PENDAHULU
A. Latar Belakang
World Health Organitation (WHO, 2014), menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan
sejahtera yang positif bukan sekedar keadaan tanpa penyakit. Orang yang dinyatakan memiliki
jiwa yang sehat apabila mampu mengendalikan diri dalam menghadapi stressor di lingkungan
sekitar dengan selalu berpikir positif dalam keselarasan tanpa adanya tekanan fisik dan
psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang mengarah pada kesetabilan emosional
(Hidayat,2011). Saat ini gangguan jiwa diidentifikasi dan ditangani sebagai masalah medis.
masalah kesehatan jiwa, baik yang berat maupun yang ringan (Kelliat,2009).
Kesehatan jiwa adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan atau bagian
integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia.
Gangguan jiwa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu gangguan jiwa ringan (Neurosa) dan
gangguan jiwa berat (Psikosis). Psikosis ada dua jenis yaitu psikosis organik, dimana didapatkan
kelainan pada otak dan psikosis fungsion tidak terdapat kelainan pada otak. Psikosis salah satu
bentuk gangguan jiwa merupakan ketidak mampuan untuk berkomunikasi atau menggali realitas
sekitar dengan selalu berpikir positif dalam keseluruhan tanpa adanya tekanan fisik dan
psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang mengarah pada kestabilam
kestabilan emosional yang mengganggu kesehatan jiwa atau juga yang disebut dengan
1
Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan
timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku anehh dan terganggu. Skrizofrenia tidak
dapat didefinisikan sebagai penyakit tersendiri, diduga sebagai suatu sindrom atau proses
penyakit yang mencakup banyak jenis dengan berbagai gejala (Videbec,16). Salah satu gejala ne
gatif dari skizofrenia sendiri adalah dapat menyebabkan klien mengalami gangguan fungsi sosial
dan isolasi sosial salah satu yang Dialami oleh pasien skizoprenia adalah menarik diri, berkurang
nya motivasi, efek datar, berkurangnya atensi, pasif, apatis dan merasa tak nyaman (Videbeck, 2
010). Pasien dengan skizofrenia cenderung menarik diri secara sosial( Maramis, 2014).
Menurut WHO (2013) prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi, (25%)
dari penduduk dunia pernah menderita masalah kesehatan jiwa, (1%) diantaranya adalah
skizofrenia, yang mana ditemukan terbanyak pada usia 15- 35. Potensi seseorang mudah
terserang gangguan jiwa memang tinggi, setiap saat 450 juta orang di seluruh dunia terkena
dampak permasalahan jiwa, saraf maupun prilaku. Berdasarkan dari hasil Riskesdas (2013)
untuk pasien gangguan jiwa atau Skizofrenia didapatkan hasil sebanyak 15 orang (0,7%), yang
mana ini terjadi peningkatan pada tahun (2018) didapatkan hasil sebanyak 20 orang ( 6,7%)
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDA) 2014 Sumatera Barat didapatkan dari 5,2
juta jiwa penduduk sumbar 680.000 mengalami gangguan jiwa(9,1%) Puskesmas Padang
Sibusuk jumlah pasien yang mengalami Skizofrenia pada tahun 2019 adalah sebanyak 12 orang
dengan isolasi sosial sebanyak 1 orang. Isolasi Sosial Merupakan ketidakmampuan untuk
membina hubungan yang erat, hangat, terbuka dan interpenden dengan orang lain.( Tim pokja
SDKI DPP PPNI ,2016), Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan
dan bahkan sama sekali tidak mampu berintekrasi dengan orang lain dan tetangga sekitarnya.
Klien merasa di tolak dan tidak diterima,kesepian dan tidak mampu membina hubungan dengan
orang lain. Dengan kata lain isolasi sosial adalah kegagalan individu dalam melakukan interaksi
dengan orang lain yang disebabakan pikiran negatif dan mengancam (Keliat,B.A 2015)
2
Klien dalam dengan isolasi sosila tidak mempunyai kemampuan untuk bersosialisasi dan
sulit untuk mengungkapkan keinginan dan tidak mampu berkomunikasi dengan baik seingga klie
n tidak mempau menggungkapkan marah dengan cara yang baik. Tindakan keperawatan yang ba
ik dilakukan pada klien dengan isolasi soisial dilakukan dengan generalis seperti memberikan ter
Menurut (Varcarolis, 2011) bahwa social skills training adalah metode yang didasarkan
pada prinsip-prinsip sosial pembelajaran dan menggunakan teknik perilaku bermain peran,
praktik dan umpan balik untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah. Social skills
training melatih hubungan interpersonal, manajemen simptom, dan ketrampilan problem solving.
Prinsip latihan perilaku dan sosial dengan mengembangkan latihan ketrampilan yang meliputi
manajemen pengobatan, deteksi dini terhadap gejala yang muncul, kemampuan mengatasi secara
mandiri gejala yang muncul, koping terhadap stress hidup, kebersihan diri, interpersonal problem
solving, dan ketrampilan komunikasi (Granholm, 2014) penelitian Diah Sukhesti(2019) dalam ju
rnal social skill training pada klien isolasi sosial dimana setelah dilakukan social skill training ke
mempuan klien meninggkat sebesar 53,4% dari 30 orang klien berupa kemampuan dalam berken
ala, sikap tubuh dan menjalani persahabatan, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Li
bermen dan menggunakan cara-cara tersebut selamanya.hal ini perlu adanya dukungan dari kelua
rga dan masyarakat sekitarnya, Berdasarkan survey awal yang telah dilakukan pada tanggal 07
Agustus 2021 pada Keluarga, dimana keluarga mengatakan klien sering bermenung,tidak mau
bicara,kontak mata kosong,klien suka menyendiri dalam rumah, tidak ingin ketemu dengan
orang lain saat petugas pengkajian klien kelihatan menunduk ,diam seribu bahasa ,klien
membisu tidak ingin bicara dengan petugas,klien tidak kooperatif. Berdasarkan pengkajian
diatas ,maka penulis merasa tertarik untuk melakukan Keperawatan pada Tn.G,dengan Asuhan
keperawatan pada Tn.G Dengan Isolasi Sosial Penerapan Terapi Social Skill Training Di wilayah
3
B. Rumusan Masalah
Asuhan Keperawatan Pada Tn.G Dengan Isolasi Sosial: Penerapan Terapi Social Sklill Tr
aining di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Sibusuk Kabupaten Sijunjung Tahun 2021?”
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Penulis dapat melakukan Asuhan Keperawatan Pada Tn.G Dengan Isolasi Sosial: Pen
erapan Terapi Social Sklill Training di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Sibusuk Ka
2. Tujuan Khusus
sial: Penerapan Terapi Social Sklill Training di Wilayah Kerja Puskesmas Padang
b. Penulis mampu melakukan diagnosa keperawatan pada Tn.G Dengan Isolasi Sosi
al: Penerapan Terapi Social Sklill Training di Wilayah Kerja Puskesmas Padang
olasi Sosial: Penerapan Terapi Social Sklill Training di Wilayah Kerja Puskesmas
4
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn.G Dengan Isolasi Sosial: Penerapan
Terapi Social Sklill Training di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Sibusuk Kabup
Dengan Isolasi Sosial: Penerapan Terapi Social Sklill Training di Wilayah Kerja
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pasien
Aktivitas isolasi sosial dapat meningkatkan kesadaran dan memotivasi klien tentang
Hasil dari Askep ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi perawat dalam
guna untuk meningkatkan sosialisasi dengan orang sekitar. Menjadi salah satu acuan
bagi perawat untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa dengan dengan
3. Bagi Penulis
Hasil karya ilmiah ini menjadi bahan dasar untuk peneliti selanjutnya yang berkaitan
4. Bagi Puskesmas
Bahan panduan dan rujukan bagi puskesmas tentang tindakan pemberian asuhan
keperawatan jiwa pada pasien skizofrenia dengan isolasi sosial sehingga puskesmas
5
dapat menerapkan tentang tindakan keperawatan pada pasien Isolasi sosial dengan
skizofrenia.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Skizofrenia
1. Definisi
dengan kehilangan pemahaman terhadap realitas dan hilangnya daya tilik diri
gangguan jiwa
penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi
atau terpecah dan phrenia yang berarti pikiran. Skizofrenia merupakan suatu
emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu.(Videbeck, 2008 dalam
mempengaruhi emosional dan tingkah laku (Depkes RI, 2015). Gangguan jiwa
2. Etiologi
7
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etiologi) yang pasti mengapa
1) Faktor genetik;
2) Virus;
3) Autoantibodi;
4) Malnutrisi.
terhadap
keluarga menyebutkan pada orang tua 5,6%, saudara kandung 10,1%; anak-anak
12,8%; dan penduduk secara keseluruhan 0,9%. 2) Studi terhadap orang kembar
janin juga mempunyai peran bagi timbulnya skizofrenia kelak dikemudian hari.
Gangguan ini muncul, misalnya, karena kekurangan gizi, infeksi, trauma, toksin
gen yang abnormal, skizofrenia tidak akan muncul kecuali disertai faktor-faktor
lainnya yang disebut epigenetik faktor. Skizofrenia muncul bila terjadi interaksi
8
Seseorang yang sudah mempunyai faktor epigenetik stresor psikososial dalam
kehidupannya, maka risikonya lebih besar untuk menderita skizofrenia dari pada
3. Klasifikasi Skizofrenia
yaitu Penderita di golongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang
ada pada klien terdapat pada klien ini Akan tetapi batas-batas golongan-golongan
ini tidak jelas,dan tidak ada label gejala-gejala dapat berganti-ganti atau mungkin
seorang penderita tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu jenis obat krapelin
umumobat dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam PPDGJ III skizofrenia
dibagi lagi dalam 9 tipe obat atau kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-
Skizofrenia paranoid
lebih teliti juga didapatkan gangguan proses pikir, gangguan afek, dan emosi
9
suka menyendiri dan kurang percaya pada orang lain.Berdasarkan PPDGJ III,
berikut :
diri pasien, yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau tanpa
menonjol.
dikendalikan
“Passivity”
satu atau lebih delusi atau sering berhalusinasi. Biasanya gejala pertama kali
muncul pada usia lebih tua daripada pasien skizofrenik hebefrenik atau
b. Skizofrenia Hebefrenik
10
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada
masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah
diagnosis skizofrenia
perasaan;
11
hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases);
c. Skizofrenia Katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut
2009 dalam PPDGJ III). Gejala paling penting adalah gejala psikomotor
seperti:
3) Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama,
12
4) Bila diganti posisinya penderita menentang : negativisme
stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak. Gaduh gelisah katatonik
(Maramis, 2009).
makan dan minum sehingga mungkin terjadi dehidrasi atau kolaps dan
(Maramis, 2009).
berbicara):
13
4) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
kalimatkalimat.
gejala-gejala lain.
d. Skizofrenia Simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada
14
penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik
tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara
sosial.
skizofrenia lainnya.
dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang
15
e. Skizofrenia residual
ke arah gejala
buruknya perawatan diri dan fungsi social (Maramis, 2009 dalam PPDGJ
III).
sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri
2) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
skizofrenia;
16
4) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
negative tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus
gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia.
tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada
tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut
4. Penatalaksanaan Skizofrenia
b. Elektrokonvusif (ECT)
17
c. Pendekatan Psikologi
Intervensi psikososial diyakini berdampak baik pada angka relaps dan kualitas
adalah:
18
A. Terapi Social Skills Training
1. Pengertian
hidup sehari-hari.
teknik perilaku bermain peran, praktik dan umpan balik untuk meningkatkan
kemampuan mengatasi secara mandiri gejala yang muncul, koping terhadap stress
19
Dari berbagai definisi yang telah dikemukakan dapat disimpulkan social
sosial yang dapat diterima dan dihargai secara sosial. Hal ini melibatkan
menguntungkan.
2. Tujuan
keterampilan klien yang selalu digunakan dalam hubungan dengan orang lain dan
Tujuan lain social skills training adalah untuk meningkatkan kontrol diri
pada klien dengan fobia sosial, meningkatkan kemampuan klien dalam aktifitas
3. Manfaat
20
E. Prosedur Terapi Social Skills Training
2) Tujuan Terapi :
Klien mampu :
orang lain.
orang lain .
3. Setting
4. Alat
21
5.) Diskusi dan Tanya Jawab
Transfer training yang dilakukan oleh klien dengan klien lain dalam
kelompok
2) Langkah-Langkah Kegiatan
3) Persiapan
4) Pelaksanaan
a) Orientasi
b) Salam terapeutik
(c) Mempersilahkan klien menyebutkan nama lengkap dan nama paggilan secara
6) Kontrak
22
4) Klien mampu berkomunikasi untuk memberikan pertolongan kepada orang
lain
(3) Jika ada klien yang akan meninggalkan kegiatan harus meminta ijin kepada
terapis
8) Tahap kerja
lain
pertolongan.
memberikan pertolongan.
klien 1.
23
24
3) Terapis meminta tanggapan klien 1 tentang latihan yang dilakukan
klien
pertolongan.
pertolongan.
klien 1.
11. Terapis memberikan umpan balik terhadap latihan yang dilakukan seluruh
klien
12. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan, komitmen dan semangat klien
25
26
Terapis cara berkomunikasi:
pujian.
pujian.
(3) Terapis memberikan umpan balik terhadap kemampuan yang telah dilakukan
klien 1.
(7) Terapis memberikan umpan balik terhadap latihan yang dilakukan seluruh
klien
(8) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan, komitmen dan semangat klien
f) Terapis melatih berkomunikasi saat menerima pujian dari orang lain dengan
metode :
pujian.
pujian.
(3) Terapis memberikan umpan balik terhadap kemampuan yang telah dilakukan
klien 1.
27
28
(6) Seluruh klien secara berkelompok mempraktekkan kembali cara komunikasi
(7) Terapis memberikan umpan balik terhadap latihan yang dilakukan seluruh
klien
(8) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan, komitmen dan semangat klien
9) Tahap terminasi
a) Evaluasi
orang lain
orang lain
(6) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama dan keberhasilan klien.
b) Tindak Lanjut
pertolongan kepada orang lain dengan teman dalam kelompok, klien lain,
pertolongan kepada orang lain dengan teman dalam kelompok, klien lain,
29
(3) Anjurkan klien melakukan latihan kembali berkomunikasi untuk memberikan
pujian kepada orang lain dengan teman dalam kelompok, klien lain, maupun
perawat ruangan.
menerimapujian dari orang lain dengan teman dalam kelompok, klien lain,
a) Evaluasi proses
khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien
pujian.
b) Dokumentasi
30
2. Definisi Isolasi Sosial
a. Pengertian
individu mengalami penurunan dan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain disekitarnya. Klien merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan
tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Dengan kata lain
isolasi sosial adalah kegagalan individu dalam melakukan interaksi dengan orang
lain yang disebabkan pikiran negatif dan mengancam (Keliat, B.A., 2015)
Adaptif maladaptif
31
(Sumber: Surya Direja Buku Ajaran Asuhan Keperawatan Jiwa di Indonesia, 2011)
32
Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial:
1) Respon adaptif
Respon adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh norma-
norma sosial dan kebudayaan secara umum dalam batas normal ketika
menyelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk respon adaptif
lain.
2) Respon maladaptif
dan kehidupan disuatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon
maladaptif
33
c. Etiologi
individu tidak mampu berpikir logis dimana individu akan berpikir bahwa dirinya
tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan perannya sesuai tahap
diri rendah sehingga individu merasa tidak berguna, malu, dan tidak percaya diri
terhadap stresor, sumber koping, dan mekanisme koping yang digunakan individu
1) Faktor Predisposisi
Menurut (Stuart & Laraia, 2015) faktor predisposisi adalah faktor risiko
yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber risiko yang dapat menyebabkan
individu mengalami stress. Faktor ini meliputi biologis, psikologis, dan sosial
budaya.
a) Faktor Biologis
status kesehatan secara umum, sensitivitas biologi, dan terpapar racun (Stuart &
34
dengan skizofrenia. Pada kembar dizigot risiko terjadi skizofrenia 15%, kembar
monozigot 50%, anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia berisiko
13%, dan jika kedua orang tua mendererita skizofrenia berisiko 45% (Fontaine,
2013).
b) Faktor Psikologis
psikologis (Stuart & Laraia, 2011). Skizofrenia dapat terjadi pada individu yang
usia bayi tidak terbentuk hubungan saling percaya maka terjadi konflik
intrapsikik.
dengan kondisi tidak bahagia dan tegang akan menjadi individu yang tidak sensitif
secara psikologis. Kondisi keluarga dan karakter setiap orang dalam keluarga
selalu cemas, konflik perkawinan, dan komunikasi yang buruk serta interaksi yang
keluarga tersebut.
belakang budaya, agama dan keyakinan, dan kondisi politik (Stuart & Laraia,
terjadinya isolasi sosial meliputi; umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan
35
keyakinan. Skizofrenia terjadi pada semua kelompok sosial ekonomi, namun lebih
banyak terjadi pada kelompok sosial ekonomi rendah. Kondisi sosial ekonomi
keluarga, perasaan tidak berdaya, perasaan ditolak oleh orang lain dan lingkungan
diri rendah dan persepsi diri yang buruk serta mengalami keterbatasan sumber
koping terhadap situasi yang dihadapi. Status sosial ekonomi rendah tidak hanya
berdampak pada fungsi psikologis, tetapi juga biologis yang semakin menambah
gejala-gejala kronis, misalnya klien skizofrenia yang berasal dari kelompok sosial
2) Faktor Presipitasi
memerlukan energi yang besar untuk menghadapinya (Stuart & Laraia, 2005).
Faktor presipitasi dapat bersifat stresor biologis, psikologis, serta sosial budaya
yang berasal dari dalam diri individu (internal) maupun dari lingkungan eksternal
individu. Selain sifat dan asal stresor, waktu dan jumlah stresor juga merupakan
(Townsend, 2009) peristiwa dalam kehidupan yang penuh dengan tekanan dan
36
stresor menjadi pencetus serangan atau munculnya gejala skizofrenia dan
a) Stresor Biologis
infeksi, penyakit kronis dan adanya kelainan struktur otak. Ini terkait juga dengan
berkaitan dengan adanya gangguan struktur dan fungsi tubuh serta sistem
b) Stresor Psikologis
kondisi seperti hubungan keluarga tidak harmonis, ketidak puasan kerja dan
orang lain. Sikap atau perilaku tertentu seperti harga diri rendah, tidak percaya
diri, merasa dirinya gagal, merasa dirinya lebih dibandingkan orang lain, tidak
37
c) Stresor Sosial Budaya
support sistem dalam keluarga dan kontak/hubungan yang kurang antar anggota
keluarga. Stressor lain yang dapat menjadi pencetus terjadinya perilaku isolasi
pada suatu situasi yang dialami individu (Stuart & Laraia, 2005). Penilaian
terhadap stresor dapat dilihat melalui respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku,
dan sosial.
a) Respon kognitif
faktor kognitif mempengaruhi dampak suatu kejadian yang penuh dengan stress,
memilih koping yang akan digunakan, dan reaksi emosi, fisiologi, perilaku, dan
individu dengan lingkungannya terhadap suatu stressor. Terdapat tiga tipe utama
(3) stressor dinilai sebagai peluang/tantangan untuk tumbuh menjadi lebih baik.
Individu yang menilai stresor sebagai suatu tantangan akan mengubah stresor
38
menjadi peristiwa yang menguntungkan bagi dirinya sehingga menurunkan
Menurut (Townsend, 2012) dan (Keliat, B.A., 2011) pada klien isolasi
sosial penilaian terhadap stresor secara kognitif berupa merasa kesepiam, merasa
ditolak orang lain/lingkungan, dan merasa tidak dimengerti oleh orang lain,
merasa tidak berguna, merasa putus asa dan tidak memiliki tujuan hidup, merasa
tidak aman berada diantara orang lain, serta tidak mampu konsentrasi dan
membuat keputusan.
b) Respon afektif
secara afektif tidak spesifik dan umumnya berupa reaksi cemas yang
marah, menerima, tidak percaya, antisipasi, dan terkejut. Pengetahuan yang baik,
optimis, dan sikap positif dalam menilai peristiwa kehidupan yang dialami
& Laraia, 2005). Respon afektif dipengaruhi oleh kegagalan individu dalam
(NANDA, 2015) secara afektif klien dengan isolasi sosial merasa bosan dan
lambat dalam menghabiskan waktu, sedih, afek tumpul, dan kurang motivasi
c) Respon fisiologis
39
dan beberapa neurotransmiter dalam otak. Respon fisiologis fight-or-flight
menstimulasi sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan meningkatkan aktivitas
adrenal pituitari. Respon fisiologis yang terjadi pada klien isolasi sosial berupa
d) Respon perilaku
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu
sendiri dan mempunyai bentangan yang luas meliputi berjalan, berbicara dan
bereaksi, dimana semua itu dapat diamati, bahkan dipelajari. (Stuart, 2007)
meliputi menarik diri, menjauh dari orang lain, tidak atau jarang melakukan
komunikasi, tidak ada kontak mata, kehilangan gerak dan minat, malas melakukan
kegiatan sehari-hari, berdiam diri di kamar, menolak hubungan dengan orang lain,
e) Respon sosial
kegiatan, yaitu :
(1) Mencari makna, individu mencari informasi tentang masalah yang dihadapi.
Dalam hal ini perlu memikirkan strategi koping yang akan digunakan untuk
40
masalahnya sebagai akibat dari kelalaiannya mungkin tidak dapat melakukan
suatu respon koping. Dalam hal ini individu akan lebih menyalahkan diri
kemampuan yang dimiliki dengan orang lain yang memiliki masalah yang
sama. Hasil perbandingan sosial ini tergantung pada siapa yang dibandingkan
4) Sumber Koping
menentukan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Sumber
diri, dukungan sosial, dan motivasi (Stuart & Laraia, 2005). Sumber koping dapat
koping seseorang. Sumber koping individu yang lain dalam menghadapi stresor
5) Mekanisme Koping
mengatasi stres (Stuart & Laraia, 2005). Terdapat 3 (tiga) tipe utama mekanisme
koping, yaitu :
41
42
a) Mekanisme koping berfokus pada masalah (problem- focused), merupakan
mekanisme koping yang meliputi tugas dan usaha langsung dalam mengatasi
meminta nasihat.
dengan koping maladaptif berupa terjadi episode awal psikosis atau serangan
43
d. Tanda dan Gejala
Berikut ini dijelaskan tanda dan gejala isolasi sosial secara rinci:]
beraktivitas, kurang tekun bekerja dan sekolah, dan kesulitan melaksanakan tugas
yang komplek. Kondisi fisik berupa keterbatasan atau kecacatan fisik/mental dan
penyakit fisik juga akan menunjukkan perilaku yang maladaptif pada klien yaitu
isolasi sosial.
Tanda dan gejala kognitif terkait dengan pemilihan jenis koping, reaksi
pendapat klien terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Stuart & Laraia,
2005). Hal ini ditandai dengan adanya penilaian individu bahwa adanya perasaan
kesepian dan ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa mengerti
dirinya, merasa tidak aman berada dengan orang lain, merasa hubungan tidak
berarti dengan orang lain, tidak mampu berkosentrasi dan membuat keputusan,
perhatian, merasa putus asa, merasa tidak berdaya, dan merasa tidak berguna.
44
3) Tanda dan gejala perilaku
terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Stuart & Laraia, 2005). Pada
klien isolasi sosial perilaku yang ditampilkan yakni; kurangnya aktifitas, menarik
diri, tidak/jarang berkomunikasi dengan orang kain, tidak memiliki teman dekat,
melakukan tindakan berulang dan tidak bermakna, kehilangan gerak dan minat,
berhubungan dengan orang lain, menunjukkan perilaku yang tidak dapat diterima
oleh kultur, mengulang-ulang tindakan, tidak ada kontak mata, berdiam diri di
kamar.
Tanda dan gejala afektif terkait dengan respon emosi dalam menghadapi
masalah (Stuart & Laraia, 2005). Respon emosi sangat bergantung dari lama dan
intensitas stresor yang diterima dari waktu ke waktu. Tanda dan gejala yang
ditunjukkan klien isolasi sosial meliputi merasa sedih, afek tumpul, kurang
motivasi, serta merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.Rasa sedih karena
kehilangan terutama terhadap sesuatu yang berarti dalam kehidupan sering kali
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
45
1) Gejala dan Tanda Mayor isolasi sosial
Tabel 1
Subjektif Objektif
atau lingkungan
46
2) Gejala dan Tanda Minor
Tabel 2
Subjektif Objektif
Lain
Sendiri
yang jelas
Menunjukkan permusuhan
47
harapan oarang lain
Kondisi difabel
Perkembangan terlambat
Tidak bergairah/lesu
48
e. Dampak Isolasi Sosial
tingkah laku masa lalu primitif antara lain pembicaraan yang autistik dan tingkah
laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko
gangguan sensori persepsi: halusinasi, mencederai diri sendiri, orang lain serta
1) Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan
strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing strategi
49
apabila berinteraksi dan tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara
berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP
untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan pasien
2) Terapi kelompok
yaitu:
(1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu bangun
tidur.
(2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk
(3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan mandi
50
(4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan
berganti pakaian.
(5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang
(7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan dapat
(8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk pergi tidur.
Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu diperhatikan
Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi
a) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan
51
52
b) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan
c) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara dengan
orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda adanya
e) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban
f) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau
sebagainya.
1. Pengkajian
yang erat, hangat, terbuka, dan independen dengan orang lain. Adapun pengkajian
1) Data subjektif
53
b) Merasa tidak aman di tempat umum
2) Data objektif
a) Menarik diri
1) Data subjektif
2) Data objektif
a) Afek datar
b) Afek sedih
c) Riwayat ditolak
d) Menunjukkan permusuhan
f) Kondisi difabel
i) Perkembangan terlambat
54
2. Diagnosa keperawatan
P: Isolasi Sosial
E : Gangguan Psikiatrik
S : Gejala dan tanda mayor, subjektif : merasa ingin sendiri, merasa tidak aman di
Gejala dan tanda minor, subjektif : merasa berbeda dengan orang lain, merasa
asyik dengan pikiran sendiri, merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas. Objektif:
afek datar, afek sedih, riwayat ditolak, menunjukkan permusuhan, tidak mampu
memenuhi harapan orang lain, kondisi difabel, tindakan tidak berarti, tidak ada
Keperawatan :
Isolasi Sosial
3. Perencanaan / Intervensi
yaitu :
Intervensi :
d. Tanyakan nama lengkap pasien dan nama panggilan yang di sukai pasien
55
e. Jelaskan tujuan pertemuan
c. Diskusikan dengan pasien penyebab menarik diri atau tidak mau bergaul
56
Intervensi :
lain
bertahap
Intervensi :
1) Pasien-perawat
2) Pasien-perawat-perawat lain
4) Pasien-kelompok kecil
57
5) Pasien-keluarga/kelompok/masyarakat
lain
Intervensi :
lain.
58
TUK 6 :Pasien mendapat dukungan keluarga dalam
Intervensi :
59
4. Implementasi
5. Evaluasi
integritas fisik atau sistem diri pasien berkurang dalam sifat, jumlah,
60
sosial tingkat ringan,atau tingkat yang lebih berat, A (assessment)
61