Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR TIBIA FIBULA

A. PENGERTIAN

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kantinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya ( Brunner & Suddarth, 2005 dalam Wijaya dan putri, 2013).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak
disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap (Price dan Wilson, 2006).

Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi
mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau primpilan korteks,
biasanya patahan lengkap dan fragmen tulang bergeser (Wijaya dan putri, 2013).

B. ETIOLOGI
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan
dan daya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat :
a. Cidera atau benturan (jatuh pada kecelakaan).
b. Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
c. Fraktur karena letih.
d. Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru diterima dalam angkatan
bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari.
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pada fraktur adalah nyeri, deformitas, pemendekan ekstermitas,
krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna (Smeltzer, 2016).
a. Nyeri
Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupkan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Deformitas
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan
deformitas, ekstrimitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan
ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pendekatan Ekstermitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur.
d. Krepitus
Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan 20
yang lainnya (uji krepitus dapat merusakkan jaringan lunak yang lainnnya lebih
berat).
e. Pembengkakan
Pembengkakan akan mengalami perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
trauma dan pendarahan akibat fraktur.
f. Perubahan Warna
Perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan pendarahan
yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi setelah beberapa jam atau hari
setelah cedera.
D. PATOFISIOLOGI
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik, patologik.
Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup.
Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah
menurun. COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan
mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam
tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat
menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan
dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan
jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah
tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolic, patologik yang terjadi
itu terbuka atau tertutup. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup
akan dilakukan imobilitas yang bertujuan untuk mempertahanakan fragmen yang
telah dihubungkan, tetap pada tempatnya sampai sembuh. (Sylvia, 2006 :1183).
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya
pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan. Respon dini
terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai contoh vasokontriksi
progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral. Karena ada cedera, respon terhadap
berkurangnya volume darah yang akut adalah peningkatan detah jantung sebagai
usaha untuk menjaga output jantung, pelepasan katekolamin-katekolamin endogen
meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah
diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit
membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif
juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin,
bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain.
Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan permeabilitas pembuluh
darah. Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi sedikit
mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume darah
didalam system vena sistemik. Cara yng paling efektif untuk memulihkan krdiak pada
tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat
substrat esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan
produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke
metabolisme anaerobik, mengakibatkan pembentukan asam laknat dan
berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian
substrat untuk pembentukan ATP (adenosine triphosphat) tidak memadai, maka
membrane sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan gradientnya elektrik
normal hilang. Pembengkakan reticulum endoplasmic merupakan tanda ultra
struktural pertama dari hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi akan cedera
mitokondrial. Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur intra-
seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel . juga terjadi
penumpukan kalsium intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah cedera
seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan kematian sel. Proses ini
memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan
kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-
sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran
darah ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
Ditempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala
untuk melakukan aktivitas astoeblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dapat berakibat anoreksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf
meupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner &
Suddarth, 2005).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur
tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan
pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah
patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena
penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian
tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito, 2007). Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen
tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan
trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera
mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price
dan Wilson, 2006).
E. PATHWAYS

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran frakmen tulang Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan frakmen tulang

Tekanan sumsum tulang


Pergeseran fragmen tulang Spasme otot lebih tinggi dari kapiler

Deformitas Peningkatan tekanan kapiler


Melepaskan katekolamin

Gangguan fungsi Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak


ekstremitas

Protein plasma hilang Bergabung dengan


Hambatan mobilitas Fisik trombosit
Edema
Emboli
Penekanan pembuluh darah
Menyumbat pembuluh
darah

Ketidakefektifan perfusi
Putus vena / arteri Kerusakan integritas kulit jaringan perifer

Perdarahan Resiko infeksi

Kehilangan volume cairan

Resiko syok (hipovolemik)


F. PROSES PENYEBUHAN LUKA
Penyembuhan fraktur merupakan proses biologis yang sangat luar biasa. Tidak
seperti jaringan lainnya, fraktur dapat sembuh tanpa jaringan parut. Pengertian tentang
reaksi tulang yang hidup dan periosteum pada penyembuhan fraktur merupakan dasar
untuk mengobati fragmen fraktur. Proses penyembuhan pada fraktur mulai terjadi
segera setelah tulang mengalami kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan
memadai sampai terjadi konsolidasi. Selain factor biologis, faktor mekanis yang
penting seperti imobilisasi secara fisik fragmen fraktur sangat penting dalam
penyembuhan.:
a. Fase hematoma
Akibat robekan pembuluh darah kecil yang melewati kanalikuli-kanalikuli system
haversi sehingga terjadi ekstravasasi ke dalam jaringan lunak, yang menimbulkan
suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah
trauma.
b. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan andosteal
Terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan.
Terbentuk kalus eksterna yang belum mengandung tulang sehingga secara
radiology bersifat radiolusen.
c. Fase pembentukan kalus
Terbentuk woven bone atau kalus yang telah mengandung tulang. Fase ini
merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur.
d. Fase konsolidasi
Woven bone membentuk kalus primer.
e. Fase remodeling
Union telah lengkap dan terbentuk tulang kompak yang berisi system haversi dan
terbentuk rongga sumsum. Faktor – faktor yang mempengaruhi proses
pemulihan :
1. Usia klien
2. Immobilisasi
3. Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan
lebih lama. Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.
G. PENATALAKSANAAN

Ada empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan untuk menangani fraktur, yaitu:

a. Rekoknisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan


selanjutnya di rumah sakit dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat
kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang berperan pada pristiwa yang
terjadi serta menentukan kemungkinan adanya fraktur melalui pemeriksaan dan
keluhan dari klien.
b. Reduksi fraktur (pengembalian posisi tulang ke posisi anatomis)
1. Reduksi terbuka. Dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna (missal
pen, kawat, sekrup, plat, paku dan batang logam).
2. Reduksi tertutup. Ekstremitas dipertahankan dengan gip, traksi, brace, bidai
dan fiksator eksterna.
c. Imobilisasi. Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi penyatuan.
Metode imobilisasi dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna.
d. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.
2. Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan.
3. Memantau status neuromuskuler 4. Mengontro
4. kecemasan dan nyeri
5. Latihan isometric dan setting otot
6. Kembali ke aktivitas semula secara bertahap
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Arif Muttaqin (2008), pemeriksaan pemeriksaan penunjang pada fraktur
yaitu:
a. Anamnesa/ pemeriksaan umum.
b. Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan yang penting adalah pemeriksaan
menggunakan sinar Rontgen (sinar-x) untuk melihat gambaran tiga dimensi dari
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit.
c. CT scan : pemeriksaan bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon.
d. X - Ray : menentukan lokasi, luas, batas dan tingkat fraktur.
e. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium yang lengkap Hematokrit (Ht) mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau
organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah
respons stress normal setelah trauma.
f. Pemeriksaan lain-lain :
1. Biopsi tulang dan otot : pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di atas,
tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
2. Elekromiografi : terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.
3. Artroskopi : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
4. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. e Indigium Imaging :
pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
I. KOMPLIKASI
a. Komplikasi awal:
1. Syok : dapat terjadi berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema. Shock
terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi
pada fraktur.
2. Emboli lemak : dapat terjadi 24-72 jam. Fat Embolism Syndrom (FES) adalah
komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES
terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke
aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
3. Sindrom kompartemen : perfusi jaringan dalam otot kurang dari kebutuhan.
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
embebatan yang terlalu kuat. Gejala klinis yang terjadi pada sindrom
kompartemen dikenal dengan 5P, yaitu:
 Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena,
ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling
penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan
keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau
memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang
pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
 Pallor (pucat)
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
 Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
 Parestesia (rasa kesemutan)
 Paralysis: Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf
yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom
kompartemen.
 Infeksi dan tromboemboli : System pertahanan tubuh rusak bila ada
trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada
kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
 Koagulopati intravaskuler diseminata.
b. Komplikasi lanjut
1. Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
2. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali.
4. Nekrosis avaskular tulang: Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran
darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
5. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
J. PENGKAJIAN
a. Pengkajian
1. Anamnesa
 Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
 Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
- Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
- Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
- Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
- Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
- Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic.
 Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
 Pola-Pola Fungsi Kesehatan
- Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
- Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
- Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
- Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.
Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur.
- Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
- Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
- Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
- Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
- Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya.
- Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
- Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang
lebih sempit tetapi lebih mendalam.
- Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
 Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
1. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
 Secara sistemik dari kepala sampai kelamin.
1. Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
2. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
4. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris,
tak oedema.
5. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan)
6. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
8. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
9. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
10. Paru
Inspeksi, pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru; Palpasi, pergerakan sama
atau simetris, fermitus raba sama; Perkusi, suara ketok
sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya;
Auskultasi, suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
11. Jantung
Inspeksi, tidak tampak iktus jantung; Palpasi, nadi
meningkat, iktus tidak teraba; Auskultasi, suara S1 dan
S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12. Abdomen
Inspeksi, bentuk datar, simetris, tidak ada hernia;
Palpasi, tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba; Perkusi, suara thympani, ada pantulan
gelombang cairan; 20 kali/menit.Auskultasi,
peristaltik usus normal.
13. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
- Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
 Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
1. Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
2. Cape au lait spot (birth mark).
3. Fistulae.
4. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
5. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
6. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
7. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
 Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang
perlu dicatat adalah:
1. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit.
2. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
3. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan
(1/3 proksimal,tengah, atau distal).

Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan


yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

 Move (pergeraka terutama lingkup gerak)


Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah
terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup
gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum
dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi
netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan
pasif

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik ( fraktur )
2. Resiko infeksi berhubungan dengan
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
4. Ansietas berhubungan dengan
5. Resiko trauma berhubungan dengan
L. INTERVENSI KEPERAWATAN

M. DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai