Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR FEMUR

A. Definisi

Menurut Smeltzer & Bare (2001) Fraktur atau patah tulang adalah

terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya

(dikutip dari Hariyanto & Rini, 2015). Menurut Helmi (2013) Fraktur

merupakan hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total atau

sebagian yang disebabkan oleh trauma fisik, kekuatan sudut, tenaga,

keadaan tulang, dan jaringan lunak.

Menurut Mansjoer Fraktrur adalah terputusnya kontinuitas jaringan

tulang yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Menurut Juall C. dalam

buku Nursing care plans and Dokumentation menyebutkan bahwa fraktur

adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang

datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang (Padila, 2012).

Fraktur Femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas

tulang pangkal paha yang disaebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot,

dan kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis. (Arif

Muttaqin, 2011)

B. Klasifikasi fraktur

Menurut Awan & Rini (2015) Klasifikasi pada fraktur adalah:

1. Berdasarkan klasifikasi secara umum fraktur dibedakan menjadi fraktur

lengkap dan fraktur tak lengkap.


a. Fraktur lengkap adalah terjadinya terjadinya fraktur pada tulang secara

lengkap

b. Fraktur tidak lengkap merupakan fraktur yang tidak melibatkan

keseluruhan ketebalan tulang.

2. Berdasarkan jenisnya, fraktur dibedakan menjadi fraktur terbuka dan fraktur

tertutup.

a. Fraktur terbuka adalah patah tulang yang menembus jaringan otot dan

kulit. Tulang terkontaminasi dengan dunia luar.

b. Fraktur tertutup adalah fraktur atau patah tulang yang tidak sampai

menembus jaringan kulit beserta dunia luar.

3. Berdasarkan tipe ditinjau dari sudut patah tulang fraktur dibedakan menjadi

fraktur transversal, oblik, dan spiral.

a. Fraktur transversal, yaitu suatu fraktur yang garis patahnya tegak lurus

b. Fraktur oblik, yaitu fraktur yang garis patahnya berbentuk sudut atau

miring.

c. Fraktur spiral, yaitu fraktur yang berbentuk seperti spiral

4. Ada 2 tipe dari fraktur femur, yaitu :

a. Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul

dan kapsula.

1) Melalui kepala femur (capital fraktur)

2) Hanya di bawah kepala femur

3) Melalui leher darifemur


b. Fraktur Ekstrakapsuler;

1) Terj adi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur

yang lebih besar atau yang lebih kecil /pada daerah

intertrokhanter.

2) Terjadi di bagian distal menu u leher femur tetapi tidak lebih dari

2 inci dibawah trokhanter kecil.

C. Etiologi

Menurut Oswari E 2000 (dikutip dalam Andara S & Yessie, 2013)

penyebab fraktur adalah:

1. Kekerasan langsung ; kekerasan langsung menyebabkan patah tulang

pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur

terbuka dengan garis patah melintang atau miring.

2. Kekerasan tidak langsung ; kekerasan tidak langsung menyebabkan

patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang

patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran

vektor kekerasan.

3. Kekerasan akibat tarikan otot : patah tulang akibat tarikan otot sangat

jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan,

penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya dan penarikan.

4. Fraktur femur dapat ter adi karena beberapa faktor, yaitu:

a. Trauma: kecelakaan lalu lintas, atuh dari ketinggian dengan posisi

berdiri ataududuk sehingga terjadi farktur tulang belakang.


b. Patologis: sering disebabkan oleh metastase dari tumor.

c. Degenerasi: terkjadi karena proses kemunduran fisiologi dari aringan

tulang itu sendiri.

d. Spontan: terjadi karena tarikan otot yang sangat kuat (angulasi fraktur).

D. Patofisiologi

Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma

gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan

metabolik, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang

terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan

perdarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi

perubahan fungsi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan

poliferasi akan menjadi edem local maka penumpukan didalam tubuh.

Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat

menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang

tulang dan dapat terjadi neurovaskuler, neurovaskuler yang menimbulkan

nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping itu fraktur

terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi

infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan

mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang,

biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolik, patologik, yang

terjadi itu terbuka dan tertutup. Pada umumnya pada klien fraktur terbuka

maupun tertutup akan dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk


mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya

sampai sembuh. (Sylvia dikutip dalam Saferi & Mariza, 2013).

Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya

pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.

Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai

contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral. Karena

ada cedera,respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah

peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung,

pelepasan katekolamin – katekolamin endogen meningkatkan tahanan

pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolic dan

mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu

peningkatan perfusi organ. Hormon – hormon lain yang bersifat vasoaktif

juga dilepaskan kedalam sirkulasi sewaktu terjadi syok, termasuk histamin,

bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin – sitokin

lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan permeabilitas

pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme

kompensasi sedikit mengatur pengambilan darah (venous return) dengan

cara kontaksi volume darah didalam system vena sistemik. Cara yang paling

efektif untuk memulihkan kardiak pada tingkat seluler, sel dengan perfusi

dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substart esensial yang sangat

diperlukan untuk metabolisme aerobic normal dan produksi energy. Pada

keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme


anaerobic, yang mana mengakibatkan pembentukan asam laktat dan

berkembangnya asidosis metabolic. Bila syok berkepanjangan dan

penyampaian subtract untuk pembentukan adenosine triphosphat tidak

memadai, maka membrane sel tidak dapat lagi mempertahankan

integritasnya dan gradientnya elektrik normal hilang. Pembengkakan

reticulum endoplasmic merupakan tanda ultra structural pertama dari

hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi akan diikuti cedera mitokondrial.

Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur intra-

seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah cedera seluler yang

progresif, penambahan edema jaringan dan kematian sel. Proses ini

memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi (Purwadinata

dikutip dalam Saferi & Mariza, 2013).

Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekita tempat patah

dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga

biasanya mengalami kerusakan. Fagositosis dan pembersihan sisa – sisa sel

mati dimulai. Ditempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan

berfungsi sebagai jala – jala untuk melakukan aktivitas osteoblast terangsang

dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin

dirabsorpsi dan sel – sel tulang baru mengalami remodeling untuk

membentuk tulang sejati. (Corwin dikutip dalam Saferi & Mariza, 2013).

Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang

berkaitan yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat


menurunkan asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf

perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan

peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoreksia

jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot.

Kompilkasi ini dinamakan sindrom kompartemen. (Brunner & dikutip dalam

Saferi & Mariza, 2013).


E. Pathway

Trauma langsung trauma tidak langsung kondisi patologis

Faktur

Diskontinuitas Tulang Pergeseran Frakmen Nyeri


Tulang

Kerusakan frakmen
Perubahan tulang
Jaringan Sekitar Spasme otot
Laserasi kulit Tekanan sumsum tulang
Pergeseran Peningkatan lebih tinggi dari kalpiler
Fragmen Tulang tekanan kapiler
Putus vena/arteri
Gangguan Reaksi stres klien
Deformitas Integritas
integritas Pelepasan histamin
Perdarahan
Kulit/ protein plasma Melepaskan
jaringan hilang
Gangguan Fungsi katekolamin
Kehilangan
volume cairan
Edema
Mobilisasi
Gangguan asam lemak
mobilitas fisik
Hipovolemia Penekanan
Pembuluh Bergabung dengan
darah trombosit

Penurunan

Perfusi perifer
Tidak efektif

Gambar E. Pathway Fraktur


(Sumber : Hariyanto & Sulistyowati, 2015)
F. Manifestasi klinis

Menurut Clevo & Margareth (2012) Manifestasi klinis pada fraktur antara lain

adalah :

1. Pada tulang traumatic dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri.

Setelah terjadi patah tulang terjadi spasme otot yang menambah rasa nyeri.

Pada fraktur stress, nyeri biasanya timbul pada saat aktifitas dan hilang pada

saat istirahat. Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri.

2. Nyeri, bengkak, dan nyeri tekan pada daerah fraktur (tenderness)

3. Deformitas : perubahan bentuk tulang

4. Mungkin tampak jelas posisi tulang dan ekstremitas yang tidak alami.

5. Pembengkakan disekitar fraktur akan menyebabkan proses peradangan.

6. Hilangnya fungsi anggota badan dan persendian terdekat.

7. Gerakan abnormal.

8. Dapat terjadi gangguan sensasi atau rasa kesemutan, yang mengisyaratkan

kerusakan syaraf. Denyut nadi dibagian distal fraktur harus utuh dan setara

dengan bagian nonfraktur. Hilangnya denyut nadi sebelah distal mungkin

mengisyaratkan syok kompartemen.

9. Krepitasi suara gemeretak akibat pergeseran ujung – ujung patahan tulang

satu sama lain.


G. Komplikasi

Menurut Rosyidi (2013) komplikasi pada fraktur adalah :

1. Delayed Union : Adalah sesuatu kegagalan fraktur berkonsolidasi

(bergabung) sesuai dengan waktu yang di butuhkan tulang untuk

menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ketulang.

2. Malunion : adalah penyembuhan tulang di tandai dengan meningkatnay

tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).

3. Nonunion : adalah kegagalan fraktur yang berkonsolidasi dan

memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9

bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih

pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.

4. Shock : terjadi kehilangan banyak darah dan meningkatnya permebilitas

kapiler yang bias menyebabkan menurunnya oksigennasi. Ini biasanya

terjadi pada fraktur.

5. Compartement syndrome : Adalah komplikasi serius yang terjadi karena

terjebaknya otot, tulang, syaraf, dan pembuluh darah dalam jaringan

parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot,

saraf, dan pembuluh darah.

6. Infeksi : system pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.

Pada trauma orthopedic infeksi ini dimula pada kulit (superficial) dan

masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bias juga karena penggunaan bahan lain di dalam pembedahan seperti

pin dan plat.

H. Penatalaksanaan

Menurut Manjoer (2003) Penatalaksannan keperawatan sebagai berikut:

1. Terlebih dahulu perhatikan adanya perdarahan, syok dan penurunan

kesadaran, baru pemeriksaan patah tulang.

2. Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah

komplikasi.

3. Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini, dan

pemantauan neurociculatory pada daerah yang cedera adalah:

a. Meraba lokasi apakah masih hangat

b. Observasi warna

c. Menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali pada kapiler

d. Tanyakan pada klien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi pada

lokasi cedera

e. Meraba lokasi cedera apakah klien biasa membedakan rasa sensasi nyeri

f. Observasi apakah daerah fraktur biasa digerakkan

4. Pertahankan kekuatan dan pergerakan

5. Meningkatkan gizi, makan – makanan yang tinggi serat anjurkan intake

protein 150 – 300 gr / hari


6. Mempertahankan imobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan tujuan

untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada

tempatnya sampai sembuh ( Andra & Yessie, 2013).

I. Pengkajian data fokus

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,

untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah

klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.

Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap

ini terbagi atas:

a. Pengumpulan Data

1) Anamnesa

a) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa

yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,

asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa

medis.

b) Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa

nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan

lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang

lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:


(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi

yang menjadi faktor presipitasi nyeri.

(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau

menusuk.

(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah

rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit

terjadi.

(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang

dirasakan klien, bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien

menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi

kemampuan fungsinya.

(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah

bertambah buruk pada malam hari atau siang hari

(Ignatavicius, Donna D, 2010)

c) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab

dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana

tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya

penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan

yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,

dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa


diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D,

2010).

d) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur

dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan

menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang

dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang

sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes

dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis

akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses

penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 2010).

e) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang

merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,

seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa

keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan

secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 2010).

f) Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang

dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat

serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya

baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius,


Donna D, 2010).

g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya

kecacatan pada dirinya dan harus menjalani

penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan

tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan

hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat

mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian

alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan

apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius,

Donna D,2010).

(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi

kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein,

vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan

tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu

menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan

mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat

terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari

yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah

muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga


obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

(3) Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola

eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,

konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.

Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,

kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini

juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna,

1991)

Pola Tidur dan Istirahat

(4) Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,

sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan

tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada

lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan

kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos.

Marilynn E, 1999)

(5) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua

bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan

klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang

perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama

pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan


beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang

lain (Ignatavicius, Donna D, 2010).

(6)  Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam

masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap 

(Ignatavicius, Donna D, 2010).

(7)  Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul

ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,

rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara

optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah

(gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 2010).

(8) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada

bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak

timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak

mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri

akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 2010).

(9) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa

melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat

inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami


klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya

termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius,

Donna D, 2010).

(10)  Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan

dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan

fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien

bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 2010).

(11)  Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan

beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.

Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan

gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 2010).

2) Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)

untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat

(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena

ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan

daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

a) Gambaran Umum

Perlu menyebutkan:

(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah


tanda-tanda, seperti:

(2) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,

komposmentis tergantung pada keadaan klien.

(3) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,

berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.

(4) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik

fungsi maupun bentuk.

b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

(1) Sistem Integumen, terdapat erytema, suhu sekitar daerah

trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.

(2) Paru

(a) Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya

tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan

dengan paru.

(b) Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba

sama.

(c) Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara

tambahan lainnya.

(d) Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau

suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

(1) Jantung

(a) Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.


(b)  Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

(c)  Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

c) Keadaan Lokal

Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal

terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada

sistem muskuloskeletal adalah:

(1) Look (inspeksi)

(a)Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan

seperti bekas operasi).

(b)Fistulae.

(c)Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau

hyperpigmentasi.

(d) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal

yang tidak biasa (abnormal).

(e)Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

(f) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

(1) Feel (palpasi)

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita

diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada

dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan

informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien, yang

perlu dicatat adalah:


(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan

kelembaban kulit.

(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi

atau oedema terutama disekitar persendian.

(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan

(1/3 proksimal,tengah, atau distal). Otot: tonus pada

waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat

di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga

diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,

maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,

konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau 

permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

(d) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)

J. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut

2. Gangguan integritas kulit/jaringan

3. Hipovolemia

4. Perfusi perifer tidak efektif

5. Gangguan mobilitas fisik


K. Intervensi Berdasarkan Buku SIKI

Diagnosa Perencanaan Keperawatan

Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi

Nyeri Akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri


D.0077 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 Observasi:
jam diharapkan tingkat nyeri menurun  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Pengertian : Kriteria Hasil: frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Pengalaman Membur Cukup Sedan Cukup Membai  Identifikasi skala nyeri
sensorik atau k  Identifikasi respons nyeri non verbal
emosional yang uk Membur g Membai  Identifikasi faktor yang memperberat dan
berkaitan dengan memperingan nyeri
kerusakan jaringan uk k  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
aktual atau tentang nyeri
1 Frekuensi nadi  Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
fungsional, dengan
1 2 3 4 5 hidup
onset mendadak
2 Pola nafas  Monitor efek samping penggunaan analgetik
atau lambat dan
1 2 3 4 5 Terapeutik:
berintensitas ringan
Meningk Cukup Sedan Cukup Menuru  Berikan teknik nonfarmakologi untuk
hingga berat yang
berlangsung kurang mengurangi rasa nyeri
at Mening g Menuru n  Kontrol lingkungan yang memperberat
dari 3 bulan.
rasa nyeri
kat n  Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
3 Keluhan nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
1 2 3 4 5
4 Meringis Edukasi
1 2 3 4 5  Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
5 Gelisah nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
1 2 3 4 5  Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
6 Kesulitan tidur Kolaborasi

1 2 3 4 5  Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Diagnosa Perencanaan Keperawatan


Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi

Gangguan Mobilitas Mobilitas Fisik Dukungan mobilisasi


Fisik Observasi:
D.0054 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
jam diharapkan mobilitas fisik meningkat lainnya
Pengertian : Kriteria Hasil:  Identifikasi toleransi fisik melakukan
Keterbatasan dalam Menurun Cukup Sedan Cukup Mening pergerakan
gerakan fisik dari kat  Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
suatu atau lebih Menuru g Mening sebelum memulai mobilisasi
ekstremitas secara  Monitor kondisi umum selama melakukan
mandiri n kat mobilisasi
Terapeutik:
1 Pergerakan ekstremitas  Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat
1 2 3 4 5 bantu
2 Kekuatan otot  Fasilitasi melakukan pergerakan, jika
1 2 3 4 5 perlu
Meningk Cukup Sedan Cukup Menuru  Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakan
at Mening g Menuru n Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
kat n  Anjurkan melakukan mobilisasi dini
 Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
3 Nyeri dilakukan (mis. Duduk di tempat tidur)
1 2 3 4 5
4 Kaku sendi
1 2 3 4 5
5 Gerakan terbatas
1 2 3 4 5

6 Kelemahan fisik

1 2 3 4 5

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI

Diagnosa Perencanaan Keperawatan


Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi

Gangguan Integritas Integritas Kulit dan Jaringan Perawatan Integritas Kulit


Kulit/Jaringan Observasi:
D.0129 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam  Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
diharapkan integritas kulit dan jaringan meningkat Terapeutik:
Pengertian : Kriteria Hasil:  Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
Kerusakan kulit Menurun Cukup Sedang Cukup Meningk  Gunakan produk berbahan petrolium atau
(dermis dan/atau at minyak pada kulit kering
epidermis) atau Menurun Meningk  Hindari produk berbahan dasar alkohol pada
jaringan (membran kulit
at Edukasi
mukosa, kornea, fasia,
 Anjurkan menggunakan pelembab
otot, tendon, tulang,
1 Elastisitas  Anjurkan minum air yang cukup
kartilago, kapsul
1 2 3 4 5  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
sendi dan/atau  Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
2 Hidrasi
ligamen)  Anjurkan mandi dan menggunkan sabun
1 2 3 4 5
secukupnya
Meningka Cukup Sedan Cukup Menurun
Perawatan Luka
t Meningk g Menuru
Observasi:
at n  Monitor karakteristik luka
 Monitor tanda-tanda infeksi
3 Kerusakan lapisan kulit Terapeutik:
1 2 3 4 5  Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
4 Perdarahan  Bersihkan dengan cairan NaCl atau
1 2 3 4 5 pembersih nontoksik
5 Nyeri  Bersihkan jaringan nekrotik
 Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika
perlu
1 2 3 4 5  Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahankan teknik steril saat melakukan
6 Hematoma perawatan luka
Edukasi
1 2 3 4 5  Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi
kalori dan protein
Kolaborasi

 Kolaborasi prosedur debridement


 Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI

Diagnosa Perencanaan Keperawatan

Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


Hipovolemia Status Cairan Manajemen Hipovolemia

D.0023 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 Observasi:

jam diharapkan status cairan membaik  Periksa tanda dan gejala hypovolemia (mis.
frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
Pengertian : Kriteria Hasil: tekanan darah menurun, tekanan nadi
menyempit, turgor kulit menurun, membran
Menurun Cukup Sedan Cukup Mening mukosa, kering, volume urin menurun,
hematokrit meningkat, haus, lemah)
Penurunan Menuru g Mening kat  Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
volume cairan n kat
 Hitung kebutuhan cairan
intravaskuler, 1 Kekuatan nadi  Berikan posisi modified trendelenburg
 Berikan asupan cairan oral
interstisial, 1 2 3 4 5 Edukasi

dan/atau 2 Turgor kulit  Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral


 Anjurkan menghindari perubahan posisi
intraselular 1 2 3 4 5 mendadak
Kolaborasi
3 Output urine
 Kolaborasi pemberian cairan IV isotons
1 2 3 4 4 (mis. Nacl, RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis
Meningk Cukup Sedan Cukup Menuru (mis. glukosa 2,5%, Nacl 0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis.
at Mening Menuru albumin, plasmanate)
kat g n n  Kolaborasi pemberian produk darah

3 Dispnea

1 2 3 4 5

4 Edema perifer

1 2 3 4 5

Membur Cukup sedan Cukup Membai

uk membur g membai k

uk k

5 Frekuensi nadi

1 2 3 4 5

6 Tekanan darah

1 2 3 4 5

7 Membrane mukosa

1 2 3 4 5

8 Jugular venous pressure (JVP)


1 2 3 4 5

9 Kadar Hb

1 2 3 4 5

1 Kadar Ht

1 2 3 4 5

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta : PPNI

PERFUSI PERIFER
TIDAK EFEKTIF
DEFINISI Outcome Intervensi
Penurunan sirkulasi  Perfusi Perifer A. PERAWATAN SIRKULASI (I.02079)
darah pada level Meningkat 1. Observasi
kapiler yang dapat (L.02011)  Periksa sirkulasi perifer(mis. Nadi
mengganggu perifer, edema, pengisian kalpiler,
metabolisme tubuh. warna, suhu, angkle brachial index)
PENYEBAB  Identifikasi faktor resiko gangguan
 Hiperglikemia sirkulasi (mis. Diabetes, perokok, orang
 Penurunan tua, hipertensi dan kadar kolesterol
konsentrasi tinggi)
hemoglobin  Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau
 Penurunan bengkak pada ekstremitas
tekanan darah 2. Terapeutik
 Kekurangan  Hindari pemasangan infus atau
volume cairan pengambilan darah di area keterbatasan
 Penurunan aliran perfusi
arteri dan/atau  Hindari pengukuran tekanan darah pada
vena ekstremitas pada keterbatasan perfusi
 Kurang terpapar  Hindari penekanan dan pemasangan
informasi tentang torniquet pada area yang cidera
factor pemberat  Lakukan pencegahan infeksi
(mis. Merokok,  Lakukan perawatan kaki dan kuku
gaya hidup  Lakukan hidrasi
monoton, trauma, 3. Edukasi
obesitas, asupan 1. Anjurkan berhenti merokok
garam, 2. Anjurkan berolahraga rutin
imobilitas) 3. Anjurkan mengecek air mandi untuk
 Kurang terpapar menghindari kulit terbakar
informasi tentang 4. Anjurkan menggunakan obat penurun
proses penyakit tekanan darah, antikoagulan, dan
(mis. Diabetes penurun kolesterol, jika perlu
mellitus, 5. Anjurkan minum obat pengontrol
hyperlipidemia) tekakan darah secara teratur
 Kurang aktivitas 6. Anjurkan menghindari penggunaan obat
fisik penyekat beta
7. Ajurkan melahkukan perawatan kulit
yang tepat(mis. Melembabkan kulit
kering pada kaki)
8. Anjurkan program rehabilitasi vaskuler
9. Anjurkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi( mis. Rendah
lemak jenuh, minyak ikan, omega3)
10. Informasikan tanda dan gejala darurat
yang harus dilaporkan( mis. Rasa sakit
yang tidak hilang saat istirahat, luka
tidak sembuh, hilangnya rasa)
B. MANAJEMEN SENSASI PERIFER (I.
06195)
1. Observasi
 Identifikasi penyebab perubahan sensasi
 Identifikasi penggunaan alat pengikat,
prostesis, sepatu, dan pakaian
 Periksa perbedaan sensasi tajam atau
tumpul
 Periksa perbedaan sensasi panas atau
dingin
 Periksa kemampuan mengidentifikasi
lokasi dan tekstur benda
 Monitor terjadinya parestesia, jika perlu
 Monitor perubahan kulit
 Monitor adanya tromboflebitis dan
tromboemboli vena
2. Terapeutik
 Hindari pemakaian benda-benda yang
berlebihan suhunya (terlalu panas atau
dingin)
3. Edukasi
 Anjurkan penggunaan termometer untuk
menguji suhu air
 Anjurkan penggunaan sarung tangan
termal saat memasak
 Anjurkan memakai sepatu lembut dan
bertumit rendah
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgesik, jika
perlu
 Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Hariyanto, A & Sulistiyowati, R. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah 1


Dengam Diagnosis NANDA Internasional. Yogyakarta : Ar-Ruzz

Helmi, Z. N. 2013. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta :Salemba Medika.

Ignatavicius Donna D & M Linda Workman. (2010). Medical surgical nursing patient
– centered collaborative care.sixth edition vol 1. St Louis, Missouri : Sauders
Elseiver

Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika

Rendi M. Clevo& Margaret.2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan


Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika

Rosyidi, Kholid. 2013. Muskuloskeletal. Jakarta : Trans Info Media

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia


(SDKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia


(SLKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia


(SIKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Wijaya, A. S. &Yessie Mariza P. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta :


Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai