Anda di halaman 1dari 17

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

KOLELITHIASIS dan KOLESISTITIS

Dosen Pengampu : Laily Isroin, S.Kep, Ns. M.Kep

Disusun Oleh

FITRA ADE ARIANSHAH (19631824)

NURJANAH HANA M (19631878)

SELVIA DAHLIYANTI (19631855)

VRIMA AYU FEBRIANI (19631831)

ZAHROTUL ILMI (19631861)

SIFA’UL FURQON (19631852)

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
TAHUN 2021
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Konsep Asuhan Keperawatan Kolelithiasis dan
Kkolesistitis” dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah
II.Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Konsep Asuhan Keperawatan
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Laily Isroin, S.Kep, Ns.M.Kep.selaku
Dosen Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih dari sempurna.Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangum diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Ponorogo, 21 Oktober 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Data World Health Organization (WHO) tahun 2014 menunjukkan bahwa


terdapat 400 juta penduduk di dunia mengalami Cholelithiasis dan mencapai 700 juta
penduduk pada tahun 2016. Cholelithiasis atau batu empedu terbentuk akibat ketidak
seimbangan kandungan kimia dalam cairan empedu yang menyebabkan pengendapan
satu atau lebih komponen empedu. Cholelithiasis merupakan masalah kesehatan umum
dan sering terjadi di seluruh dunia, walaupun memiliki prevalensi yang berbeda beda di
setiap daerah (Arif Kurniawan , Yunie Armiyati, 2017).

Gaya hidup adalah pola hidup setiap orang diseluruh dunia yang di ekspresikan
dalam bentuk aktivitas, minat, dan opininya. Secara umum gaya hidup dapat diartikan
sabagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan cara bagaimana seseorang menghabiskan
waktunya (aktivitas), apa yang penting bagi orang untuk menjadikan pertimbangan pada
lingkungan (minat), dan apa yang orang selalu pikirkan tentang dirinya sendiri dan dunia
disekitarnya (opini), serta faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi gaya hidup sehat
diantaranya adalah makanan dan olahraga. Gaya hidup dapat disimpulkan sebagai pola
hidup setiap orang yang dinyatakan dalam kegiatan, minat, dan pendapatnya dalam
membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktunya untuk kehidupan
sehari-harinya.

Saat ini dengan semakin meningkatnya tuntutan pekerjaan dan kebutuhan


hidup setiap orang, membuat masyarakat Indonesia melakukan gaya hidup yang tidak
sehat. Mereka banyak mengkonsumsi makanan yang cepat saji (yang tinggi kalori dan
tinggi lemak), waktu untuk melakukan latihan fisik yang sangat terbatas, serta kemajuan
teknologi yang membuat gaya hidup masyarakat yang santai karena dapat melakukan
pekerjaan dengan lebih mudah sehingga kurang aktifitas fisik dan adanya stress akibat
dari pekerjaan serta permasalaahan hidup yang mereka alami menjadi permasalahan yang
sulit mereka hindari. Semua kondisi tersebut dapat meningkatkan resiko terjadinya
penyakit cholelitiasis dan jumlah penderita cholelitiasis meningkat karena perubahan
gaya hidup, seperti misalnya banyaknya makanan cepat saji yang dapat menyebabkan
kegemukan dan kegemukan merupakan faktor terjadinya batu empedu karena ketika
makan, kandung empedu akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan empedu ke di
dalam usus halus dan cairan empedu tersebut berguna untuk menyerap lemak dan
beberapa vitamin diantaranya vitamin A, D, E, K (Tjokropawiro, 2015).
Cholelitiasis saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat karena frekuensi
kejadiannya tinggi yang menyebabkan beban finansial maupun beban sosial bagi
masyarakat. Sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat, Angka
kejadian lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat dengan bertambahnya usia.
Cholelitiasis sangat banyak ditemukan pada populasi umum dan laporan menunjukkan
bahwa dari 11.840 yang dilakukan otopsi ditemukan 13,1% adalah pria dan 33,7% adalah
wanita yang menderita batu empedu. Di negara barat penderita cholelitiasis banyak
ditemukan pada usia 30 tahun, tetapi rata-rata usia tersering adalah 40–50 tahun dan
meningkat saat usia 60 tahun seiring bertambahnya usia, dari 20 juta orang di negara
barat 20% perempuan dan 8% laki-laki menderita cholelitiasis dengan usia lebih dari 40
tahun (Cahyono, 2015). Cholelitiasis merupakan kondisi yang paling banyak ditemukan,
kondisi ini menyebabkan 90% penyakit empedu, dan merupakan penyebab nomor lima
perawatan di rumah sakit pada usia muda. Choleltiaisis biasanya 4 timbul pada orang
dewasa, antara usia 20-50 tahun dan sekitar 20% dialami oleh pasien yang berumur diatas
40 tahun. Wanita berusia muda memiliki resiko 2-6 kali lebih besar mengalami
cholelitiasis. Cholelitiasis mengalami peningkatan seiring meningkatnya usia seseorang.
Sedangkan kejadian cholelitiasis di negara Asia 3%-15% lebih rendah dibandingan
negara barat. Di Indonesia, cholelitiasis kurang mendapat perhatian karena sering sekali
asimtomatik sehingga sulit di deteksi atau sering terjadi kesalahan diagnosis. Penelitian di
Indonesia pada Rumah Sakit Columbia Asia Medan sepanjang tahun 2011 didapatkan 82
kasus cholelitiasis (Ginting, 2012).

Perawat yang berhubungan langsung dengan klien kolelitiasis harus


melaksanakan perannya secara profesional, melakukan teknik relaksasi adalah tindakan
keperawatan yang dilakukan untuk mengurangi nyeri, tindakan reklaksasi mencakup
teknik relaksasi nafas dalam, distraksi, dan stimulasi kulit.Selain itu perawat juga
berperan dalam memberikan terapi medis berupa cairan intravena, antibiotik, dan
analgetik. Solusi masalah pada pasien dengan Kolelitiasis adalah perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan dapat memberikan informasi tentang bagaimana tanda
gejala, cara pencegahan, cara pengobatan dan penanganan pasien dengan Kolelitiasis
sehingga keluarga juga dapat beperan aktif dalam pemeliharaan kesehatan baik individu
itu sendiri maupun orang lain disekitarnya. 7 Sehubungan dengan hal tersebut maka
peneliti tertarik melakukan penelitian untuk melihat dan mengetahui sejauh mana
“Asuhan Keperawatan Klien Dengan Cholelitiasis”

Cholecystitis merupakan inflamasi pada kandung empedu yang dapat berupa


akut, kronik, atau kronik eksaserbasi akut.Cholecystitis sangat erat kaitannya dengan
pembentukan batu empedu (cholecystolithiasis).Sekitar 90% kasus cholecystitis disertai
dengan batu empedu (calculous cholecystitis) dan 10% tidak disertai dengan batu empedu
(acalculous cholecystitis) (Kumar, Abbas, & Aster, 2013; Bloom & Katz, 2016).Acute
calculous cholecystitis merupakan komplikasi dari cholecystolithiasis dan indikasi
dilakukannya emergency cholecystectomy, sedangkan acute acalculous cholecystitis
hanya ditemukan pada 5 12% kasus pada pengangkatan kandung empedu.Sama seperti
acute cholecystitis, chronic cholecystitis juga erat kaitannya dengan batu empedu, tetapi
chronic cholecystitis juga dapat disebabkan oleh mikroorganisme.Kultur mikroorganisme
E. coli dan Enterococcus didapatkan pada sepertiga kasus (Kumar, Abbas, & Aster,
2013). Cholecystitis dapat dipicu oleh tiga faktor: (1) inflamasi mekanik yang disebabkan
peningkatan tekanan intraluminal dan distensi yang menyebabkan iskemik mukosa dan
dinding kandung empedu, (2) Inflamasi kimia disebabkan pengeluaran lysolecithin, (3)
inflamasi akibat bakteri (Greenberger & Gustav Paumgartner, 2015).
Di negara maju diperkirakan prevalensi batu empedu sekitar 10 15%, dengan
lebih dari 85% batu empedu adalah batu kolesterol sedangkan sisanya batu pigmen hitam
contohnya calcium bilirubinate.Sebanyak 20 25 juta kasus terdiagnosis batu empedu dan
750.000 cholecystectomy dilakukan tiap tahunnya di Amerika (Stinton & Shaffer, 2012;
Jean Marc Regimbeau, et al., 2014; Zhu, Aili, & Abudureyimu, 2014).

Di Indonesia angka kejadian cholecystitis belum diketahui secara pasti, namun


penelitian di Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Al-Islam Bandung tahun 2
2003 2007 menunjukkan angka kejadian cholecystitis sebesar 174 kasus (Elber,
2008).Berdasarkan data di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di
Laboratorium Patologi Anatomi RS Dustira Cimahi mengenai gambaran karakteristik
pasien dengan cholecystitis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah kami uraikan diatas, maka rumusan masalah pada
makalah ini adalah Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Kolelithiasis
dan Kolesistitis.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu mendeskripsikan Konsep Asuhan Keperawatan pada Kasus Kolelithiasis dan
Kolesistitis untuk memenuhi tugas Keperawatan Medikal Bedah II.

2. Tujuan Khusus
a. Mampu mendeskripsikan Konsep Penyakit Kolelithiasis dan Kolesistitis
b. Mampu mendeskripsikan rumusan diagnose keperawatan pada kasus Kolelithiasis
dan Kolesistitis
c. Mampu mendeskripsikan rencana asuhan keperawatan pada kasus kasus
Kolelithiasis dan Kolesistitis

D. Manfaat
Tugas Makalah ini dapat mengaplikasikan dan menambah wawasan ilmu pengetahuan
serta kemampuan kelompok dalam menerapkan Asuhan Keperawastan pada kasus
Kolelithiasis dan Kolesistitis

BAB II
KONSEP TEORI KOLELITHIASIS

A. Definisi Kolelithiasis
Kolelitiasis atau batu empedu pada hakekatnya merupakan endapan satu atau
lebih komponen empedu (kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium dan protein ).
(Price, 1994)
Kolelitiasis (kalkuli atau batu empedu) biasanya dibentuk dalam kandung empedu
dari bahan-bahan padat empedu dalam hal bentuk, ukuran dan komposisi. Ada dua jenis
utama batu empedu : batu pigmen yang terdiri atas pigmen empedu tak jenuh yang
jumlahnya berlebihan, dan batu kolestrol yang merupakan bentuk paling umum. Faktor-
faktor resiko pada batu empedu termasuk sirois, hemolisis, dan infeksi percabangan
saluran empedu.Faktor-faktor resiko untuk batu kolestrol termasuk kontrasepsi oral,
estrogen dan klofibrat.Wanita mengalami batu kolestrol dan penyakit kandung empedu
empat kali lebih sering di banding pria (biasanya di atas 40 tahun, multi para dan
obesitas).
Kolelitiasis adalah material atau Kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam
kandung empedu. Komposisi dari dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol,
pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganic (Wayan, 2007).Kolelitiasis adalah
adanya batu yang terdapat dalam kandung empedu atau saluran empedu (duktus
koledokus) atau keduanya.

B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor
predisposisi terpenting yaitu : gangguan metabolism yang menyebabkan terjadinya
perunahan komposisi empedu, statis empedu dan infeksi kandung empedu.
Perubahan komposisi kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu karena bati penderita batu empedu kolesterol mengekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolestrol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk
membentuk batu empedu.
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut.Gangguan
kontraksi kandung empedu atau spasme spingter oddi, atau keduanya dapat menyebabkan
statis.Faktor hormonal (hormone kolesistokinin dan sekretis) dapat dikaitkan dengan
keterlambatan pengosongan kandung empedu.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan
batu.Mucus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan
sebagai pusat presipitasi/pengendapan.Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu,
di banding penyebab terbentuknya batu. (Price, 1994)
C. Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu
yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena
bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting
dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen.Supersaturasi empedu dengan
kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan
kolesterol turun di bawah harga tertentu.Secara normal kolesterol tidak larut dalam media
yang mengandung air.Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid
yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam
empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu
rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan
membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang
lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris
yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan. Batu pigmen terdiri dari
garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan
asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu.
Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak
terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase
tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini
disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam
lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa
menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.

D. Manifestasi Klinis

Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala.Lebih dari
80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala asimptomatik (pasien tidak menyadari
gejala apapun). Gejala klinik yang timbul pada orang dewasa biasanya dijumpai gejala :
1. Nyeri pada perut kanan atas
2. Dyspepsia non spesifik
3. Mual, muntah
4. Demam

E. WOC
F. Klasifikasi Kolelitiasis
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan
atas 3 (tiga) golongan. (Sylvia and Lorraine, 2006)
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebihdari 70%
kolesterol.Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batuyang mengandung >
50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi atau pembentukan nidus cepat
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20%
kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.Batu pigmen cokelat terbentuk
akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu.Stasis dapat
disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan
infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar
enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi
bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi
kalsium bilirubinat yang tidak larut.Dari penelitian yang dilakukan didapatkan
adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen
cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam
empedu yang terinfeksi.
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, sepertibubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.1 Batu pigmen hitam adalah
tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau
sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized
bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas.Umumnya batu
pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.
c. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping
itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini
akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan distensi. Penggunaan
ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan
USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang
mengalami dilatasi.
2. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan
mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan
isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan
bila pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan media kontras ke
kandung empedu yang mengalami obstruksi.
3. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding kandung
empedu telah
menebal.
4. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secaralangsung yang
hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop
serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars
desendens. Sebuah kanula dimasukan kedalam duktus koleduktus serta duktus
pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk
menentukan keberadaanbatu di duktus dan memungkinkan visualisassi serta evaluasi
percabanganbilier.
5. Pemeriksan sinar-X abdomen
Dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan
untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun, hanya 15-20% batu empedu
yang mengalami cukup klasifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
(Sandra Amelia,2013)
6. MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography),
merupakan teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat
kontras, instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai
struktur yang terang karena mempunyai intensitassinyal tinggi, sedangkan batu saluran
empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang dikelilingi empedu dengan
intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis batu saluran
empedu.
7. Pemeriksaan Laboratorium
1. Kenaikan serum kolesterol.
2. Kenaikan fosfolipid.
3. Penurunan ester kolesterol.
4. Kenaikan protrombin serum time.
5. Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4 mg/dl).
6. Penurunan urobilirubin.
7. Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal : 5000 -10.000/iu).
8. Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di duktus utama
(Normal: 17 - 115 unit/100ml).
H. Penatalaksanaan
Menurut ((Nurarif & Kusuma, 2013) penatalaksanaan pada kolelitiasis meliputi :
a. Penanganan Non bedah
1. Disolusi Medis
Oral dissolution therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-
obatan oral. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif
diantaranya batu kolestrol diameternya <20mm dan batu <4 batu, fungsi kandung
empedu baik, dan duktus sistik paten.
2. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)
Batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi
melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar
bersama tinja. Untuk batu besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang
terletak di atas saluran empedu yang sempit diperlukan prosedur endoskopik tambahan
sesudah sfingerotomi seperti pemecahan batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi
laser.
3. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah pemecahan batu dengan gelombang
suara.
4.Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu
kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu
melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter
nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan
dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu
menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan teknik ini hanya
mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan
yang digunakan dapat
b. Penanganan bedah
1. Kolesistektomi laparaskopik
Indikasi pembedahan karena menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu
dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2cm. kelebihan yang diperoleh klien luka
operasi kecil (2-10mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal.
2. Kolesistektomi terbuka
Kolesistektomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara mengangkat
kandung empedu dan salurannya dengan cara membuka dinding perut (Sahputra, 2016).
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan klien dengan kolelitiasis
sitomatik.
I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
6. Peradangan pankreas (pankreatitis)
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
9. Hidrop kandung empedu
10. Empiema kandung empedu
11. Fistel kolesistoenterik
12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan
batu empedu muncul lagi)
13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
BAB III

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN KOLELITIASIS

1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, alamat, tempat tinggal, tempat
tanggal lahir, pekerjaan dan pendidikan. Kolelitiasis biasanya ditemukan
pada 20 -50 tahun dan lebih sering terjadi anak perempuan pada dibanding
anak laki – laki. (Cahyono, 2014)
b. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen
pada kuadran kanan atas, dan mual muntah.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau
kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu
nyeri menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat
mengurangi nyeri atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan
klien merasakan nyeri tersebut.
2) Riwayat kesehatan dahulu
kaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah memiliki
riwayat penyakit sebelumnya.
3) Riwayat kesehatan keluarga (genogram)
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis. Penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini
menyerang sekelompok manusia yang memiliki pola makan dan gaya hidup
yang tidak sehat. Tapi orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai
resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum
a. Penampilan Umum
Mengkaji tentang berat badan dan tinggi badan klien.
b. Kesadaran
Kesadaran mencakup tentang kualitas dan kuantitas
keadaan klien.
c. Tanda-tanda Vital
Mengkaji mengenai tekanan darah, suhu, nadi dan respirasi.
2) Sistem endokrin
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya Pada
penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi
pembengkakan pada kandung empedu.
e. Pola aktivitas
1) Nutrisi
Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan
2) Aktivitas
Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas
dan anjuran bedrest
3) Aspek Psikologis
Kaji tentang emosi, Pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana hati
4) Aspek penunjang
b) Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin, amylase serum
meningkat)
c) Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter.
BAB III

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN KOLELITIASIS

Anda mungkin juga menyukai