Anda di halaman 1dari 23

A.

Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi Tulang Femur
Sebagian besar tulang panjang dapat ditemukan pada ekstremitas atas dan bawah.
Humerus, radius, ulna, femur, tibia, fibula, dan falang merupakan contoh dari tulang
panjang. Tulang panjang memilki dua bagian, yaitu diafisis (batang) dan epifisis
(ujung). Matriks tulangnya tersusun dari unsur organik (seperti kolagen dan garam)
dan anorganik. Tulang dibungkus oleh membran periosteum dan endosteum.
Periosteum merupakan membran yang membungkus seluruh permukaan luar tulang,
kecuali sendi, sedangkan endosteum yang melapisi rongga sumsum tulang. Jika
dilihat secara mikroskopik, tulang terdiri dari beberapa sel, antara lain:
a. Osteogenik/ Osteoid
Sel induk yang memilki daya mitosis untuk berkembang menjadi tulang dewasa
b. Osteoblast
Sel pembentuk tulang yang ditemukan di permukaan tulang
c. Osteosit
Sel tulang dewasa yang ditemukan dalam matriks tulang
d. Osteoklast
Sel pemakan tulang yang mengabsorpsi sel-sel tulang yang rusak, sehingga
tulang dapat tumbuh, memperbaiki diri dan merubah bentuknya.

Gambar 1. Anatomi Tulang Panjan


Tulang femur merupakan tulang panjang dari bagian paha. Ujung tulangnya
berbentuk bulat dan tersusun atas tulang rawan disebut epifisis. Pada anak-anak,
epifisis merupakan daerah pertumbuhan logitudinal dan akan berhenti pada tulang
dewasa. Bagian epifisis langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang yang
bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan tulang memanjang berhenti.
Metafisis adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini
terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa atau tulang berongga
yang mengandung sel-sel hematopoetik. Terdapat juga sumsum tulang yang terdiri
dari pembuluh darah dan pembuluh saraf. Tulang panjang memiliki dua sumsum
tulang, yaitu sumsum merah dan sumsum kuning. Tempat sel darah merah dibentuk
berada dalam sumsum merah, sedangkan tempat pembentukan sel-sel lemak terdapat
pada sumsum kuning. Pada anak-anak sumsum merah mengisi sebagian besar
bagian dalam tulang panjang, tetapi kemudian diganti oleh sumsum kuning sejalan
dengan semakin dewasa. Pada orang dewasa, aktivitas hematopoetik menjadi
terbatas hanya pada sternum dan krista iliaka, walaupun tulang yang lain masih
berpotensi untuk aktif lagi bila diperlukan. Diafisis atau batang adalah bagian tengah
tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang
memiliki kekuatan yang besar.
Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang
mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses
pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang memiliki
arteria nutrisi khusus. Lokasi dan keutuhan dari arteri-arteri inilah yang menentukan
berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah.
2. Fisiologi
Tulang berfungsi untuk memberikan bentuk pada tubuh, mendukung berbagai jenis
jaringan, melindungi organ dalam tubuh, dan membuat pergerakan dengan
memberikan perlekatan bagi tendon dan otot (Black & Hawks, 2014). Tulang
merupakan rumah untuk jaringan hematopoietik, yang menghasilkan sel-sel darah.
Pada individu dewasa, sel-sel darah dibentuk di rongga sumsum pada tengkorak,
tulang belakang, rusuk, sternum, bahu, dan pelvis. Tulang juga berperan dalam
keseimbangan mineral dengan menyimpan kalsium, fosfor, sodium, kalium, dan
mineral lainnya.

Proses pergantian tulang (remodeling) merupakan proses untuk mempertahankan


keseimbangan kalsium dalam tubuh. Sekitar 15% dari total massa tulang mengalami
pergantian tiap tahunnya melalui tiga fase (Black & Hawks, 2014). Tiga fase proses
pergantian tulang tersebut yaitu:
a. Fase 1  merupakan fase siklus dimulai ketika stimulus (hormon, obat, atau
stresor) mengaktivasi prekursol sel tulang untuk menjadi osteoklas.
b. Fase 2  merupakan fase dimana osteoklas secara bertahap menyerap tulang
dan menyisakan selah yang memanjang (celah resopso).
c. Fase 3  merupakan fase dimana tulang baru diproduksi oleh osteoblas.
Osteoblas ini akan mengikuti alur dari osteoklas untuk membentuk sistem
haversian atau trabekulae (osteon) yang baru.

B. Definisi, faktor resiko, dan etiologi penyakit


1. Definisi
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang terjadi karena
adanya tekanan pada tulang yang melebihi absorpsi tulang, terjadi ketika tekanan
yang berlebihan mengenai tulang dan tidak bisa diredam (Smeltzer, Burke, Hinkle,
& Cheever, 2010). Fraktur dapat menimbulkan cedera jaringan lunak sekitarnya
seperti kulit, jaringan subkutan, otot, pembuluh darah, syaraf, ligamen, dan tendon
(Black & Hawks, 2014). Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya
meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer,
Burke, Hinkle, & Cheever, 2010). Fraktur dapat memengaruhi jaringan sekitarnya
cedera, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi,
dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah akibat
gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Smeltzer, Burke,
Hinkle, & Cheever, 2010).
2. Klasifikasi Fraktur
a. Klasifikasi berdasarkan luas fraktur
1) Fraktur komplit: patah dari seluruh garis
tengah tulang, biasanya mengalami
pergeseran (bergeser dari posisi normal) dan
tulang menjadi dua bagian yang terpisah.
2) Fraktur inkomplit: patahnya terjadi di
sebagian garis tengah tulang.
b. Klasifikasi berdasarkan luas kerusakan jaringan
lunak sekitar
1) Fraktur terbuka (compound fraktur) merupakan fraktur dengan luka pada
kulit atau membrane mukosa sampai patahan tulang dan adanya luka
eksternal. Fraktur terbuka ini digradasi menjadi:
 Grade I: luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, trauma dan
kerusakan kulit minimal.
 Grade II: luka bersih luas tanpa kerusakan jaringan lunak ekstensif.
Adanya luka memar pada kulit dan otot.
 Grade III: yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif, merupakan yang paling berat. Kerusakan
meliputi kulit, otot, saraf, pembuluh darah, diameter luka lebih dari 6-8
cm.
2) Fraktur tertutup (simple fraktur): fraktur tidak melukai jaringan kulit dan
tidak terlihat adanya luka (tidak merobek jaringan kulit).

c. Klasifikasi berdasarkan pergeseran anatomis fragmen tulang (fraktur bergeser


atau tidak bergeser)
1) Greenstick: fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedangkan sisi
lainnya membengkok.
2) Tranversal: suatu fraktur yang melintang pada tulang (fraktur sepanjang
garis tengah tulang) merupakan akibat dari trauma langsung.
3) Oblik: yaitu fraktur yang membentuk sudut dengan garis tengah tulang
(lebih tidak stabil dibanding tranversal) akibat trauma langsung.
4) Spiral: suatu fraktur yang mengelilingi batang tulang, arah garis patahnya
berbentuk spiral yang disebabkan karena trauma rotasi
5) Impacted (Telescopic) atau kompresi: sebagian fragmen tulang menusuk
bagian fragmen yang lain.
6) Displaced: fragmen tulang terpisah dengan kesegarisan tulang lain

d. Klasifikasi berdasarkan jumlah dan garis patah/bentuk/konfigurasi


1) Fraktur kominutif: lebih dari satu garis fraktur, fragmen tulang pecah,
terpisah-pisah dalam berbagai serpihan.
2) Fraktur segmental: bila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan
satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh
dan keadaan ini perlu terapi bedah.
3) Fraktur multipel: garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang
berlainan tempatnya, seperti fraktur femur, cruris dan vertebra.

3. Faktor resiko
Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur antara lain dapat berasal dari
kondisi biologis maupun akibat aktivitas (Black & Hawks, 2014). Faktor biologis ini
dapat berupa osteopenia (misalnya karena penggunaan steroid) atau osteogenesis
imperfekta (penyakit kongenital tulang yang dicirikan oleh gangguan produksi
kolagen oleh osteoblas). Ini dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh dan patah.
Faktor lainnya yang dapat berpengaruh adalah neoplasma dan berperan pada fraktur.
Kehilangan esterogen pascamenopause juga menyebabkan penurunan massa tulang
serta meningkatkan resiko fraktur. Bagi beberapa orang yang sehat dan tidak
mengalami faktor yang beresiko pada fraktur, aktivitas hobi yang beresiko tingi atau
aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan menjadi salah satu faktor predisposisi.

4. Etiologi
Etiologi fraktur, diantaranya (Hamblen & Simpson, 2007):
a. Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada
tempat terkenanya benturan.
b. Fragility fraktur, yaitu fraktur yang terjadi karena kelemahan tulang,
biasanyanya pada lanjut usia yang mengalami osteoporosis.
c. Kelemahan/stress fraktur, yaitu fraktur yang terjadi bukan karena satu kali
trauma, tetapi karena stress tulang yang terjadi berulang-ulang, biasanya terjadi
pada atlit. Fraktur ini dimulai dari kerusakan-kerusakan kecil, dan berakumulasi
dan berkembang menjadi fraktur komplit.
d. Fraktur patologi, fraktur yang terjadi karena tulang yang lemah akibat suatu
proses penyakit misalnya kanker, riketsia, spiondilitis TB.

5. Penyembuhan Tulang
Tulang merupakan salah satu jaringan tubuh manusia yang sapat sembuh melalui
regenerasi. Perbaikan fraktur terjadi melalui proses yang sama dengan pembentukan
tulang saat fase pertumbuhan normal dengan mineralisasi dan matriks tulang baru
yang kemudian diikuti oleh remodelisasi menuju tulang matur.

Tabel 1. Tahap Penyembuhan Tulang (Black & Hawks, 2014)


Tahapan Penjelasan
Tahap I Pembentukan hematoma pada lokasi fraktur. Darah
Stadium hematoma membentuk gumapalan diantara fragmen fraktur,
atau stadium memberikan sedikit stabilisasi. Terjadi nekrosis pada
inflamatori tulang karena hilangnya suplai darah pada daerah yang
Waktu: 1-3 hari terluka dan akan meluas ke area yang mulai terbentuk
sirkulasi kolateral. Terjadi dilatasi vaskular sebagai respon
akumulasi sel-sel mati dan debris pada lokasi fraktur, serta
eksudat dari plasma kaya fibrin akan mendorong migrasi
dari sel-sel fagositik ke area cedera. Jika suplai vaskular
ke lokasi fraktur tidak cukup, penyembuhan tahap I
terganggu.
Tahap II Fibroblas, ostesoblas, dan kondroblas bermigrasi ke
Pembentukan daerah fraktur sebagai akibat dari inflamasi akut.
fibrokartilago Kemudian membentuk fibrokartilago,. Adanya hematoma
Tahapan Penjelasan
Waktu: 3 hari menjadi pondasi bagi penyembuhan tulang dan jaringan
sampai 2 minggu tahap II. Aktivitas osteoblas distimulasi oleh trauma
periosteal dan kemudian pembentukan tulang terjadi
dengan cepat. Periosteum terangkat jauh dari tulang.
Dalam beberapa hari kombinasi dari elevasi periosteum
dan pembentukan jaringan granulasi akan membentuk
sabuk di sekitar ujung dari tiap fragmen fraktur. Saat
sabuk tersebut berkembang akan terbentuk jembatan
diantara lokasi fraktur. Pembentuk jaringan fibrosa awal
ini kadang disebut sebagai kalus primer dan
mengakibatkan stabilitas fraktur.
Tahap III Jaringan granulasi matur menjadi jaringan kalus
Pembentukan kalus provisional (pro kalus) saat kartilago baru dan matriks
Waktu: 2-6 minggu tulang tersebar melalui kalus primer. Pro kalus besar dan
longgar dan biasanya lebih lebar dari tulang yang cedera.
Pro kalus mengikat fragmen-fragmen fraktur, meluas
hingga di luar lokasi fraktur agar dapat menjadi bidai,
walaupun tidak cukup kuat. Jika sel-sel terletak jauh dari
suplai darah dan tekanan oksigen cukup rendah, akan
terbentuk kartilago. Ketika kalsium terdeposit ke dalam
jaringan kolagen dari jaringan granulasi, tebentuk tulang
fibrosa. Kelurusan tulang yang baik penting selama tahap
III. Tahap ini sangat penting menentukan kesembuhan
klien. Jika terjadi perlambatan atau gangguan, maka dua
tahap berikutnya tidak dapat terjadi. Penyatuan menjadi
terhambat bahkan tidak terjadi penyatuan.
Tahap IV Kalus permanen dari tulang keras akan menyeberangi gap
Penulangan fraktur diantara periosteum dan korteks untuk bergabung
Waktu: 3 minggu dengan fragmen-fragmen. Selain itu, pembentukan kalus
sampai 6 bulan medularis akan terjadi di dalam untuk memastikan
keberlangsungan antara rongga-rongga sumsum. Tulang
trabekular akhirnya akan menggantikan kalus di sepanjang
Tahapan Penjelasan
garis tekanan. Penyatuan tulang dapat dikonfirmasi dengan
rontgen. Penahan beban pada fraktur tungkai bawah
seharusnya bebas nyeri setelah penyatuan tulang.
Tahap V Kalus yang tidak dibutuhkan akan diresorpsi atau dibuang
Konsolidasi dan dari lokasi penyembuhan tulang. Proses resorpsi dan
remodeling deposisi disepanjang garis tekanan akan memungkinkan
Waktu: 6 minggu tulang menahan beban yang diberikan padanya. Jumlah
sampai 1 tahun dan waktu remodeling bergantung pada stres yang
diberikan pada tulang yang dipengaruhi oleh otot, berat
badan, dan usia.

C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari fraktur adalah sebagai berikut (Black& Hawks, 2014).
1. Deformitas
Pembengkakan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional,
atau angulasi.
2. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi
fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3. Memar (ekimosis)
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur
4. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih
lanjut dari fragmen fraktur
5. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengringi fraktur. Nyeri
biasanya terus menerus, meningkat jika fraktur tidak diimobilisasi. Hal ini terjadi
karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan, atau cedera pada struktur
sekitarnya.
6. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskular terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular
yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba
nadi pada daerah distal dari fraktur.
7. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi
dapat menyebabkan syok.

D. Patofisiologi (WOC/mindmap)

E. Komplikasi
Komplikasi dari fraktur adalah sebagai berikut (Black & Hawks, 2014).
1. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Perhatikan jika ada pucat dan tungkai klien yang teraba
sakit dingin, perubahan kemampuan klien untuk menggerakkan bagian distal
tubuhnya, parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat. Hal ini merupakan
tanda dan gejala dari sindrom kompartemen yang berpengaruh pada persarafan klien.
2. Sindroma kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan
dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas.
Sindrom ini terjadi disebabkan oleh faktor eksternal (contohnya kompresi dari gips
yang terlalu ketat) atau faktor internal (contohnya perdarahan dan edema). Sindrom
ini dapat terjadi dimana saja namun lebih sering terjadi di tungkai bawah atau lengan.
Edema yang terjadi sebagai respon terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan
tekanan kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai darah
lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka terjadi iskemia.
Iskemia yang berkelanjutan akan mengakibatkan pelepasan histamine oleh otot-otot
yang terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut.
Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolism anaerob dan
peningkatan aliran darah, hingga kemudian meningkatkan tekanan jaringan. Hal
tersebut yang membuat adanya peningkatan tekanan pada kompartemen.
Sensasi kesemutan atau rasa terbakar (parestesia) pada otot dapat juga ditemukan pada
sindrom ini. Otot terasa ketat atau penuh. Jika area menjadi kebas atau lumpuh,
kematian sel pun telah dimulai dan usaha untuk menurunkan tekanan dalam
kompartemen mungkin tidak dapat mengembalikan fungsinya seperti semula.
Terapi awal pada sindrom ini adalah menghilangkan sumber tekanan. Tungkai yang
terkenan harus dijaga berada setinggi jantung karena menaikkan diatas jantung akan
mengurangi perfusi arteri lokal, dengan tujuan untuk mengurangi aliran darah.
Pemberian kompres dingin harus dihindarkan pada yang diduga mengalami sindrom
ini karena hak ini dapat menyebabkan vasokontriksi yang membuat terganggunya
sirkulasi. Hidrasi yang cukup merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga
tekanan MAP (mean arterial blood atau tekanan darah rata-rata arteri). Nyeri juga
harus ditangani untuk menurunkan efek vasokontriktif dari sistem saraf simpatis.
Tindakan fasiotomi akan dilakukan jika pengurangan tekanan eksternal tidak cukup
menahan kenaikan tekanan kompartemen. Insisi kulit ke dalam fasia dari otot
kompartemen akan membantu ekspansi jaringan dan mengembalikan aliran darah
dengan mengurangi tekanan pada mikro-sirkulasi. Insisi ini umumnya dibiarkan
terbuka hingga bengkak berkurang, area ini dibungkus longgar dengan perban dan
dibiarkan beberapa hari.
3. Kontraktur Volkmann
Kontraktur Volkmann adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma kompartemen
yang tidak tertangani. Tekanan terus menerus yang mengakibatkan iskemia membuat
otot secara perlahan digantikan dengan jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan
saraf. Pada tungkai atas, kontarktur Volkmann umumnya terjadi setelah fraktur pada
siku dan lengan bawah atau setelah cedera remuk pada lengan bawah atau karena gips
atau perban elastis yang terlalu ketat. Gangguan tersebut dapat menyebabkan
deformitas tangan dan lengan yang secara permanen kakku dan terbentuk seperti
cakar (claw). Kontraktur dpaat dihindari dengan pengenalan dini dari manifestasi
sindroma kompartemen, diikuti oleh pembidaian tungkai dan dekompresi
kompartemen.
4. Sindrom emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru, kecuali embolusnya adalah lemak dan
kondisi ini muncul pada klien dengan fraktur. Insiden 90% dari keseluruhan kasus
dari sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang yaitu femur,
tibia, tulang rusuk, fibula dan panggul (Black & Hawks, 2014). Emboli lemak
meingkatkan mortalitas setelah fraktur sebesar 10% hingga 20%.
Dua teori terjadinya emboli lemak yaitu teori mekanikal dan teori biokimia
(metabolik). Teori mekanikal menyatakan bahwa terdapat pelepasan globulus lemak
dari sumsum tulang belakang ke dalam sirkulasi vena setelah terjadi fraktur.
Sedangkan teori biokimia menyatakan bahwa trauma menyebabkan pelepasan asam
lemak dan lemak netral yang tersimpan. Selanjutnya terjadi agregasi platelet dan
pembentukan globulus lemak. Pada kenyataannya proses dari patofisiologi emboli
lemak belum diketahui.
Manifestasi awal terjadi umumnya 24 sampai 72 jam setelah cedera yaitu takikardia
persisten, takipnea yang tidak jelas penyebabnya, dispnea, dan hipoksia yang terjadi
karena abnormalitas ventilasi perfusi. Klien dapat mengalami demam tinggi dengan
kenaikan tiap harinya. Petekie merah-kecoklatan yang tidal terpalpasi akan terjadi di
seluruh tubuh bagian atas, terutama di ketiak, dalam 24 hingga 36 jam setelah cedera.
Delirium dan agitasi sering muncul dan dapat berlanjut menjadi stupor, kejang, atau
koma. Pencegahan dari emboli lemak ini dimulai dengan terapi fraktur tulang panjang
yang tepat, yaitu dengan pembidaian yang tepat dan fiksasi bedah segera setelah
dalam 24 hingga 48 jam.
5. Trombosis vena dalam dan emboli paru
Peningkatan risiko tinggi tombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru (PE) terjadi
karena stasis dari aliran darah vena, peningkatan koagulabilitas, dan cedera pada
pembuluh darah. Stasis darah meningkatkan waktu kontak antara darah dengan
ketidakteraturan dinding vena. Hal ini juga mencegah terbentuknya antikoagulan
alami yang terjadi pada saat pencampuran darah. Tirah baring terlalu lama dan
imobilitas juga mendorong terjadinya stasis. Trauma ortopedik sering kali melepas
bahan-bahan (seperti debris jaringan. Kolagen, atau lemak dalam vena) ke dalam
sirkulasi. Pencegahan DVT ini merupakan tujuan utama dari setiap tindakan yang
diberikan. Profilaksis penggumpalan direkomendasikan dengan menggunakan agen
farmakologis, seperti antikoagulan oral atau heparin. Beberapa alat fisik-mekanikal
seperti alat kompresi pneumatik intermiten atau stocking elastik dapat berperan dalam
pencegahan DVT.
6. Infeksi
Patogen dapat mengontaminasi fraktur terbuka saat terjadi cedera atau dapat masuk
saat prosedur bedah. Infeksi luka bedah pada masa pasca operasi biasanya diakibatkan
oleh Staphylococcus aureus atau Staphylococcus epidermidis. Infeksi parah juga
dapat terjadi yaitu seperti osteomilitis.
7. Sindroma gips
Sindroma gips atau sindroma arteri mesentrika superior terjadi hanya pada gips spika
badan. Duodenum tertekan di antar arteri mesentrika superior di bagian depan dan
aorta serta badan vertebral di bagian belakang. Hal ini menyebabkan penurunan aliran
darah, yang kemudian dapat menyebabkan perdarahan dan nekrosis dari usus.
Sindroma ini dapat terjadi beberapa hari hingga minggu setelah imobilisasi.

F. Pengkajian
Pengkajian awal berfokus pada manajemen jalan napas, perdarahan, jenis fraktur, dan
manifestasi syok. Pengkajian lain yang berhubungan dengan fraktur adalah pengkajian
sistem muskuloskeletal. Pengkajian sistem muskuloskeletal ini meliputi:
1. Riwayat
Data biografis dan demografis, keluhan utama (seperti nyeri, kaku sendi, perubahan
sensori, pembengkakan, ROM, dan tanda infeksi), dan tinjauan sistem informasi
(riwayat medis, riwayat operasi, riwayat alergi, medikasi, kebiasaan diet, riwayat
sosisal dan riwayat keluarga).
2. Pemeriksaan fisik
Menurut Lillyman & Saxon (2011) pengkajian yang dapat dilakukan pada klien
yang mengalami fraktur yaitu dengan cara:
a. Look (inspeksi)
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien sebelum fokus pada keluhan utama.
Selalu membandingkan dengan ekstremitas kontralateral. Lihatlah ekstremitas
bagian atas dan bawah. Carilah pengecilan otot, bekas luka atau kemerahan,
kesimetrisan dan keselarasan dan kelainan bentuk tulang.
b. Feel (Palpasi)
Rasakan ektremitas (ada rasa hangat atau tidak), tulang, nodul, nyeri jaringan
lunak, krepitus atau retak suara terdengar di sendi lutut pada gerakan, biasanya
terdengar ketika lutut dibengkokkan dan diluruskan). Sekali lagi
membandingkannya dengan ekstremitas yang berlawanan.
c. Move and Power (Pergerakan dan Kekuatan Otot)
- Kekuatan Otot
Kaji kekuatan otot 0,1,2,3,4,5
- Pergerakan (Move)
Menggerakkan ekstremitas dan di catat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan (ROM). Pergerakan sendi di catat, abduksi, adduksi, ektensi,
fleksi dsb

Selain itu, pengkajian yang dapat dilakukan pada klien yang mengalami fraktur yaitu
(Doengoes, Moorhouse, & Murr, 2010) :
a. Aktivitas/ istirahat
Tanda: Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera karena fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari
pembengkakan, nyeri).
b. Sirkulasi
Tanda: Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap
nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah); Takikardi (respon stres,
hipovolemia); Penurunan ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian
kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena; Pembengkakan jaringan atau
massa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
Gejala: hilang gerakan/ sensasi, spasme otot, kebas/ kesemutan (parestesis).
Tanda: Deformitas lokal; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi,
spasme otot, terlihat kelemahan/ kehilangan fungsi, agitasi (berhubungan
dengan nyeri/ ansietas atau trauma lain).
Pengkajian neurovaskuler denganmelakukan pemeriksaan pada daerah distal
ektremitas yang terkena trauma. Komponen terdiri dari 6P:
- Pain (Nyeri)
- Pulseless (Tidak ada pulsasi)
- Pallor (Pucat)
- Parasthesias (Rasa kesemutan, terbakar atau mati rasa)
- Paralysis (Kelumpuhan)
- Pressure (Tekanan/terasa tegang)
d. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (terlokalisasi ada area jaringan/
kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi). Tak ada nyeri akibat
kerusakan syaraf. Spasme/ kram otot
e. Keamanan
Tanda: Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna;
Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba- tiba).
f. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala: Lingkungan cedera

3. Pemeriksaan diagnostik (lab/radiologi)


Pemeriksaan penunjuang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa fraktur,
antara lain sebagai berikut (Doengoes, 2010):
a. Radiography examination: suatu alat yang pertama kali dapat menunjukkan
lokasi dan luas dari fraktur/trauma
Sebagai penunjang,pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan
sinar Rongent (Sinar-X). Untuk mendapatkan gambaran tiga dimensi dari
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, kita memerlukan dua proyeksi, yaitu
AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) jika ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena
adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan sinar-X harus atas dasar
indikasi kegunaan.
b. Scan tulang, tomografi, skan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur; juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram: Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap; Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma.
e. Kreatinin; Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi; Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
multiple, atau cidera hati.

G. Masalah keperawatan yang mungkin muncul


1. Resiko cedera
2. Nyeri akut
3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer
4. Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas
5. Gangguan mobilitas fisik
6. Kerusakan integritas kulit/ jaringan
7. Resiko tinggi terhadap infeksi
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan

H. Prioritas diagosis
1. Nyeri (akut) b.d spasme otot; gerakan fragmen tulang, edema, dan cedera pada
jaringan lunak; alat traksi/imobilisasi; stres, ansietas
2. Kerusakan integritas kulit b.d fraktur terbuka; bedah perbaikan; pemasangan traksi
pen, kawat, sekrup; perubahan sensasi, sirkulasi
3. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan muskuloskeletal; terapi restriktif/imobilisasi
tungkai
4. Risiko infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan tubuh primer; ketidakadekuatan
pertahanan tubuh sekunder; prosedur invasif; traksi tulang
I. Rencana asuhan keperawatan (NCP)
Diagnosa
No Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan
1 Nyeri (akut) b.d Nyeri hilang Mandiri
 Spasme otot atau a. Pertahankan imobilisasi a. Menghilangkan nyeri dan

 Gerakan terkontrol bagian yang sakit mencegah kesalahan posisi


fragmen Kriteria dengan tirah baring, tulang yang cedera
tulang, evaluasi: gips, pembebat, traksi b. Meningkatkan aliran balik

edema, dan  Klien b. Tinggikan dan vena, menurunkan edema dan


cedera pada tampak dukungan ekstrimitas meneurunkan nyeri
jaringan rileks dan yang terkena c. Dapat meningkatkan

lunak santai c. Hindari penggunaan ketidaknyamanan karena


 Alat  Klien sprei/bantal plastik peningkatan produksi padas
traksi/imobi mau dibawah ekstrimitas dalam gips yang kering
lisasi berpartisi dalm gips d. Mempertahankan kehangatan

 Stres, pasi d. Tinggikan penutup tubuh tanpa ketidaknyamanan

ansietas dalam tempat tidur, karena tekanan selimut pada


aktivitas/t pertahankan linen bagian yang sakit
idus/ terbuka pada ibu jari e. Mempengaruhi pilihan

istirahat kaki keefektifan intervensi. Tingkat


yang tepat e. Evaluasi keluhan intensitas dapat mempengaruhi
 Klien nyeri/ketidaknyamanan, persepsi reaksi terhadap nyeri
mampu perhatikan karakteristik, f. Membantu menghilangkan

mengguna lokasi, termasuk ansietas. Pasien dapat


kan intensitasnya (skala 0- merasakan kebutuhan untuk
ketrampil 10). Perhatikan menghilangkan pengalaman
an petunjuk nyeri non kecelakaan
relaksasi verbal (perubahan g. Mempertahankan

 Tanda- tanda-tanda vital dan kekuatan/mobilitas otot yang

tanda emosi) sakit dan memudahkan resolusi


vital f. Dorong pasien untuk inflamasi pada jaringan cedera
stabil mendiskusikan masalah h. Meningkatkan sirkulasi umum,
sehubungan dengan menurunkan area tekanan lokal
cedera dan kelelahan otot
g. Lakukan dan awasi i. Menfokuskan kembali
rentang gerak pasif/aktif perhatian, meningkatkan rasa
Diagnosa
No Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan
h. Berikan alternatif kontrol kemampuan koping
tindakan dalam manajemen nyeri untuk
ketidakmampuan periode lebih lama
(pijatan punggung, j. Mencegah kebosanan,
perubahan posisi) menurunkan ketegangan dan
i. Dorong menggunakan dapat meningkatkan kekuatan
teknik manajemen stres otot, dapat meningkatkan harga
(relaksasi, latihan nafas diri dan kemmapuan koping
dalam, imajinasi k. Dapat menandakan terjadinya
visualisasi, sentuhan komplikasi
terapeutik) l. Menurunkan edema/
j. Identifikasi aktifitas pembentukan hematom,
terapeutik yang tepat menurunkan sensasi nyeri
untuk usia pasien, m. Diberikan untuk menurunkan
kemampuan fisik dan nyeri dan atau spasme otot.
penampilan pribadi Penelitia toradol telah
k. Cek adanya keluhan diperbaiki lebih efektif dalam
nyeri yang tidak biasa menghilangkan nyeri tulang
atau tidak hilang dengan masa kerja lebih lama
dengan analgesik n. Pemberian rutin ADP
Kolaborasi mempertahankan kadar
l. Lakukan kompres analgetik darah adekuat,
dingin 24-48 jam mencegah fluktuasi dalam
pertama/ sesuai indikasi menghilangkan nyeri
m. Berikan obat sesuai sehubungan dengan tegangan
indikasi, narkotik, otot/spasme
relaksan otot
n. Awasi pemberian
analgetik yang dikontrol
pasien
Diagnosa
No Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan
.
Kerusakan Menpertahan Mandiri:
2
integritas kulit kan integritas a. Kaji kulit untuk luka a. Memberikan informasi tentang
Berhubungan
2 kulit dan terbuka, benda asing, sirkulasi kulit dan masalah
2 dengan: mukosa kemerahan, perdarahan, yang mungkin disebabkan oleh
cedera tusuk; Kriteria perubahan warna pada alat dan/atau pemasangan
fraktur terbuka; evaluasi: kulit. gips/bebat atau traksi, atau
bedah  Integritas b. Masase kulit dan pembentukan edema yang
perbaikan; kulit yang penonjolan tulang. membutuhkan intervensi medik
pemasangan baik dapat Pertahankan tempat lanjut.
traksi pen, dipertahan tidur kering dan bebas b. Menurunkan tekanan pada area
kawat, sekrup; kan kerutan. Tempatkan yang peka dan risiko
perubahan  Penyembu bantalan air/bantalan abrasi/kerusakan kulit.
sensasi, han luka lain bawah siku/tumit c. Mengurangi tekanan konstan
sirkulasi;  Tidak ada sesuai indikasi. pada area yang sama dan
Ditandai tanda- c. Ubah posisi dengan meminimalkan risiko
dengan: tanda sering. Dorong kerusakan kulit, Penggunaan
Data Subyektif: infeksi penggunaan trapeze bila trapeze dapat menurunkan
- Keluhan nyeri mungkin. abrasi pada siku/tumit.
Data Obyektif: d. Kaji posisi posisi fiksasi d. Posisi yang tak tepat dapat
- Luka eksternal menyebabkan cedera
Tertutup/ Kolaborasi: kulit/kerusakan.
terbuka e. Gunakan tempat tidur e. Karena imobilisasi bagian
- Fraktur busa, bantal apung, atau tubuh, tonjolan tulang lebih
- Kerusakan kasur udara sesuai dari area yang sakit oleh fiksasi
lapisan kulit indikasi. mungkin sakit karena
penurunan sirkulasi.
3. Gangguan Mobilitas Mandiri
mobilitas fisik fisik a. Kaji derajat mobilitas a. Pasien mungkin dibatasi oleh
b.d meningkat yang dihasikan oleh pandangan diri tentang
 Kerusakan secara cedera/pengobatan dan keterbatasan fisik aktual,
muskuloskel optimal perhatikan persepsi memerlukan informasi untuk
etal Kriteria pasien terhadap meningkatkan kemajuan
 nyeri/ketida evaluasi: imobilisasi kesehatan.
knyamanan  Kekuatan b. Instruksikan pasien b. Meningkatkan aliran darah ke
Diagnosa
No Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan
 Terapi otot untuk/bantu dalam otot dan tulnag untuk
restriktif/  Posisi rentang gerak pasif/aktif meningkatkan tonus otot,
imobilisasi anatomis pada ektrimitas yang mempertahankan gerak sendi,
tungkai pada sakit dan tidak sakit mencegah kontraktur/atropi
ektrimitas c. Dorong penggunaan dan resorpsi kalsium karena
yang latihan isometrik mulai tidak digunakan
cedera dengan tungkai yang c. Kontraksi otot isometrik tanpa

 Mampu tidak sakit menekuk sendi/menggerakkan


melakuka d. Bantu dorong untuk tungkai dan membantu
n perawatan diri mempertahankan kekuatan dan
aktivitas/ e. Berikan/bantu dalam masa otot. Cat. Kontra indikasi
ROM mobilisasi dengan kursi pada perdarahan akut dan
 Tanda roda, kruk, tongkat edema
vital stabil sesegera mungkin. d. Meningkatkan kekuatan

 Luka Instruksikan keamanan otot/sirkulasi, meningkatkan

membaik dalam penggunaan alat kontrol pasien dalam situasi


mobilitas dan meningkatkan kesehatan
f. Awasi TD dengan diri langsung
melakukan aktivitas e. Mobilsasi dini menurukan
perhatikan keluhan komplikasi tirah baring dan
pusing meningkatkan pengaturan dan
g. Ubah posisi secara normalisasi fungsi organ
periodik dan dorong f. Hipotensi postural adalah
untuk latihan masalah umum yang menyertai
batuk/nafas dalam tirah baring lama dan
h. Dorong masukan cairan memerlukan intervensi khusus
sampai 2000-3000 g. Mencegah/menurunkan insiden
cc/hari komplikasi kulit/pernapasan
Kolaborasi h. Mempertahankan hidrasi tubh,
i. Konsul dengan ahli menurunkan resiko infeksi
terapi fisik/okupasi dan urinarius, pembentukan batu
atau rehabilitasi medik dan konstipasi
j. Lakukan prigram i. Berguna dalam membuat
defikasi (pelunak feses, aktifitas individual paien dapat
Diagnosa
No Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan
enema laksatif) menentukan bantuan jangka
anjang dengan gerakan,
kekuatan dan aktifitas yang
mengandalkan BB dan juga
penggunaan alat
j. Dilakukan untuk meningkatkan
evaluasi usus
4 Resiko infeksi Perluasan/pe Mandiri a. Kemerahan/abrasi dapat
b.d nyebaran a. Inspeksi kulit untuk menimbulkan infeksi tulang
 Tidak infeksi tidak adanya luka b. Dapat mengindikasikan
adekuatnya terjadi b. Kaji peningkatan timbulnya infeksi
pertahanan Kriteria keluhan nyeri, adanya lokal/nekrosis jaringan yang
primer: evaluasi: edema, drainase/bau dapat menimbulkan
kerusakan  Luka tidak enak/asam osteomielitis
kulit, trauma membaik, c. Berikan perawatan luka c. Dapat mencegah kontaminasi
jaringan, pus tidak secra steril sesuai silang dan kemungkinan
terpajan pada ada, tidak protokol infeksi
lingkungan ada bau d. Observasi luka untuk d. Tanda perkiraan infeksi gas

 Prosedur dan pembentukan bula, gangren


invasif adanya krepitasi, perubahan e. Dapat mengindikasikan

 Traksi tulang pertumbu warna kulit kecoklatan, terjadinya osteomielitis


han bau drainase yang tidak f. Anemia dapat terjadi pada
jaringan/g enak osteomielitis, leukositosis
ranulasi e. Selidiki nyeri tiba- biasanya ada dengan proses
 Sekitar tiba/keterbatasan infeksi, Peningkatan
luka tidak gerakan dengan edema osteomielitis, mengidentifikasi
pucat, lokal/eritema ektrimitas organisme infeksi
edema cedera g. Antibiotik spektrum luas dapat

berkurang Kolaborasi digunakan secara


 Tidak ada f. Awasi pemeriksaan profilaksis/dapat ditunjukkan
demam laboratorimum pada mikroorganisme khusus

 Tanda - Hitung darah h. Debridement

vital stabil lengkap lokal/pembersihan luka

 Hb 13-16 - LED menurunkan mikroorganisme


Diagnosa
No Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan
g/dl - Kultur dan insiden infeksi sistemik
 Ht 40- g. Berikan obat sesuai i. Banyak prosedur dilakukan
48% indikasi pada pengobatan infeksi lokal,
 Lekosit - Antibiotik osteomielitis, gas gangren
5000- h. Berikan irigasi j. Sequestrektomi/pengangkatan

1000 luka/tulang tulang nekrotik perlu untuk


i. Bantu prosedur membantu penyembuhan dan
insisi/drainase, mencegah perluasan proses
pemasangan drain, infeksi
terapi O2 hiperbarik
j. Siapkan pembedahan
sesuai indikasi

J. Treatment/ pengobatan
Tujuan dari manajemen medis adalah pengkajian yang segera dan menyeluruh pada klien
untuk mengetahui semua cedera yang ada, reduksi dan stabilisasi fraktur dengan
imobilisasi, pengamatan terhadap komplikasi, remobilisasi, serta rehabilitasi (Black &
Hawks, 2014). Pengkajian awal dilakukan dengan berfokus pada manajemen jalan napas,
perdarahan, dan manifestasi syok. Klien yang sampai di UGD perlu dilakukan
monitoring tanda-tanda vital dan kondisi neurologis. Perdarahan ekstensif dapat terjadi
bahkan pada fraktur tertutup, yaitu hilangnya suplai darah ke area fraktur dapat
meyebabkan daerah nekrosis tulang. Pada fraktur dengan pergeseran tulang, dapat terjadi
hematoma pada jaringan lunak sebagai akibat dari cedera pembuluh darah. Infeksi
jarinngan lunak memiliki risiko tinggi pada fraktur, sehingga terapi antibiotik harus
dimulai segera setelah cedera.
Penatalaksanaan
1. Reduksi
Reduksi atau manipulasi adalah upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimum. Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi
terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Reduksi fraktur sesegera mungkin
dilakukan untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan.
2. Imobilisasi
Indikasi dari imobilisasi, diantaranya:
- Untuk mencegah kesalahan tempat atau angulasi dari fragmen.
- Untuk mencegah pergeseran yang mempengaruhi penyatuan tulang.
- Untuk mengurangi nyeri.
Immobilisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimum. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Sedangkan untuk
fiksasi interna dapat digunakan implan logam yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna ataupun interna biasanya
dikenal dengan pemasangan OREF dan ORIF.
- OREF (Open Reduction and External Fixation) adalah reduksi terbuka dengan
fiksasi eksternal di mana prinsipnya tulang ditransfiksasikan di atas dan di
bawah fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian proksimal dan distal
kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain. Fiksasi
eksternal memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur
atau remuk).
- ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan
dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi
ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan
tidak mengalami pergeseran.
3. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk menghindari atropi dan kontraktur dengan
fisioterapi. Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan
atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Rehabilitasi ini dilakukan dengan
cara gerak aktif menggunakan ekstremitas yang terkena fraktur dan aktivitas
latihan (Hamblen & Simpson, 2007).
Referensi:
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Buku 1.
(Terjemahan Indonesia). Singapore: Elsevier Inc
Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk
perancanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8. Jakarta : EGC
Hamblen, D. L., & Simpson, A. H. R. W. (2007). Adams’s outline of fractures: Including
joint injuriest. USA: Elsevier.
Lillyman, S & Saxon, A. (2011). Developing advanced assessment skills: patients with long
term conditions. London: M&K Publishing.
Smeltzer, S. C. and Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8 Vol.1. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai