien dapat menunjukkan tanda – tanda dengan :
: Merawat melakukan percaya pada perawat :  Beri salam se
Kebersihan perawatan  Wajah cerah berinteraksi
Diri diri secara tersenyum  Perkenalkan n
mandiri  Mau berkenalan nama pangg
 Ada kontak mata perawat, dan tu
 Bersedia perawat berinteraks
TUK 1 menceritakan  Tanyakan dan pan
Klien dapat perasaan nama kesukaan klie
membina  Bersedia  Tunjukkan s
hubungan mengungkapkan empati, jujur
saling masalahnya menepati janji se
percaya kali berinteraksi.
 Tanyakan pera
klien dan masalah y
dihadapi klien
 Buat kontrak inter
yang jelas
 Dengarkan den
empati
 Penuhi kebutu
dasar klien
TUK 2 : Dalam…x interaksi klien Diskusikan dengan klien :
Klien menyebutkan :  Penyebab klien t
mengetahui  Penyebab tidak merawat diri
pentingnya merawat diri  Manfaat men
perawatan  Manfaat menjaga perawatan diri u
diri perawatan diri keadaan fisik, me
 Tanda-tanda bersih dan sosial
dan rapi  Tanda-tanda peraw
 Gangguan yang diri yang baik
dialami jika  Penyakit
perawatan diri tidak gangguan keseh
diperhatikan yang bisa dialami
klien bila peraw
diri tidak adekuat

TUK 3 : Dalam …x interaksi klien Diskusikan frekuensi men


Klien menyebutkan frekuensi perawatan diri selama ini
mengetahui menjaga perawatan diri :  Mandi
cara-cara  Frekuensi mandi  Gosok gigi
melakukan  Frekuensi gosok gigi  Keramas
perawatan  Frekuensi keramas  Berpakain
diri  Frekuensi ganti  Berhias
pakaian  Gunting kuku
 Frekuensi berhias Diskusikan cara pra
 Frekuensi gunting perawatan diri yang baik
kuku benar
Dalam …x interaksi klien  Mandi
menjelaskan cara menjaga  Gosok gigi
perawatan diri :  Keramas
 Cara mandi  Berpakain
 Cara gosok gigi  Berhias
 Cara keramas  Gunting kuku
 Cara berpakaian  berikan pujian u
 Cara berhias setiap respon kl
 Cara gunting kuku yang positif

TUK 4 : Dalam …x interaksi klien Bantu klien saat perawatan


Klien dapat mempraktekan perawatan :
melaksanaka diri dengan dibantu oleh  Mandi
n perawatan perawat :  Gosok gigi
diri dengan  Mandi  Keramas
bantuan  Gosok gigi  Berpakain
perawat  Keramas  Berhias
 Berpakain  Gunting kuku
 Berhias  Beri pujian set
 Gunting kuku klien se
melaksanakan
perawatan diri
TUK 5 : Dalam …x interaksi klien Pantau klien da
Klien dapat melaksanakan praktek melaksanakan perawatan d
melaksanaka perawatan diri secara  Mandi
n perawatan mandiri :  Gosok gigi
secara  Mandi 2x sehari  Keramas
mandiri  Gosok gigi sehabis  Berpakain
makan  Berhias
 Keramas 2x  Gunting kuku
seminggu  Beri pujian saat k
 Ganti pakaian 1x melaksanakan
sehari perawatan diri se
 Berhias sehabis mandiri
mandi
 Gunting kuku setelah
mulai panjang
TUK 6 : Dalam …x interaksi Diskusikan dengan keluarg
Klien keluarga menjelaskan cara-  Penyebab klien t
mendapatkan cara membantu klien dalam melaksanakan
dukungan memenuhi kebutuhan perawatan diri
keluarga perawatan dirinya  Tindakan yang t
untuk 6.2 dilakukan klien sel
meningkatka Dalam …x interaksi di Rumah Sakit da
n perawatan keluarga menyiapakan menjaga perawatan
diri sarana perawatan diri klien : dan kemajuan y
sabun mandi, pasta gigi, telah dialami oleh k
sikat gigi, sampo, handuk,  Dukungan yang
pakaian bersih, sandal dan diberika oleh kelu
alat berhias untuk meningka
kemempuan k
Keluarga mempraktekan dalam perawatan di
perawatan diri kepada klien Diskusikan dengan kelu
tentang :
 Sarana yang diperlu
untuk men
perawatan diri klien
 Anjurkan ke
keluarga menyiap
sarana tersebut
Diskusikan dengan kelu
hal-hal yang perlu dilaku
keluarga dalam peraw
diri :
 Anjurkan kelu
untuk memprakt
perawatan diri (ma
gosok gigi, kera
ganti baju, berhias
gunting kuku)
 Ingatkan klien w
mandi, gosok
keramas, ganti b
berhias dan gun
kuku
 Bantu jika k
mengalami hamb
dalam perawatan di
 Berikan pujian
keberhasilan klien

d. Implementasi Keperawatan

Dx. Kep Implementasi


Sp. 1 Pasien Defisit a. Membina hubungan saling percaya degan klien
Perawatan Diri : Mandi b. Menjelaskan pentingnya perawatan diri yang baik..
c. Mengajarkan klien mempraktekan cara perawatan diri : mandi,
gosok gigi dan cuci rambut
d. Membantu klien mempraktekan cara perawatan diri.
e. Menganjurkan klien memasukan kegiatan perawatan diri secara
mandiri di dalan jadwal kegiatan harian

e. Evaluasi Keperawatan

Dx. Kep Evaluasi


Sp. 1 Pasien Defisit Perawatan S:
Diri : Mandi
 Klien mau menjawab salam dan mengatakan
selamat pagi, dan nama lengkap, senang di
panggil Ny. I
 Klien mengatakan lebih segar setelah mandi

O:

 Klien mau berjabat tangan dengan perawat


 Klien terlihat bersih dan kulit bersih

A : SP 1 Pasien deficit perawatan diri : Mandi tercapai

P : Lanjutkan SP 1 Pasien deficit perawatan diri :


Makan dan Minum
STRATEGI PELAKSANAAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Proses Keperawatan

1. Kondisi Klien

Data Subjektif :
Pasien merasa lemah,malas untuk beraktivitas,dan merasa tidak

berdaya

Data Objektif :
Rambut kotor dan acak-acakan, badan dan pakaian kotor serta bau,

mulut dan gigi bau,kulit kusam dan kotor,

2. Diagnosa Keperawatan

Defisit Keperawatan Diri : Mandi, Gosok gigi, cuci rambut

3. Tujuan Tindakan keperawatan

a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.

b. Klien dapat menjelaskan, pentingnya kebersihan diri.

c. Klien dapat menjelaskan cara menjaga kebersihan diri.

d. Klien dapat melaksanakan perawatan diri dengan bantuan


perawat.

e. Klien dapat melaksanakan perawatan diri secara mandiri.

4. Tindakan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya.

b. Jelaskan pentingnya perawatan diri yang baik..

c. Ajarkan klien mempraktekan cara perawatan diri : mandi,


gosok gigi dan cuci rambut

d. Bantu klien mempraktekan cara perawatan diri.

e. Anjurkan klien memasukan kegiatan perawatan diri secara


mandiri di dalan jadwal kegiatan harian.

B. Strategi Komunikasi.

1. Fase Orientasi

a. Salam Teurapeutik

“Assalamualaikum!! Selamat Pagi Bu, Perkenalkan nama saya


Suster…(sebutkan), Saya Mahasiswa Praktik dari…(sebutkan), saya
akan dinas diruangan Ini selama 3 minggu. Hari ini saya dinas pagi,
dari jam 07 pagi sampai jam 2 siang. Saya akan merawat ibu selama di
RS ini, nama ibu siapa? Senang nya dipanggil apa.”

b. Evaluasi / Validasi

“Bagaimana perasaan ibu hari ini? Apakah ibu sudah mandi & gosok
gigi?”

c. Kontrak

 Topik :

“Baiklah bu. Bagaimana kalau kita diskusi tentang kebersihan


diri?”

 Waktu :
“Berapa lama ibu mau mengobrolnya?, Bagaimana kalau 15
menit?”

 Tempat :

“Ibu maunya kita ngobrol dimana?, Bagaimana kalau di ruang


tamu?”

2. Fase Kerja

“Berapa kali ibu mandi dalam sehari?, Menurut ibu, apa sih kegunaan
mandi?, Apa alasan ibu sehingga tidak mau mandi?, Menurut ibu, apa
manfaatnya kalau kita menjaga kebersihan dir kiti? Kira – kira tanda tanda
orang yang merawat diri dengan baik, seperti apa yaa? Kalau kita tidak
teratur menjaga kebersihan diri, masalah apa menurut ibu yang bias
timbul? Sekarang coba ibu sebutkan alat apa saja yang digunakan untuk
menjaga kebersihan diri, seperti kalau kita mandi, cuci rambut, gosok
gigi… apa saja yang disiapkan? Benar sekali!! Ibu perlu menyiapkan
pakaian ganti, handuk, sabun, sikat gigi, sampo dan odol serta sisir.
Wahhhh… Bagus sekali!! Ibu bias menyebutkan dengan benar”.

3. Fase Terminasi

a. Evaluasi Subjektif dan Objektif :

“Bagaimana perasaan ibu setelah, kita membicarakan tentang cara


merawat kebersihan diri? Baguss sekali Bu! Nah, sekarang, coba
ibu sebutkan, cara perawatan diri yang telah kita pelajari dan latih
tadi? Bagus sekali!!

b. RTL

“Baiklah bu, tadi ibu sudah menyebutkan manfaat bagi kita jika kita
menjaga kebersihan diri, dan kita juga sudah melakukan latihan,
cara Merawat diri, masukan kedalam jadwal yaa! Selanjutnya
jangan lupa untuk melakukan sesuai jadwal ya bu..! mandi 2 X
Sehari, gosok gigi 2 X sehari juga, keramas 2 X Seminggu.
Bagaimana bu? Bisa dilakukan? Baguss sekali, ibu mau mencoba
melakukannya!”

c. Kontrak yang akan datang

 Topik :

“Baiklah ibu, cukup untuk hari ini, besok kita akan bertemu
lagi, dan membicarakan tentang kebutuhan dan latihan cara
makan dan minum yang baik dan benar, apakah ibu bersedia?”

 Waktu :

“Ibu mau jam berapa dan berapa lama? bagaimana kalau jam
11? Baik bu kita akan berbincang selama 15 menit”

 Tempat :

“Ibu maunya kita berbincang dimana? bagaimana kalau di


ruang makan? baiklah bu, besok saya akan kesini jam 11 ya!
Sampai Jumpa besok ya bu.. Saya permisi.
Assalamualaikum..Wr. Wb”
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, M. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Depkes RI. 2010. Pengertian Gangguan Jiwa. Tersedia di: www.depkes.co.id

Direja, Ade H.S. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
NuhaMedika.

Elvara, Tiara. 2017. Defisit Perawatan Diri. Tersedia di: www.academia.edu

Kelliat, B., A, dkk. (2016). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa: Edisi 2. Jakarta:
EGC.

SDKI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Tim Pokja SDKI
DPP PPNI

Iqbal Wahit, dkk. (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Salemba
Medika.

Grasela, M. (2021). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA


DENGAN MASALAH KEPERAWATAN DEFISIT PERAWATAN DIRI Di RSJD
Dr. Arif Zainudin Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Ponorogo).

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN


HARGA DIRI RENDAH
DI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO

OLEH :

FEBRIYANTI YESTELDA REBOKH

SN231069
PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 20223/2024
1. PENGERTIAN
Harga diri rendah adalah, kondisi Dimana individu melalukan
penilaian atau evaluasi terhadap diri sendiri, selalu berpikir negatif sejak
semula sehingga individu percaya bahwa setiap apa yang dilakukan
olehnya akan gagal (Windarwati, 2016) .
Harga Diri Rendah ialah penilaian tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri (Rokhimmah,
2020).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat diambil simpulan bahwa
kondisi harga diri rendah merupakan keadaan dimana seseorang
menganggap dirinya tidak ideal atau memandang diri tidak berharga, tidak
berarti dan bahkan selalu mengganggap dirinya gagal.

2. KLASIFIKASI
Menurut Fitria (2009), harga diri rendah dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang
sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami pemikiran yang
negatif mengenai diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian
(kehilangan, perubahan).
2) Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu
mengalami evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan
dalam waktu lama.
3. JENIS DAN FASE
Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai
personalyang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku
seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan
yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun
melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, tetapi merasa sebagai
seseorang yang penting dan berharga.
Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang
dandiekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat.
Umumnya disertai oleh evaluasi diri yang negatif membenci diri sendiri
danmenolak diri sendiri.
Gangguan diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara:
a) Situasional: terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus
dioperasi, kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus
hubungan kerja. Pada pasien yang dirawat dapat terjadi harga
diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan (Makhripah
D & Iskandar, 2012)
b) Kronik: perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama,
yaitu sebelum sakit atau dirawat. Pasien mempunyai cara
berfikir yang negatif. Kejadian sakit dan dirawat akan
menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptife, kondisi ini dapat
ditemukan pada pasien gangguan fisik yang kronis atau pada
pasien gangguan jiwa. (Makhripah D & Iskandar, 2012)

4. RENTANG RESPON

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Keracunan
Aktualisasi diri Depersonalisasi
identitas
Konsep diri Harga diri rendah

Respon adaptif, merupakan kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah


yang dihadapinya

a) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang


positif dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses
dandapat diterima
b) Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai
pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari
hal-hal positif maupun yang negatif dari dirinya. (Eko P, 2014)

Respon Maladaptif merupakan respon yang diberikan individu ketika dia tidak
mampu lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi

a) Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai


dirinya yang negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain
b) Keracunan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas
sehingga tidak memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan
c) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri
yaitumempunyai kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu
berhubungan dengan orang lain secara intim. Tidak ada rasa
percaya diri atau tidak dapat membina hubungan baik dengan
orang lain (Eko P, 2014)

5. ETIOLOGI: FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESPITASI


Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri
seseorang. Penyebab terjadinya harga diri rendah adalah pada masa kecil
sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu
mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi
kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal di
sekolah, pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat
lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari
kemampuannya (Yosep, 2009). Faktor-faktor yang mengakibatkan harga
diri rendah kronik meliputi faktor predisposisi dan faktor presipitasi
sebagai berikut:
1. Faktor predisposisi
Menurut data dari Kemenkes RI (2012) dapat diperhatikan sebagai
berikut.
a) Faktor
b) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan
orangtua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang
berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak
realistis.
c) Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotipe
peran gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.
d) Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi
meliputiketidakpercayaan orangtua, tekanan dari kelompok
sebaya, dan perubahan struktur sosial. (Stuart & Sundeen,
2006).
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanyaadalah
kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan atau bentuk tubuh,
kegagalan atau produktivitas yang menurun. Secara umum,
gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara
emosional atau kronik.
Secara situasional karena trauma yang muncul secara tiba-tiba,
misalnya harus dioperasi, kecelakaan, pemerkosaan atau dipenjara,
termasuk dirawat dirumah sakit bisa menyebabkan harga diri rendah
disebabkan karena penyakit fisik atau pemasangan alat bantu yang
membuat klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah
memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat (Yosep, 2009).
6. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Keliat (2011) tanda dan gejala yang dapat muncul pada pasien
harga diri rendah adalah sebagai berikut:
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri, individu mempunyai perasaan
kurang rasa percaya diri
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri, individu selalu gagal dalam
meraih sesuatu
3) Merendahkan maertabat diri sendiri, menganggap dirinya berada
dibawah orang lain
4) Gangguan berhubungan sosial seperti menarik diri, lebih suka
menyendiri dan tidak ingin bertemu orang lain
5) Rasa percaya diri kurang, merasa tidak percaya dengan
kemampuan yang dimiliki
6) Sukar mengambil keputusan, cenderung bingung dan ragu-ragu
dalam memilih sesuatu
7) Mencederai diri sendiri sebagai akibat harga diri yang rendah
disertai dengan harapan yang suram sehingga memungkinkan
untuk mengakhiri hidupnya
8) Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan
9) Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri
10) Kurang memperhatikan perawatan diri, selera makan menurun,
tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk, dan
bicara lambat dengan nada lemah
11) Penyalahgunaan zat

Tanda dan gejala Menurut Carpenito dalam keliat (2011) perilaku yang
berhubungan denganharga diri rendah antara lain:
 Mengkritik diri sendiri
 Menarik diri dari hubungan sosial
 Pandangan hidup yang pesimis
 Perasaan lemah dan takut
 Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri
 Pengurangan diri/mengejek diri sendiri
 Ketidakmampuan menentukan tujuan
 Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah
 Menunjukkan tanda depresi (sukar tidur dan sukar makan)

Sedangkan menurut Stuart (2006) tanda- tanda klien dengan harga diri
rendah yaitu:

 Perasaan malu terhadap diri sendiri adalah akibat penyakit dan


akibattindakan terhadap penyakit
 Rasa bersalah terhadap diri sendiri
 Merendahkan martabat
 Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri
 Percaya diri kurang
 Menciderai diri

7. AKIBAT
Harga diri rendah dapat diakibatkan oleh rendahnya cita-cita
seseorang. Hal ini mengakibatkan berkurangnya tantangan dalam
mencapai tujuan. Tantangan yang rendah menyebabkan upaya yang
rendah. Selajutnya hal ini menyebutkan penampilan seseorang yang tidak
optimal. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuanya. Ketika seseorang
mengalami harga diri rendah, maka akan berdampak pada orang tersebut
dengan cara mengisolasi diri dari kelompoknya. Dia akan cenderung
menyendiri dan menarik diri (Eko, P, 2014). Harga diri rendah dapat
berisiko terjadi isolasi sosial yaitu menarik diri.

8. POHON MASALAH ATAU PATHWAY


Isolasi Sosial

Harga diri Rendah

Koping individu
tidak efektif

(Mukhripah, D & Iskandar, 2012)


9. PENATALAKSANAAN MEDIS
Terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah dikembnagkan
sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih
manusiawi dari pada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1) Psikofarmaka
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran
yang hanya diperoleh dengan resep dokter, dapat dibagi dalam 2
golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan
kedua (atypical). Obat yang termasuk golongan generasi pertama
misalnya chlorpromazineHCL (psikotropik untuk menstabilkan
senyawa otak), dan Haloperidol (mengobati kondisi gugup). Obat
yang termasuk generasi kedua misalnya, Risperidone (untuk
ansietas), Aripiprazole (untuk antipsikotik). (Hawari, 2001)
2) Psikoterapi
Terapi kerja sangat baik sekali untuk mendorong penderita
bergaul lagi dengannorang lain, penderita lain, perawat dan dokter,
maksudnya supaya penderita tidak mengasingkan diri lagi karena
jika penderita menarik diri dapat membentuk kebiasaan yang
kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan
bersama. (Maramis, 2005)
3) Terapi Modalitas
Terapi modalitas/ perilaku merupakan rencana pengobatan
untuk skizofrenia yang ditunjukan pada kemampuan dan
kekurangan pasien. Teknik perilaku menggunakan latihan
keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial.
Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam
komunikasi interpersonal. Terapi kelompok bagi skizofrenia
biasnya memusatkan pada rencana dan masalah dalam hubungan
kehidupan yang nyata (Eko. P, 2014)

4) ECT
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
granmal secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui
elektrode yangdipasang satu atau dua temples. Terapi kejang listrik
diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi
neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5
joule/detik. (Maramis, 2005)

10. PROSES KEPERAWATAN


1. Pengkajian
i. Identifikasi klien :
- Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan
kontrak dengan klien tentang: Nama klien, panggilan
klien, Nama perawat, tujuan, waktu pertemuan, topik
pembicaraan. Perawat yang melakukan perawatan
kepada klien dapat melakukan kontrak waktu dengan
klien. : Verifikasi data pasien, panggilan
ii. Keluhan utama / alasan masuk
- Tanyakan pada keluarga / klien hal yang menyebabkan
klien dan keluarga datang ke Rumah Sakit, yang telah
dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah dan
perkembangan yang dicapai.
- Tanyakan pada klien / keluarga, apakah klien pernah
mengalami gangguan jiwa pada masa lalu, pernah
melakukan, mengalami, penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga
dan tindakan kriminal.
iii. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon psikologis dari klien.
iv. Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak atau SSP,
pertumbuhan dan perkembangan individu pada prenatal,
neonatus dan anak-anak.
v. Sosial Budaya
Seperti kemiskinan, konflik sosial budaya (peperangan,
kerusuhan, kerawanan), kehidupan yang terisolasi serta stress
yang menumpuk.
vi. Aspek fisik / biologis
Mengukur dan mengobservasi tanda-tanda vital: TD, nadi,
suhu, pernafasan. Ukur tinggi badan dan berat badan, kalau
perlu kaji fungsi organ kalau ada keluhan.
vii. Aspek psikososial
a. Membuat genogram yang memuat paling sedikit tiga
generasi yang dapat menggambarkan hubungan klien dan
keluarga, masalah yang terkait dengan komunikasi,
pengambilan keputusan dan pola asuh.
b. Konsep diri:
- Citra tubuh: mengenai persepsi klien terhadap
tubuhnya, bagian yang disukai dan tidak disukai.
- Identitas diri: status dan posisi klien sebelum
dirawat, kepuasan klien terhadap status dan
posisinya dan kepuasan klien sebagai laki-laki /
perempuan.
- Peran: tugas yang diemban dalam keluarga /
kelompok dan masyarakat dan kemampuan klien
dalam melaksanakan tugas tersebut.
- Ideal diri: harapan terhadap tubuh, posisi, status,
tugas, lingkungan dan penyakitnya.
- Harga diri: hubungan klien dengan orang lain,
penilaian dan penghargaan orang lain terhadap
dirinya, biasanya terjadi pengungkapan kekecewaan
terhadap dirinya sebagai wujud harga diri rendah.
c. Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam
kehidupan, kelompok yang diikuti dalam masyarakat.
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan
ibadah.
viii. Status mental
Nilai penampilan klien rapi atau tidak, amati pembicaraan
klien, aktivitas motorik klien, alam perasaan klien (sedih,
takut, khawatir), afek klien, interaksi selama wawancara,
persepsi klien, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran,
memori, tingkat konsentasi dan berhitung, kemampuan
penilaian dan daya tilik diri.
2. Diagnosa Keperawatan (SDKI, 2018)
Harga Diri Rendah Kronis (D.0086)
3. Rencana Keperawatan (SLKI & SIKI, 2018)

No DX Kep Rencana

Tujuan & Kriteria Tindakan Rasional


Hasil (SIKI)
(SLKI)

1 Harga Diri Tujuan: Tindakan: SP1 1. Agar tercipta hubungan


Rendah saling percaya antara pasien
1. Klien dapat 1. Membina hubungan dan perawat
membina saling percaya 2. Agar pasien dapat
hubungan saling 2. Diskusikan menyebutkan dan
percaya kemampuan dan aspek mengetahui kemampuan
2. Klien dapat positif yang dimiliki yang dimilikinnya
mengidentifikasi klien 3. Agar kegiatan pasien dapat
kemampuan dan 3. Bersama klien buat tersusun dan sesuai dengan
aspek positif yang daftar tentang aspek jadwal yang telah dibuat
dimiliki positif dan
kemampuan yang
dimiliki

STRATEGI PELAKSANAAN HARGA DIRI RENDAH

SP1 HDR

1. Kondisi Klien
 Klien mengatakan malu dan tidak berguna
 Klien mengatakan ekspresi wajah malu
 Klien mengatakan “tidak bisa” ketika diminta melakukan sesuai
 Klien tampak kurang bergairah
 Klien selalu mengungkapkan kekurangannya dari pada kelebihannya
2. Diagnosa Keperawatan
Harga Diri Rendah
3. Tujuan
 Klien dapat membina hubungan saling percaya
 Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
4. Intervensi
 Membina hubungan saling percaya
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
 Bersama klien buat daftar tentang aspek positif dan kemampuan
yang dimiliki
5. Strategi Pelaksanaan
a) Orientasi
Selamat pagi Bu, perkenalkan saya…(sebutkan). Senang dipanggil…
(sebutkan). Nama ibu siapa? Ibu lebih senang dipanggil siapa? saya
akan menemani ibu selama 2 minggu, jadi kalau ada yang
mengganggu pikiran ibu bisa bilang ke saya, siapa tahu saya bisa
bantu. Bagaimana perasaan ibu saat ini? Coba ceritakan pada saya,
apa yang dirasakan dirumah, hingga dibawah ke RSJ. Maukah ibu
bercakap -cakap dengan kemampuan yang dimiliki serta hobi yang
sering dilakukan dirumah. Ibu lebih suka bercakap-cakap dimana?
Bagaimana kalau ditaman? Baiklah. Waktu kita mau becakap-cakap
berapa lama? Bagaimana kalau 15 menit saja?
b) Kerja
Kegiatan apa saja yang sering ibu lakukan dirumah? Memasak,
mencuci pakaian, bagus itu bu. Terus kegiatan apalagi yang ibu
lakukan? Kalau tidak salah ibu juga senang menyulam ya? wah
bagus sekali! Bagaimana kalau ibu menceritakan kelebihan lain atau
kemampuan lain yang Ibu miliki? Kemudian apa lagi ibu?
Bagaimana dengan keluarga ibu, apakah mereka senang dengan apa
yang ibu lakukan selama ini, atau apakah mereka sering mengejek
hasil kerja ibu?
c) Terminasi
Bagaimana perasaan ibu selama kita bercakap-cakap? Tolong ibu
ceritakan kembali kemampuan dan kegiatan yang sering ibu
lakukan? Bagus ibu. Terus bagaimana tanggapan keluarga ibu
terhadap kemampuan dan kegiatan yang ibu lakukan? Baiklah Bu
siti, nanti ibu ingat ingat ya, kemampuan ibu yang lain dan belum
sempat ibu ceritakan kepada saya? Besok bisa kita bicara lagi?
Bagaimana kalau besok kita bicarakan kembali kegiatan atau
kemampuan yang dapat ibu lakukan di rumah dan di RSJ?
Tempatnya mau dimana Bu? Berapa lama kita akan bercakap-cakap?
Bagaimana kalau15 menit? Setuju! Sampai bertemu lagi besok ya,
Ibu. Terimakasih

DAFTAR PUSTAKA

Rahayu Septiani., Mustikasari., Daulima H.C. Novy. (2019). Perubahan Tanda


Gejala dan Kemampuan Pasien Harga Diri Rendah Kronis Setelah Latihan
Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga. journal Education Of Nursing
Vol. 2 (1) .

Herlinawati, S. 2017. Laporan Pendahuluan Perubahan Isi Pikiran: Waham.

Keliat, B.A. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (basic


course). Buku Kedokteran. Jakarta: EGC

Maramis, W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press:
Surabaya
Yosep. I dan Sutini. T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.
Refika Aditama. Keliat, B.A., dan Akemat. (2011). Keperawatan jiwa:
terapi aktifitas kelompok, ED. 2

Pardede, J. A., Ariyo, A., & Purba, J. M. (2020). Self Efficacy Related to

Family Stress in Schizophrenia Patients. Jurnal Keperawatan, 12(4), 831-838.


https://doi.org/10.32583/keperawatan.v 12i4.1010

Tuasikal, H., Siauta, M., & Embuai, S. (2019). Upaya Peningkatan Harga Diri
Rendah Dengan Terapi Aktivitas Kelompok (Stimulasi Persepsi) di Ruang
Asoka (Sub Akut Laki) RSKD Provinsi Maluku. Window of Health: Jurnal
Kesehatan, 345-351.

SIHOMBING, R. I., Harefa, A. R., Samosir, E. F., Simatupang, S. M.,


Hutagalung, S. N. S., & Romayanti, Y. (2021). Penerapan Asuhan
Keperawatan Jiwa Pada Ny. L Dengan Gangguan Konsep Diri: Harga Diri
Rendah.

Rokhimmah, Y., & Rahayu, D. A. (2020). Penurunan Harga Diri Rendah dengan
menggunakan Penerapan Terapi Okupasi (Berkebun). Ners Muda, 1(1), 18-
22.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN
HALUSINASI DI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO
OLEH :

FEBRIYANTI YESTELDA REBOKH

SN231069

PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 20223/2024
1. PENGERTIAN
Halusinasi adalah, gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi (Prabowo, 2014
dalam Irwan, 2020)
Halusinasi Ialah kesalahan sensori persepsi yang menyerang panca
indera berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan dan penciuman,
diaman klien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Damaiyanti,
2012 dalam Aji, 2019)
Halusinasi merupakan suatu keadaan dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi yang disebabkan oleh stimulus yang
sebenarnya tidak ada (Sutejo, 2017)
Berdasarkan Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Halusinasi
merupakan Munculnya persepsi setalah melihat, emndengar, menyentuh,
merasakan atau mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada

2. KLASIFIKASI
Menurut Buku Nanda (2015) Jilid 2, Pada klien dengan gangguan jiwa ada
beberapa jenis halusinasi dengan karakteristik tertentu, seperti:
1) Halusinasi Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, yang paling sering didengar
adalah suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas
sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai
pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami
halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar
perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang
dapat membahayakan klien
2) Halusinasi Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,
gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan
bias yang menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
Kejadian ini membuat klien ketakutan dan selalu menunjuk-nunjuk
kearah tertentu
3) Halusinasi Penciuman
Membaui bau-bau tertentu seperti bau darah, urin, feses yang tidak
menyenangkan.
4) Halusinasi Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses sehingga
sering meludah dan muntah
5) Halusinasi Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas.
Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati, atau
orang lain serta merasa ada serangga di permukaan mulutnya
3. JENIS DAN FASE
Menurut Stuart dan Laraia (2001), fase Halusinasi terdiri atas 4, yaitu:
1) Fase 1
Pada fase ini klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasa bersalah, takut, dan mencoba untuk fokus kepada
pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Klien terlihat
tersenyum dan tertawa tidak jelas, menggerakan lidah tanpa suara,
pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
2) Fase II
Pada fase ini ada pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan.
Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil
jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Di sini terjadi
peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat kecemasan
seperti peningkatan TTV (denyut jantung, pernapasan dan tekanan
darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
untuk membedakan antara halusinasi dan realita
3) Fase III
Pada fase ini klien mulai menghentikan perlawanannya terhadap
halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar
berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu
mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang
sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang
lain
4) Fase IV
Pada fase ini, pengalaman sensori mulai mengancam jika klien
mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang
kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien
sangat membahayakan.
4. RENTANG RESPON

Pikiran logis Distorsi Pikiran Waham


Persepsi Akurat Ilusi Halusinasi
Emosi Konsisten Menarik Diri Sulit Berespon
Perilaku Sesuai Reaksi Emosi ≤ / ≥ Perilaku Disorganisasi
Hubungan Sosial Perilaku Tidak Biasa Isolasi Sosial
Keterangan:
Pikiran Logis : Ide yang berjalan secara logis dan koheren
Persepsi Akurat : Proses diterimanya rangsang melalui panca indera yang
didahului oleh perhatian sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada di
dalam maupun luar dirinya
Emosi Konsisten : Manifestasi perasaan yang konsisten atau efek keluar
disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama
Menarik Diri : percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain
Emosi berlebihan atau kurang : manifestasi perasan atau afek keluar
beelebihan atau kurang
Perilaku Tidak Biasa atau aneh : perilaku individu berupa tindakan nyata
dalam menyelesaikan masalahnya tidak dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan budaya umum yang berlaku
Proses pikir kadang terganggu (Ilusi )
Isolasi Sosial : Menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam
berinteraksi

5. ETIOLOGI: FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESPITASI


Menurut Stuart (2007); Zelika 2015:
1) Faktor predisposisi
Merupakan faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi
stress. Hal ini dapat diperoleh dari klien atau keluarga. Faktor
predisposisi sebagai berikut:
a) Faktor Perkembangan: Jika tugas perkembangan mengalami
hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu
akan mengalami stress dan kecemasan.
b) Faktor Sosiokultural: Berbagai faktor di masyarakat dapat
menyebabkan seseorang merasa disingkarkan, sehingga orang
tersebut merasa kesepian di lingkungan yang membesarkannya.
c) Faktor Biologis: Struktur otak yang abnormal ditemukan pada
pasien gangguan orientasi realistas, serta dapat ditemukan atropik
otak, pembesaran ventikal, perubahan besar, serta bentuk sel
kortikal dan limbik
d) Faktor Psikologis: Hubungan interpersonal yang tidak harmonis
serta adanya peran ganda bertentangan yang sering diterima oleh
seseorang akan mengakibatkan stres dan kecemasan yang tinggi
dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
e) Faktor Genetik: Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum
diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit
ini
2) Faktor Prespitasi
Merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra
untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering, seperti
partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi,
objek yang ada dilingkungan dan juga suasana sepi/isolasi. Hal ini
sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut
dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.
a. Perilaku: Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa
curiga, takut, tidak aman, gelisah dan bingung, berperilaku
yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan
tidak nyata.
b. Sumber Koping: Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan
strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas
dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber
koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah,
dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu
seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan
stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
c. Mekanisme Koping: Setiap upaya yang diarahkan pada
pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah
langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri.
d. Biologis: Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak,
yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada
mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
e. Tahapan Halusinasi dibagi menjadi:
1. Tahap I (non - psikotik)
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman
pada klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum pada
tahap ini halusinasi merupakan hal yang menyenangkan
bagi klien. Karakteristik:
 Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan
ketakutan
 Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat
menghilangkan kecemasan
 Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam
control kesadaran
Perilaku yang muncul:
 Tersenyum atau tertawa sendiri
 Menggerakkan bibir tanpa suara
 Pergerakan mata yang cepat
 Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
2. Tahap II (non-psikotik)
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan
mengalami tingkat kecemasan yang berat. Secara umum,
halusinasi yang ada dapat menyebabkan antipasti.
Karakteristik:
 Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan
dilecehkan oleh pengalaman tersebut
 Mulai merasa kehilangan kontrol
 Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul:
 Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan,
dan tekanan darah
 Perhatian terhadap lingkungan menurun
 Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
 Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara
halusinasi dan realita
3. Tahap III (psikotik)
Pada tahap ini klien biasanya tidak dapat mengontrol
dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat, dan halusinasi
tidak dapat ditolak lagi. Karekteristik:
 Klien menyerah dan menerima pengalaman
sensorinya
 Isi halusinasi menjadi atraktif
 Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori
berakhir
Perilaku yang muncul
 Klien menuruti perintah halusinasi
 Sulit berhubungan dengan orang lain
 Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
 Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
 Klien tampak tremor dan berkeringat
4. Tahap IV (psikotik)
Pada tahap ini klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi
dan biasanya klien terlihat panik
Perilaku yang muncul:
 Resiko tinggi menciderai
 Agitasi atau kataton
 Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali
dengan seseorang yang menarik diri dari lingkungan karena orang
tersebut menilai dirinya rendah. Bila klien mengalami halusinasi
dengar dan lihat atau salah satunya yang menyuruh pada kejelekan
maka akan berisiko terhadap perilaku.

6. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Budi Anna Keliat (2005)
1) Bicara, senyum dan tertawa sendiri
2) Menarik diri dan menghindar dari orang lain
3) Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan tidak nyata
4) Tidak dapat memusatkan perhatian
5) Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya) dan takut
6) Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung
7. AKIBAT
Adanya gangguang persepsi sensori halusinasi dapat beresiko mencederai
diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, B.A, 2006). Menurut Townsend,
M.C suatu keadaan dimana seseorang melakukan sesuatu tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik pada diri sendiri maupuan orang lain.

8. POHON MASALAH ATAU PATHWAY

Resiko Mencederai diri sendiri,


orang lain dan lingkungan

Perubahan Persepsi Sensori:


Halusinasi

Isolasi Sosial: Menarik diri

9. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan pasien Skizofrenia dengan gejala halusinasi adalah
dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, seperti:
1) Psikoterapi
Obat-obatan yang lazim digunkan pada gejala halusinasi
pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada pasien skizofrenia
adalah obat-obatan antipsikosis
2) ECT atau terapi kejang listrik
3) Terapi Aktivitas Kelompok

Menurut Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara: (Nilamsari,


2014)
a) Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan
ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan
pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar
terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di
pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau
emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati
pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan
meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Beritahu
pasien terkait tindakan yang akan di lakukan. Dalam ruangan
itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang
perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan
realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding,
majalah dan permainan.
b) Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan
dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan
sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus
mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta
reaksi obat yang di berikan
c) Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi
masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat
dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab
timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah
yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui
keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekatdengan
pasien.
d) Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan
fisik, misalnya
berolahraga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini
dapat membantu mengarahkan pasin pada kehidupan nyata
dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak
menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
e) Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses
perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu
tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan
kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari
percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia
sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada
orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas.
Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan
menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada.
Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga
pasien dan petugas lain agar tidak membiarkan pasien
sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.

10. PROSES KEPERAWATAN


1) Pengkajian
1. Identitas klien: Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status
perkawinan, agama, tanggal MRS (masuk rumah sakit),
informan, tanggal pengkajian, No Rumah Sakit dan alamat klien
2. Keluhan utama: Tanyakan pada keluarga/klien hal yang
menyebabkan klien dan keluarga datang kerumah sakit. Yang
telah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah, dan
perkembangan yangdicapai
3. Faktor predisposisi: Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien
pernah mengalami gangguan jiwa pada masalalu, pernah
melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan
tindakan criminal. Dan pengkajiannya meliputi
psikologis, biologis, dan social budaya
4. Aspek fisik/biologis: Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD,
Nadi, Suhu, Pernafasan, TB, BB) dan keluhanfisik yang dialami
oleh klien
5. Aspek psikososial:
 Genogram yang menggambarkan tiga generasi
 Konsep diri
 Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam
kehidupan, kelompok, yang diikuti dalam masyarakat)
 Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan
ibadah
6. Status Mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas mot
orik klien, afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi,
proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori,
tingkatkonsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulanga
 Kemampuan makan klien dan menyiapkan serta merapikan
lat makan kembali
 Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan
WC serta membersihkan danmerapikan pakaian
 Mandi dan cara berpakaian klien tampak rapi
 Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah
 Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah
diminum

8. Mekanisme koping: Malas beraktivitas, sulit percaya dengan


orang lain dan asyik dengan stimulus internal, menjelaskan suatu
perubahan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada
orang lain
9. Masalah psikososial dan lingkungan: Masalah berkenaan dengan
ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan
10. Pengetahuan: Didapat dengan wawancara klien dan disimpulkan
dalam masalah
11. Aspek medik: Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter,
therapy farmakologi, psikomotor, okopasional, TAK dan
rehabilitas

2) Diagnosa Keperawatan (SDKI, 2018)


Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi (D.0085)

3) Rencana Intervensi (SLKI & SIKI, 2018)

Rencana

No DX Kep Tujuan & Kriteria Intervensi Rasional


Hasil (SIKI)
(SLKI)

1 Perubahan Setelah dilakukan Tindakan: SP1 1. Agar pasien dan


Persepsi tindakan keperawatan 1. Membantu pasien perawat dapat
Sensori: selama 2 minggu, mengenali halusinasi mengetahui tentang
Halusinasi dengan tujuan sebagai dengan cara isi halusinasinya
berikut: berdiskusi dengan pasien
1. Pasien mengenali pasien tentang isi 2. Agar pada saat
halusinasi yang halusinasi (Mis. apa halusinasi muncul
dialaminya yang pasien bisa dapat
2. Pasien dapat didengar/dilihat), mengontrol halusinasi
mengontrol waktu terjadi tersebut dengan
halusinasinya halusinasi, frekuensi latihan yang sudah
3. Pasien mengikuti terjadinya halusinasi, dilakuakn
program situasi yang
pengobatan secara menyebabkan
optimal halusinasi muncul,
dan respons pasien
saat halusinasi
muncul
2. Melatih mengontrol
halusinasi.

4) Implementasi Keperawatan
Implementasi tindak keperawatan disesuaikan dengan
rencana tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan
yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan
singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan oleh
klien saat ini (here and now) perawat juga menilai diri sendiri,
apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, dan
teknikal yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan. Perawat
juga menilai kembali apakah tindakan aman bagi klien. Setelah
tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh
dilaksanakan. Pada saat akan melakukan tindakan keperawatan,
perawat membuat kontrak dengan klien yang isinya menjelaskan
apa yang akan dilakukan dan peran serta yang diharapkan klien.
Dokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan beserta
respon klien. (Direja, 2011).
Pasien Keluarga
SP I p SP I k
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien 1. Mendiskusikan masalah yang
2. Mengidentifikasi isi halusinasi pasien dirasakan keluarga dalam merawat
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien pasien
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
pasien gejala halusinasi, dan jenis halusinasi
5. Mengidentifikasi situasi yang yang dialami pasien beserta proses
menimbulkan halusinasi terjadinya.
6. Mengidentifikasi respons pasien terhadap 3. Menjelaskan cara – cara merawat
halusinasi pasien halusinasi
7. Mengajarkan pasien menghardik 1.
halusinasi 2.
8. Menganjurkan pasien memasukkan cara
menghardik halusinasi ke dalam jadwal
kegiatan harian
SP II p SP II k
4. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 3. Melatih keluarga mempraktikkan cara
pasien merawat pasien halusinasi
5. Melatih pasien mengendalikan halusinasi 4. Melatih keluarga melakukan cara
dengan cara bercakap-cakap dengan merawat langsung kepada pasien
orang lain halusinasi
6. Menganjurkan pasien memasukkan
kegiatan bercakap-cakap ke dalam
jadwal kegiatan harian
SP III p SP III k
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat
pasien jadwal aktivitas termasuk minum
2. Melatih pasien mengendalikan halusinasi obat.
dengan melakukan kegiatan (kegiatan 2. Menjelaskan follow up pasien
yang biasa dilakukan pasien di rumah)
3. Menganjurkan pasien memasukkan
kegiatan untuk mengendalikan halusinasi
ke dalam jadwal kegiatan harian
SP IV p
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
pasien
2. Memberikan pendidikan kesehatan
tentang penggunaan obat secara teratur
3. Menganjurkan pasien memasukkan
aktivitas minum obat ke dalam jadwal
kegiatan harian
(Keliat, 2014)
5) Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi
proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melaksanakan
tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan
membandingkan antara respon klien dan tujuan khusus serta umum
yang telah ditentukan (Direja, 2011). Evaluasi dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir:
S : Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan. Dapat dilakukan dengan menanyakan
langsung kepada klien tentang tindakan yang telah dilakukan.
O : Respon obyektif klien terhadap tindakankeperawatan yang
telah dilakukan. Dapat diukur dengan mengobservasi prilaku
klien pada saat tindakan dilakukan, atau menanyakan kembali
apa yang telah dilaksanakan atau member umpan balik sesuai
dengan hasil observasi.
A : Analisis ulang atas data subyektif dan obyektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul
masalah baru atau ada data kontra indikasi dengan masalah
yang ada, dapat juga membandingkan hasil dengan tujuan.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada
respon klien yang terdiri dari tindak lanjut klien dan perawat
Pada Klien dengan Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi , evaluasi
keperawatan yang diharapkan sebagai berikut :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2. Klien dapat mengenal halusinasi.
3. Klien dapat mengontrol halusinasi.
4. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya.
5. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

STRATEGI PELAKSANAAN HALUSINASI

SP 1

1. Kondisi Klien
 Klien mengatakan sering mendengar suara-suara yang
memanggil namanya
 Klien tampak gelisah
2. Diagnosa Keperawatan
Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi
3. Tujuan
 Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya
 Pasien dapat mengontrol halusinasinya
 Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
4. Intervensi
 Membantu pasien mengenali halusinasi dengan cara
berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (Mis. apa yang
didengar/dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya
halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul, dan
respons pasien saat halusinasi muncul
 Melatih mengontrol halusinasi (Dengan cara menghardik
Halusinasi)
5. Strategi Pelaksanaan
a. Orientasi
Selamat pagi Mba. Saya perawat…(sebutkan) yang akan
menemani Mba disini. Saya ingin bertanya namanya siapa yah?
Senang dipanggil apa?
Bagaimana perasaan Mba hari ini? Apa keluhan Mba saat ini?
Baiklah Mba, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang
suara yang selama ini Mba dengar tetapi tidak tampak
wujudnya? Tidak lama kok, 15 menit saja. Di mana kita
duduk? Bagaimana kalau di ruang tamu? Baiklah, kita
berbicara di ruang tamu yah.
b. Kerja
Nah, Mba apakah Mba mendengar suara tanpa melihat
wujudnya? Apa yang dikatakan suara itu? Apakah terus-
menerus atau sewaktu-waktu? Kapan yang paling sering Mba
dengar suaranya? Berapa kali sehari Mba mendengar suara-
suara itu? Pada keadaan apa suara itu terdengar? Apakah pada
waktu Mba sendiri?
Apa yang Mba rasakan saat mendengar suara itu? Apa yang
Mba lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara
itu, suara-suara itu hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-
cara mencegah suara-suara itu muncul?
Jadi, Mba ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu
muncul. Pertama, dengan menghardik suara tersebut. Kedua,
dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Ketiga,
melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang keempat
minum obat dengan teratur.
Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan
menghardik suara tersebut. Caranya adalah saat suara-suara itu
muncul, langsung Mba bilang, PERGI, SAYA TIDAK MAU
DENGAR, … SAYA TIDAK MAU DENGAR. KAMU
SUARA PALSU. Begitu diuang-ulang sampai suara-suara itu
tidak terdengar lagi. Ayo, coba Mba peragakan apa yang sudah
saya ajarkan tadi. Nah, begitu, … bagus! Coba Mba ulangi
lagi! Ya bagus Mba sudah bisa yah.
c. Terminasi
Bagaimana perasaan Mba setelah peragaan latihan tadi? Kalau
suara-suara itu muncul lagi, silahkan coba cara yang tadi sudah
kita lakukan. Bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya?
Mau jam berapa saja latihannya? Bagaiman kalau kita bertemu
lagi untuk belajar dan latihan mengendalikan suara-suara
dengan cara kedua? Jam berapa Mba? Bagaimana kalau besok?
Jam berapa Mba? Baiklah jam 9 yah. Berapa lama kita akan
berlatih? Di mana tempatnya? Baiklah karena Mba sudah
menunjukan kemajuan, jadi latihan kali ini cukup sampai disini
dulu yah Mba. Terimakasih
DAFTAR PUSTAKA

Aji, W. M. H. (2019). Asuhan Keperawatan Orang Dengan Gangguan Jiwa


Halusinasi Dengar Dalam Mengontrol Halusinasi.

Damayanti, M., & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama

Irwan, F., Hulu, E. P., Manalu, L. W., Sitanggang, R., & Waruwu, J. F. A. P.
(2021). Asuhan keperawatan Jiwa Dengan Masalah Halusinasi.
Nilamsari A. K. 2014. Laporan pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Jiwa
Halusinasi. (Doctoral dissertation, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya)
Dikutip dari https://id.scribd.com/doc/278596317/Lp-Halusinasi Diakses
tanggal 20 November 2021

Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Nuha Medika

Zelika, A. A., & Dermawan, D. (2015). Kajian Asuhan Keperawatan Jiwa


Halusinasi Pendengaran Pada Sdr. D Di Ruang Nakula RSJD Surakarta.
Profesi (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian, 12(02).

Keliat, Budi Anna. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic
Course). Jakarta: EGC

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN


RESIKO BUNUH DIRI
DI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO
OLEH :

FEBRIYANTI YESTELDA REBOKH

SN231069

PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 20223/2024

1. PENGERTIAN
Resiko bunuh diri merupakan, semua tindakan yang beresiko
terhadap cedera yang ditimbulkan diri sendiri dan mengancam jiwa yang
didukung dengan data subjektif dan data objektif (Wilkinson & Ahern,
2012 dalam Purbaningsih, 2019)
Resiko Bunuh Diri ialah, tindakan mencelakai diri sendiri yang
cukup serius sehingga membutuhkan pemeriksaan medis dan tujuan dari
mencelakai diri sendiri adalah untuk mengakhiri hidup (Krakowski, 2014
dalam Cahyani, 2017)
Resiko Bunuh Diri adalah, tindakan agresif yang merusak diri sendiri
dan dapat mengakhiri kehidupan (Videbeck, 2008 dalam Dewi 2017)
Berdasarkan penjelasan dari beberapa jurnal di atas dapat
disimpulkan bahwa resko bunuh diri adalah sebuah tndakan mencelakai
diri akibat pemikiran yang tidak dapat diatasi sehingga timbul perasan
untuk mengakhiri hidupnya.

2. KLASIFIKASI
Menurut Maramis (2010); Yosep (2010), Ada 3 jenis bunuh diri yaitu:
1) Bunuh Diri egoistik
Akibat seseorang atau individu yang mempunyai hubungan sosial
yang buruk. Dapat diartikan seperti bunuh diri pada jenis ini
dilakukan oleh sesorang yang merasa bahwa kepentingan individu
lebih tinggi dari pada kepentingan sosial
2) Bunuh Diri Altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan. Bunuh diri karena
adanya perasaan integrasi antar sesama individu yang satu dengan
yang lain, sehingga menciptakan masyarakat yang memiliki
integritas yang kuat.
3) Bunuh Diri Anomik
Akibat Lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi
individu. Tipe bunuh diri yang lebih berfokus pada keadaan moral,
dimana individu kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam
hidupnya.

3. JENIS DAN FASE


Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang
yang penuh stress. Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang
diantaranya:
a) Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses kontemplasi
dari bunuh diri, atau sebuah metoda yang digunakan tanpa
melakukan aksi/ tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan
mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian,
perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki
pikiran tentang keinginan untuk mati
b) Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah
melakukan perencanaan yang konkrit untuk melakukan bunuh diri
c) Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya
keinginan dan hasrat yang dalam, bahkan ancaman untuk
mengakhiri hidupnya
d) Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku
destruktif yang diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak
hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada percobaan
untuk melakukan bunuh diri. Hal ini terjadi karena individu
mengalami ambivalen antara mati, hidup dan tidak berencana
untuk mati. Individu ini masih memiliki kemauan untuk hidup,
ingin di selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik
mental.
e) Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang
mempunyai indikasi individu ingin mati dan tidak mau
diselamatkan misalnya minum obat yang mematikan, walaupun
demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan
kehidupannya

4. RENTANG DAN RESPON

Adaptif
Maladapti

Perilaku Pencederaan
Peningkatan Diri Pertumbuhan Bunuh Diri
Destruktif diri tak Diri
Peningkatan
langsung
Beresiko
Penjelasan :

1. Peningkatan Diri: Seorang individu yang mempunyai pengharapan,


keyakinan dan kesadaran diri meningkat
2. Pertumbuhan Peningkatan Beresiko: Merupakan posisi pada rentang
yang masih normal, pada individu yang mengalami perkembangan
perilaku
3. Perilaku Destruktif Diri Tak Langsung: Setiap aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian.
Contohnya, seperti perilaku merusak, mengebut, berjudi, tindakan
kriminal, penyalahgunaan zat, perilaku yang menimbulkan stress.
4. Pencederaan Diri: Tindakan yang membahayakan diri sendiri, yang
dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri
sendiri, tanpa bantuan orang lain dan cedera tersebut cukup parah
untuk melukai tubuh. Bentuk umum dari pencederaan diri adalah
melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota
tubuh lainnya, melukai tubuh sedikit demi sedikit dan menggigit jari
5. Bunuh Diri: Tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri
untuk menegakhiri kehidupan

5. ETIOLOGI: FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESPITASI


Menurut Fitria, Nita (2009), Penyebab resiko bunuh diri adalah sebagai
berikut:
1. Faktor Predisposisi
Ada lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman
perilaku destruktif diri sepanjang siklus kehidupan seperti:
a. Diagnosis Psikiatrik
Diketahui bahwa lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri
hidupnya dengan cara bunuh diri memiliki riwayat gangguan
jiwa. Ada tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu
beresiko untuk melakukan tindakan bunuh diri, seperti gangguan
afektif, penyalahgunaan zat dan skizofrenia
b. Sifat Kepribadian
Tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan tingginya resiko
bunuh diri ialah antipati, impulsif dan depresi
c. Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya
adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan atau
bahkan sampai perceraian. Kekuatan dari dukungan sosial
sangatlah penting dalam menciptakan tindakan yang terapeutik,
dengan mengetahui penyabab masalahnya, kemudian respon
yang diberikan dalam menghadapi masalah tersebut.
d. Riwayat Keluarga
Keluarga dengan riwayat pernah melakukan bunuh diri
merupakan faktor yang penting, dimana dapat menyebabkan
seseorang dapat melakukan tindakan bunuh diri
e. Faktor Biokimia
Data menunjukan bahwa pasien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak, seperti
serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan dari zat-zat
tersebut dapat kita lihat melalui rekaman gelombang otak Electro
Encephalo Graph (EEG)

2. Faktor Prespitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang
dialami oleh pasien. Untuk faktor pencetusnya sendiri dapat berupa
kejadian hidup yang memalukan. Faktor pencetus lainnya adalah
ketika pasien melihat atau membaca melalui media tentang orang
yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi
seseorang yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan

6. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala resiko bunuh diri menurut Fitria, Nita (2009) adalah
sebagai berikut:
a) Mempunyai ide untuk bunuh diri
b) Mengungkapkan keinginan untuk mati
c) Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
d) Impulsif
e) Menunjukan perilaku yang mencurigakan (biasanya mereka
menjadi sangat patuh)
f) Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
g) Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dengan
dosis mematikan
h) Status emosioanal berupa harapan, penolakan, cemas meningkat,
panik, marah dan mengasingkan diri
i) Kesehatan mental (secara klinis pasien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis dan menyalahgunakan alkohol)
j) Kesehatan fisik yang biasanya pada pasien dengan penyakit kronis
atau terminal
k) Pengangguran berupa tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, dan
mengalami kegagalan dalm karier
l) Mengalami kegagalan dalam perkawinan
m) Pekerjaan
n) Latar belakang keluarga
o) Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil

7. POHON MASALAH ATAU PATHWAY

Resiko Perilaku Kekerasan


Resiko Bunuh Diri

Gangguan Konsep Diri:


Harga Diri Rendah

8. PEMERIKSAAN DAN PENATALAKSNAAN MEDIS


Pemeriksaan dan penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada pasien resiko
bunuh diri adalah:
1. Secara klinis harus menilai resiko bunuh diri berdasarkan pemeriksaan
klinis. hal yang paling prediktif yang berhubungan dengan resiko
bunuh diri. Bunuh diri juga dikelompokkan kedalam faktor yang
berhubungan dengan risiko tinggi dan risiko rendah.
2. Jika memeriksa pasien yang berusaha untuk bunuh diri, jangan
meninggalkan mereka sendirian, keluarkan semua benda yang
kemungkinan berbahaya dari ruangan.
3. Jika memeriksa pasien yang baru saja melakukan usaha bunuh diri,
nilailah apakah usaha tersebut telah direncanakan atau dilakukan
secara impulsif dan tentukan letalitasnya, kemungkinan pasien untuk
ditemukan. (contohnya, apakah pasien sendirian dan apakah pasien
memberitahukan orang lain?), dan reaksi pasien karena diselamatkan
(apakah pasien kecewa atau merasa lega?), kemudian faktor-faktor
apakah yang menyebabkan usaha bunuh diri telah berubah.
4. Penatalaksanaan sangat tergantung pada diagnosis. Misalnya, pasien
dengan gangguan depresif berat mungkin diobati sebagai rawat jalan
jika keluarganya dapat mengawasi mereka secara ketat dan jika
pengobatan dapat dimulai secara cepat. Selain hal tersebut, perawatan
dirumah sakit mungkin diperlukan
5. Ide bunuh diri pada pasien alkoholik biasanya menghilang dalam
beberapa hari. Jika depresi menetap setelah tanda psokologis dari putus
alkohol menghilang, diperlukan kecurigaan yang tinggi adanya
gangguan depresif berat. Semua pasien yang berusaha bunuh diri oleh
alkohol atau obat harus dinilai kembali jika mereka sadar.
6. Ide bunuh diri pada pasien skizofrenia harus ditanggapi secara serius,
karena mereka cenderung menggunakan kekerasan atau metode yang
kacau dengan letalitas yang tinggi.
7. Pasien dengan gangguan kepribadian mendapatkan manfaat dari
konfrontasi empatik dan bantuan dengan mendapatkan pendekatan
rasional dan bertanggung jawab terhadap masalah yang mencetuskan
krisis dan bagaimana mereka biasanya berperan. Keterlibatan keluarga
atau teman dan manipulasi lingkungan mungkin membantu dalam
menghilangkan krisis yang menyebabkan usaha bunuh diri
8. Hospitalisasi jangka panjang diindikasikan pada keadaan yang
menyebabkan mutilasi diri, tetapi hospitalisasi singkat biasanya tidak
mempengaruhi perilaku tersebut.
Menurut (Surwendi, AL. G. 2019; Purbaningsih, 2019)

Psikoterapi:

Terapi Aktivitas Kelompok menurut (Riyadi, Surojo dan Purwanto Teguh,


2009)

1) Model interpersonal: Tingkah laku (pikiran, perasaan dan tindakan)


digambarkan melalui hubungan interpersonal dalam kelompok. Pada
model ini juga menggambarkan sebab akibat tingkah laku anggota,
merupakan akibat dari tingkah laku anggota yang lain. Terapist bekerja
dengan individu dan kelompok, anggota belajar dari interaksi antar
anggota dan terapist. Melalui proses ini, tingkah laku atau kesalahan
dapat dikoreksi dan dipelajari.

Terapi Modalitas yang cocok untuk resiko bunuh diri adalah:


1) Terapi Biologi: Karena perilaku abnormal/ penyimpangan pasien
adalah akibat dari faktor fisik atau penyakit, jenis terapi yang bisa
diberikan adalah terapi psikoaktif, intervensi nutrisi (diet), fototerapi
2) Terapi Lingkungan: Terapi ini bertujuan untuk mengembangkan rasa
harga diri, kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dan
mempersiapkan diri untuk kembali ke masyarakat serta mencapai
perubahan kesehatan yang positif.

Kemudian syarat lingkungan bagi klien bunuh diri adalah sebagai berikut:

a. Secara psikologis
 Ruangan aman dan nyaman
 Terhindar dari alat-alat yang dapat digunakan untuk mencederai
diri sendiri atau orang lain
 Alat-alat medis, obat-obatan dan jenis cairan medis di almari (bila
ada) harus dalam keadaan terkunci
 Ruangan harus ditempatkan di lantai satu, dan keseluruhan
ruangan mudah dipantau oleh petugas kesehatan
 Tata ruangan menarik dengan cara menempelkan poster yang
cerah dan meningkatkan gairah hidup pasien
 Adanya bacaan ringan, lucu dan motivasi hidup
b. Lingkungan sosial
 Komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas
kesehatanmenyapa pasien sesering mungkin
 Memberikan penjelasan setiap akan melakukan
kegiatankeperawatan atau kegiatan medis lainnya
 Menerima pasien apa adanya, jangan mengejek ataumerendahkan
 Meningkatkan harga diri pasien
 Sertakan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan,
janganmembiarkan pasien sendiri terlalu lama di ruangan
c. Lingkungan spiritual
 Sarana: seperti tempat ibadah, buku-buku suci harus terpisah
 Ruangan sepi dan tertutup dengan tujuan agar perhatian terpusat
pada pengobatan, serta agar pasien menemukan harapan baru
bagi masa depannya

Pencegahan bunuh diri menurut Conwell terdiri atas pencegahan


primer, sekunder dan tertier (Amita, 2019)
 Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan terjadinya
perilaku bunuh diri atau keadaan yang berkembang menjadi
menjadi upaya bunuh diri.
 Pencegahan sekunder adalah suatu upaya pencegahan dengan
cara menemukan sedini mungkin krisis bunuh diri dan
melakukan tindakan agar tidak berlanjut menjadi bunuh diri.
 Pencegahan tersier adalah tindakan yang ditujukan untuk
menyelamatkan sesorang yang melakukan bunuh diri,
mengurangi gejala psikiatris dan penyakit sosial pada kelompok
risiko.
9. PROSES KEPERAWATAN
Pengkajian dilakukan dengan wawancara dan observasi pada klien dan
keluarga (Saputri, 2020)
1) Pengkajian
Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
1. Resiko Bunuh Diri
a) Data Subjektif
- Klien sering mengatakan ingin mengakhiri hidupnya
- Klien merasa tidak berharga dan tidak berguna
b) Data Objektif
- Adanya riwayat keluarga yang mealakukan bunuh diri
- Klien pernah berusaha melakukan bunuh diri dengan
minum racun serangga
I. Riwayat masa lalu :
a) Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
b) Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
c) Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
d) Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
e) Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline,
paranoid, antisosial, gangguan persepsi sensori, gangguan proses
pikir, dlsb
f) Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka
II. Symptom yang menyertainya
a. Apakah klien mengalami :
 Ide bunuh diri
 Ancaman bunuh diri
 Percobaan bunuh diri
 Sindrom mencederai diri sendiri yang disengaja
b. Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan
anhedonia dimana hal ini merupakan faktor krusial terkait dengan
resiko bunuh diri.
III. Bila individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk
membunuh diri mereka sendiri. Perlu dilakukan penkajian lebih
mendalam lagi diantaranya :
 Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan
 Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau
perencanaan untuk melakukan aksinya yang sesuai dengan
rencananya.
 Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk
merencanakan dan mengagas akan bunuh diri
 Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu mampu
diakses oleh klien.
IV. Hal – hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan pengkajian
tentang riwayat kesehatan mental klien yang mengalami resiko bunuh
diri :
 Menciptakan hubungan saling percaya yang terapeutik
 Memilih tempat yang tenang dan menjaga privasi klien
 Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak mengancam
dan mendorong komunikasi terbuka.
 Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan kata –
kata yang dimengerti klien
 Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat
pengobatanny
 Mendaptakan data tentang demografi dan social ekonomi
 Mendiskusikan keyakinan budaya dan keagamaan
 Peroleh riwayat penyakit fisik klien

2) Diagnosa Keperawatan
Resiko Bunuh Diri (D.0135)
3) Rencana Keperawatan

No Dx Tujuan Kriteria Evaluasi Rencana Tindakan

Klien dapat membina Setelah diberikan askep selama selama 2x BHSP dengan
hubungan saling pertemuan diharapkan: ekspresi wajah menggunakan prinsip
percaya bersehabat, menunjukkan rasa senang, ada komunikasi terapiutik:
kontak mata, mau berjabat tangan, mau - Sapa klien dengan
menyebutkan nama, mau menjawab salam, nama baik verbal
mau duduk berdampingan dengan perawat, maupun non verbal
mau mengutarakan masalah yang dihadapi. - Perkenalkan diri
dengan sopan
- Tanyakan nama
lengkap klien dan
nama panggilan
yang disukai
- Jelaskan tujuan
pertemuan
- Jujur dan menepati
janji
- Tunjukkan sikap
empati dan
menerima klien apa
adanya
- Berikan perhatian
dan perhatikan
kebutuhan dasar
klien
Klien dapat terlindung Setelah diberikan askep selama 1x o Jauhkan klien
dari perilaku bunuh pertemuan diharapkan: Tidak terdapat dari benda benda
diri benda- benda tajam disekitar yang dapat
klien, klien nyaman dengan ruangannya, membahayakan
klien terawasi (pisau, silet,
gunting, tali,
kaca, dan lain
lain).
o Tempatkan klien
di ruangan yang
tenang dan selalu
terlihat oleh
perawat.
o Awasi klien
secara ketat setiap
saat.
Klien dapat Setelah diberikan askep selama 2x o Dengarkan
mengekspresik an pertemuan diharapkan: Klien mampu keluhan yang
perasaannya mengatakan perasaannya atau dirasakan.
keluhannya, mengungkapkan o Bersikap empati
harapannya, mampu menceritakan arti untuk
penderitaan, kematian dan lain meningkatkan
sebagainya, dan ungkapan
mengungkapkan keinginan untuk hidup keraguan,
ketakutan dan
keputusasaan.
o Beri dorongan
untuk
mengungkapkan
mengapa dan
bagaimana
harapannya
o Beri waktu dan
kesempatan untuk
menceritakan arti
penderitaan,
kematian, dan lain
sebagainya.
o Beri dukungan
pada tindakan atau
ucapan klien yang
menunjukkan
keinginan untuk
Klien dapat Setelah diberikan askep selama 2x o Bantu untuk
meningkatkan harga pertemuan diharapkan: Klien menyadari memahami bahwa
diri bahwa dapat mengatasi keputusasaannya, klien dapat
mengadari kemampuan internal yang mengatasi
dimiliki, dan mampu mengidentifikasi keputusasaannya
sumber sumber harapan o Kaji dan kerahkan
sumber sumber
internal individu.
o Bantu
mengidentifikasi
sumber sumber
harapan (misal :
hubungan antar
sesama,
keyakinan, hal hal
untuk
diselesaikan)
Klien dapat Setelah diberikan askep selama 1x15 o Ajarkan untuk
menggunakan koping menit selama 2x pertemuan diharapkan: mengidentifikasi
yang adaptif Klien mampu menyampaikan pengalaman-
pengalaman-pengalaman yang pengalaman yang
menyenangkan setiap hari dan kemudian menyenangkan
melaksanakan saat punya masalah, klien setiap hari (misal
mengenal hal-hal yang dicintai, disayangi berjalan-jalan,
dan pentingnya kehidupan sosial membaca buku
favorit, menulis
surat dll.)
o Bantu untuk
mengenali hal hal
yang klien cintai
dan yang
klien sayang, dan
pentingnya
terhadap
kehidupan orang
lain,
mengesampingka
n tentang
kegagalan dalam
kesehatan.
o Beri dorongan
untuk berbagi
keprihatinan pada
orang lain yang
mempunyai suatu
masalah dan atau
penyakit yang
sama dan telah
mempunyai
pengalaman positif
dalam mengatasi
masalah tersebut
dengan koping
yang efektif

4) Implementasi Keperawatan
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang sudah
dirumuskan
5) Evaluasi Keperawatan
Selanjutnya, setelah dilakukan tindakan keperawatan, evaluasi
dilakukan terhadap kemampuan pasien risiko bunuh diri serta
kemampuan perawat dalam merawat pasien dengan risiko bunuh diri.

STRATEGI PELAKSANAAN RISIKO BUNUH DIRI

SP 1
A. Diagnosa keperawatan: resiko bunuh diri
B. Tujuan
 Pasien tetap aman dan selamat
 Pasien tidak lagi memiliki keinginan percobaan bunuh diri
C. Tindakan keperawatan
 Menemani pasien terus-menerus sampai pasien dapat
dipindakan ke tempat yang aman
 Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya
pisau, silet, gunting)
 Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum
obatnya, jika pasien mendapatkan obat.
 Dengan lembut menjelaskan pada pasien bahwa perawat
akan melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh
diri.
Strategi pelaksanaan
1. Orientasi
“Selamat pagi, mbak. Saya…(sebutkan), boleh kah saya berkenalan
dengan mbak? Nama mbak siapa?. Mbak, saya mahasiswa yang sedang
praktek di sini”
“Bagaimana perasaan mbak hari ini?”
“Mbak, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang apa yang mbak
rasakan selama ini.”
“Kita bercakap-cakap selama 15 menit, dimana tempat yang mbak suka?
Ditaman? Boleh”

2. Kerja
“mbak, boleh diceritakan bagaimana perasaaan mbak saat hal suami mbak
pergi? Apakah dengan kepergiannya dia mbak menjadi merasa yang
paling menderita di dunia ini? Apakah hai itu membuat mbak kehilangan
kepercayaan diri? Apakah itu membuat mbak merasa tidak berharga atau
lebih rendah dari orang lain? Apakah mbak merasa bersala atau
mempersalahkan diri sendiri? Apakah mbak sering mengalami kesulitan
berkonsentrasi? Apakah mbak berniat untuk menyakiti diri sendiri, ingin
bunuh diri atau berharap mbak mati? Apakah mbak pernah mencoba untuk
bunuh diri? Apa sebabnya? Bagaimana caranya? Apa yang mbak rasakan?
“karena mbak tampaknya masih memiliki keinginan yang kuat untuk
mengakhiri hidup, maka saya akan memberitahu mbak apa yang dapat
mbak lakukan jika keinginan tersebut muncul. Caranya adalah mbak bisa
langsung menyampaikan kepada perawat, atau keluarga mbak apabila
timbul dorongan untuk bunuh diri karena jika mbak menyampaikannya
maka dengan segera perawat dan keluarga dapat membantu mbak.
“saya percaya mbak pasti bisa mengatasi masalah ini”

3. Terminasi
“bagaimana perasaan mbak sekarang, setelah mengetahui cara mengatasi
perasaan ingin bunuh diri?
“coba mbak sebutkan lagi cara terseebut”

DAFTAR PUSTAKA
Cahyani, E., & Fitriani, D. R. (2017). Analisis Praktek Klinik Keperawatan Jiwa
pada Klien Resiko Bunuh Diri dengan Intervensi Inovasi Terapi Kognitif
terhadap Perubahan Gejala Bunuh Diri di Ruang Tiung Rumah Sakit Jiwa
Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda

Dewi, E. S., & Damaiyanti, M. (2017). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Jiwa
pada Klien Resiko Bunuh Diri dengan Intervensi Inovasi Mendengarkan
Musik terhadap Gejala Resiko Bunuh Diri di Ruang Belibis RSJD Atma
Husada Mahakam Samarinda Tahun 2017

Amita, A. (2019). HUBUNGAN KEBUTUHAN SPIRITUAL DENGAN


TINGKAT RESIKO BUNUH DIRI PADA PASIEN GANGGUAN JIWA
DI RSJD DR AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG JAWA TENGAH
(Doctoral dissertation, Universitas Islam Sultan Agung).

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN
PERILAKU KEKERASAN
DI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO

OLEH:

FEBRIYANTI YESTELDA REBOKH

SN231069

PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 20223/2024
1. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan
untuk melukai atau mencelakai individu lain yang tidak
menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2018).
Perilaku kekerasan merupakan sebuah ungkapan ekspersi individu yang
terlalu berlebihan yang tidak terkontrol baik secara verbal maupun
non-verbal, dan dapat mencederai diri sendiri, orang lain, hingga
merusak lingkungan (Depkes RI,2017). Perilaku kekerasan merupakan
suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara
fisik maupun psikologis (Towsend, 2018).

2. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
a. Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasiyang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak
yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina,
dianiaya atau sanksi penganiayaan.
b. Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luarrumah,
semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
c. Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasifagresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima
(permissive).
d. Bioneurologis
Banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobusfrontal, lobus
temporal dan ketidakseimbangan neurotransmit terturut berperan
dalam terjadinya perilaku kekerasan.
2. Faktor Presipitasi
Faktor prespitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau
interaksidengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik
(penyakit fisik),keputusan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang
dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan
situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, kehilanganorang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan
merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif
dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.

3. MANIFESTASI KLINIK
1. Emosi
- Tidak adekuat
- Merasa tidak aman
- Rasa terganggu
- Dendam dan jengkel
- Bermusuhan
- Mengamuk
- Ingin berkelahi
- Menyalahkan dan menuntut
2. Verbal
- Bicara kasar
- Nada suara tinggi, membentak, berteriak
- Mengancam secara verbal/fisik
- Mengumpat dengan kata-kata kotor
- Suara keras
- Ketus
3. Fisik
- Muka merah dan tegang
- Mata melotot/pandangan tajam
- Tangan mengepal
- Rahang mengatup
- Wajah memerah dan tegangf
- Postur tubuh kaku
- Pandangan tajam
- Mengatup rahang dengan kuat
- Jalan mondar-mandir
4. Perilaku
- Melempar/memukul benda/orang lain
- Menyerang orang lain
- Melukai diri sendiri/orang lain
- Merusak lingkungan
- Amuk/agresif
5. Kognitif
- Mendominasi
- Cerewet
- Kasar
- Berdebat
- Meremehkan
- Sarkasme
6. Sosial
- Menarik diri
- Pengasingan
- Penolakan
- Ejekan
- Sindiran
4. POHON MASALAH/ PATHWAY
Resiko Mencederai Diri Sendiri, Orang Lain, dan Lingkungan

Perilaku Kekerasan

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

5. MANAJEMEN TERAPI
1. Terapi modalitas
a. Terapi keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu
mengatasimasalah klien dengan memberikan perhatian:
1. Bina hubungan saling percaya (BHSP)
2. Jangan memancing emosi klien
3. Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan
dengankeluarga
4. Memberikan kesempatan pada klien dalam
mengemukakan pendapat
5. Anjurkan pada klien untuk mengemukakan masalah
yang dialami
6. Mendengarkan keluhan klien
7. Membantu memecahkan masalah yang dialami oleh
klien
8. Hindari penggunaan kata-kata yang menyinggung
perasaan klien
9. Bawa klien ketempat yang tenang dan aman

b. Terapi kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan,ketrampilan
social atau aktivitas lai dengan berdiskusi dan bermainuntuk
mengembalikan kesadaran klien karena masalah sebagian
orangmerupakan perasaan dan tingkah laku pada orang lain.
2. farmakoterapi
 Obat anti psikosis, phenotizin (CPZ/HLP)
 Obat anti depresi, amitriptyline
 Obat anti ansietas, diazepam, bromozepam, clobozam
 Obat anti insomnia, phenobarbital

6. PROSES KEPERAWATAN
1) Pengkajian
Masalah dan Data yang Perlu Dikaji pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan, yaitu diantaranya:
1. Data Subyektif :.
o Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang
o Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
o Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa
lainnya.
2. Data Obyektif.
o Mata merah, wajah agak merah
o Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
o Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan
tajam.
o Merusak dan melempar barang-barang.
2) Diagnosa Keperawatan
Perilaku Kekerasan (D.0132)

3) Rencana Keperawatan
Perencanaan
Diagnosa
No.Dx Tujuan Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan
Evaluasi

2 3 4 5 6 7

Perilaku 1.Klien dapat 1.1 klien mau 1.1.1 beri salam/  Hubungan
kekerasan membina membalas salam panggil nama klien saling percaya
hubungan saling merupakan
percaya 1.2 klien mau 1.1.2 sebutkan nama landasann
menjabat tangan perawat sambil jabat utama untuk
tangan hubungan
1.3 klien mau selanjutnya.
menyebutkan nama 1.1.3 jelaskan
maksud hubungan
1.4 klien mau interaksi
tersenyum
1.1.4 jelaskan tentang
1.5 klien mau kontak kontrak yang akan
mata dibuat

1.6 klien mengetahui 1.1.5 beri rasa aman


nama perawat dan sikap empati

1.7 menyediakan 1.1.6 lakukan kontak


waktu untuk kontrak singkat tapi sering

2.Klien dapat 2.1 Klien dapat 2.1.1 Beri  Beri


mengindetifikasi mengungkapkan kesempatan untuk kesempatan
penyebab perasaannya mengungkapkan untuk
perilaku perasaannya mengungkapka
2.2 Klien dapat n perasaannya
kekerasan
mengungkapkan 2.1.2 Bantu klien dapat
membantu
penyebab perasaan untuk
mengurangi
jengkel//kesal (dari mengungkapkan stress dan
diri sendiri,dari penyebab penyebab
lingkungan/orang jengkel/kesal perasaan
lain) jengkel/kesal
dapat diketahui
3.Klien dapat 3.1 Klien dapat 3.1.1 Anjurkan klien  Untuk
mengidentifikasi mengungkapkan mengungkapkan apa mengetahui hal
tanda-tanda perasaan saat yang dialami saat yang dialami
perilaku marah/jengkel marah/jengkel dan dirasa saat
kekerasan jengkel
3.2 Klien dapat 3.1.2 Observasi tanda  Untuk
menyimpulkan tanda- perilaku kekerasan mengetahui
tanda jengkel/kesal pada klien tanda-tanda
klien
yang dialami
3.1.3 Simpulkan jengkel/kesal
 Menarik
bersama klien tanda-
kesimpulan
tanda jengkel/kesal bersama klien
yang dialami klien supaya klien
mengetahui
secara garis
besar tanda-
tanda
marah/kesal
4.Klien dapat 4.1 Klien dapat 4.1.1 Anjurkan klien  Mengeksplorasi
mengidentifikasi mengungkapkan untuk perasaan klien
perilaku perilaku kekerasan mengungkapkan terhadap
kekerasan yang yang biasa dilakukan perilaku kekerasan perilaku
kekerasan yang
biasa dilakukan yang biasa dilakukan
4.2 Klien dapat biasa dilakukan
klien  Untuk
bermain peran
mengetahui
dengan perilaku 4.1.2 Bantu klien perilaku
kekerasan yang biasa bermain peran sesuai kekerasan yang
dilakukan dengan perilaku biasa dilakukan
kekerasan yang biasa dan dengan
4.3 Klien dapat dilakukan bantuan
mengetahui cara yang perawat bisa
biasa dapat 4.1.3 Bicarakan membedakan
menyesuaikan dengan klien apakah perilaku
konstruktif dan
masalah atau tidak cara yang klien
destruktif
lakukan masalahnya  Dapat
selesai? membantu klien
dapat
menemukan
cara yang dapat
menyelesaikan
masalah
5.Klien dapat 5.1 Klien dapat 5.1.1 Bicarakan  Membantu
mengidentifikasi menjelaskan akibat akibat/kerugian dari klien untuk
akibat perilaku dari cara yang cara yang dilakukan menilai
kekerasan digunakan klien klien perilaku
kekerasan yang
5.1.2 Bersama klien dilakukannya
 Dengan
menyimpulkan akibat
mengetahui
vara yang digunakan akibat perilaku
oleh klien kekerasan
diharapkan
klien dapat
merubah
perilaku
destruktif yang
dilakukannya
menjadi
perilaku yang
konstruktif.
6.Klien dapat 6.1 Klien dapat 6.1.1 Tanyakan pada  Agar klien
mengidentifikasi melakukan cara klien “apakah ia ingin dapat
cara konstruktif berespon terhadap mempelajari cara mempelajari
kemarahan secara cara yang lain
dalam merespon baru yang sehat?”
konstruktif yang
terhadap
6.1.2 Berikan pujian konstruktif
kemarahan  Dengan
jika klien mengetahui
mengidentifikas
cara lain yang sehat i cara yang
konstruktif
6.1.3 Diskusikan dalam
dengan klien cara lain merespon
yang sehat terhadap
kemarahan
a. Secara dapat
fisik:tarik nafas membantu klien
dalam jika menemukan
sedang cara yang baik
kesal/memukul untuk
bantal/kasur mengurangi
atau olah raga kejengkelannya
atau pekerjaan sehinga klien
yang tidak stress lagi
memerlukan  Reinforcement
tenaga positif dapat
b. Secara memotivasi
verbal:katakana klien
bahwa anda meningkatkan
sedang harga dirinya
kesal/tersinggu  Berdiskusi
ng/jengkel dengan klien
(saya kesal untuk memilih
anda berkata cara yang lain
seperti itu;saya sesuai dengan
marah karena kemampuan
mama tidak klien
memenuhi
keinginan saya
c. Secara
sosial:lakukan
dalan kelompok
cara-cara marah
yang
sehat;latihan
asentif.Latihan
manajemen
perilaku
kekerasan
d. Secara
spiritual:anjurk
an klien
sembahyang,ber
do’a/ibadah
lain;meminta
pada Tuhan
untuk diberi
kesabaran,meng
adu pada Tuhan
kekerasan/kejen
gkelan.
7.Klien dapat 7.1 Klien dapat 7.1.1 Bantu klien  Memberikan
mendemonstrasi mendemonstrasikan memilih cara yang stimulasi
kan cara cara mengontrol paling tepat untuk kepada klien
mengontrol cara perilaku kekerasan: klien untuk menilai
respon perilaku
mengontrol
kekerasan
perilaku  Fisik:tarik nafas 7.1.2 Bantu klien
secara tepat
kekerasan dalam,olah mengidentifikasi
raga,menyiram  Membantu
manfaat cara dipilih klien dalam
tanaman
mebuat
 Verbal:mengata 7.1.3 Bantu keluarga keputusan
kannya secara klien untuk terhadap cara
langsung
menstimulasi cara yang telah
dengan tidak
tersebut (role play) dipilihnya
menyakiti
dengan melihat
 Spiritual:semba
7.1.4 manfaatnya
hyang,berdo’a
Berreinforcement  Agar klien
atau ibadah lain
positif atau mengetahui
cara marah
keberhasilan klien
yang
menstimulasi cara konstruktif
tersebut  Pujian dapat
meningkatkan
7.1.5 Anjurkan klien motivasi dan
untuk menggunakan harga diri klien
cara yang telah  Agar klien
dipelajari saat dapat
jengkel/marah melaksanakan
cara yang telah
dipilihnya jika
ia sedang kesal
atau marah
8.Klien 8.1 Keluarga klien 8.1.1 Identifikasi  Kemampuan
mendapat dapat: kemampuan keluarga dalam
dukungan keluarga mengidentifikas
 Menyebutkan merawat i akan
keluarga dalam
cara merawat klien dari memungkinkan
mengontrol sikap apa
klien yang keluarga untuk
perilaku yang telah melakukan
berperilaku
kekerasan kekerasan dilakukan penilaian
 Mengungkapkan keluarga terhadap
rasa puas dalam terhadap perilaku
merawat klien klien selama kekerasan
ini  Meningkatkan
8.1.2 Jelaskan pengetahuan
peran serta keluarga
keluarga tentang cara
dalam merawat klien
merawat sehingga
klien keluarga
8.1.3 Jelaskan terlibat dalam
cara-cara perawatan klien
merawat  Agar keluarga
klien: dapat merawat
o Terkait klien dengan
dengan cara perilaku
mengontrol kekerasan
perilaku  Agar keluarga
marah mengetahui
secara cara merawat
konstruktif klien melalui
o Sikap demonstrasi
tenang,bicar yang dilihat
a tenang dan keluarga secara
jelas langsung
 Membantu  Mengeksplorasi
klien perasaan
mengenal keluarga setelah
penyebab melakukan
ia marah demonstrasi
8.1.4 Bantu
keluarga
mendemonst
rasikan cara
merawat
klien
8.1.5 Bantu
keluarga
mengungka
pkan
perasaannya
setelah
melakukan
demonstrasi
9.Klien dapat 9.1 Klien dapat 9.1.1 Jelaskan jenis-  Klien dan
menggunakan menyebutkan obat- jenis obat yang keluarga dapat
obat-obatan obatan yang diminum diminum klien pada mengetahui
yang diminum dan kegunaannya klien keluarga nama-nama
obat yang
dan (jenis,waktu,dan
9.1.2 Diskusikan diminum oleh
kegunaannya efek) klien
(jenis,waktu,dos manfaat minum obat
 Klien dan
is dan efek) 9.2 Klien dapat dan kerugian berhenti keluarga dapat
minum obat sesuai minum obat tanpa mengetahui
program pengobatan seizing dokter kegunaan obat
yang
9.2.1 Jelaskan prinsip dikonsumsi
benar minum obat klien
(baca nama yang  Klien dan
tertera pada botol keluarga
obat,dosis obat,waktu mengetahui
dan cara minum) prinsip benar
agar tidak
9.2.2 Ajarkan klien terjadi
kesalahan
minta obat dan
dalam
minum tepat waktu mengkonsumsi
obat
9.2.3 Anjurkan klien
 Klien dapat
melaporkan pada memiliki
perawat/dokter jika kesadaran
merasakan efek yang pentingnya
tidak menyenangkan minum obat
dan bersedia
9.2.4 Beri pujian,jika minum obat
klien minum obat dengan
kesadaran
dengan benar
sendiri
 Mengetahui
efek samping
sedini mungkin
sehingga
tindakan dapat
dilakukan
sesegera
mungkin untuk
menghindari
komplikasi
 Reinforcement
positif dapat
memotivasi
keluarga dan
klien serta
dapat
meningkatkan
harga diri

4) Implementasi Keperawatan
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang sudah
dirumuskan
5) Evaluasi Keperawatan
Selanjutnya, setelah dilakukan tindakan keperawatan, evaluasi
dilakukan terhadap kemampuan pasien risiko bunuh diri serta
kemampuan perawat dalam merawat pasien dengan risiko bunuh
diri.
STRATEGI PELAKSANAAN PERILAKU KEKERASAN

SP 1
Strategi Komunikasi
A. Tahap Orientasi
1. Salam Terapeutik
“Selamat pagi pak, perkenalkan saya…(sebutkan). Nama bapak
siapa? Lebih senang dipanggil siapa pak?
Bapak, saya adalah mahasiswa yang saat ini praktek disini
selama 3 minggu”.
2. Kontrak
a. Topik : “pak, bagaimana kalau kita bincang-bincang
sebentar tentang hal-hal positif yang siring bapa lakukan
setiap hari? Tujuannya agar bapak dapat menilai kemampuan
positif yang ada dalam diri bapak”
b. Waktu : “bagaimana kalau berbincang-bincangnya selama
15 menit?”
c. Tempat : “bapak mau berbincang-bincangnya dimana?
Bagaimana kalau di taman ?
B. Tahap Kerja
“pak, sekarang coba bapak ceritakan, apa yang membuat bapak merasa
marah?” apakah sebelumnya bapak pernah marah? Kira-kira,
penyebabnya apa? samakah dengan yang sekarang?”
“lalu saat bapak sedang marah apa yang bapak rasakan? apakah
bapak merasa sangat kesal, dada berdebar-debar lebih kencang, mata
melotot, rahang terkatup rapat dan ingin mengamuk?” “setelah itu apa
yang bapak lakukan?” “apakah dengan cara itu marah/kesal bapak
dapat terselesaikan?” Ya tentu tidak, apa
kerugian yang bapak alami?”
“menurut bapak adakah cara lain yang lebih baik?
maukah bapak belajar caramengungkapkan kemarahan dengan baik
tanpa menimbulkan kerugian?”
“jadi, ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan, bapak. salah satu
nya adalahdengan cara fisik. jadi melalui kegiatan fisik, rasa marah
bapak dapat tersalurkan”

“ada beberapa cara, bagaimana kalau kita belajar 1 cara dulu- Namanya
teknik napasdalam begin Pak,

kalau tanda-tanda marah tadi sudah bapak rasakan, maka bapak berdiri at
au duduk dengan rileks, lalu tarik napas dari hidung, tahan sebentar, lalu
keluarkan/tiup perlahan-lahan melalui mulut”

“ayo Pak coba lakukan apa yang saya praktikan tadi, bapak berdiri atau
duduk denganrileks tarik napas dari hidung, bagus.., tahan, dan tiup
melalui mulut. Nah, lakukan 5 kali.”

“bagus sekali, bapak sudah bisa melakukannya”

“Nah.. bapak tadi telah melakukan latihan teknik relaksasi napas dalam,
sebaiknya latihan ini bapak lakukan secara rutin, sehingga bila sewaktu-
waktu rasa marah itu muncul bapak sudah terbiasa melakukannya”

C. Tahap Terminasi
1. Evaluasi
 Data subjektif
“bagaimana perasaan bapak setelah melakukan tehnik
nafas dalam tadi?”
 Data objektif
“coba bapak tunjukan lagi ke saya bagaimana cara
melakukan tehnik nafas dalam.”
2. Tindak lanjut:
Nanti saat tidak bersama-sama saya, bapak boleh ingat-ingat lagi
penyebab marahnya bapak, lalu apa yang biasanya bapak lakukan
saat marah.
Jangan lupa untuk latihan nafas dalamnya ya pak. Kita buat
jadwal latihannya ya supaya bisa lebih teratur latinyannya, bapak
mau sehari berapa kali latihan? Mau di jam berapa?
3. Kontrak yang akan datang:
a. Topik : ”bapak,bincang-bincang kita sudah selesai untuk
hari ini, besok kita akan bertemu lagi karena saya akan
melihat perkembangan kondisi bapak sekaligus
mengajakan teknik rileksasi yang lainnya”
b. Tempat : “dimana bapak ingin kita bertemu besok?
Bagaiaman kalau disini lagi saja?
c. Waktu : “besok bapak mau kita bertemu jam berapa?
Bagaimana kalau jam 3 sore? Bapak, terimakasih untuk
waktunya hari ini, saya permisi dulu, sampai jumpa besok
pak.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna, Dkk. 2010. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edi. Jakarta:
EGC.

Ah. Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta;
SalembaMedikaKeliat, Ana Budi. Dkk. 2015.

Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta; EGCKeliat, Ana Budi. Dkk.


2019. Model Praktik Keperawatan Professional Jiwa, JakartaEGCStuart, Gail W.
2017.

Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi. Jakarta: EGCYosep, Iyus. 2017.


Keperawatan Jiwa. Bandung; Refika AditamaFrances,mary,dkk.2013.

rencana asuhan keperawatan psikiatri.jakarta:EGCMarilyne,


Doengoes&townsend, mary, &frances,mary.2016.

rencana asuhankeperawatan psikiatri.Jakarta:EGC Ma’rifatul, lilik.2013.


keperawatan jiwa.yogyakarta:graha ilmuKusumawati, farida. 2013.

Buku ajar keperawatan jiwa.Jakarta :salemba medika. Yusuf, dkk. 2015.

Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta; EGCKeliat, Ana Budi. Dkk. 2019.

Model Praktik Keperawatan Professional Jiwa, JakartaEGCStuart, Gail W. 2017.


Bandung; Refika AditamaFrances,mary,dkk.2017.
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai