Anda di halaman 1dari 8

Kamis, 18 September 2008

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

LAPORAN PENDAHULUAN
(PASIEN DI RUANG PENYAKIT DALAM)

LAPORAN PENDAHULUAN

ASITES

A. PENGERTIAN

Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal dirungga perut sering dikatakan
penimbunan asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik dan pengelolaan penyakitnya
menjadi semakin sulit,asites juga dapat menjadi sumber lnfeksi seperti setiap penimbunan cairan
secara abnormal dirungga tubuh yang lain infeksi akan lebih memperberat perjalanan penyakit
dasarnya.

II. ETIOLOGI

Secara morfologis, sirosis dibagi atas jenis mikronodular (poral), mikrodonolar (pascanekrotik)
dan jenis campuran, sedang dalam klinik dikenal 3 jenis, yaitu portal, pascanokretik, dan biller.
Penyakit penyakit yang diduga dapat menjadi penyebab sirosis hepatis antara lain mal nutrisi,
alkoholesme, virus hepatis, kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika,
penyakit wilson, hemokromatosis, zat toksik, dan lain-lain.

III. PATOFISIOLOGI

Penimbunan asites ditentukan oleh 2 faktur yang penting yakni faktor lokal dan sistemik.

1. Faktor lokal

Bertanggung jawab terhadap penimbunan cairan dirongga perut, faktor lokal yang penting
adalah cairan sinusoid hati dan sistem kapiler pembuluh darah usus.

2. Faktor sistemik

Bertanggung jawab terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem cardiovaskuler dan ginjal
yang menimbun retensi air dan garam. Faktor utama sebagai pencetus timbulnya retensi air dan garam
oleh ginjal adalah vasodilatasi arteri perifer mula-mula akan terjadi peningkatan tahananan sistem porta
dan diikuti terbentuknya pitas porta sistemik baik intra maupun ektra hati apabila struktur perubahan
parenkim semakin berlanjut, pembentukan pintas juga semakin berlanjut, vasodilatasi juga akan menjadi
berat, sehingga tidak hanya sirkulasi splankrik,tetapi ditempat lain misalnya : kulit otot dan paru.
Vasodilatasi arteri feriver akan menyebabkan ketahanan tahanan ferifer menurun tubuh akan menafsirkan
seolah-olah menjadi penurun volome efektif darah arteri reaksi yang dilakukan untuk melawan keadaan itu
adalah meningkatkan tonos saraf simpatik adrenergik. Hasil akhirnya adalah aktivitas terhadap 3 sistem
vasokonstriktor yakni sistem renin-angiostensin, aldesteron, arginin vasopresin dan saraf simpatik aktivasi
sistem arginin vasopresin akan menyebabkan retensi air, sistem aldesteron akan menyebabkan penurunan
kecepatan filtrasi glomerulus dan meningkatkan reapsorpsi garam pada tubulus progsimal, disamping itu
sistem vaskuler juga akan terpengaruh oleh aktivitasi ketiga vaso kontriktor tersebut.

Apabila terjadi sirosis hatisemakin berlambat, vasodilatasi arteri ferifer akan menjadi semakin
berat sehingga aktivitasi sistem neoru homoral akan mampu menimbulkan asites. Disdamping itu,
aktivasi sistem neurohumoral yang terumenerus tetapi akan menimbulkan perubahan fungsi ginjal
yang semakin nyata sehingga terjadi sindrom heparorenal.

IV. MANIFESTASI KLINIK

Asites lanjut sangat mudah dikenali pada inspeksi, akan tampak perut membuncit pada
umumnya gizi kurang, otot atrofi dan pada bagian besar kasus dapat dijumpai stigmata hati kronik.
Pada saat pasien tidur terlentang, pembesaran perut akan nampak mencolok kesamping kanan dan
kiri seperti perut kodok letak umbilikus tergeser kekaudal mendekati sismfisis pubis, sering dijumpai
hernia umbilikalis kiri tekanan intara abdomen yang meninggi sedangkan otot-otot atrofi sehingga
kekuatannya berkurang, tanda-tanda visis lain menunjukkan adanya akumilasi cairan dalam rongga
perut. Perut antar lain : pekak samping (Flank dullness) pekak alih (shiffing dulinees)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Adanya anemia, gangguan faal hati (penurunan kadar albumen serum,peninggian kadar
globulin serum,penurunan kadar bilirubin direk dan inderik),penurunan enzim kolenisterase, serta
peninggian SGOT dan SGPT.

Pemeriksaan khusus untuk menilai adanya asites yang masih sedikit, misalnya dengan paddle
singn pemerisaan penunjang yang dapat diberikan informasi dalam keadaan ini adalah USG

Fungsi dioagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap pasien baru. Dari pemeriksaan cairan asites
dapat diketahui adanya keganasan . infeksi premer atau sekunder, eksudat, kilus atau transudasi.

VI. PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan asites :

1. Istirat dan diet rendah garam. Dengan istirahan dan diet rendah garam (200-500mg perhari),
kadang-kadang asites dan edema telah dapat diatasi. Adakalanya harus dibantu dengan
membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24 jam , hanya sampai 1 liter atau kurang.

2. Bila dengan istirat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik berupa
spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah
3-4 hari tidak dapat perubahan.
3. Bila terjadi asites reflakter (asites yang tidak dapat dokendalikan dengan terafi
medikamentosa yang intensif). Dilakukan terapi para sintesis. Walau pun merupakan cara
pengobatan asites yang tergolong kono dan setempat ditinggalkan karena berbagai
komplikasinya, parasintesis banyak kembali dicoba untuk digunakan. Pada umumnya
parasentisis aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6-8 g untuk setiap liter
cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan dekstran 70%. Walau pun demikian
untuk mencegah pembentukan asites setelah parasintase, pengaturan diet rendah garam
dan diuritek biasanya tetap diterlukan.

4. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1 kg/2


hari/keseimbangan cairan negatif 600-800 ml/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak
dikeluarkan dalam suatu saat,dapat mencetuskan ensefalopati hepatik.

VII. PROGNOSIS

Pada umumnya dikatakan terbentuknya asites merupakan pertanda prognosis yang tidak baik.
Kemungkinan hidup sampai satu tahun hanya kira-kira 50% dan sampai 5 tahun kira-kira 20%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis adalah perubahan hemodinamika sistem porta, sistem
vaskular sistemik dan fungsi ginjal, ketiga faktor itu lebih penting dari pada tes fungsi hati konvensial
yang bisa digunakan.

. LAPORAN PENDAHULUAN

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

1st. PENGERTIAN

Dengue Haemorrhagic Fever atau yang sering disebut DHF adalah penyakit demam akut
yang disebabkan oleh virus Dengue yang dapat ditandai dengan adanya manifestasi perdarahan
dari tendensi untuk terjadinya Dengue Syok Syndrome (DSS) dan kematian.

2nd. ETIOLOGI

Virus Dengue termasuk golongan ARBO virus B. virus ini masuk pada tubuh penderita
melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypthi (betina). Virus dengue dibedakan atas empat serotive,
yaitu:

- Virus Den 1
- Virus Den 2
- Virus Den 3
- Virus Den 4

Keempat serotive virus tersebut ada di Indonesia. Dengue 3 merupakan serotive yang
paling banyak beredar.

3rd. PATOFISIOLOGI

Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya


permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya pembesaran plasma ke ruang ekstra
seluler.

Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk kedalam tubuh penderita adalah viremia
yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal
diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hiperemi tenggorokan dan hal
lain yang mungkin terjadi seperti hepatomegali, pembesaran getah bening dan pembesaran limpa
(splenomegali).

Hemokonsentrasi (peningkatan >20%) menunjukkan atau menggambarkan adanya


kebocoran (pembesaran) plasma (plasma leakage) sehingga nilai hematokrit menjadi penting
untuk patokan pemberian cairan intravena.

4th. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi
antara 13-15 hari.

Penderita biasanya mengalami demam akut (suhu meningkat tiba-tiba), disertai


menggigil. Saat demam pasien composmentis.

Gejala klinis lain yang timbul dan sangat menonjol adalah terjadinya perdarahan yang
dapat berupa:

- Perdarahan pada kulit (petekie, ekimosis, hematom)


- Perdarahan lain seperti epistaksis, hematemesis, hematuria dan melena.

Pada pasien Dengue Haemorhagic Fever biasa dijumpai:

- Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk , pilek, sakit waktu menelan
- Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, tidak nafsu makan (anoreksia), diare,
konstipasi.
- Keluhan sistem tubuh lain: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan sendi (Break Bone
Fever), nyeri ulu hati, kemerahan pada kulit, dll.

Pada penderita Dengue Haemorrhagic Fever sering dijumpai pembesaran hati


(hepatomegali), limpa, dan kelenjar getah bening yang akan kembali normal pada masa
penyembuhan.
5th. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Foto Thorax (X-Ray)

Merupakan data penunjang untuk mengetahui kemungkinan dijumpainya Pleura Efusion,


pada pemeriksaan USG hepatomegali dan splenomegali

2. Pemeriksaan Serologi

Untuk pengukuran liter anti body pasien dengan cara Haemaglutination Inhibition Test (HI
Test) atau uji pengikatan komplemen dengan mengambil darah vena 2-5 ml

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan data seperti:

- Hb (untuk mengetahui - Trombosit


peningkatan hematokrit) - Faktor pembekuan
- Leukosit - LED
- Hemokonsentrasi - Eritrosit
6th. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Tirah baring
2. Diet makanan lunak
3. Minum banyak (2-2,5 liter / 24 jam)
4. Pemberian cairan intravena (biasanya Ringer Laktat atau NaCl Faali)
5. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam
6. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
7th. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses penyakit (viremia)

Intervensi:

- Kaji saat timbulnya demam


- Observasi tanda-tanda vital: suhu, nadi, pernafasan setiap 3 jam atau lebih sering.
- Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu tubuh
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual, muntah, anoreksia dan sakit saat menelan.

Intervensi:

- Kaji keluhan mual, sakit menelan dan muntah yang dialami pasien
- Berikan makanan yang mudah ditelan seperti: bubur, tim dan hidangkan saat masih hangat
- Menjelaskan manfaat makanan /nutrisi bagi pasien terutama saat pasien sakit.
3. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan mekanisme patologis (proses penyakit)

Intervensi:
- Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien dengan memberi rentang nyeri (0-4)
- Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi pasien terhadap nyeri seperti budaya,
pendidikan, dll.
4. Potensial terjadi infeksi berhubungan dengan pemasangan infus.

Intervensi:

- Lakukan tekhnik aseptik saat melakukan tindakan pemasangan infus


- Mengobservasi daerah pemesangan infus setiap hari
- Amati kelancaran tetesan infus.
- Segera cabut infus jika tampak adanya pembengkakan atau plebetis.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito L.J, 1999. Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Rencana Asuhan dan
Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2 Jakarta; EGC.

Doengoes E. Maryllin, 1999. Rencana Asuahan Keperawatan. Edisi III. Jakarta; Buku Kedokteran.
EGC

Harsono, 1996. Kapita Selekta Neurologi. Jilid 1. Edisi 2. Yokyakarta; Fakultas Kedokteran. UGM.

Mansjoer. Arif, dkk, 1982. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Jakarta; FKUI

Tucker.S.M,dkk,1998.Standar Keperawatan Pasien. Proses Keperawatan, Diagnosa dan Evaluasi.


Edisi V. Jakarta; Buku Kedokteran. EGC

HIPERTIROID

1. Definisi.

Hipertiroid dikenal juga sebagai Tirotoksikosis, Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respon jaringan-
jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul
spontan atau akibat asupan hormon tiroid secara berlebihan.

2. Patofisiologi.
Beberapa penderita penyakit psikiatris mungkin mendapat tiroksin atau triyodotironin dalam dosis besar
sehingga mengakibatkan tirotoksikosis.

Terdapat 2 tipe hipertiroidisme spontan:

1) Penyakit graves.

2) Goiter modular toksik.

Penyakit graves biasanya terjadi pada usia sekitar 30 40 th, dan telah sering ditemukan kebanyakan
lebih banyak wanita dari pada pria. Terdapat predisposisi familiat terhadap penyakit ini dan sering berkaitan
dengan bentuk-bentuk endokrinopati auto imun lainnya. Pada penyakit graves terdapat 2 kelompok
gambaran utama, tiroidal dan ekstra tiroidal dan keduanya mungkin tidak nampak. Ciri-ciri tiroidal berupa
goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan.

3. Tanda dan Gejala.

Gejala-gejala hipertiroid tergantung pada peningkatan taraf metabolik yang dirangsang oleh
hipersekresi kelenjar. Gejala-gejala klasik ialah nervositos tidak tahan panas, tremor dan penurunan
BB, pada pemeriksaan fisik terdapat takikardi dan hipertensi dan kemungkinan pula ditemukan fibriasi
atrium serta kardiomegali, pada hpertiroid primer mungkin terdapat eksota imus. Kelemahan otot pada
luar okeu odema kelopak mata atas px mungkin menunjukan ledakan emosional dan gangguan psikis
berat.

4. Pemeriksaan Penunjang.

Diagnosis laboratorium dari hiper dan hipotiroid dapat dilakukan dengan mengukur kadar T 3
dan T4 dalam serum. Ambilan ( uptake ) iodium radio aktif juga merupakan tes tiroid berguna, tes-tes ini
telah menggantikan pemeriksaan yodium pengikat protein dan tingkat metabolik basal ( BMR ), FTI
atau indeks tiroksin bebas ( Free Thyroxine Index ) yang diperoleh dari rasio T 3 dan T4 total dalam
serum, umumnya merupakan tes yang untuk penapisan ( screening ) LATS ( Long Acting Thyroid
Substance = Substansi Tiroid Berefek Lama ). TSH dan TRH dapat diukur dengan rasio imunolisai. Anti
bodi khusus terhadap tiroglobulin yang tampak pada kelainan imun kelenjar tiroid dapat pula dipakai
untuk membantu dalam mendiagnosis berbagai bentuk tiroiditis.

5. Diagnosa Keperawatan.

1) Penurunan curah jantung S.D penurunan waktu pengisian diastolik sebagai akibat peningkatan
frekuensi jantung.

Observasi setiap 4 jam nadi apikal, tekanan darah dan suhu tubuh.

Anjurkan pada klien agar segera melaporkan pada perawat bila mengalami nyeri dada

Upayakan lingkungan klien agar dapat beristirahat.


Batasi aktifitas yang melelahkan.

Kolaborasi pemberian obat anti tiroid seperti thionamid, methimazole.

2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh S.D efek hiperkatabolisme.

Berikan makanan tinggi kalori tinggi protein.

Beri makanan tambahan diantara waktu makan.

Timbang BB secara teratur setiap 2 hari sekali.

3) Gangguan persepsi sensoris ( penglihatan ) S.D gangguan transmisi infus sensorik sebagai akibat
optalmotik.

Anjurkan pada px tidur dengan elevasi kepala.

Basahi mata dengan borwater steril.

Jika ada photopobia anjurkan klien menggunakan kaca mata rayben.

Jika klien tidak dapat menutup mata rapat pada saat tidur gunakan plester non alergi.

Berikan obat-obat steroid sesuai program.

6. Daftar Pustaka.

Ballenger, John Jacob. 1994. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid 1 Edisi
13.Jakarta; Binarupa Aksara.

Price, Sylvia A & Wilson Lorraine M. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4.
Jakarta; Buku Kedokteran EGC.

Diposkan oleh ((( nu2 ))) di Kamis, September 18, 2008

Anda mungkin juga menyukai