Tulang femur merupakan tulang panjang dari bagian paha. Ujung tulangnya berbentuk bulat dan
tersusun atas tulang rawan disebut epifisis. Pada anak-anak, epifisis merupakan daerah pertumbuhan
logitudinal dan akan berhenti pada tulang dewasa. Bagian epifisis langsung berbatasan dengan sendi
tulang panjang yang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan tulang memanjang berhenti.
Metafisis adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama disusun
oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa atau tulang berongga yang mengandung sel-sel
hematopoetik. Terdapat juga sumsum tulang yang terdiri dari pembuluh darah dan pembuluh saraf.
Tulang panjang memiliki dua sumsum tulang, yaitu sumsum merah dan sumsum kuning. Tempat sel
darah merah dibentuk berada dalam sumsum merah, sedangkan tempat pembentukan sel-sel lemak
terdapat pada sumsum kuning. Pada anak-anak sumsum merah mengisi sebagian besar bagian dalam
tulang panjang, tetapi kemudian diganti oleh sumsum kuning sejalan dengan semakin dewasa. Pada
orang dewasa, aktivitas hematopoetik menjadi terbatas hanya pada sternum dan krista iliaka, walaupun
tulang yang lain masih berpotensi untuk aktif lagi bila diperlukan. Diafisis atau batang adalah bagian
tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan
yang besar (Price & Wilson, 2005).
Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-sel yang
dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan
tulang panjang memiliki arteria nutrisi khusus. Lokasi dan keutuhan dari arteri-arteri inilah yang
menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah.
2. Fraktur
2.1 Definisi
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang terjadi karena adanya tekanan pada
tulang yang melebihi absorpsi tulang, terjadi ketika tekanan yang berlebihan mengenai tulang dan tidak
bisa diredam (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010). Fraktur dapat menimbulkan cedera jaringan
lunak sekitarnya seperti kulit, jaringan subkutan, otot, pembuluh darah, syaraf, ligamen, dan tendon
(Black & Hawks, 2014). Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010).
Fraktur dapat memengaruhi jaringan sekitarnya cedera, mengakibatkan edema jaringan lunak,
perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh
darah akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Smeltzer, Burke, Hinkle,
& Cheever, 2010).
c. Klasifikasi berdasarkan pergeseran anatomis fragmen tulang (fraktur bergeser atau tidak bergeser)
Greenstick : fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedangkan sisi lainnya membengkok.
Tranversal, suatu fraktur yang melintang pada tulang (fraktur sepanjang garis tengah tulang)
merupakan akibat dari trauma langsung.
Oblik, yaitu fraktur yang membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil
dibanding tranversal) akibat trauma langsung.
Spiral, suatu fraktur yang mengelilingi batang tulang, arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan karena trauma rotasi
Impacted (Telescopic) atau kompresi, yaitu sebagian fragmen tulang menusuk bagian fragmen
yang lain.
Displaced. Fragmen tulang terpisah dengan kesegarisan tulang lain
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah juga
terganggu, terutama pada cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak
atau cedera tulang.pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi di antara fragmen-fragmen
dan di bawah periosteum. Jaringan tulang di sekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan
respon peradangan yang hebat. Respon dari fraktur akan terjadi vasodilatai, edema, nyeri,
kehilangan fungsi, eksudari plasma dan leukosit, serta infiltrasi sel darah putih. Respon
patofisiologis ini juga merupakan tahap awal dari penyembuhan tulang.
b. Penyembuhan Tulang
Tulang merupakan salah satu jaringan tubuh manusia yang sapat sembuh melalui regenerasi.
Perbaikan fraktur terjadi melalui proses yang sama dengan pembentukan tulang saat fase
pertumbuhan normal dengan mineralisasi dan matriks tulang baru yang kemudian diikuti oleh
remodelisasi menuju tulang matur.
2.6 Komplikasi
Komplikasi dari fraktur adalah sebagai berikut (Black & Hawks, 2014).
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat menyebabkan cedera
saraf. Perhatikan jika ada pucat dan tungkai klien yang teraba sakit dingin, perubahan kemampuan
klien untuk menggerakkan bagian distal tubuhnya, parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang
meningkat. Hal ini merupakan tanda dan gejala dari sindrom kompartemen yang berpengaruh pada
persarafan klien.
b. Sindroma kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas. Sindrom ini terjadi
disebabkan oleh faktor eksternal (contohnya kompresi dari gips yang terlalu ketat) atau faktor
internal (contohnya perdarahan dan edema). Sindrom ini dapat terjadi dimana saja namun lebih
sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Edema yang terjadi sebagai respon terhadap fraktur
dapat menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah
kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka terjadi
iskemia. Iskemia yang berkelanjutan akan mengakibatkan pelepasan histamine oleh otot-otot yang
terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut. Peningkatan asam
laktat menyebabkan lebih banyak metabolism anaerob dan peningkatan aliran darah, hingga
kemudian meningkatkan tekanan jaringan. Hal tersebut yang membuat adanya peningkatan
tekanan pada kompartemen. Sensasi kesemutan atau rasa terbakar (parestesia) pada otot dapat juga
ditemukan pada sindrom ini. Otot terasa ketat atau penuh. Jika area menjadi kebas atau lumpuh,
kematian sel pun telah dimulai dan usaha untuk menurunkan tekanan dalam kompartemen
mungkin tidak dapat mengembalikan fungsinya seperti semula.
c. Mal union
Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga menimbulkan
deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, selain
itu infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat
saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union) juga dapat
menyebabkan mal union.
d. Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang. Non union dapat di bagi
menjadi beberapa tipe, yaitu:
Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara
fragmen fraktur tumbuh jaringan fibros yang masih mempunyai potensi untuk union dengan
melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
Tipe II (atropic non union), disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan synovial
sebagai kapsul sendi beserta ronga cairan yang berisi cairan, proses union tidak akan tercapai
walaupun dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas, hilangnya
vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, distraksi
interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis). Non union adalah jika tulang tidak
menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
e. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama atau lambat
dari waktu proses penyembuhan fraktur secara normal. Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat
bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur.
f. Kontraktur Volkmann
Kontraktur Volkmann adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma kompartemen yang tidak
tertangani. Tekanan terus menerus yang mengakibatkan iskemia membuat otot secara perlahan
digantikan dengan jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Pada tungkai atas, kontraktur
Volkmann umumnya terjadi setelah fraktur pada siku dan lengan bawah atau setelah cedera remuk
pada lengan bawah atau karena gips atau perban elastis yang terlalu ketat. Gangguan tersebut dapat
menyebabkan deformitas tangan dan lengan yang secara permanen kaku dan terbentuk seperti
cakar (claw). Kontraktur dpaat dihindari dengan pengenalan dini dari manifestasi sindroma
kompartemen, diikuti oleh pembidaian tungkai dan dekompresi kompartemen.
2.8 Penatalaksanaan
a. Reduksi
Reduksi atau manipulasi adalah upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimum. Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Reduksi fraktur sesegera mungkin dilakukan untuk mencegah jaringan lunak
kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
b. Imobilisasi
Indikasi dari imobilisasi, diantaranya:
Untuk mencegah kesalahan tempat atau angulasi dari fragmen.
Untuk mencegah pergeseran yang mempengaruhi penyatuan tulang.
Untuk mengurangi nyeri.
Immobilisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimum. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Sedangkan untuk fiksasi interna
dapat digunakan implan logam yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
Fiksasi eksterna ataupun interna biasanya dikenal dengan pemasangan OREF dan ORIF.
OREF (Open Reduction and External Fixation) adalah reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal
di mana prinsipnya tulang ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur, sekrup atau kawat
ditransfiksi di bagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu
batang lain. Fiksasi eksternal memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur
atau remuk).
ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan dengan
pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran.
c. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Rehabilitasi ini dilakukan dengan cara gerak aktif menggunakan ekstremitas yang
terkena fraktur dan aktivitas latihan (Hamblen & Simpson, 2007).
3. Proses Keperawatan
3.1 Pengkajian
Pemeriksaan awal untuk mengetahui adanya fraktur (Reeves, Roux, Lockhart, 2001):
Pain (rasa sakit).
Paloor (kepucatan atau adanya perubahan warna).
Paralysis (kelumpuhan atau ketidakmampuan untuk bergerak).
Paresthesia (kesemutan).
Pulselessness (tidak adanya denyut).
Berikut adalah pengkajian keperawatan menurut Doenges (2010):
Aktivitas
Tanda :
Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena(mungkin segera, fraktur itu
sendiri, atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan, nyeri)
Sirkulasi
Tanda :
Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri, ansietas)
Hipotensi (kehilangan darah)
Takikardia (respon stres, hipovolemia)
Penurunan/tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera
Pengisian kapiler lambat
Pucat pada bagian yang terkena
Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera
Neurosensor
Gejala :
Hilangnya gerakan/sensasi
Spasme otot
Kebas/kesemutan (parestesis)
Tanda :
Deformitas lokal
Angulasi abnormal
Pemendekan
Rotasi
Krepitasi
Spame otot
Terlihat kelemahan/hilang fungsi
Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ ansietas/trauma)
Nyeri/kenyamanan
Gejala :
Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan/kerusakan
tulang; dapat berkurang dengan imobilisasi)
Tidak ada nyeri karena kerusakan syaraf
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
Keamanan
Tanda :
Laserasi kulit
Avulsi jaringan
Perdarahan
Perubahan warna
Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)
Daftar Pustaka
Brunner & Suddarth. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8. Jakarta: EGC
Black, J. M, & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8. Singapore: Elsevier
Bulecheckk, G.M., Butcer, H.K. Dochterman, J.McC., Wagner, C.M. (2013). Nursing Interventions
Classification (6th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby
Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perancanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8. Jakarta : EGC
Hamblen, D. L., & Simpson, A. H. R. W. (2007). Adams’s outline of fractures: Including joint injuriest. USA:
Elsevier.
Herdman, T.H., Kamitsuru, S. (2014). NANDA international nursing diagnoses: definitions & classification
2015–2017(10th Ed.). Oxford: Wiley Blackwell
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical surgical nursing: Critical thinking for collaborative
care. (5th Ed). St. Louis: Elseveir Saunders.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC):
Measurement of health outcomes (5th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby
Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner & Suddarth’s textbook of medical
surgical nursing. (12th Ed). Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.
WOC
Fraktur
Perubahan jaringan sekitar Kerusakan Mengenai jaringan lunak Mengenai jaringan keras
integritas
kulit
Pergeseran fragmen tulang Arteri Vena Tulang kehilangan asupan
darah
Terputusnya arteri Vena statis karena
Deformitas Gangguan sirkulasi
penekanan lokal
Spasme arteri
Gangguan fungsi Trombosis Nutrisi dan O2 tidak adekuat
Penekanan arteri
Masuk ke dalam paru
Gangguan mobilitas fisik Trombosis arteri Nekrosis vaskular tulang
Emboli
Perdarahan Osteomiolitis
Gangguan
pertukaran gas