Anda di halaman 1dari 14

BAB I

KONSEP TEORI

A. Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah terputusya kontinuitas jaringan tulang dan
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner and Suddarth,
2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari
trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang
menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer, 2002).
Fraktur Tibia adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah kanan
maupun kiri akibat pukulan benda keras atau jatuh yang bertumpu pada kaki.(E.
Oswari, 2011).

B. Klasifikasi Fraktur
Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya,
atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubak tempat.
2. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi
patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick.
Menurut Price dan Wilson ( 2005) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan
tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh
tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.

1
C. Etiologi
Menurut (Rasjad, 2009) penyebab paling utama fraktur tibia yang
disebabkan oleh pukulan yang membengkokkan sendi lutut dan merobek
ligamentum medialis sendi tersebut, benturan langsung pada tulang tibia misalnya
kecelakaan lalu lintas, serta kerapuhan struktur tulang. Penyebab terjadinya
fraktur yang diketahui adalah sebagai berikut :
1. Trauma langsung (direct)
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan tulang
seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda
keras oleh kekuatan langsung.
2. Trauma tidak langsung (indirect)
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan
oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot , contohnya
seperti pada olahragawan atau pesenam yang menggunakan hanya satu
tangannya untuk menumpu beban badannya.
3. Trauma pathologis
Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteomielitis,
osteosarkoma, osteomalacia, cushing syndrome, komplikasi kortison / ACTH,
osteogenesis imperfecta (gangguan congenital yang mempengaruhi
pembentukan osteoblast). Terjadi karena struktur tulang yang lemah dan
mudah patah.
a. Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsobsi tulang melebihi kecepatan
pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi keropos dan rapuh
dan dapat mengalami patah tulang.
b. Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum-sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus
ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c. Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak atau menipisnya bantalan sendi
dan tulang rawan

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur tibia adalah :
1. Nyeri hebat pada daerah fraktur, dan bertambah jika ditekan/diraba
2. Tak mampu menggerakan kaki

2
3. Terjadi deformitas (kelainan bentuk) diakibatkan karena perubahan
posisi fragmen tulang. Dapat membentuk sudut karena adanya tekanan
penyatuan dan tidak seimbangnya dorongan otot. Dapat pula memendek
ekstermitas bawah karena adanya tarikan dari otot ektermitas bawah saat
fragmen tergelincir dan tumpah tindih dengan tulang lainnya. Dan dapat
juga terjadi rotasional karena tarikan yang tidak seimbang oleh otot yang
menempel pada fragmen tulang sehingga fragmen fraktur berputar
keluar dari sumbu longitudinal normalnya.
4. Adanya krepitus (teraba adanya derik tulang) diakibatkan karena
gesekan antara fragmen satu dengan fragmen yang lainnya.
5. Terjadi ekimosis atau perdarahan subkutan diakibatkan kerusakan
pembuluh darah sehingga darah merembes dibawah kulit sekitar area
kulit.
6. Terjadi pembengkakan dan perubahan warna pada kulit diakibatkan
karena terjadi ekstravasasi darah dan cairan jaringan di sekitar area
fraktur. (Rasjad, 2009)

E. Patofisiologi
Trauma langsung dan trauma tidak langsung serta kondisi patologis pada
tulang dapat menyebabkan fraktur pada tulang. Fraktur merupakan diskontinuitas
tulang atau pemisahan tulang. Pemisahan tulang ke dalam beberapa fragmen
tulang menyebabkan perubahan pada jaringan sekitar fraktur meliputi laserasi
kulit akibat perlukaan dari fragmen tulang tersebut, perlukaan jaringan kulit ini
memunculkan masalah keperawatan berupa kerusakan integritas kulit. Perlukaan
kulit oleh fragmen tulang dapat menyebabkan terputusnya pembuluh darah vena
dan arteri di area fraktur sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan pada
vena dan arteri yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan cukup lama
dapat menimbulkan penurunan volume darah serta cairan yang mengalir pada
pembuluh darah sehingga akan muncul komplikasi berupa syok hipovolemik jika
perdarahan tidak segera dihentikan. Perubahan jaringan sekitar akibat fragmen
tulang dapat menimbulkan deformitas pada area fraktur karena pergerakan dari
fragmen tulang itu sendiri. Deformitas pada area ekstremitas maupun bagian
tubuh yang lain menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan untuk beraktivitas
akibat perubahan dan gangguan fungsi pada area deformitas tersebut sehingga
3
muncul masalah keperawatan berupa gangguan mobilitas fisik. Pergeseran
fragmen tulang sendiri memunculkan masalah keperawatan berupa nyeri.
Beberapa waktu setelah fraktur terjadi, otot-otot pada area fraktur akan melakukan
mekanisme perlindungan pada area fraktur dengan melakukan spasme otot.
Spasme otot
merupakan bidai alamiah yang mencegah pergeseran fragmen tulang ke
tingkat yang lebih parah. Spasme otot menyebabkan peningkatan tekanan
pembuluh darah kapiler dan merangsang tubuh untuk melepaskan histamin yang
mampu meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga muncul
perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial. Perpindahan cairan intravaskuler
ke interstitial turut membawa protein plasma. Perpindahan cairan intravaskuler ke
interstitial yang berlangsung dalam beberapa waktu akan menimbulkan edema
pada jaringan sekitar atau interstitial oleh karena penumpukan cairan sehingga
menimbulkan kompresi atau penekanan pada pembuluh darah sekitar dan perfusi
sekitar jaringan tersebut mengalami penurunan.
Penurunan perfusi jaringan akibat edema memunculkan masalah
keperawatan berupa gangguan perfusi jaringan. Masalah gangguan perfusi
jaringan juga bisa disebabkan oleh kerusakan fragmen tulang itu sendiri.
Diskontinuitas tulang yang merupakan kerusakan fragmen tulang meningkatkan
tekanan sistem tulang yang melebihi tekanan kapiler dan tubuh melepaskan
katekolamin sebagai mekanisme kompensasi stress. Katekolamin berperan dalam
memobilisasi asam lemak dalam pembuluh darah sehingga asam-asam lemak
tersebut bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli dalam pembuluh
darah sehingga menyumbat pembuluh darah dan mengganggu perfusi jaringan.
.(E. Oswari, 2011).

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges ( 2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada
pasien fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
4
multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah
trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple, atau cedera hati.

G. Penatalaksanaan
1. Rekognisi /Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Yaitu upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Metode reduksi terbagi atas ;
a. Reduksi Tertutup ; dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan). Ektermitas
dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau
alat lain. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan
ekstermitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-X harus dilakukan untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
b. Traksi ; alat yang dapat digunakan menarik anggota tubuh yang fraktur
untuk meluruskan tulang. Beratnya traksi disesuaikan dengan spaasme
otot yang terjadi.
c. Reduksi Terbuka : dilakukan dengan pembedahan fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat
paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum
tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi
fragmen tulang..
3. Retensi/Immobilisasi
Merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
5
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Bertujuan untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan,harus
segera dimulai latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota
tubuh dan mobilisasi.. (Rasjad, 2009)

H. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada fraktur tibia adalah :
1. Komplikasi awal ;
Compartemant Syndrome : Komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan gangguan vaskularisasi ektermitas bawah yang dapat
mengancam kelangsungan hidup ektermitas bawah. Mekasnisme terjadi
fraktur tibia terjadi perdarahan intra – compartment, hal ini akan menyebabkan
tekanan intrakompartemen meninggi, menyebabkan aliran balik balik darah
vena terganggu. Hal ini akan menyebabkan oedema. Dengan adanya oedema
tekanan intrakompartemen makin meninggi sampai akhirnya sedemikian
tinggi sehingga menyumbat arteri di intrakompartemen. Gejalanya rasa sakit
pada ektermitas bawah dan ditemukan paraesthesia, rasa sakit akan bertambah
bila jari digerakan secara pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama dapat
terjadi paralyse pada otot-otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum
longus dan tibial anterior.
2. Komplikasi dalam waktu lama :
a. Malunion: Dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan penyembuhan
tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan
bentuk (deformitas).
b. Delayed Union : adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union
merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang

6
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
suplai darah ke tulang.
c. Non Union : merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada
sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang. .(keliat , 2010).

7
I. WOC

8
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. PENGKAJIAN
1 Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang kruris,
pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah
tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan,
perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut
berindikasi pada fraktur tibia proksimal. Adanya trauma angulasi akan
menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek, sedangkan trauma
rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur adalah
kecelakaan lalu lintas darat.
2 Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung.
Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami
osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes menghambat
penyembuhan tulang.
c Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering
terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan
secara genetik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena (mungkin
segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan
jaringan, nyeri)
2) Sirkulasi
a. Hipertensi ( kadang – kadang terlihat sebagai respon nyeri atau
ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
b. Takikardia (respon stresss, hipovolemi)

9
c. Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera,pengisian
kapiler lambat, pusat pada bagian yang terkena.
d. Pembangkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
3) Neurosensori
a. Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
b. Kebas/ kesemutan (parestesia)
c. Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi
(bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
d. Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
4) Nyeri / kenyamanan
a. Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak ada nyeri akibat
kerusakan syaraf .
b. Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
5) Keamanan
a. Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
b. Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba- tiba).
6) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat karena
klien harus menjalani rawat inap.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan dan
kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa ketidak
mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara normal dan pandangan
terhadap dirinya yang salah.
8) Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami gangguan. Selain
itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
9) Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oel nyeri dan keterbatasan
gerak yang di alami klien

10
B. Diagnosa
1) Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Intervensi :
a) Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat
dan atau traksi
b) Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
c) Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
d) Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan
posisi)
e) Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam,
imajinasi visual, aktivitas dipersional)
f) Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai
keperluan.
g) Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi
2) Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Intervensi:
a) Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan
jari/sendi distal cedera.
b) Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.
c) Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada
kontraindikasi adanya sindroma kompartemen
d) Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
e) Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan
kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
3) Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Intervensi:
a) Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.
b) Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.
c) Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan
kortikosteroid sesuai indikasi.

11
d) Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan
trombosiT
e) Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya
stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis
sentral
4) Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
Intervensi :
a) Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran,
kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien
b) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun
yang sehat sesuai keadaan klien..
c) Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.
d) Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan
klien.
e) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
f) Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.
g) Berikan diet TKTP..
h) Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
i) Pemberian tambahan oksigen, Hindari penggunaan barbiturate/opiate.
5) Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
Intervensi :
a) Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat
tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).
b) Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.
c) Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
d) Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi
pen/traksi.
e) Jaga keadaan kulit agar tetap kering dan bersih.
f) Anjurkan pada klien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan kering
yang menyerap keringat dan bebas keriput.
g) Kolaborasi dalam pemberian foam dan tempat tidur angin.

12
6) Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Intervensi :
a) Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol.
b) Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.
c) Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
d) Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED,
Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
e) Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.
7) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan
kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Intervensi :
a) Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.
b) Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.
c) Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik (nyeri berat,
demam, perubahan sensasi kulit distal cedera)
d) Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.

C. IMPLEMENTASI
Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.
D. EVALUASI
Evaluasi adalah tahap penilaian dari tindakan yang telah direncanakan. Untuk
malsalah kegawatdaruratan hipoglikemi ini adalah kesadaran klien dapat kembali
seperti semula, cairan dalam tubuh terpenuhi dan tanda-tanda vital klien normal.

DAFTAR PUSTAKA

13
E. Oswari, 2011, Bedah dan Perawatannya, cetakan VI, Jakarta.
Keliat Anna Budi, SKp, MSC,2010, Proses Keperawatan, penerbit EGC, Jakarta.
Mariylnn E. Doenges, at all 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi III, penerbit EGC,
Jakarta.
Priharjo Rasional, 2009, Perawatan Nyeri Untuk Paramedis, edisi revisi penerbit EGC,
Jakarta.
Rasjad Chaeruddin, Ph. D. Prof, 2009, Ilmu Bedah Orthopedi, cetakan IV, penerbit Bintang
Lamumpatue, Makassar
Smeltzer,Suzanne C, dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Sudarth (ED.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo...(dkk),EGC,
Jakarta

14

Anda mungkin juga menyukai