3. Faktor resiko
Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur antara lain dapat berasal dari
kondisi biologis maupun akibat aktivitas (Black & Hawks, 2014). Faktor biologis ini
dapat berupa osteopenia (misalnya karena penggunaan steroid) atau osteogenesis
imperfekta (penyakit kongenital tulang yang dicirikan oleh gangguan produksi
kolagen oleh osteoblas). Ini dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh dan patah.
Faktor lainnya yang dapat berpengaruh adalah neoplasma dan berperan pada fraktur.
Kehilangan esterogen pascamenopause juga menyebabkan penurunan massa tulang
serta meningkatkan resiko fraktur. Bagi beberapa orang yang sehat dan tidak
mengalami faktor yang beresiko pada fraktur, aktivitas hobi yang beresiko tingi atau
aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan menjadi salah satu faktor predisposisi.
4. Etiologi
Etiologi fraktur, diantaranya (Hamblen & Simpson, 2007):
a. Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada
tempat terkenanya benturan.
b. Fragility fraktur, yaitu fraktur yang terjadi karena kelemahan tulang,
biasanyanya pada lanjut usia yang mengalami osteoporosis.
c. Kelemahan/stress fraktur, yaitu fraktur yang terjadi bukan karena satu kali
trauma, tetapi karena stress tulang yang terjadi berulang-ulang, biasanya terjadi
pada atlit. Fraktur ini dimulai dari kerusakan-kerusakan kecil, dan berakumulasi
dan berkembang menjadi fraktur komplit.
d. Fraktur patologi, fraktur yang terjadi karena tulang yang lemah akibat suatu
proses penyakit misalnya kanker, riketsia, spiondilitis TB.
5. Penyembuhan Tulang
Tulang merupakan salah satu jaringan tubuh manusia yang sapat sembuh melalui
regenerasi. Perbaikan fraktur terjadi melalui proses yang sama dengan pembentukan
tulang saat fase pertumbuhan normal dengan mineralisasi dan matriks tulang baru
yang kemudian diikuti oleh remodelisasi menuju tulang matur.
C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari fraktur adalah sebagai berikut (Black& Hawks, 2014).
1. Deformitas
Pembengkakan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional,
atau angulasi.
2. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi
fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3. Memar (ekimosis)
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur
4. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih
lanjut dari fragmen fraktur
5. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengringi fraktur. Nyeri
biasanya terus menerus, meningkat jika fraktur tidak diimobilisasi. Hal ini terjadi
karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan, atau cedera pada struktur
sekitarnya.
6. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskular terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular
yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba
nadi pada daerah distal dari fraktur.
7. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi
dapat menyebabkan syok.
D. Patofisiologi (WOC/mindmap)
E. Komplikasi
Komplikasi dari fraktur adalah sebagai berikut (Black & Hawks, 2014).
1. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Perhatikan jika ada pucat dan tungkai klien yang teraba
sakit dingin, perubahan kemampuan klien untuk menggerakkan bagian distal
tubuhnya, parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat. Hal ini merupakan
tanda dan gejala dari sindrom kompartemen yang berpengaruh pada persarafan klien.
2. Sindroma kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan
dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas.
Sindrom ini terjadi disebabkan oleh faktor eksternal (contohnya kompresi dari gips
yang terlalu ketat) atau faktor internal (contohnya perdarahan dan edema). Sindrom
ini dapat terjadi dimana saja namun lebih sering terjadi di tungkai bawah atau lengan.
Edema yang terjadi sebagai respon terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan
tekanan kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai darah
lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka terjadi iskemia.
Iskemia yang berkelanjutan akan mengakibatkan pelepasan histamine oleh otot-otot
yang terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut.
Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolism anaerob dan
peningkatan aliran darah, hingga kemudian meningkatkan tekanan jaringan. Hal
tersebut yang membuat adanya peningkatan tekanan pada kompartemen.
Sensasi kesemutan atau rasa terbakar (parestesia) pada otot dapat juga ditemukan pada
sindrom ini. Otot terasa ketat atau penuh. Jika area menjadi kebas atau lumpuh,
kematian sel pun telah dimulai dan usaha untuk menurunkan tekanan dalam
kompartemen mungkin tidak dapat mengembalikan fungsinya seperti semula.
Terapi awal pada sindrom ini adalah menghilangkan sumber tekanan. Tungkai yang
terkenan harus dijaga berada setinggi jantung karena menaikkan diatas jantung akan
mengurangi perfusi arteri lokal, dengan tujuan untuk mengurangi aliran darah.
Pemberian kompres dingin harus dihindarkan pada yang diduga mengalami sindrom
ini karena hak ini dapat menyebabkan vasokontriksi yang membuat terganggunya
sirkulasi. Hidrasi yang cukup merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga
tekanan MAP (mean arterial blood atau tekanan darah rata-rata arteri). Nyeri juga
harus ditangani untuk menurunkan efek vasokontriktif dari sistem saraf simpatis.
Tindakan fasiotomi akan dilakukan jika pengurangan tekanan eksternal tidak cukup
menahan kenaikan tekanan kompartemen. Insisi kulit ke dalam fasia dari otot
kompartemen akan membantu ekspansi jaringan dan mengembalikan aliran darah
dengan mengurangi tekanan pada mikro-sirkulasi. Insisi ini umumnya dibiarkan
terbuka hingga bengkak berkurang, area ini dibungkus longgar dengan perban dan
dibiarkan beberapa hari.
3. Kontraktur Volkmann
Kontraktur Volkmann adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma kompartemen
yang tidak tertangani. Tekanan terus menerus yang mengakibatkan iskemia membuat
otot secara perlahan digantikan dengan jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan
saraf. Pada tungkai atas, kontarktur Volkmann umumnya terjadi setelah fraktur pada
siku dan lengan bawah atau setelah cedera remuk pada lengan bawah atau karena gips
atau perban elastis yang terlalu ketat. Gangguan tersebut dapat menyebabkan
deformitas tangan dan lengan yang secara permanen kakku dan terbentuk seperti
cakar (claw). Kontraktur dpaat dihindari dengan pengenalan dini dari manifestasi
sindroma kompartemen, diikuti oleh pembidaian tungkai dan dekompresi
kompartemen.
4. Sindrom emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru, kecuali embolusnya adalah lemak dan
kondisi ini muncul pada klien dengan fraktur. Insiden 90% dari keseluruhan kasus
dari sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang yaitu femur,
tibia, tulang rusuk, fibula dan panggul (Black & Hawks, 2014). Emboli lemak
meingkatkan mortalitas setelah fraktur sebesar 10% hingga 20%.
Dua teori terjadinya emboli lemak yaitu teori mekanikal dan teori biokimia
(metabolik). Teori mekanikal menyatakan bahwa terdapat pelepasan globulus lemak
dari sumsum tulang belakang ke dalam sirkulasi vena setelah terjadi fraktur.
Sedangkan teori biokimia menyatakan bahwa trauma menyebabkan pelepasan asam
lemak dan lemak netral yang tersimpan. Selanjutnya terjadi agregasi platelet dan
pembentukan globulus lemak. Pada kenyataannya proses dari patofisiologi emboli
lemak belum diketahui.
Manifestasi awal terjadi umumnya 24 sampai 72 jam setelah cedera yaitu takikardia
persisten, takipnea yang tidak jelas penyebabnya, dispnea, dan hipoksia yang terjadi
karena abnormalitas ventilasi perfusi. Klien dapat mengalami demam tinggi dengan
kenaikan tiap harinya. Petekie merah-kecoklatan yang tidal terpalpasi akan terjadi di
seluruh tubuh bagian atas, terutama di ketiak, dalam 24 hingga 36 jam setelah cedera.
Delirium dan agitasi sering muncul dan dapat berlanjut menjadi stupor, kejang, atau
koma. Pencegahan dari emboli lemak ini dimulai dengan terapi fraktur tulang panjang
yang tepat, yaitu dengan pembidaian yang tepat dan fiksasi bedah segera setelah
dalam 24 hingga 48 jam.
5. Trombosis vena dalam dan emboli paru
Peningkatan risiko tinggi tombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru (PE) terjadi
karena stasis dari aliran darah vena, peningkatan koagulabilitas, dan cedera pada
pembuluh darah. Stasis darah meningkatkan waktu kontak antara darah dengan
ketidakteraturan dinding vena. Hal ini juga mencegah terbentuknya antikoagulan
alami yang terjadi pada saat pencampuran darah. Tirah baring terlalu lama dan
imobilitas juga mendorong terjadinya stasis. Trauma ortopedik sering kali melepas
bahan-bahan (seperti debris jaringan. Kolagen, atau lemak dalam vena) ke dalam
sirkulasi. Pencegahan DVT ini merupakan tujuan utama dari setiap tindakan yang
diberikan. Profilaksis penggumpalan direkomendasikan dengan menggunakan agen
farmakologis, seperti antikoagulan oral atau heparin. Beberapa alat fisik-mekanikal
seperti alat kompresi pneumatik intermiten atau stocking elastik dapat berperan dalam
pencegahan DVT.
6. Infeksi
Patogen dapat mengontaminasi fraktur terbuka saat terjadi cedera atau dapat masuk
saat prosedur bedah. Infeksi luka bedah pada masa pasca operasi biasanya diakibatkan
oleh Staphylococcus aureus atau Staphylococcus epidermidis. Infeksi parah juga
dapat terjadi yaitu seperti osteomilitis.
7. Sindroma gips
Sindroma gips atau sindroma arteri mesentrika superior terjadi hanya pada gips spika
badan. Duodenum tertekan di antar arteri mesentrika superior di bagian depan dan
aorta serta badan vertebral di bagian belakang. Hal ini menyebabkan penurunan aliran
darah, yang kemudian dapat menyebabkan perdarahan dan nekrosis dari usus.
Sindroma ini dapat terjadi beberapa hari hingga minggu setelah imobilisasi.
F. Pengkajian
Pengkajian awal berfokus pada manajemen jalan napas, perdarahan, jenis fraktur, dan
manifestasi syok. Pengkajian lain yang berhubungan dengan fraktur adalah pengkajian
sistem muskuloskeletal. Pengkajian sistem muskuloskeletal ini meliputi:
1. Riwayat
Data biografis dan demografis, keluhan utama (seperti nyeri, kaku sendi, perubahan
sensori, pembengkakan, ROM, dan tanda infeksi), dan tinjauan sistem informasi
(riwayat medis, riwayat operasi, riwayat alergi, medikasi, kebiasaan diet, riwayat
sosisal dan riwayat keluarga).
2. Pemeriksaan fisik
Menurut Lillyman & Saxon (2011) pengkajian yang dapat dilakukan pada klien
yang mengalami fraktur yaitu dengan cara:
a. Look (inspeksi)
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien sebelum fokus pada keluhan utama.
Selalu membandingkan dengan ekstremitas kontralateral. Lihatlah ekstremitas
bagian atas dan bawah. Carilah pengecilan otot, bekas luka atau kemerahan,
kesimetrisan dan keselarasan dan kelainan bentuk tulang.
b. Feel (Palpasi)
Rasakan ektremitas (ada rasa hangat atau tidak), tulang, nodul, nyeri jaringan
lunak, krepitus atau retak suara terdengar di sendi lutut pada gerakan, biasanya
terdengar ketika lutut dibengkokkan dan diluruskan). Sekali lagi
membandingkannya dengan ekstremitas yang berlawanan.
c. Move and Power (Pergerakan dan Kekuatan Otot)
- Kekuatan Otot
Kaji kekuatan otot 0,1,2,3,4,5
- Pergerakan (Move)
Menggerakkan ekstremitas dan di catat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan (ROM). Pergerakan sendi di catat, abduksi, adduksi, ektensi,
fleksi dsb
Selain itu, pengkajian yang dapat dilakukan pada klien yang mengalami fraktur yaitu
(Doengoes, Moorhouse, & Murr, 2010) :
a. Aktivitas/ istirahat
Tanda: Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera karena fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari
pembengkakan, nyeri).
b. Sirkulasi
Tanda: Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap
nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah); Takikardi (respon stres,
hipovolemia); Penurunan ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian
kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena; Pembengkakan jaringan atau
massa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
Gejala: hilang gerakan/ sensasi, spasme otot, kebas/ kesemutan (parestesis).
Tanda: Deformitas lokal; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi,
spasme otot, terlihat kelemahan/ kehilangan fungsi, agitasi (berhubungan
dengan nyeri/ ansietas atau trauma lain).
Pengkajian neurovaskuler denganmelakukan pemeriksaan pada daerah distal
ektremitas yang terkena trauma. Komponen terdiri dari 6P:
- Pain (Nyeri)
- Pulseless (Tidak ada pulsasi)
- Pallor (Pucat)
- Parasthesias (Rasa kesemutan, terbakar atau mati rasa)
- Paralysis (Kelumpuhan)
- Pressure (Tekanan/terasa tegang)
d. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (terlokalisasi ada area jaringan/
kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi). Tak ada nyeri akibat
kerusakan syaraf. Spasme/ kram otot
e. Keamanan
Tanda: Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna;
Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba- tiba).
f. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala: Lingkungan cedera
H. Prioritas diagosis
1. Nyeri (akut) b.d spasme otot; gerakan fragmen tulang, edema, dan cedera pada
jaringan lunak; alat traksi/imobilisasi; stres, ansietas
2. Kerusakan integritas kulit b.d fraktur terbuka; bedah perbaikan; pemasangan traksi
pen, kawat, sekrup; perubahan sensasi, sirkulasi
3. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan muskuloskeletal; terapi restriktif/imobilisasi
tungkai
4. Risiko infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan tubuh primer; ketidakadekuatan
pertahanan tubuh sekunder; prosedur invasif; traksi tulang
I. Rencana asuhan keperawatan (NCP)
Diagnosa
No Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan
1 Nyeri (akut) b.d Nyeri hilang Mandiri
Spasme otot atau a. Pertahankan imobilisasi a. Menghilangkan nyeri dan
J. Treatment/ pengobatan
Tujuan dari manajemen medis adalah pengkajian yang segera dan menyeluruh pada klien
untuk mengetahui semua cedera yang ada, reduksi dan stabilisasi fraktur dengan
imobilisasi, pengamatan terhadap komplikasi, remobilisasi, serta rehabilitasi (Black &
Hawks, 2014). Pengkajian awal dilakukan dengan berfokus pada manajemen jalan napas,
perdarahan, dan manifestasi syok. Klien yang sampai di UGD perlu dilakukan
monitoring tanda-tanda vital dan kondisi neurologis. Perdarahan ekstensif dapat terjadi
bahkan pada fraktur tertutup, yaitu hilangnya suplai darah ke area fraktur dapat
meyebabkan daerah nekrosis tulang. Pada fraktur dengan pergeseran tulang, dapat terjadi
hematoma pada jaringan lunak sebagai akibat dari cedera pembuluh darah. Infeksi
jarinngan lunak memiliki risiko tinggi pada fraktur, sehingga terapi antibiotik harus
dimulai segera setelah cedera.
Penatalaksanaan
1. Reduksi
Reduksi atau manipulasi adalah upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimum. Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi
terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Reduksi fraktur sesegera mungkin
dilakukan untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan.
2. Imobilisasi
Indikasi dari imobilisasi, diantaranya:
- Untuk mencegah kesalahan tempat atau angulasi dari fragmen.
- Untuk mencegah pergeseran yang mempengaruhi penyatuan tulang.
- Untuk mengurangi nyeri.
Immobilisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimum. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Sedangkan untuk
fiksasi interna dapat digunakan implan logam yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna ataupun interna biasanya
dikenal dengan pemasangan OREF dan ORIF.
- OREF (Open Reduction and External Fixation) adalah reduksi terbuka dengan
fiksasi eksternal di mana prinsipnya tulang ditransfiksasikan di atas dan di
bawah fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian proksimal dan distal
kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain. Fiksasi
eksternal memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur
atau remuk).
- ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan
dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi
ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan
tidak mengalami pergeseran.
3. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk menghindari atropi dan kontraktur dengan
fisioterapi. Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan
atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Rehabilitasi ini dilakukan dengan
cara gerak aktif menggunakan ekstremitas yang terkena fraktur dan aktivitas
latihan (Hamblen & Simpson, 2007).
Referensi:
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Buku 1.
(Terjemahan Indonesia). Singapore: Elsevier Inc
Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk
perancanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8. Jakarta : EGC
Hamblen, D. L., & Simpson, A. H. R. W. (2007). Adams’s outline of fractures: Including
joint injuriest. USA: Elsevier.
Lillyman, S & Saxon, A. (2011). Developing advanced assessment skills: patients with long
term conditions. London: M&K Publishing.
Smeltzer, S. C. and Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8 Vol.1. Jakarta: EGC.