“FRAKTUR “
DISUSUN OLEH :
Herlina yani
Hilman anggara R.D
Laura Augrivin .R
Lilianti Tangdiembon
Maria Krisnianti Pakanna
Meyske ferdani .A.
Ofrianti oktavia .E.
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.Yang mana berkat rahmatnya kami dapat
menyusun makalah ini dengan lancar.
Makalah ini merupakan makalah tentang ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN
DIAGNOSA PENYAKIT “FRAKTUR “. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan dan banyak kekurangannya, untuk itu kami mengharapkan kritik serta
saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini. Akhirnya makalah ini dapat
memberikan pemikiran serta kelancaran tugas kami selanjutnya dan dapat berguna bagi
semua pihak.
Penulis
BAB I
A. KDM
1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah gangguan dari konstinuitas yang normal dari suatu tulang (Freye et al.,
2019). Fraktur dapat terjadi di bagian ekstermitas atau anggota gerak tubuh yang
disebut fraktur ekstermitas(Astuti, 2018). Ektermitas terbagi menjadi dua yaitu fraktur
ektermitas atas misalnya tangan, lengan, siku, bahu, pergelangan tangan. Sedangnya
fraktur ekstermitas bawah misalnya pinggul, paha, kaki bagian bawah, pergelangan
kaki.
Fraktur biasanya menimbulkan pembengkakan, hilangnya fungsi normal, deformitas,
kemerahan, krepitasi dan rasa nyeri
2. Etiologi
Menurut (Astuti, 2018), hal-hal yang dapat menjadi faktor penyebab terjadinya fraktur
yaitu:
a) Fraktur traumatik, disebabkan karena adanya trauma ringan atau berat yang
mengenai tulang baik secara langsung mapun tidak
b) Fraktur stress, disebabkan karena tulang sering mengalami penekanan
c) Fraktur patologis, disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi patologis
penyakit yang akan menimbulkan fraktur
Menurut (Sholihah, 2018), fraktur dapat terjadi karena adanya kelebihan beban
mekanis pada suatu tulang, berikut beberapa penyebab dari fraktur adalah:
Tulang merupakan suatu jaringan yang tersusun atas osteoblast, osteosit, dan
osteoklas. Osteoblast menyusun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 dan
proteoglikan sebagai matriks tulang dan jaringan osteosit melalui proses osifikasi.
Saat sedang aktif menghasilkan osteosid, osteoblast mensekresikan sejumlah besar
fosfatase alkali, yang memegang peran penting dalam mengedepankan kalsium dan
fosfat ke dalam matriks tulang. Sebagian fosfatase alkali memasuki aliran darah,
maka kadar fosfatase alkali di dalam darah dapat menjadi indicator yang baik tentang
tingkat pembentukan tukang setelah mengalami patah tulang atau pada kasus
metastase kanker ke tulang.
Secara umum fungsi tulang menurut (Price and Wilson, 2006) adalah:
b. Fisiologi
Fungsi tulang adalah sebagai berikut : ( Arif Muttaqin,2008)
Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan
lunak.
Memberikan pergerakan (otat yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
Membentuk sel-sel darah merah di dalam sum-sum tulang belakang
(hematopoiesis). Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.
5. Patofisiologi
Trauma merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma karena kecelakaan
bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan rusak atau putusnya kontinuitas
jaringan tulang. Selain itu keadaan patologik tulang seperti Osteoporosis yang
menyebabkan densitas tulang menurun, tulang rapuh akibat ketidakseimbangan
homeostasis pergantian tulang dan kedua penyebab di atas dapat mengakibatkan
diskontinuitas jaringan tulang yang dapat merobek periosteum dimana pada dinding
kompartemen tulang tersebut terdapat saraf-saraf sehingga dapat timbul rasa nyeri yang
bertambah bila digerakkan. Fraktur dibagi 3 grade menurut kerusakan jaringan tulang.
Grade I menyebabkan kerusakan kulit, Grade II fraktur terbuka yang disertai dengan
kontusio kulit dan otot terjadi edema pada jaringan. Grade III kerusakan pada kulit, otot,
jaringan saraf dan pembuluh darah.
Pada grade I dan II kerusakan pada otot/jaringan lunak dapat menimbulkan nyeri
yang hebat karena ada spasme otot. Pada kerusakan jaringan yang luas pada kulit otot
periosteum dan sumsum tulang yang menyebabkan keluarnya sumsum kuning yang dapat
masuk ke dalam pembuluh darah sehingga mengakibatkan emboli lemak yang kemudian
dapat menyumbat pembuluh darah kecil dan dapat berakibat fatal apabila mengenai
organ-organ vital seperti otak jantung dan paru-paru, ginjal dan dapat menyebabkan
infeksi. Gejala sangat cepat biasanya terjadi 24 sampai 72 jam. Setelah cidera gambaran
khas berupa hipoksia, takipnea, takikardi. Peningkatan isi kompartemen otot karena
edema atau perdarahan, mengakibatkan kehilangan fungsi permanen, iskemik dan
nekrosis otot saraf sehingga menimbulkan kesemutan (baal), kulit pucat, nyeri dan
kelumpuhan. Bila terjadi perdarahan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan syok
hipovolemik. Tindakan pembedahan penting untuk mengembalikan fragmen yang hilang
kembali ke posisi semula dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Selain itu bila perubahan
susunan tulang dalam keadaan stabil atau beraturan maka akan lebih cepat terjadi proses
penyembuhan fraktur dapat dikembalikan sesuai letak anatominya dengan gips.
6. PATWAY
7. Manifestasi Klinik
Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat,
pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. Menurut Black dan Hawks (2014)
Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:
a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional,
atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas
yang nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi
fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih
lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri
biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena
spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya
fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi
dari cedera saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar
fragmen fraktur.
i. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vascular
yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi
pada daerah distal dari fraktur
j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi
dapat menyebabkan syok.
8. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imbolisasi dan pengembalian
fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi fraktur berarti
mengembalikan fragmen tulang pada kesesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode
untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup,traksi, dan reduksi
terbuka. Metode yang dipilih untuk reduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya.
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi
dan traksi manual. Selanjutnya traksi dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi
dan mobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Pada
fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah, fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau
batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisi
dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imbolisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi interna dan fiksasi eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontin, pin, dan teknik gips. Sedangkan implant logam
digunakan untuk fiksasi internaa.
1. Fraktur femur terbuka
Fraktur femur terbuka harus dinilai dengan cermat untuk mengetahui ada/ tidaknya
kehilangan kulit, kontaminasi luka, iskemia otot, dan cidera pada pembuluh darah dan
saraf. Intervensi tersebut, meliputi (Apley, 1995 dalam Arif Muttaqin, 2012)
a. Profilaksis antibiotik
b. Debridemen. Pembersihan luka dan debridemen harus dilakukan dengan sesedikit
penundan. Jika terdapat kematian jaringan atau kontaminasi yang jelas, luka harus
diperluas dan jaringan yang mati dieksisi dengan hati-hati. Luka akibat penetrasi tulang
yang tajam juga perlu dibersihkan dan dieksisi, tetapi cukup dengan debridemen
terbatas saja. Keputusan utamanya adalah bagaimana cara menstabilkan fraktur. Pada
luka kecil yang bersih dan selang waktu sejak cedera belum lama, fraktur tersebut dapat
diterapi seperti cedera tertutup, dengan penambahan antibiotik profilaksis. Pada luka
yang besar, luka yang terkontaminasi, kehilangan kullit atau kerusakan jaringan, fiksasi
interna harus dihindari; setelah debridemen, luka harus dibiarkan terbuka dan fraktur
distabilkan dengan memasang fiksasi ekterna. Beberapa minggu kemudian, saat luka
telah sembuh atau telah berhasil dilakukan pencangkokan kulit, keputusan lebih lanjut
tentang pemasangan fiksasi eksterna.
c. Stabilisasi. Dilakukan dengan pemasangan fiksasi interna atau fiksasi eksterna.
d. Penundaan penutupan
e. Penundaan rehabilitasi
2. Fraktur femur tertutup
a. Fraktur trokanter dan sub-trokanter femur, meliputi:
1. Pemassangan traksi tulang selama 6-7 minggu yang dilanjutkan dengan gips
pinggul selama 7 minggu merupakan alternatif pelaksanaan pada klien usia muda.
2. Reduksi terbuka dan fiksasi interna merupakan pengobatan pilihan dengan
mempergunakan plate dan screw
b. Penatalaksanaan fraktur diafisi femur, meliputi:
1. Terapi konserfatif
2. Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan terapi definitif
untuk mengurangi spasme otot.
3. Traksi tulang berimbang dengan bagian pearson pada sendi lutut. Indikasi traksi
terutama adalah fraktur yang bersifat kominutif dan segmental.
4. Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah ter1adi union fraktur secara
klinis.
c. Terapi operatif
1. Pemasangan plate dan screw pada fraktur proksimal diafisis atau distal femur.
2. Mempergunakan K-nail, AO-nail, atau jenis lain, baik dengan operasi tertutup
maupun terbuka. Indikasi K-nail, AO-nail terutama adalah fraktur diafisis.
3. Fiksasi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur kominutif, infected
pseudoarthrosis atau fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat.
d. Penatalaksanaan fraktur suprakondilar femur, meliputi:
1. Traksi berimbanng dengan mempergunakan bidai Thomas dan penahan lutut
Pearson, cast bracing, dan spikal panggul.
2. Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka atau pergeseran fraktur yang
tidak dapat direduksi secara konservatif. Terapi dilakukan dengan
mempergunakan nail-phroc dare crew dengan berbagai tipe yang tersedia.
9. Pemeriksaan penunjang
1. X-ray : untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur, mengetahui tempat dan tipe
fraktur, biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodik.
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan data klien. Dalam pengkajian penulis mendapatkan data dari klien,
perawat ruangan, catatan medis, dan tim medis lainnya dengan melakukan wawancara dan
observasi kesehatan.
a. Biodata Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui data demografi klien seperti nama, umur, jenis
kelamin, alamat tempat tinggal, agama, suku, bangsa, status perkawinan,pendidikan
terakhir, nomor rekam medik (RM), pekerjaan pasien, dan nama orang tua/ suami/
istri.
2. Keluhan Utama
P: Hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri pada bagian yang terjadi fraktur.
R: Nyeri terjadi di lokasi yang mengalami fraktur. Nyeri dapat mereda dengan
imobilisasi atau istirahat dan nyeri tidak menjalar atau menyebar.
S: secara subjektif, nyeri yang dirasakan klien antara 5 – 10 pada rentang skala
pengukuran 0 – 10.
T: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah pada malam atau siang
hari.
Mengkaji kronologi yang menyebabkan terjadinya mal union. Tindakan apakah yang
didapatkan dan sudah dilakukan, sudah berobat kemana. Dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka yang lain. Adanya
riwayat fraktur pada bagian tulang panjang. Manifestasi khusus malunion adalah
adanya angulasi, osteoarthritis, dan bursitis.
Pada beberapa kasus, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang/sangkal putung
sebelumnya, dan juga bisa karena kegagalan tim medis dalam penatalaksanaan,
reduksi, dan imobilisasi tidak adekuat.
Riwayat penyakit keluarga yang harus dikaji antara lain apakah adanya kelainan
perdarahan, keloid, osteoporosis, atau riwayat kanker tulang.
Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya, peran klien dalam
keluarga dan masyarakat, serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari,
baik dalam keluarga maupun masyarakat.
2. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Keadaan baik dan buruknya klien. Tanda-tanda yang perlu dicatat adalah kesadaran
klien (apatis, stupor, somnolen, koma, gelisah, kompos mentis yang bergantung pada
keadaan klien), keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang, berat, pada kasus
fraktur kruris bersifat akut), TTV tidak normal, karena ada gangguan lokal, baik
fungsi maupun bentuk. Pola aktivitas, karena timbul nyeri, gerak jadi terbatas. Semua
aktivitas klien jadi berkurang dan klien perlu bantuan orang lain. Pola tidur dan
istirahat, klien akan merasakan nyeri dan gerak terbatas, sehingga mengganggu pola
dan kebutuhan tidur klien. Disini, perlu dikaji lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, kesulitan tidur dan penggunaan obat tidur.
2. Fokus pengkajian
a. Primer:
1) Airway
2) Breathing
3) Circulation
Dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi
jantung normal pada tahap dini. Disritmia, kulit dan membrane mukosa pucat,
dingin,sianosis pada tahap lanjut.
b. Sekunder:
1) Aktivitas
2) Sirkulasi
Tanda: Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ansietas)
atau Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah).Takikardi (respons stres,
hipovolemia). Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cidera, pengisian
kaplier lambat, pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan jaringan atau massa
hematoma pada sisi cedera
3) Eliminasi
4) Neurosensori
5) Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan/kerusakan tulang,dapat berkurang pada imobilisasi).
6) Keamanan
1. B1 (Breathing)
Pada klien dengan fraktur malunion tidak mengalami kelainan pernafasan. Pada
palpasi toraks, didapatkan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi,
tidak ditemukan suara nafas tambahan.
2. B2 (Blood)
Pada inspeksi tidak ada iktus kordis. Palpasi nadi meningkat, auskultasi suara S1 dan
S2 tunggal, tidak ditemukan mur-mur.
3. B3 (brain)
Tingkat kesadaran biasanya kompos mentis.
3) Wajah: meringis terlihat menahan sakit dan bagian wajah lain tidak ada perubahan
fungsi dan bentuk. Wajah simetris, tidak ada lesi dan edema.
7) Mulut dan faring: tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat dan lembab
4. B4 (Bladder)
Kaji keadaan urin yang meliputi warna, bau, jumlah, dan karakteristik urin. Biasanya
pada gangguan seperti ini klien tidak mengalami gangguan. Pada kasus crush
syndrome akan ditemukan urin yang kurang dari output semestinya.
5. B5 (Bowel)
2) Palpasi : turgor baik, tidak ada defans muscular dan hepar tidak teraba.
6. B6 (Bone)
1) Inspeksi (Look)
Bandingkan dengan bagian yang sehat yang tidak mengalami fraktur Perhatikan posisi
anggota gerak secara keseluruhan Ekspresi wajah klien karena nyeri Adanya tanda-
tanda anemia karena perdarahan Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak
untuk membedakan fraktur tertutup atau terbuka Ekstravasasi darah subkutan dalam
beberapa jam sampai beberapa hari Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi,
rotasi dan kependekan Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain Perhatikan kondisi mental penderita (mekanisme koping) ,Keadaan
vaskularisasi terutama daerah yang fraktur
2) Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri
saat dilakukan pemeriksaan. Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial
biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada
tulang. Temperatur setempat yang meningkat adanya inflamasi.
Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati
Pemeriksaan vaskularisasi pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan sisi anggota gerak yang
terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku CRT, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma, temperatur kulit Pengukuran panjang tungkai terutama pada tungkai
bawah untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.
3) Pergerakan (Move)
Periksa pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada penderita
dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan
tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
No Diagnosa Keperawatan
.
1. Nyeri akut b/d Agen pencedera fisik
4. INTERVENSI
5. Dischard Planning
Kecacatan fisik yang dialami karena fraktur ini karena adanya tindakan
pembedahan atau operasi. Pembedahan atau operasi adalah tindakan yang
menggunakan cara invasif dengan membuat sayatan dan diakhiri dengan
penutupan dan penjahitan. Prinsip penanganan fraktur meliputi Reduksi yaitu
memperbaiki posisi fragmen yang patah terdiri dari reduksi tertutup yaitu tindakan
yang dilakukan tanpa operasi dan reduksi terbuka yaitu tindakan yang dilakukan
dengan operasi (Apriansyah, Romadoni & Andrianovita, 2015).
Setelah dilakukan tindakan operasi biasanya pasien merasa takut serta cemas
untuk bergerak karena kurangnya informasi dari perawat. Mereka merasa takut dan
cemas kalau banyak bergerak nanti kakinya patah lagi, nanti lukanya terbuka atau
jahitanya lepas sehingga mereka memilih diam dan tidak melakukan pergerakan
(Hoppenfeld & Murthy, 2011).
Selain masalah fisik diatas, pasien yang telah menjalani pembedahan
umumnya akan mengalami masalah psikologis yaitu kecemasan. Menurut Thomas
& D’Silva (2012) mencatat 87% dari 60 orang yang mengalami fraktur
ekstremitas bawah dan menjalani operasi terbuka mengalami kecemasan setelah
operasi. Timbulnya kecemasan terjadi karena adanya faktor-faktor atau sumber yang
dianggap sebagai ancaman atau membahayakan individu itu sendiri. Jika perasaan
cemas yang dialami seseorang berlebihan maka dapat menggangu sebagian
sistem tubuh dan dapat membahayakan orang tersebut (Suliswati, 2010).
Salah satu bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan dalam
perencanaan pulang adalah discharge planning untuk mempromosikan tahap
kemandirian tertinggi kepada pasien, teman-teman, dan keluarga (Nursalam,
2009).
Discharge planningyang tidak baik dapat menjadi salah satu faktor yang
memperlambat proses penyembuhan di rumah. Kesuksesan tindakan discharge
planningmenjamin pasien mampu melakukan tindakan perawatan lanjutan yang
aman dan realistis setelah meninggalkan rumah sakit (Nursalam & Efendi 2009).
Perencanaan pulang (discharge Planning) yang dilakukan dengan baik akan
bermanfaat, antara lain pasien dan keluarga merasa siap untuk kembali ke rumah,
mengurangi stress, meningkatkan kepuasan pasien dan keluarga dalam menerima
pelayanan perawatan, serta meningkatkan koping pasien (Kozier, 2010).Discharge
planningdiperlukan untuk memberikan motivasi dalam mencapai kesembuhan pasien.
Discharge planning sangat diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
klien di Rumah Sakit,sehingga perlu dipersiapkan oleh perawat dan dilakukan
sedini mungkin (Nursalam & Efendi 2009).
Pasien memerlukan discharge planning mengenai prosedur yang akan dikerjakan
sejak dini dan kerjasama yang diharapkan dari pasien untuk mendorong mereka ambil
bagian dan ikut bertanggung jawab terhadap perawatan dan pemulihannya. Pasien post
operasi perlu mendapatkan edukasi mengenai perawatan luka yang diperlukan, aktivitas
yang diizinkan, intake nutrisi yang cukup dan cara menjauhkan kemungkinan infeksi
agar pemulihan berjalan baik (Ignatavicius & Workman, 2010).
Hasil yang diharapkan adalah bahwa setiap pasien tidak mengalami pemanjangan
length of stay di rumah sakit. Tujuan jangka panjangnya adalah pasien yang pulang
setelah menjalani prosedur pembedahan tidak akan masuk rumah sakit lagi dengan
kondisi yang memburuk.
BAB II
A. SKENARIO
Seorang laki – laki berusia 32 tahun masuk RS dengan keluhan sekitar 3 bulan yang
lalu mengalami kecelakaan motor yang mengakibatkan ia terjatuh ke arah sebelah
kiri. Setelah kecelakaan pasien merasakan kaki kirinya sangat sakit jika digerakkan
serta nyeri dan bengkak, akan tetapi jari kakinya masih dapat digerakkan dan tidak
ada luka atau memar pada bagian tungkai yang sakit. Pasien hanya berobat ke dukun
atau tukang urut, disana pasien hanya dipasang bebat. Setelah 2 bulan menjalani
pengobatan didukun kondisi kaki pasien malah memburuk ditandai dengan adanya
luka terbuka pada 1/3 bawah paha dan tampak ada tulang yang menonjol. Pasien
merasakan nyeri dengan skala nyeri 8, pasien juga mengatakan susah untuk
beraktivitas seperti berdiri atau jalan. Pemeriksaan tanda – tanda vital nadi teraba
cepat: 112x/menit, R: 30x/ menit, TD: 110/60 mmhg, S: 36,20C. Pada pemeriksaan
rontgen di dapatkan kesan malunion pada femur sinistra dan dislokasi posterior pada
hip kiri
B. PENGKAJIAN
1. PENGUMPULAN DATA
a. Identifikasi Klien:
1) Nama : Tn. H
2) Umur : 32 tahun
3) Jenis kelamin : Laki-laki
4) Status kawin : Menikah
5) Agama : Islam
6) Pendidikan terakhir :-
7) Pekerjaan :-
8) Alamat: -
9) Diagnosa medis : Dislokasi posterior
b. Identififkasi Penanggung Jawab
1) Nama : -
2) Pekerjaan :-
3) Alamat: -
4) Hubungan :-
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang:
a) Keluhan Utama:
Pasien masuk RS dengan keluhan sekitar 3 bulan yang lalu mengalami kecelakaan
motor yang mengakibatkan ia terjatuh ke arah sebelah kiri. Setelah kecelakaan
pasien merasakan kaki kirinya sangat sakit jika digerakkan serta nyeri dan
bengkak
b) Keluhan saat dikaji (PQRST):
Pasien merasakan nyeri dengan skala nyeri 8, pasien juga mengatakan susah untuk
beraktivitas seperti berdiri atau jalan.
c) Riwayat kesehatan dahulu:
Pasien mengatakan sekitar 3 bulan yang lalu mengalami kecelakaan motor yang
mengakibatkan ia terjatuh ke arah sebelah kiri. Setelah kecelakaan pasien
merasakan kaki kirinya sangat sakit jika nyeri digerakkan serta dan bengkak, akan
tetapi jari kakinya masih dapat digerakkan dan tidak ada luka atau memar pada
bagian tungkai yang sakit.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga:
Tidak dikaji
f. Data Psikologis
1) Status Emosional : terkontrol
2) Kecemasan : terkontrol
3) Pola Koping : dukungan dari keluarga dan diri pasien sendiri baik tentang
kondisi yang dialami pasien.
4) Gaya Komunikasi : komunikai pasien lancar dengan menggunakan bahasa
Indonesia dan Minangkabau.
g. Data sosial
Tidak dikaji.
h. Data Spiritual
Tidak dikaji
i. Data Penunjang
Pada pemeriksaan rontgen didapatkan kesan malunion pada femur sinis
C. ANALISA DATA
1. Analisa data
Do:
- Tampak kaki kiri pasien
bengkak
TTV:
TD = 110/60 mmHg
N= 112 x/menit
S= 36,2 C
R= 30 x/menit
2. Ds: Kerusakan integritas Gangguan mobilitas
- Pasien mengatakan kaki struktur tulang fisik
kirinya sangat sakit jika
digerakkan serta nyeri dan
bengkak
- Pasien mengatakan sulit
beraktivitas seperti berdiri
atau berjalan
Do:
- Tampak adanya luka terbuka
pada 1/3 bawah paha
Pemeriksaan penunjang :
Foto Rontogen = malunion pada
femur sinistra dan dislokasi
posterior pada hip kiri
Do:
- Tampak adanya luka terbuka
pada 1/3 bawah paha
- Tampak ada tulang yang
menonjol
D. DIAGNOSA
Diagnosa Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
.
1. Nyeri akut b/d Agen pencedera fisik
E. INTERVENSI
SDKI SLKI SIKI
Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
tindakan keperawatan Obervasi
selama 3×24 jam. Maka Identifikasi lokasi,
Tingkat Nyeri menurun, karakteristik, durasi,
dengan kriteria hasil: frekuensi, kualits,
Keluhan nyeri intensitas nyeri
menurun Identifikasi
Meringis menurun pengaruh nyeri pada
Kesulitan tidur kualitas nyeri
menurun Terapeutik
Frekuensi nadi Berikan teknik non
menurun farmakologis untuk
Pola napas dan mengurangi rasa
pola tidur menurun nyeri
Proses berpikir Pertimbangkan jenis
menurun dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
Anjurkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika perlu
Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi
fisik tindakan keperawatan Observasi
selama 3×24 jam. Maka Identifikasi adanya
Mobilitas Fisik nyeri atau keluhan
Meningkat, dengan fisik lainnya
kriteria hasil: Identifikasi toleransi
Pergerakan fisik melakukan
ekstermitas pergerakan
meningkat Monitor kondisi
Kekuatan otot umum selama
meningkat melakukan
Rentang gerak mobilisasi
(ROM) meningkat Terapeutik
Nyeri meningkat Fasilitasi aktivitas
Kecemasan mobilisasi dengan
meningkat alat bantu (mis.
Pagar tempat tidur)
Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
Edukasi
Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
Anjurkan
melakukan
mobilisasi dini
Anjurkan mobilisasi
sederhana yang
harus dilakukan
Gangguan integritas Setelah dilakukan Perawatan integritas kulit
kulit /jaringan tindakan keperawatan Observasi
selama 3×24 jam. Maka Identifikasi
Integritas Kulit dan penyebab gangguan
Jaringan Meningkat, integritas kulit
dengan kriteria hasil: Terapeutik
Perfusi jaringan Lakukan pemijatan
meningkat pada area
Kerusakan penonjolan tulang,
jaringan jika perlu
meningkat Hindari produk
Kerusakan lapisan berbahan dasar
kulit meningkat alcohol pada kulit
Nyeri cukup kering
menurun Edukasi
Anjurkan
menggunakan
pelembab (mis.
Lotion, serum)
Anjurkan minum air
yang cukup
Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, E. S. N. (2018). Penerapan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Pada Gangguan Kbutuhan
Nyaman: Nyeri Pasien Post Operasi Fraktur Femure. Eprints Poltekkes Jogja, 2013.
Freye, K., Lammers, W., Bartelt, D., & Pohlenz, O. (2019). Fraktur. Radiologisches
Wörterbuch, 126–127. https://doi.org/10.1515/9783110860481-111
Helmi N.Z 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
Pearce E. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
http://eprints.umpo.ac.id/6109/3/revisi%20bismillahBAB%202.pdf
http://repository.poltekkes-tjk.ac.id/388/3/BAB%202.pdf
Perry, A.G. & Potter, P.A (2014). Nursing Skills & Procedures (8th ed.). St Louis: Elservier
Walkinson, J. M., Treas, L. S., Barnett, K. & Smith. M. H. (2016). Fundamentals of Nursing
(3rd ed). Philiadelphia: F. A. Davis Company.
Haryatmo, S., Waluyo, A., & Masfuri, M. (2020). Pendekatan Model Adaptasi Roy,
Relaksasi Dan Discharge Planning Pada Masalah Muskuloskeletal. Jurnal Kesehatan, 9(1),
30-41.