Anda di halaman 1dari 40

BAB II

KONSEP DASAR

A. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya

disebabkan oleh rudapaksa ( Mansjoer, 2000).

Fraktur merupakan gangguan sistem muskuluskeletal, dimana terjadi

pemisahan atau patahnya tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga

fisik. (Doenges E Marilyn, 2000).

Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan

eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang,fraktur

patologis terjadi tanpa trauma pada tulang yang lemah karena dimineralisasi

yang berlebihan ( Linda Juall C, 2002 ).

Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang biasanya disebabkan oleh

trauma atau tenaga fisik, kekuatan, sudut, tenaga,keadaan tulang, dan jaringan

lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi tersebut

lengkap atau tidak lengkap ( Silvia A. Prince, 2000 ).

Multiple fraktur adalah lebih dari satu garis fraktur ( Silvia A. Prince,

2000 ).

Multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas

jaringan tulang lebih dari satu garis ( Silvia A. Prince, 2000 ).

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan

multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan

1
tulang lebih dari satu garis yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang di

tandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas dan gangguan fungsi pada

area fraktur.

B. Anatomi dan Fisiologi

Gbr. Tulang normal

Gbr. Patah Tulang

(www. Infomedika. Htm, 2004)

2
1. Anatomi Tulang

Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada intra-seluler. Tulang berasal

dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis”

menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”.

Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.

Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan

dalam enam kelompok berdasarkan bentuknya : (Arif Muttaqin, 2008)

a) Tulang panjang (long bone), misalnya femur, tibia, fibula, ulna, dan

humerus. Daerah batas disebut diafisi dan daerah yang berdekatan

dengan garis epifisis disebut metafasis. Di daerah ini sangat sering

ditemukan adanya kelainan atau penyakit karena daerah ini

merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung

pembuluh darah. Kerusakan tau kelainan perkembangan pada daerah

lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan tulang.

b) Tulang pendek (short bone) bentuknya tidak teratur dan inti dari

cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat,

misalnya tulang-tulang karpal.

c) Tulang sutura (sutural bone) terdiri atas dua lapisan tulang padat

dengan lapisan luar adalah tulang concellous, misalnya tulang

tengkorak.

d) Tulang tidak beraturan (irreguler bone) sama seperti dengan tulang

pendek misalnya tulang vertebrata

3
e) Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar

tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon

dan jaringan fasial, misalnya patella.

f) Tulang pipih (flat bone), misalnya parietal, iga, skapula dan pelvis.

2. Fisiologi Tulang

Fungsi tulang adalah sebagai berikut : (Arif Muttaqin, 2008)

a) Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.

b) Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan

jaringan lunak.

c) Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi

dan pergerakan).

d) Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang

(hema topoiesis).

e) Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

Komponen utama jaringan tulang adalah mineral dan jaringan

organik (kolagen dan proteoglikan). Kalsium dan fosfat membentuk suatu

kristal garam (hidroksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan

proteoglikan. Matriks organik disebut juga osteoid. Sekitar 70% dari

osteoid adalah kolagen tipe I yang kaku dan memberi tinggi pada tulang.

Materi organ laen yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan (Arif

Muttaqin, 2008).

4
C. Etiologi dan predisposisi

Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan,

terutama tekanan membengkok, memutar, dan menarik. Trauma

muskuloskeletal yang dapat mengakibatkan fraktur adalah :

1) Trauma langsung

Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan

terjadi fraktur pada daerah tekanan. Frakur yang terjadi biasanya bersifat

komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Misalnya karena

trauma yang tiba tiba mengenaii tulang dengan kekuatan dengan kekuatan

yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga

terjadi patah

2) Trauma tidak langsung

Disebut trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan kedaerah

yang lebih jauh dari daerah fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi

dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini jaringan

lunak tetap utuh, tekanan membengok yang menyebabkan fraktur

transversal, tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral

atau oblik

3) Trauma patologis

Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena

proses patologis. Contonya

a) Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsorbsi tulang melebihi

kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi

5
keropos secara cepat dan rapuh sehingga mengalami patah tulang,

karena trauma minimal.

b) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum sum tulang yang

disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal

dari focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.

c) Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak/ menipisnya bantalan sendi

dan tulang rawan. (Arif Muttaqin, 2008)

D. Pathofisiologi

Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan

ketidakseimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur tertutup atau terbuka.

Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak sedangkan fraktur

terbuka disertai dengan kerusakan jaringan lunak seperti otot, tendon, ligamen

dan pembuluh darah. ( Smeltzer, Suzanne C. 2001 )

Tekanan yang kuat dapat terjadi multiple fraktur terbuka karena

fragmen tulang keluar menembus kulit dan menjadi luka terbuka serta

peradangan yang dapat memungkinkan infeksi, keluarnya darah dapat

mempercepat perkembangan bakteri. Tertariknya segmen karena kejang otot

pada area fraktur sehingga disposisi tulang. Multiple fraktur terjadi jika

tulang dikarnakan oleh stres yang lebih besar dari yang dapat di absorbsinya.

Multiple fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,

gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun

tulang patah jaringan disekitarnya akan terpengaruh mengakibatkan edema

jaringan lunak, perdarahan keotot dan sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf

6
dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cidera akibat

gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang. ( Smeltzer,

Suzanne C. 2001 )

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya

pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar

dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang

mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi

multiple fraktur, pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan

jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena

kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.

Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang

mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang

ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel

darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan

tulang nantinya. (Chirudin Rasjad, 2000).

E. Manifestasi klinis

Tanda dan gejala dari multiple fraktur antara lain sebagai berikut :

1. Nyeri terus menerus sampai tulang diimobilisasi

2. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian yang tidak dapat digunakan

dan cenderung bergerak secara tidak alamiah ( gerakan luar biasa )

bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada

fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas ( terlihat maupun

teraba ) ekstermitas yang dapat diketahui dengan membandingkan

7
dengan ekstremitas yang normal, ekstermitas tak dapat berfungsi

dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas

tulang tempat melekatnya otot.

3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya

karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur.

4. Saat ekstremitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antra fragmen

satu dengan yang lainnya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal, pada kulit terjadi sebagai

akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa

baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera. ( Smeltzer,

Suzanne C. 2001 )

F. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan medis

a. Recognisi atau pengenalan adalah riwayat kecelakaan derajat

keparahannya, prinsip pertama yaitu mengetahui dan menilai keadaan

fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan radiologis

b. Reduksi adalah usaha manipulasi fragmen tulang patah untuk kembali

seperti asalnya, reduksi ada dua macam yaitu reduksi tertutup ( tanpa

operasi), contohnya dengan traksi dan reduksi terbuka (dengan

operasi), contohnya dengan fiksasi internal dengan pemasangan pin,

kawat,sekrup atau batangan logam

8
c. Retensi adalah metode untuk mempertahankan fragmen selama

penyembuhan, dengan fiksasi internal maupun fiksasi eksternal,

contohnya GIPS yaitu alat immobilisasi eksternal yang kaku dan

dicetak sesuai bentuk tubuh yang dipasang.

d. Rehabilitasi dimulai segera dan sesudah dilakukan pengobatan untuk

menghindari kontraktur sendi dan atrofi otot. Tujuannya adalah

mengurangi oedema, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan

kekuatan otot, dan memandu pasien kembali ke aktivitas normal

e. ORIF yaitu pembedahan untuk memperbaiki fungsi dengan

mengembalikan stabilitas dan mengurangi nyeri tulang yang patah

yang telah direduksi dengan skrap, paku, dan pin logam

f. Traksi yaitu pemasangan tarikan ke bagian tubuh, beratnya traksi

disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. ( Smeltzer, Suzanne C.

2001)

2. Perawatan klien fraktur

a. Fraktur tertutup

Tirah baring diusahakan seminimal mungkin latihan segera

dimulai untuk mempertahankan kekuatan otot yang sehat, dan untuk

meningkatkan otot yang dibutuhkan untuk pemindahan mengunakan

alat bantu ( tongkat ) klien diajari mengontrol nyeri sehubungan

fraktur dan trauma jaringan lunak

9
b. Fraktur terbuka

Pada fraktur terbuka terdapat risiko infeksi osteomielitis, gas

ganggren, dan tetanus, tujuan perawatan untuk meminimalkan infeksi

agar penyembuhan luka atau fraktur lebih cepat, luka dibersihkan,

didebridemen dan diirigasi ( Arif Muttaqin, 2008 ).

3. Penatalaksanaan kedaruratan

Klien dengan fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh

yang terkena segera sebelum klien dipindahkan. Daerah yang patah harus

di sangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi.

Immobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan

dengan membebat kedua tungkai bersama. Pada cidera ekstremitas atas

lengan dapat dibebatkan ke dada. Peredaran di distal cidera harus dikaji

untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer. Luka ditutup

dengan kasa steril ( Arif Muttaqin, 2008 ).

G. Komplikasi

Komplikasi fraktur meliputi

1) Komplikasi Awal

a. Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya

nadi, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada

ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,

perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan

pembedahan.

10
b. Kompartement Syndrom

Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi

karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam

jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang

menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan

dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.

c. Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering

terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel

lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah

dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai

dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,

demam.

d. Infeksi

System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada

trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk

ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa

juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin

dan plat.

e. Avaskuler Nekrosis

Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang

rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan

diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.

11
f. Shock

Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya

permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya

oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. (Arif Muttaqin, 2008 )

2) Komplikasi Dalam Waktu Lama

a. Delayed Union

Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai

dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini

disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.

b. Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan

memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9

bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih

pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.

Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.

c. Malunion

Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan

meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).

Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang

baik. ( Arif Muttaqin, 2008 ).

H. Pengkajian focus

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses

keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-

12
masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan

keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada

tahap ini. Tahap ini terbagi atas: ( Arif Muttaqin, 2008)

a. Pengumpulan Data

1) Anamnesa

a) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa

yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,

golongan darah, no. register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa

medis.

b) Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa

nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya

serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang

rasa nyeri klien digunakan:

(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor

memperberat dan faktor yang memperingan/ mengurangi nyeri

(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau

menusuk.

(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah

rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit

terjadi.

13
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang

dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien

menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi

kemampuan fungsinya.

(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah

bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

c) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab

dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana

tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya

penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang

terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan

mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka

kecelakaan yang lain

d) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab

fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan

menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang

yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk

menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki

sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan

juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang

14
e) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit

tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,

seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa

keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara

genetik

f) Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang

dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta

respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik

dalam keluarga ataupun dalam masyarakat

g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan

terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani

penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan

tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan

hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat

mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol

yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien

melakukan olahraga atau tidak

15
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi

kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein,

vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan

tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu

menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan

mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat

terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari

yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah

muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas

juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

(3) Pola Eliminasi

Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan

fraktur tibia tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi

walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi,

warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan

pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,

warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada

kesulitan atau tidak.

(4) Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,

sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur

klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya

16
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur

serta penggunaan obat tidur.

(5) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua

bentuk kegiatan klien, seperti memenuhi kebutuhan sehari

hari menjadi berkurang. Misalnya makan, mandi, berjalan

sehingga kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang

lain.

(6) Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam

masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap, klien

biasanya merasa rendah diri terhadap perubahan dalam

penampilan, klien mengalami emosi yang tidak stabil.

(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul

ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,

rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara

optimal, dan gangguan citra diri.

(8) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada

bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak

timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak

17
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri

akibat fraktur.

(9) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan

hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan

keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.

(10) Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,

yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi

tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak

efektif

(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan

beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.

Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak

klien.

2) Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status

generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan

pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat

melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana

spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit

tetapi lebih mendalam.

18
a) Gambaran Umum

Perlu menyebutkan:

(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah

tanda-tanda, seperti:

(a) Kesadaran penderita:

Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi

sempurna

Apatis : terlihat mengantuk tetapi mudah

dibangunkan dan pemeriksaan penglihatan ,

pendengaran dan perabaan normal

Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang dengan

kasar dan terus menerus

Koma: tidak ada respon terhadap rangsangan

Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang dapat

disuruh dan menjawab pertanyaan, bila rangsangan

berhenti penderita tidur lagi.

(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,

sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut,

spasme otot, dan hilang rasa.

(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan

baik fungsi maupun bentuk.

(d) Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan

deformitas.

19
(e) Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai

respon nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap

kehilangan darah), penurunan nadi pada bagian distal

yang cidera, capilary refil melambat, pucat pada

bagian yang terkena, dan masa hematoma pada sisi

cedera.

b) Keadaan Lokal

Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai

berikut :

(1) Look (inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai

berikut :

(a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun

buatan seperti bekas operasi).

(b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau

hyperpigmentasi.

(c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan

hal-hal yang tidak biasa (abnormal)

(d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

(e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

(2) Feel (palpasi)

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi

penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi

20
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan

yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa

maupun klien.

Yang perlu dicatat adalah:

(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan

kelembaban kulit. Capillary refill time Normal (3 –

5) detik

(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi

atau oedema terutama disekitar persendian

(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak

kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal)

(d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi,

benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat

pada tulang. Selain itu juga diperiksa status

neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat

benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,

konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau

permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi(1),

kontraksi sedikit dan ada tekanan waktu jatuh (2),

mampu menahan gravitasi tapi dengan sentuhan

jatuh(3), kekuatan otot kurang (4), kekuatan otot

utuh (5). ( Carpenito, 1999)

21
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian

diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat

apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.

Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat

mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.

Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap

arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau

dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan

apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.

Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

( Arif Muttaqin, 2008 )

3) Pemeriksaan Diagnostik

a) Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah

“pencitraan” menggunakan sinar rontgen ( Sinar – X ). Untuk

mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan

tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau

PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi

tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan

pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu

disadari bahwa permintaan Sinar - X harus atas dasar indikasi

kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai

22
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada Sinar – X

mungkin dapat di perlukan teknik khusus, seperti hal – hal

sebagai berikut.

( Arif Muttaqin, 2008 )

(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi

struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada

kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks

dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur

lain juga mengalaminya.

(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal

dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang

mengalami kerusakan akibat trauma.

(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang

rusak karena ruda paksa.

(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan

potongan secara transversal dari tulang dimana

didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

b) Pemeriksaan Laboratorium

(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap

penyembuhan tulang.

(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan

menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk

tulang. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat

23
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase

(AST), Aldolase yang meningkat pada tahap

penyembuhan tulang

(3) Hematokrit dan leukosit akan meningkat

( Arif Muttaqin, 2008 )

c) Pemeriksaan lain-lain

(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:

didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.

(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini

sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan

bila terjadi infeksi.

(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang

diakibatkan fraktur.

(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau

sobek karena trauma yang berlebihan.

(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan

adanya infeksi pada tulang.

(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

( Arif Muttaqin, 2008 )

24
I. Pathway Keperawatan
Trauma langsung,
Kondisi patologis
trauma tidak langsung
(osteoporosis,osteomeilitis,kank er
tulang)

Tekanan eksternal > tekanan


Keropos (rapuhnya tulang)

trauma fraktur Tulang tidak mampu menahan


trauma

tertutup Tulang tembus kulit

terbuka Diskontinuitas tulang

Perubahan
reduksi
deformitas Keterbatasan jaringan sekitar

R. tertutup R. Kelemahan Ganggu Laserasi


immobilitas
an
mobilit
traks GIPS ORI as fisik
Defisit bedrest Putus vena arteri,
anestesi perawatan
Tekanan Nekrosis
T rauma perdarahan
Ganggua peristaliti pada
n j aringan
mobilita Kehilangan vol. cairan
Jalan Resiko Disfungsi
s fisik Mual/
Gangguan masuk kerusakan Neurovaskul
munta
rasa organisme integritas Shock er
nyaman
Nafsu Aliran
Resiko O2.Vol.darah
balik

Vol. sekuncup
Resiko
Resiko
nutrisi
kekurangan
<kebutuhan Curah
vol. cairan

Gangguan
perfungsi

( Smeltzer, Suzanne C.

2001 )

Sylva A.Price,2000 )

Linda Juall Carpenito,

25
J. Fokus intervensi dan rasional

Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah

sebagai berikut:

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera

jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas

2. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,

taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskular, nyeri,

terapi restriktif (imobilisasi)

4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,

kawat, sekrup)

5. Defisit perawatan diri b/d kelemahan neuromuskular, penurunan kekuatan

dan kesadaran, serta kehilangan kontrol otot

6. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera

vaskuler, edema, pembentukan trombus)

7. Resiko kekurangan volume cairan b/d ketidakadekuatan intake dan output

cairan

8. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b/d asupan nutrisi tidak adekuat

(Carpenito, 2002)

26
Intervensi Keperawatan dan Rasional

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera

jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas

1.1. Tujuan : Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang

1.2. Kriteria Hasil : klien melaporkan nyeri berkurang, mengidentifikasi

aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri, tidak gelisah,

skala nyeri 0-1 atau teratasi

1.3. Intervensi dan rasional

a. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring,

gips, bebat dan atau traksi

Rasional: Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi

b. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena

Rasional: Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri

c. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif

Rasional: Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan

sirkulasi vaskuler.

d. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase,

perubahan posisi)

Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan

lokal dan kelelahan otot

e. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas

dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)

27
Rasional: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan

kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama

f. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama)

sesuai keperluan

Rasional: Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri

g. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi

Rasional: Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan

rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer

h. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval,

perubahan tanda-tanda vital)

Rasional: Menilai perkembangan masalah klien

(Doenges, 2000)

1.4. Nyeri adalah : keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan

adanya ketidaknyamanan berat / sensasi tidak nyaman, berakhir dari 1 detik

sampai kurang dari 6 bulan. Dengan batasan karakteristik data subyektif

komunikasi verbal atau kode dari pemberi gambaran nyeri, data obyektif perilaku

melindungi, memfokuskan pada diri sendiri, perilaku distraksi (merintih,

menangis, mondar – mandir, gelisah, mencari orang lain), wajah nampak menahan

nyeri (Carpenito, 1999). Diagnose ini bisa di tegakkan bila ditemukan data klien

mengatakan nyeri, wajah mengkerut, otot tegang, perilaku distraksi (Doenges,

2000).

2. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,

28
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang

2.1. Tujuan : infeksi tidak terjadi selama perawatan

2.2. Kriteria Hasil : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu,

bebas drainase purulen atau eritema dan demam

2.3. Intervensi dan rasional

a. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai

protocol

Rasional: Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat

penyembuhan luka.

b. Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.

Rasional: Meminimalkan kontaminasi.

c. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai

indikasi

Rasional: Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat

digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi.

Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus

d. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap,

LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)

Rasional: Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi,

anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis.

Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi

(Carpenito, 2002)

29
2.4. Resiko tinggi terhadap infeksi adalah suatu kondisi dimana

individu beresiko karena agen patogenesis (virus, jamur, bakteri,

protozoa/ parasit lain) dari berbagai sumber dari dalam atau dari

luar tubuh. Untuk kriteria pengkajian fokus pada resti infeksi data

subyektif klien mengeluh demam terus menerus, infeksi

sebelumnya seperti saluran perkemihan, luka operasi, kulit dan

jaringan lunak, adanya nyeri umum dan terlokalisasi. Data obyektif

adanya luka (pembedahan, tindakan infasif, terluka sendiri)

(Carpenito, 1999). Diagnose ini bisa ditegakkan bila ditemukan

data inflamasi, eritema dan demam (Doenges, 2000). Data

pendukung lainnya adalah peningkatan suhu tubuh, frekuensi nadi,

adanya luka dan peningkatan jumlah leukosit (Smeltzer, 2002).

3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,

terapi restriktif (imobilisasi)

3.1. Tujuan: klien mampu melakukan aktivitas fisik sesui dengan

kemampuannya

3.2. Kriteria Hasil : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan

mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat

mempertahankan posisi fungsional meningkatkan

kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh

menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas

30
3.3. Intervensi dan rasional

a. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio,

koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien

Rasional: Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol

diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial

b. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang

sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien

Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal,

mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi,

mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium

karena imobilisasi

c. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan

sesuai indikasi

Rasional: Mempertahankan posis fungsional ekstremitas

d. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai

keadaan klien

Rasional: Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri

sesuai kondisi keterbatasan klien

e. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien

Rasional: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan

(dekubitus, atelektasis, penumonia)

f. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari

31
Rasional: Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah

komplikasi urinarius dan konstipasi

g. Berikan diet TKTP

Rasonal: Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses

penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh

h. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi

Rasional: Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun

program aktivitas fisik secara individual

i. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi

Rasional: Menilai perkembangan masalah klien

(Carpenito, 2002)

3.4. Kerusakan mobilitas fisik adalah: suatu keadaan dimana individu

mengalami / beresiko untuk mengalami keterbatasan pergerakan

fisik, tetapi tidak pada keadaan imobilisasi dengan batasan

karakteristik mayor mampu untuk bergerak dengan maksud

tertentu dalam lingkungannya seperti mobilisasi ditempat tidur,

keterbatasan menggerakkan sendi – sendi (rentang gerak). Dan

karakteristik minor adanya keterbatasan aktivitas, malas untuk

bergerak. Menurut teori gangguan mobilitas fisik berhubungan

dengan pembatasan gerak, nyeri, rasa tidak nyaman, kerusakan

musculoskeletal dan neuromuskuler dengan batasan karakteristik

keterbatasan ( Range Of Motion ) ROM, keterbatasan

kemampuan melakukan ketrampilan motorik kasar atau halus,

32
perubahan gaya berjalan, gerak lambat (NANDA, 2006).

Berdasarkan miller, mobilitas adalah : satu aspek terpenting pada

fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan

kemandirian. Terdapat 3 kategori rentang gerak : pasif, aktif, dan

fungsional. Rentang gerak pasif adalah menjaga kelenturan otot –

otot dan persendian seseorang menggerakkan otot – otot orang

lain secara pasif. Rentang gerak aktif melatih kelenturan dan

kekuatan otot serta sendi. Rentang gerak fungsional memperkuat

otot – otot dan sendi sambil melakukan aktifitas yang di perlukan.

Immobilisasi yang lama dan gangguan fungsi neurosensori dapat

menyebabkan kontraktur permanen (Carpenito, 1999)

4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,

kawat, sekrup)

4.1. Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang

4.2. Kriteria Hasil : menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah

kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi,

mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi

terjadi

4.3. Intervensi dan rasional

a. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering,

bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit)

Rasional: Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih

luas

33
b. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal

bebat/gips

Rasional: Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan

kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan

pada imobilisasi

c. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal

Rasional: Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan

akibat kontaminasi fekal

d. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit,

insersi pen/traksi

Rasional: Menilai perkembangan masalah klien

(Doenges, 2000)

4.4. Derajat dekubitus ada 4 yaitu

Derajat I: eritema yang tidak dapat memucat pda kulit yang utuh,

kemerahan pada kulit

Derajat II: ulserasi epidermis dan dermis

Derajat III: ulserasi sampai pada lapisan lemak subkutan

Derajat IV: ulserasi yang luas menembus otot, tulang atau strukur

penunjang (Carpenito, 2002)

Kerusakan integritas kulit adalah suatu kondisi dimana

seseorang mengalami atau berada pada resiko kerusakan jaringan

epidermis dan dermis dengan batasan karakteristik mayor

terputusnya jaringan epidermal dan dermal, sedangkan

34
karakteristik minor yaitu kulit gundul, etitema, lesi ( primer,

sekunder). (Carpenito, 1999). Sedangkan dari teori lain

menyebutkan resiko kerusakan integritas kulit dalah resiko kulit

berubah kearah yang lebih buruk dengan batasan karakteristik

invasi struktur tubuh, kerusakan lapisan kulit ( dermis ), disrupsi

permukaan kulit ( epidermis), dengan faktor resiko eksternal yaitu

radiasi, mobilisasi fisik, faktor mekanik ( alat yang dapat

menyebabkan luka, penekanan, restrain), hipotermi atau

hipertermi, kelembapan udara, substansi kimia, eksresi atau

sekresi, kelembapan kulit. Sedangkan faktor resiko internalnya

yaitu medikasi, penonjolan tulang, faktor imunologis, faktor

perkembangan, perubahan sensasi, perubahan sirkulasi, perubahan

turgor kulit, perubahan status nutrisi, psikogenetik. ( NANDA,

2006).

5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan

nutrisi tidak adekuat

5.1. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 3x24 jam

kebutuhan nutrisi terpenuhi

5.2. Kriteria Hasil: klien mengatakan nafsu makan bertambah, makan

habis satu porsi, IMT normal

5.3. Intervensi dan rasional:

a. Kaji pola makan yang tidak disukai dan disukai

35
Rasional: sebagai tidakan awal untuk menntukan intervensi

selanjutnya

b. Motivasi klien untuk makan dalam porsi sedikit tapi sering

Rasional: menghindari mual muntah

c. Motivasi klien untuk makan dalam keadaan hangat

Rasional: Keadaan hangat akan meningkatkan nafsu makan,

makanan akan terasa lebih hangat

d. Kolaborasi dengan ahli gizi

Rasional: sebagai tindakan kolaborasi dengan tim medis lain

(Carpenito, 2002)

5.4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhn tubuh adalah : kondisi

yang dialami individu yang tidak mengalami puasa atau beresiko

mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan tidak

cukupnya masukan atau metabolisme nutrisi untuk kebutuhan

metabolisme dengan batasan karakteristik mayor seseorang yang

mengalami puasa, puasa dilaporkan atau mempunyai ketidakcukupan

masukan makanan kurang dari yang dianjurkan sehari – hari dengan

atau tanpa terjadinya penurunan berat badan atau kebutuhan metabolic

actual atau potensial pada kelebihan masukan terhadap penurunan

berat badan. kriteria minor berat badan 10 – 20 % dibawah normal dan

tinggi serta kerangka tubuh dibawah ideal, lipatan kulit trisep, lingkar

lengan tengah, dan lingkar otot pertengahan lengan kurang 60 % dari

ukuran standar, kelemahan dan nyeri tekan otot, penurunan albumin

36
serum.(Carpenito, 1999). Sedangkan dari teori lain menyebutkan

perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah intake nutrisi

tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolic, dengan

batasan karakteristik berat badan dibawah ideal lebih dari 20 %,

melaporkan intake makanan yang kurang dari kebutuhan yang

dianjurkan, konjungtiva dan membrane mukusa pucat, kelemahan otot

untuk menelan dan mengunyah, melaporkan kurang makan, diare,

rambut rontok, suara usus hiperaktif.(NANDA, 2006)

6. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan

neuromuskular dan penurunan kekuatan otot

6.1. Tujuan : Perawatan diri klien dapat terpenuhi

6.2. Kriteria Hasil : Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup

untuk kebutuhan merawat diri, mampu melakukan aktivitas

perwatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan

6.3. Intervensi dan rasional

a. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila

perlu

Rasional: Hal tersebut dilakukan untuk mencegah frustasi dan

menjag harga diri klien karena klien dalam keadaan cemas, dan

membutuhkan bantuan orng lain

b. Ajak klien berfikir positif agar terhadap kelemahan yang

dimilikinya, dan berikan motivasi dan izinkan ia melakukan tugas,

37
kemudian berikan umpan balik positif atas usaha yang telah

dilakukan

Rasional: Klien memerlukan empati, perawat perlu mengetahui

perawatan yang konsisten dalam menangani klien intervensi

tersebut dapat meningkatkan harga diri dan kemandirian klien

c. Kaji kemampuan komunikasi untuk buang air kecil, kemampuan

menggunakan urinal, pispot, antarkan klien kekamar mandi jika

memungkinkan

Rasional: Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat

menimbulkan masalah pengosongan kandung kemih karena

masalah neurogenik

d. Identifikasi kebiasaan buang air besar, anjurkan klien minumdan

meningkatkan latihan

Rasional: Meningkatkan latihan dapat mencegah konstipasi

e. Beri supositoria dan pelunak feses / pencahar

Rasional: Pertolongan pertama terhadapfungsi usus atu BAB

(Doenges, 2000)

7. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah

(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

7.1. Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik .

7.2.Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan akral hangat, tidak pucat

dan syanosis, bisa bergerak secara aktif.

38
7.3. Intervensi dan rasional

a. Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan

menggerakkan jari/sendi distal cedera.

Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah

kekakuan sendi.

b. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang

terlalu ketat.

Rasional: Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya

penyesuaian keketatan bebat/spalk.

c. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada

kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.

Rasional: Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema

kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang

menyebabkan penurunan perfusi.

d. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan

Rasional: Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk

menurunkan trombus vena.

e. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan

kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang

normal.

Rasional: Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan

perlunya intervensi sesuai keadaan klien. (Carpenito, 2002)

39
7.4. Tanda tanda disfungsi perifer yaitu terjadi gangguan pendengaran,

gangguan penglihatan, gangguan memori, perdarahan, edema (

Muttaqin Arif,2008)

a. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan

ketidakadekuatan intake dan output cairan

8.1. Tujuan : mempertahankan keseimbangan cairan elektrolit

8.2. Kriteria Hasil : tidak terdapat tandatanda dehidrasi, turgor

klien baik, bibir tidak kering.

8.3. Intervensi dan rasional:

a. Monitor tanda – tanda vital

Rasional : tanda yang membantu mengidentifikasi fluktasi

volume intra vaskuler

b. Kemonitor intake dan output dan konsentrasi urine

Rasional : menurunnya output dan konsentrasi urine akan

meningkatkan kepekaan sebagai salah satu kesan adanya

dehidrasi dan membutuhkan peningkatan cairan

c. Anjurkan klien untuk membersihkan mulut secara teratur

Rasional : dehidrasi mengakibatkan mulut kering dan pecah

– pecah

d. Kolaborasi pemberian cairan secara adekuat

Rasional : memenuhi volume cairan yang hilang

(Carpenito, 2002)

40

Anda mungkin juga menyukai