Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

STEMI (ST ELEVASI MIOKARD INFARK)

UNTUK MEMENUHI TUGAS PRAKTIK PROFESI NERS


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Di susun oleh:

WAHYU ANJASMARA

20650195

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2021
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

Laporan Pendahuluan Oleh : Wahyu Anjasmara

Judul : STEMI (ST Elevasi Miokard Infark)

Nim : 20650195

Telah disetujui dalam rangka mengikuti praktik Profesi Ners Stase Keperawatan
Medikal Bedah Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Penyusun

( )

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN

STEMI (ST ELEVASI MIOKARD INFARK)

A. Konsep STEMI

1. Pengertian

STEMI merupakan suatu keadaan infark atau nekrosis otot jantung karena
kurangnya suplai oksigen pada miokard (ketidakseimbangan antara
kebutuhan oksigen dengan suplai oksigen) (Udjianti, 2011 ; dalam
Paramitha. C, 2018). STEMI disebut dengan Miokard Infark Transmural
karena mengenai otot paling luar dari jantung (Nazmah, 2012 ; dalam
Paramitha. C, 2018). STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara medadak setelah oklusi trombus pada plak asterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya. Ini disebabkan karena injuri yang disebabkan
oleh faktor–faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid
( Nurarif, 2016 ; dalam Paramitha. C, 2018).

2. Etiologi

Pada intinya penyebab dari STEMI ini sama dengan infark miokard yaitu
karena suplai oksigen yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidak tertangani
dengan baik sehingga menyababkan kematian sel-sel jantung tersebut.
Menurut (Kasron, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018) ada beberapa hal yang
mengganggu oksigenasi ke jantung.
a. Berkurangnya oksigen ke miokard yang disebabkan oleh:

1) Faktor pembuluh darah

Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan


darah mencapai sel-sel jantung, yang menggagu kepatenan pembuluh
darah antara lain: arterosklerosis, spasme, dan arteritis. Spasme
pembuluh darah bisa juga terjadi pada orang yang tidak memiliki
riwayat penyakit jantung sebelumnya, dan biasanya dihubungkan
dengan beberapa hal seperti: mengkonsumsi obat-obatan tertentu,
stress emosional atau nyeri, terpapar suhu yang ekstrim dan
merokok.

2) Faktor sirkulasi

Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah dari jantung


keseluruh tubuh sampai kembali kejantung dan hal ini tidak terlepas
dari faktor pompaan dan volume darah yang dipompakan. Kondisi
ini yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi diantaranya kondisi
hipotensi. Stenosis maupun insufisiensi yang terjadi pada katup-
katup jantung (aorta, mitralis, maupun trikuspidalis) menyebabkan
menurunnya cardiac output (COP). Penurunan COP yang diikuti
oleh penurunan sirkulasi menyebabkan beberapa bagian tubuh tidak
tersuplai dengan adekuat termasuk otot jantung.
3) Faktor darah

Darah merupakan pengangkut oksigen menuju seluruh tubuh, jika


daya angkut darah berkurang, maka sebagus apapun pembuluh darah
dan pompaan jantung maka hal tersebut tidak cukup membantu. Hal
yang menyebakan terganggunya daya angkut darah antara lain:
anemia, hipoksemia dan polisitemia.
4) Faktor kelainan kongenital

Kelainan kongenital seperti anomali arteri koroneria (Udjianti, 2011 ;


dalam Paramitha. C, 2018).
b. Meningkatnya kebutuhan oksigen tubuh

Pada orang normal meningkatnya kebutuhan oksigen maupun


dikompensasi antara lain dengan meningkatnya denyut jantung untuk
meningkatkan COP. Akan tetapi jika orang tersebut telah mengidap
penyakit jantung, mekanisme kompensasi justru akan memperberat
kondisi jantung karena kebutuhan oksigen semakin meningkat
sedangkan suplai oksigen tidak bertambah.
Oleh karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatnya
kebutuhan oksigen akan memicu terjadinya infark. Misalnya : aktivitas
berlebih, emosi, makan terlalu banyak dan lain-lain. Hipertropi miokard
biasa memicu terjadiya infark karena semakin banyak sel yang harus

disuplai oksigen, sedangkan asupan oksigen menurun akibat dari


pomapan yang tidak efektif.

3. Faktor Resiko

Menurut (Kasron, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018) secara garis besar


terdapat 2 jenis faktor resiko bagi setiap orang, yaitu faktor resiko yang
dapat di rubah dan yang tidak dapat dirubah:
a. Faktor yang dapat dirubah

1) Hiperlipidemia

Tingginya kadar lemak (lipid) di dalam darah. Kadar lemak


abnormal dalam sirkulasi darah (terutama kolesterol). Bisa
menyebabkan masalah jangka panjang, resiko terjadinya
arterosklerosis dan penyakit arteri koroner dapat meningkat
(Hartanto, 2010 ; dalam Paramitha. C, 2018).
2) Merokok

Peran rokok dalam penyakit jantung antara lain: menimbulkan


aterosklerosis, peningkatan trombogenesis dan vasokontriksi,
peningkatan tekanan darah, pemicu aritmia jantung meningkatkan
kebutuhan oksigen jantung, dan penurunan kapasitas pengangkutan
oksigen. merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari bisa
meningkatkan resiko 2-3 kali dibandingkan yang tidak merokok.
3) Konsumsi alkohol

Meskipun ada dasar teori mengenai efek protektif alkohol dosis


rendah moderat, dimana ia bisa meningkatkan trombolisis endogen,
mengurangi adhesi platelet dan meningkatkan kadar HDL dalam
sirkulasi, akan tetapi semuanya masih kontroversial. Tidak semua
literatur mendukung konsep ini, bahkan peningkatan dosis alkohol
dikaitkan dengan peningkatan mortalilas kardiovaskuler karena
aritmia, hipertensi STEMI dan kardiomiopati dilatasi.
4) Infeksi

Infeksi Chlamydia Pneumoniae, organisme gram negatif


intrasesuler dan penyebab umum penyakit pernafasan, tampaknya
berhubungan dengan penyakit pembuluh jantung aterosklerotik.
5) Hipertensi

Hipertensi menyebabkan meningkatnya afterload yang secara tidak


langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi ini akan
memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari
meningkatnya afterload yang pada akhirnya terjadi peningkatan
kebutuhan oksigen pada jantung.
6) Obesitas

Hubungan erat antara berat badan, peningkatan tekanan darah,


peningkatan kolesterol darah, diabetes melitus tidak tergantung
insulin, dan tingkat aktivitas yang rendah.
7) Kurang olahraga

Aktivitas aerobik yang teratur akan menurunkan resiko terkena


penyakit jatung pembuluh jantung sekitar 20-40%.
8) Penyakit diabetes

Resiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien dengan


DM sebesar 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan orang biasa. Hal ini
berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas,
hipertensi STEMI, peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat
adhesi platelet dan peningkatan trombogenesis).

b. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah

Merupakan faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan yaitu:

1) Usia

Resiko meningkat pada pria diatas 45 tahun dan wanita diatas 33


tahun (umumnya setelah monopause).
2) Jenis Kelamin

Morbiditas akibat STEMI pada laki laki 2 kali lipat lebih besar
dibandingakan perempuan, hal ini berkaitan dengan
esterogen dan endogen yang bersifat protektif pada perempuan. Hal
ini terbukti insiden STEMI meningkat dengan cepat dan akhirnya
setara dengan laki- laki setelah masa monopause pada perempuan.
3) Riwayat Keluarga

Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami STEMI sebelum


usia 70 tahun merupakan faktor indepeden untuk terjadinya STEMI.
Agregasi STEMI keluarga menandakan ada prediposisi genetik pada
keadaan ini. terdapat bukti bahwa riwayat positif pada keluarga
mempengaruhi penderita STEMI pada keluarga dekat.
4) RAS

Insiden kematian akibat STEMI pada orang Asia yang tinggal di


Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk lokal, sedangkan
angka yang rendah terdapat pada RAS apro-karabia.
5) Geografi

Tingkat kematian akibat STEMI lebih tinggi di Irlandia utara,


Skotlandia dan bagia Ingris utara dan dapat merefleksikan
perbedaaan diet, kemurnian air, merokok, struktur sosial ekonomi
dan kehidupan urban.
6) Tipe Kepribadian

Tipe kepribaian A memiliki sifat agresif, kompetitif, kasar, sinis, gila


hormat, ambisius, dan gampang marah sangat rentang untuk terkena
STEMI, karena antara stress dengan metabolisme lipid saling
berhubungan.
7) Kelas sosial

Tingkat kematian STEMI tiga kali lebih tinggi pada pekerja kasar
laki- laki terlatih dibandingkan dengan kelompok kerja profesi
(misal: dokter, guru, perawat, pengacara dan lain–lain. Selain itu
frekuensi pekerja kasar ternyata 2 kalori lebih besar untuk
mengalami kematian dini akibat STEMI dibandingkan istri pekerja
profesional/ non- manual.

4. Patofisiologi

Infark miokard akut sering terjadi pada orang yang memiliki satu atau lebih
faktor resiko, seperti obesitas, merokok, hipertensi dan lain-lain. Faktor ini

disertai dengan proses kimiawi terbentuknya lipoprotein di tunika intima


yang dapat menyebabkan interaksi fibrin dan platelet sehingga
menimbulkan cidera endotel pembuluh darah koroner. Interaksi tersebut
menyebabkan invasi dan akumulasi lipid yang akan membentuk plak
fibrosa. Timbunan plak menimbulkan lesi komplikata yang dapat
menimbulkan tekanan pada pembuluh darah dan apabila ruptur dapat
terjadi trombus (Aspiani, 2014 ; dalam Paramitha. C, 2018).

Trombus yang menyumbat pembuluh darah menyebabkan aliran darah


berkurang sehingga suplai oksigen yang diangkut darah ke jaringan
miokardium berkurang yang berakibat penumpukan asam laktat yang
meningkatan menyebabkan nyeri dan perubahan pH endokardium yang
menyebabkan perubahan pada elektrofisilogi pada endokardium yang pada
akhirnya menyebabkan perubahan pada sistem konduksi jantung sehingga
jantung mengalami distritmia. Iskemik yang berlangsung lebih dari 30
menit menyebabkan kerusakan pada otot jantung yang irrevesibel dan
kematian otot jantung (infark) (Aspiani, 2014 ; dalam Paramitha. C, 2018).
Terjadinya nekrosis otot jantung di tandai dengan elevasi segmen ST yang
persisten di 2 sadapan yang bersebelahan (Irmalita, 2015 ; dalam
Paramitha. C, 2018).

Letak infark ditentukan juga oleh letak sumbatan arteri koroner yang
mensuplai darah dan oksigen ke jantung. Terdapat dua arteri koroner yang
besar yaitu arteri kanan dan arteri kiri. Kemudian arteri kiri bercabang
menjadi dua yaitu desenden Arterior dan dan arteri sirkumpeks kiri. Arteri
koronaria desenden anterior kiri berjalan melalui bawah anterior dinding
ke arah afeks jantung. Bagian ini menyuplai aliran dua pertiga dari septum
intraventrikel sebagian besar apeks dan ventrikel kiri anterior (Kasron,
2012 ; dalam Paramitha. C, 2018).

Sedangkan cabang sirkumpeks kiri berjalan dari koroner kiri ke arah


dinding lateral kiri dan ventrikel kiri. Daerah yang di suplai meliputi
atrium kiri , seluruh dinding posterior. Selanjutnya arteri koroner akan
berjalan dari aorta

sisi kanan arteri pulmonal ke arah dinding lateral kanan sampai ke


posterior jantung. Bagian jantung yang di suplai meliputi: atrium kanan,
ventrikel kanan, nodus SA, nodus AV, septum intervetrikel posterior
superior, bagian atrium kiri dan permukaan diafragmatik ventrikel kanan.
Berdasarkan hal diatas maka dapat diketahui jika infark anterior
kemungkinan disebabkan ganguan pada cabang desenden anterior kiri
sedangkan infark inferior bisa disebabkan oleh lesi pada arteri koroner
kanan. (Kasron, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018).

Berdasarkan ketebalan dinding jantung yang terkena maka infark bisa


dibedakan mejadi infark transmural dan subendokardial. Kerusakan pada
seluruh lapisan miokardiom disebut infark transmural, sedangkan jika
hanya mengenai lapisan saja disebut infark subendokardial. Infark otot
jantung akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot jantung yang
kematian, jaringan akan mengalami iskemik disekeliling daerah infark
(Kasron, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018).

Miokardium yang mengalami kerusakan otot jantung atau nekrosis tidak


lagi dapat memenuhi fungsi kontraksi sehingga otot yang iskemik
disekitarnya juga mengalami gangguan dalam daya kontraksi dan
menyebabkan keluarnya enzim dari intrasel ke pembuluh darah yang dapat
dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium. Otot jantung yang infark
mengalami perubahan selama penyembuhan. Mula-mula otot jantung yang
mengalami infark akan tampak memar dan sianotik karena darah di daerah
sel tersebut berhenti. Dalam jangka waktu selama 24 jam timbul edema
dan terjadi respon peradangan yang di sertai inflamasi leokosit (Aspiani,
2014 ; dalam Paramitha. C, 2018).

Infark miokardium akan menyebabkan fungsi ventrikel terganggu karena


otot kehilangan daya kontraksi, sedangkan otot yang iskemik disekitarnya
juga mengalami gangguan kontraksi. Secara fungsional infark miokardium
akan mengakibatkan perubahan pada daya kontraksi, gerakan dinding
abnormal, penurunan cardiak output, perubahan daya kembang dinding
ventrikel. Peningkatan volume akhir sistolik dan penurunan volume akhir

diastolik ventrikel. Keadaan tersebut menyebabkan kegagalan jantung


dalam memompa darah dan oksigen sistemik menjadi tidak adekuat
sehingga menimbulkan gejala kelelahan. Selain itu dapat terjadi akumulasi
cairan diparu (edema paru) dan manifestasi sesak nafas (Aspiani. 2014 ;
dalam Paramitha. C, 2018)
5. Pathway
6.

Tanda dan Gejala


Menurut (Kasron, 2012) Keluhan yang khas ialah nyeri dada retrosteral,
seperti diremas – remas ,ditekan, ditusuk, panas atau di tindih barang berat.
Nyeri dapat menjalar ke lengan (umunya di kiri), bahu, leher, rahang,
bahkan kepunggung dan epigastrium. Nyeri berlangsung lebih lama dari
angina pektoris dan tidak responsif terhadap nitrogliserin. Kadang- kadang
pada pasien diabetes melitus dan orang tua tidak ditemukan nyeri sama
sekali. Nyeri dapat disertai rasa mual ,muntah, sesak nafas, pusing,
keringat dingin, jantung berdebar-debar atau sinkope. Pasien sering tampak
ketakutan.
Dapat ditemukaan bunyi jantung di S2 yang pecah, paradoksal dan irama
gallop. Adanya krepitasi basal menunjukan adanya bendungan paru.
Takikardia, kulit yang pucat, dingin dan hipotensi ditemukan dalam kasus
yang lebih berat, kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak
atau barada didinding dada pada infark miokard akut inferior.
Menurut (Nurarif, 2016 ; dalam Paramitha. C, 2018) tanda dan gejalanya
adalah:

a. Klinis

1) Nyeri dada yang terasa mendadak dan terus-menerus tidak mereda,


biasanya diatas regional sternal bawah dan abdomen bagian atas
yang merupakan gejala utama.
2) Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak
tertahan lagi.
3) Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk–tusuk yang terasa
menjalar ke bahu dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya
lengan sebelah kiri), tertekan, rasa terbakar, rasa tertindih benda
berat, rasa diperas dan rasa terpelintir.
4) Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau
gangguan emosional), menetap selama beberapa jam atau beberapa
hari dan tidak hilang dengan istirahat atau nitriogliserin (NTG) .
5) Nyeri dapat menjalar ke leher dan rahang.

6) Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis


berat, pening, atau kepala terasa melayang, dan mual muntah.
7) Pasien dengan diabetes melitus tidak akan merasa nyeri karena
neuropati yang menyertai diabetes akan menggangu neuroreseptor.
7. Komplikasi

Komplikasi pada pasien dengan STEMI adalah:

a. Gagal jantung

Dengan infark besar (> 20%- 25%) pada ventrikel kiri, depresi fungsi
pompa cukup untuk menyebabkan gagal jantung (Aaronson, 2010 ;
dalam Paramitha. C, 2018).
b. Syok kardiogenik

Infark yang meliputi lebih dari 40% dari ventrikel kiri dapat
menyebabkan syok kardiogenik (Aaronson, 2010 ; dalam Paramitha. C,
2018)
c. Aritmia

Aritmia sering ditemukan pada fase akut, hal ini dipandang sebagai
bagian dari perjalan penyakit STEMI. Aritmia perlu diobati bila
menyebabkan gangguan hemodinamik, meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard sehingga memperluas terjadinya infark pada jantung
dan aritmia merupakan predisposisi untuk terjadinya aritmia yang lebih
gawat seperti takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel atau asistol. Dilain
pihak efek lain pengobatan harus diperhatikan, karena pervalensi
terjadinya aritmia sering terjadi pada 24 jam pertama serangan jantung
akan berkurang pada hari- hari berikutnya sehingga penanganan yang
tepat dan efektif dibutuhkan dalam 24 jam pertama (Kasron, 2012 ;
dalam Paramitha. C, 2018).
d. Bradikardi Sinus

Bradikardi Sinus umumnya disebabkan oleh Vagotania dan sering


menyertai infark miokard inferior atau posterior. Bila hal ini
menyebabkan keluhan hipotensi, gagal jantung atau disertai dengan
peningkatan intabilitas ventrikel diberi pengobatan dengan sulfas
atropin intravena (Kasron, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018).

e. Irama Nodal

Irama nodal umumnya timbul karena mekanisme protektif escape dan


tidak perlu diobati, kecuali bila menyebabkan gangguan hemodinamika
maka dapat diberikan atropin atau dipasang pacu jantung temporer
(Kasron, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018).
f. Asistolik

Pada keadaan asisitolik harus segera dilakukan resusitasi


kardiopulmonal serebral dan di pasang pacu jantung trastorakal.
Pemberian adrenalin dan kalsium klorida dan kalsium glukonas harus
dicoba (Kasron, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018).
g. Takikardi Sinus

Takikardi sinus ditemukan pada sepertiga kasus miokard infark akibat


peningkatan saraf sinus simpatik, gagal jantung, nyeri dada, perikarditis
dan lain-lain. Takikardi sinus meningkatkan kebutuhan oksigen jantung
dan menyebabkan terjadinya peluasan infark pada jantung (Kasron,
2012 ; dalam Paramitha. C, 2018).
h. Kontraksi atrium premature

Bila kontraksi atrium prematur jarang terjadi maka pengobatan khusus


tidak diperlukan (Kasron, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018)
i. Ruptur Miokardial

Otot jantung yang mengalami kerusakan akan menjadi lemah, sehingga


kadang mengalami robekan karena tekanan dari aksi pompa jantung.
Bagian jantung yang mengalami robekan adalah dinding otot jantung
dan otot yang mengendalikan pembukaan dan penutupan salah satu
katup jantung (katup mitralis). Jika ototnya robek, maka katup tidak
dapat berfungsi sehingga secara tiba- tiba terjadi gagal jatung yang
berat. Otot jantung pada dinding jantung juga bisa mengalami robekan.
Robekan septum kadang dapat diperbaiki melalui pembedahan, tetapi
robekan pada dinding luar hampir selalu menyebabkan kematian. Otot
jantung yang mengalami kerusakan karena serangan jantung tidak akan
berkontraksi dengan baik meskipun tidak mengalami kerusakan.
Kadang bagian ini akan menggembung pada saat seharusnya
berkontraksi. Untuk mengurangi luasnya daerah yang tidak berfungsi
ini bisa diberikan ACE–inhibiditor. Otot yag rusak bisa berbentuk
penonjolan kecil pada dinding jantung (anuerisma). Adanya aneurisma
bisa diketahui melalui rekaman EKG yang abnormal, dan untuk
memperkuat dugaan ini bisa dilakukan ekokardiogram. Aneurisma tidak
akan mengalami robekan, tetapi bisa menyebabkan irama jantung tidak
teratur dan dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan jantung
untuk memompa. Darah yang melalui aneurisma akan mengalir lebih
lambat, karena itu dapat terbentuk bekuan darah di ruang– ruang
jantung ( Kasron, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018).
j. Bekuan Darah

Pada sekitar 20-60% orang pernah mengalami serangan jantung,


terbentuknya bekuan darah didalam jantung. Pada 5% penderita ini
bekuan bisa pecah, mengalir di dalam arteri dan tersangkut dipembuluh
darah yang lebih kecil diseluruh tubuh menyebabkan penyumbatan pada
aliran darah ke sebagian otak (menyababkan stroke) atau ke organ
lainnya. Untuk mengetahui adanya bekuan darah dijantung atau untuk
mengetahui faktor predisposisi yang dimiliki penderita maka dilakukan
elektrokardiogram, Untuk membantu mencegah pembentukan
pembekuan darah maka diberikan antikoagulan ( misalnya heparin dan
warfarain). Obat ini biasanya diminum selama 2-6 bulan setelah
serangan jatung ( Kasron, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018).

8. Penatalaksaaan

Menurut (Kasron, 2012) prinsip penatalaksanaanya adalah mengembalikan


aliran darah koroner untuk menyelamatkan jantung dari infark miokard ,
membatasi peluasan infark dan mempertahankan fungsi jatung. Pada
prinsipnya terapi penanganan ini ditujukan untuk mengatasi nyeri angina
yang cepat, intensif dan mencegah berlanjutnya iskemik serta terjadinya
infark miokard dan kematian mendadak. Oleh karena itu, kasus berbeda
derajat keparahan atau riwayat penyakitnya, maka cara terapi terbaik
adalah individualisasi atau bertahap, mulai dengan masuk rumah sakit
( ICCU) dan istirahat total (bed rest).
Menurut (Kasron, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018) tindakan yang dapat
dilakukan perawat adalah:

a. Memberikan Terapi oksigen

b. Memonitor EKG

c. Memberikan larutan Fisisologis sesuai order

d. Memberikan obat penghilang rasa sakit sesuai order

e. Memberikan terapi trombolitik sesuai order

Menurut Nurarif (2016) Beberapa terapi yang dapat diberikan antara lain:

a. Terapi Trombolitik

Obat terapi trombolitik mempunyai keuntungan karena dapat diberikan


melalui vena perifer, sehingga terapi ini dapat diberikan seawal
mungkin dan dapat dikerjakan dimanapun. Direkomendasikan penderita
infark miokard akut < 12 jam yang mempunyai elevasi segemn ST atau
leaf bundle brance blok ( LBBB) diberikan intravena fibrinolitik jika
tanpa kontra indikasi. Sedangkan penderita yang mempunyai riwayat
perdarahan intrakarnial, stroke atau perdarahan aktif tidak dapat
diberikan terapi fibrinolitik. Dosis streptokinase diberikan 1.5 juta unit
diberikan dalam tempo 30-60 menit.
b. Terapi Antiplatelet

1) Aspirin

Aspirin mempunyai efek menghambat siklooksigenase platelet


secara irrevesibel. Proses tersebut mencegah formasi tromboksan A2.
Pemberian Aspirin untuk penghambatan agregasi platelet diberikan
dosis awal paling sedikit 160 mg dan dilanjutkann dosis 80-325 mg
per hari.
2) Tiklopidin

Tiklopidin merupakan derivat tienopiridin yang efektif sebagai


pengganti aspirin untuk pengobatan angina tidak stabil.
Mekanismenya berbeda dengan aspirin. Tiklopidin menghambat
agregasi platelet yang dirangsang ADP dan menghambat transformsi
reseptor fibrinogen platelet menjadi bentuk afinitas tinggi.

3) Clopidogrel

Clopidogrel mempunyai efek menghambat agregasi platelet melalui


hambatan aktivitas ADP dependen pada kompleks glikoprotein
llb/lla. Efek samping clopidogrel lebih sedikit dibandingkan
tiklopidin dan tidak pernah dilaporkan neutropenia
4) Antagonis reseptor gliprotein llb/ lla

Antagonis reseptor gliprotein llb/ lla menghambat reseptor yang


berinteraksi dengan protein-protein seperti fibrinogen dan faktor von
willebrand. Secara maksimal menghambat jalur akhir dari proses
adhesi, aktivitas dan agregasi platelet.
5) Terapi antitrhombin

Unfractioted heparin, low molecular- weight heparins ( LMWH),


direct antithrombin
6) Terapi Nitrat organik

a) Nitrogliserin

Penggunaan nitrogliserin per oral untuk menanggulangi serangan


angina cukup efektif. Begitu pula sebagai profilksis jangka
pendek misalnya langsung sebelum melakukan aktivitas atau
menghadapi situasi lain yang dapat menginduksi serangan. Secara
intravena digunakan pada dekompensasi terutama setelah infark
jantung, jika digoksin dan diuretika kurang memberikan hasil.
Pada penggunan oral obat ini mengalami metabolisme lintas
pertama yang sangat tinggi sehingga hanya sedikit obat yang
mencapai sirkulasi. Absorpsi sesekali karena bilingual dan
oromukosal cepat sekali karena menghindari efek lintas pertama.
Efeknya sesudah 2 menit dan bertahan selama 30 menit. Dosis
sublingual yaitu 0, 15- 0. 6 mg dan dosis oral 6,5 – 13 mg.
b) Isosorbid dinitrat
Kerjanya hampir sama dengan Nitrogliserin, tetapi sifatnya long-
acting. Secara sublingual mulai bekerja dalam 3 menit dan
bertahan sampai 2 jam. Resorpsinya juga baik, tetapi efek lintas
prertamanya cukup besar.

c) Isosorbid mononitrat

Obat ini terutama digunakan sebagai profilaksis untuk


mengurangi frekuensi serangan. Kadang–kadang digunakan
pada dekompensasi yang tidak berhasil dengan obat-obat yang
biasa digunakan. Mulai kerja setelah 15 menit dan bertahan
kurang lebih 8 jam, waktu paruhnya 4-5 jam. Dosis yang dapat
digunakan yaitu 20-30 menit ( Nurarif, 2016 ; dalam Paramitha.
C, 2018).

B. Konsep Asuhan keprawatan teoritis.

1. Pengkajian

a. Identitas pasien

Identitas pasien berisikan: nama, umur, tempat tanggal lahir, jenis


kelamin, agama, suku bangsa, alamat, pendidikan, pekerjaan, tanggal
masuk rumah sakit, diagnosa medis, nomor registrasi.
b. Identitas penanggung jawab.
dentitas penanggung jawab berisikan: nama, umur, pekerjaan, alamat,
hubungan dengan pasien.
c. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama yang dirasakan pasien STEMI adalah
nyeri. Biasanya pasien merasakan nyeri di dada sebelah kiri, tidak hilang
saat istirahat. Nyeri yang dirasakan biasanya terasa dihimpit beban berat
dan seperti tertekan. Nyeri dirasakan di daerah diatas perikardium dan
biasanya nyeri terasa menjalar sampai rahang, keleher, kepunggung dan
kelengan sebelah kiri. Lama nyeri biasanya 20-30 menit, biasanya nyeri
di perburuk ada atau tanpa aktivitas, biasanya nyeri dirasakan mendadak.
Biasanya diikuti dengan gejala penyerta seperti adalah sesak nafas, nadi
lemah dan cepat, gelisah, mual muntah, kelelahan dan pucat (Mutaqim,
2012 ; dalam Paramitha. C, 2018).
d. Riwayat Keluhan Sekarang
Pada saat melakukan pengkajian pada pada pasien STEMIkeluhan yang
dirasakan tergantung pada hari rawatan pasien tersebut. Biasanya pasien
dengan hari rawatan lebih dari 2 hari masih merasakan nyeri. Nyeri di
dada sebelah kiri, biasanya nyeri terasa menjalar sampai rahang, keleher,
kepunggung dan ke lengan sebelah kiri, nyeri yang dirasakan biasanya
terasa di himpit beban berat, lama nyeri biasanya 10-20 menit, biasanya
nyeri dapat hilang jika istirahat atau dengan teknik nafas dalam. Biasanya
pasien mengatakan nyeri berulang dengan skala nyeri 4-5. Biasanya saat
dikaji kelelahan tambahan yang dirasakan pasien adalah sesak nafas,
gelisah, mual muntah, kelehan.
e. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien dengan STEMI mememiliki riwayat penyakit seperti:
nyeri dada, hipertensi, angina, distaritmia, kerusakan katup, diabetes
melitus, dan trombus atau lipidemia (Mutaqim, 2012 ; dalam Paramitha.
C, 2018).
f. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya ada keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung seperti
hipertensi, miokard infark, arteriosklerosis, diaetes melitus atau penyakit
jantung iskemik lainnya (Mutaqim, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018).
g. Pola fungsi keperawatan
Menurut (Mutaqim, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018) pola fungsi
perawat yang ada pada pasien STEMI adalah:
1) Pola presepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien STEMI biasanya mengalami perubahan / gangguan pada
personal hygine, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAK dan
BAB. Biasanya pada pasien STEMI, ganti pakaian, BAB dan BAK
dibantu oleh perawat dan keluarga.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Biasnya pada pola nutrisi dan metaolisme menggunakan diit jantung
1, 2 dan 3 tergantung tingkat keparahan penyakit. Biasanya pasien
juga diikuti dengan mual muntah.
3) Pola eliminasi
Biasaya pada pasien tidak mengalami kesulitan eliminasi yang berarti.

4) Pola istirahat dan tidur

Biasanya pada pasien STEMI akan mengalami perubahan pola tidur


karena nyeri dan sering terbangun pada malam hari karena nyeri
tersebut dan istirahat mengalami nganggan yang disebabkan oleh
nyeri dan biasanya juga di iringi dengan sesak nafas.
5) Pola aktivitas
Biasanya pada pasien infark akan mengalami perubahan dalam
menjalani aktifitas sehari-hari, karena pasien jantung harus membatasi
gerak.
6) Pola presepsi dan konsep diri
Biasanya pada pasien infark akan mengalami presepsi diri yang positif
karena ia percaya bisa sembuh.
7) Pola hubungan peran
Biasanya pasien STEMI tidak akan mengalami perubahan peran.

8) Pola penanggulangan stres

Biasanya pasien dengan STEMI kuatir dan cemas terhadap


penyakitnya.
9) Pola reproduksi seksual
Biasanya pada pasien STEMI tidak mengalami masalah dalam pola
reproduksi seksual.
10) Pola tata nilai dan kepercayaan
Biasanya pasien STEMI tidak mengalami masalah pada penilaian
kepercayaannya.
h. Pemeriksaan keadaan umum dan pemeriksaan fisik

Menurut (Mutaqim, 2012 ; dalam Paramitha. C, 2018) pada


pemeriksaan keadaan umum pada pasien STEMI adalah sebagai
berikut:
Kadaan umum:

Tingkat kesadaran : biasnya pasien tampak baik / compos mentis dan


akan berubah sesuai tingkat gangguan yang melibatkan perfusi sistem
saraf pusat.
Tanda tanda vital (pemeriksaan dilakaukan Head to too )

1) Kepala : biasanya kepala tampak simetris kiri kanan,tidak ada


teraba pembengkakan
2) Muka :biasanya muka tanpak pucat, biasanya tampak
meringis karena nyeri dada.
3) Mata : biasanya konjungtiva tampak anemis karena
peredarahan darah ke mata berkurang
4) Hidung : biasanya tampak pernafasan cuping hidung

5) Bibir : biasanya bibir tampak pucat

6) Telinga : biasanya telinga tampak simetris dan bersih


7) Leher : bisanya leher tampak tidak ada pembekakan kelenjer
tiroid dan kelenjer getah bening.
8) Thorak : I : biasanya tampak simetris kiri kanan, tidak ada
menggunakan otot bantu pernafasan,tidak ada retraksi
dinding dada dan tidak ada lesi.
PA : biasanya fremitus kiri dan kanan sama,tidak ada
nyeri tekan.
PE : biasanya sonor disemua lapang paru
A : biasanya bunyi nafas vesikuler disemua lapangan
paru,tidak ada bunyi suara nafas tambahan (wheezing
dan ronchi)
9) Jantung: I : biasanya tidak tampak iktus kordis.
PA : biasanya iktus kordis tidak teraba
PE : batas jantung kanan atas : RIC II linea para
sternalis dextra,kanan bawah : RIC IV linea para
sternalis dextra,kiri atas : RIC II linea para sternalis
sinistra,kiri bawah : RIC V mid aksila.
A : bunyi jantung teratur(regular),suara tambahan
(mur-mur jantung) tidak ada.
10) Abdomen : I : biasanya tampak abdomen tidak
ada asites dan lesi.
PE : biasanya saat di perkusi terdengar timpani
PA : biasanya tidak teraba massa,tidak teraba
pembesaran hepar danlimpa
A : saat di auskultasi terdengar bising usus normal

11) Genitalia : biasanya pada bagian genetalia


tidak tampak ada masalah.
12) ekstremitas secara keseluruhan tidak ada masalah.
i. Pemeriksaan diagnostik

I. EKG

Biasanya pada fase hiperakut (beberapa jam permulaan serangan)


dapat ditemukan: elevasi yang curam dari segmen ST, gelombang T
yang tinggi dan melebar, VAT memanjang dan gelombang Q tampak.
Pada fase perkembangan penuh (1-2 hari kemudian) dapat ditemukan:
gelombang Q patologis, elevasi segmen ST yang cembung dan ke
atas, serta gelombang T yang terbalik. Pada fase resolusi (beberapa
minggu atau beberapa bulan kemudian) dapat detemukan: gelombang
Q patologis tetap ada, segmen ST mungkin sudah kembali ke garis
isoelektrik dan gelombang T sudah kembali normal (Nuraif, 2016 ;
dalam Paramitha. C, 2018).

II. Laboratorium

Menurut (Udjiati, 2011 ; dalam Paramitha. C, 2018) biasanya adanya


perubahan kadar kardiak isoenzim yang di alami oleh pasien STEMI
dalah sebagai berikut:
i. Creatinin Phosphokinase ( CPK)
Biasanya Kadar CPK meningkat dalam 2-6 jam pasca serangan dan
mencapai kadar puncak pada 24 jam pasca serangan pertama.
Kadar CPK akan menurun setelah hari ke 2-3. Enzim ini dihasilkan
oleh otak, otot rangka, dan otot jantung. Enzim yang khusus
dilepasakan oleh miokard ketika mengalami injuri adalah CK-MB.
Kadar CKMB meningkat 2-3 jam pasca seranga dan mencapai
puncak pada 12 jam pasca seragan. Kadarnya menurun setelah 24
jam pasca serangan.
ii. Cardiak troponin
Biasanya kardar kardiak tronponinT meningkat 3-6 jam pasca
serangan dan tetap tinggi selama 14-21 hari. Kadar kardiak
troponin I meningkat 7-14 jam pasca serangan dan tetap tinggi
selama 5- 7 hari pasca serangan.
iii. Serum Glutamin Oxaloacetic Transaminase (SGOT) Biasanya
kadar SGOT terdeteksi selama 8 jam pasca serangan. Kadarnya
meningkat hingga 24–48 jam pasca serangan dan menurun pada
hari ke 3-4. Oleh karena itu kadar SGOT harus diperiksa pada
24, 48 dan 72 jam serangan.
iv. Laktat Dehidrokinase
Biasanya kadar LDH menigkat pada hari ke 2-3 kemudian normal
kembali pada hari ke 5-6.
2. Diagnosis Keperawatan

Diagnosa keperawatan menurut (NANDA 2015 ; dalam Paramitha. C, 2018)


adalah :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (iskemik)

b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan nyeri, keletihan


c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas

d. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan


kebutuhan oksigen
e. Keletihan berhubungan dengan keletihan fisik

f. Ansietas berubungan dengan ancaman status terkini

g. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

h. Resiko syok

i. Resiko penurunan perfusi jaringan jantung

j. Resiko jatuh
3. Intervensi Keperawatan

Intervensi Keperawatan menurut (SDKI, 2017), SLKI, 2019), (SIKI, 2018)


Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri Akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
D.0077 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24
Observasi:
jam diharapkan tingkat nyeri menurun
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Pengertian : Kriteria Hasil:
Pengalaman sensorik Memburu Cukup Sedang Cukup Membai frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
atau emosional yang k Membur Membai k
berkaitan dengan uk k
1 Frekuensi nadi
kerusakan jaringan
  1 2 3 4 5
aktual atau fungsional, 2 Pola nafas
  1 2 3 4 5
dengan onset
Meningka Cukup Sedan Cukup Menurun
mendadak atau lambat
t Meningk g Menuru
dan berintensitas
at n
ringan hingga berat 3 Keluhan nyeri
  1 2 3 4 5
yang berlangsung
4 Meringis
kurang dari 3 bulan.   1 2 3 4 5
5 Gelisah
1 2 3 4 5
6 Kesulitan tidur
1 2 3 4 5
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Pola nafas tidak Pola Napas Pemantauan Respirasi
efektif Observasi:
D.0005 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24
a. Monitor pola nafas, monitor saturasi
jam inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberikan
oksigen
ventilasi adekuat membaik .
b. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
Pengertian : Kriteria Hasil:
Inspirasi dan/atau Menurun Cukup Sedang Cukup Meningk upaya napas
ekspirisasi yang Menurun Meningk at c. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
tidak memberikan at Terapeutik
1 Dipsnea
ventilasi adekuat a. Atur Interval pemantauan respirasi sesuai
  1 2 3 4 5
2 Penggunaan otot bantu napas kondisi pasien
  1 2 3 4 5
Edukasi
Memburu Cukup Sedan Cukup Membai
k Membur g Membai k
uk k
3 Frekuensi napas
  1 2 3 4 5
4 Kedalaman napas
  1 2 3 4 5
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Penurunan Curah Curah Jantung Perawatan Jantung
Jantung Observasi:
D.0008 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24
a. Identifikasi tanda/gejala primer penurunan
jam diharapkan Ketidakadekuatan jantung memompa
curah jantung
darah meningkat
b. Identifikasi tanda/gejala sekunder
Pengertian : Kriteria Hasil:
Ketidakadekuatan Memburu Cukup Sedang Cukup Menuru penurunan curah jantung
jantung memompa k Membur Menuru n
darah untuk memenuhi uk n
1 Tekanan Darah
kebutuhan
  1 2 3 4 5
metabolisme tubuh 2 CRT
  1 2 3 4 5
Meningka Cukup Sedan Cukup Menurun
t Meningk g Menuru
at n
3 Palpitasi
  1 2 3 4 5
4 Distensi Vena Jugularis
  1 2 3 4 5
5 Gambaran EKG Aritmia
1 2 3 4 5
6 Lelah
1 2 3 4 5
DAFTAR PUSTAKA

Paramitha, Chlara. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Pasien STEMI di Ruang


CVCU RSUP Dr. M. Djamil Padang. Politeknik Kesehatan Kemenkes
Padang. Padang. 2018. Tersedia dalam URL : www.pustaka.poltekkes-
pdg.ac.id

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI

Anda mungkin juga menyukai