PENDAHULUAN
2
Modalitas terapi PRP telah memunculkan banyak penelitian dalam beberapa tahun
terakhir. Salah satu studi yang membandingkan antara efektifitas terapi PRP dan
high moleculer weight hyaluronic acid (HMWHA). Pada penelitian ini peneliti
memberikan injeksi PRP intra artikular pada 30 pasien dan 30 pasien dengan
HMWHA dosis tunggal. Hasil yang didapatkan terdapat 40% pasien menyatakan
mengalami penurunan skala nyeri, dimana 33% diantaranya merupakan kelompok
pasien yang mendapatkan injeksi PRP intra-artikuler (Widyadharma, 2013). Sampai
saat ini belum ada konsensus yang menyatakan mana outcome yang lebih baik
diantara kedua terapi tersebut.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan secara umum pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
proses asuhan keperawatan pasien dengan diagnosa medis Osteoarthritis Genu
Instalasi Rawat Jalan.
3
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi penulis tentang asuhan
keperawatan pasien dengan diagnosa medis Osteoarthritis Genu
1.4.2 Manfaat Bagi Teman Sejawat
Makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan sumber informasi bagi
teman perawat tentang proses perawatan pasien dengan diagnosa medis
Osteoarthritis Genu
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
Grup otot fleksor dan grup lateral rotasi pada sendi lutut sebagai stabilisasi juga
diperkuat oleh beberapa ligamen, yaitu ligamen cruciatum anterior dan posterior
yang berfungsi untuk menahan hiperekstensi dan menahan bergesernya tibia ke
depan (eksorotasi). Ligamen cruciatum posterior berfungsi untuk menahan
bergesernya tibia ke arah belakang. Pada gerakan endorotasi kedua ligamen
cruciatum menyatu, yang mengakibatkan kedua permukaan sendi tertekan,
sehingga saling mendekat dan kemampuan bergerak antara tibia dan femur
berkurang. Pada gerakan eksorotasi, kedua ligamen cruciatum saling sejajar,
sehingga pada posisi ini sendi kurang stabil. Di sebelah medial dan lateral sendi
lutut terdapat ligamen collateral medial dan lateral. Ligamen collateral medial
menahan gerakan valgus serta eksorotasi, sedangkan ligamen collateral lateral
hanya menahan gerakan ke arah varus. Kedua ligamen ini menahan bergesernya
tibia ke depan dari posisi fleksi lutut 90 derajat (Arya & Jain, 2013).
Hubungan yang simetris antara condylus femoris dan condylus tibia dilapisi oleh
meniscus dengan struktur fibrocartilago yang melekat pada kapsul sendi.
Meniscus medialis berbentuk seperti cincin terbuka “C” dan meniscus lateralis
berbentuk cincin “O”. Meniscus ini akan membantu mengurangi tekanan femur
atas tibia dengan cara menyebarkan tekanan pada cartilago articularis dan
menurunkan distribusi tekanan antara kedua condylus, mengurangi friksi selama
gerakan berlangsung, membantu kapsul sendi dan ligamentum dalam mencegah
hiperekstensi lutut dan mencegah capsul sendi terdorong melipat masuk ke
dalam sendi (Cooper et.al, 2013)
2.1.2 Pengertian Osteoarthritis Genu
Osteoarthritis lutut adalah bentuk degenerasi arthritis yang paling umum dan
merupakan penyebab utama rasa sakit dan cacat di seluruh dunia. Gejalanya
meliputi nyeri dan kekakuan yang menyebabkan berkurangnya mobilitas dan
kualitas hidup. Kerusakan sendi yang terlihat pada OA berpotensi terjadi di semua
jaringan sendi sinovial, termasuk tulang rawan dan tulang, otot dan saraf yang
6
mendasarinya (Dreier, 2010). Osteoarthritis ditandai dengan perubahan degeneratif
pada tulang, tulang rawan, menisci, ligamen, dan jaringan sinovial (Braun et.al,
2011)
2.1.3 Epidemiologi
WHO melaporkan 40% penduduk dunia yang lansia akan menderita OA, dari
jumlah tersebut 80% mengalami keterbatasan gerak sendi. Prevalensi Osteoartritis
di Indonesia cukup tinggi yaitu 5% pada usia > 40 tahun, 30% pada usia 40-60
tahun dan 65% pada usia > 61 tahun (Joewono, 2006). Menurut Riskesdas (2013),
prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 24,7% dan
prevalensi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan adalah 11,9%. Diperkirakan 1
sampai 2 juta orang usia lanjut di Indonesia menderita cacat karena OA. Oleh
karena itu tantangan terhadap dampak OA akan semakin besar karena semakin
banyaknya populasi yang berusia tua.
2.1.4 Etiologi
Penyebab utama dari OA lutut belum diketahui secara pasti, namun terdapat
beberapa faktor etiologi yang diketahui berhubungan dengan OA lutut, yaitu:
1. Usia
Prevalensi OA lutut di Indonesia pada usia < 40 tahun mencapai 5%, pada usia
40-60 tahun 30%, dan pada usia > 61 tahun 65%. (Depkes RI, 2016). Penelitian
yang dilakukan oleh Arissa et al di RSU dr. Soedarso Pontianak tahun 2012
menunjukkan pada kelompok usia terbanyak yang mengalami OA adalah usia
55-72 tahun. Sementara itu berdasarkan hasil penelitian di Desa Serampingan,
Tabanan tahun 2012 prevalensi OA paling banyak didapatkan pada kelompok
usia 60-70 tahun. Melihat dari kecenderungan kejadian tersebut, sebanyak
70.4% responden yang berusia di atas 70 tahun menderita OA lutut. Angka ini
lebih banyak jika dibandingkan jumlah penderita OA lutut pada kelompok usia
50 –70 tahun (58,8%). Hasil di atas menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan prevalensi OA seiring dengan bertambahnya usia responden
(Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Pertambahan usia berpengaruh pada penurunan elastisitas sendi dan menipisnya
permukaan artikuler, penurunan ukuran dan agregasi matriks proteoglikan serta
kehilangan kekuatan peregangan matriks. Perubahan-perubahan ini paling sering
disebabkan oleh penurunan kemampuan kondrosit untuk mempertahankan dan
memperbaiki jaringan, seperti kondrosit itu sendiri sehingga terjadi penurunan
aktivitas sintesis dan mitosis dan adanya tekanan dan gesekan secara terus
menerus pada sendi lutut. Keadaan ini mengakibatkan terkikisnya kartilago dan
rentan terjadi degenerasi (Arya & Jain, 2013).
2. Jenis Kelamin
Wanita memiliki resiko OA lutut dua kali lipat dibanding pria. Walaupun
prevalensi OA lutut sebelum usia 45 tahun hampir sama pada pria dan wanita,
tetapi di atas 50 tahun prevalensi OA lutut lebih banyak pada wanita, terutama
pada sendi lutut. Wanita memiliki lebih banyak sendi yang terlibat dan lebih
menunjukkan gejala klinis seperti kekakuan di pagi hari, bengkak pada sendi,
dan nyeri di malam hari (Maharani, 2007).
Gejala klinis pada OA lebih sering terjadi pada wanita, terutama bagi wanita
7
yang sudah menapause. Salah satu fungsi hormon estrogen adalah membantu
sintesa kondrosit dalam matriks tulang, dan jika estrogen menurun makan
sintesa kondrosit menurun, sehingga sintesa proteoglikan dan kolagen juga
menurun sedang aktifitas lisosom meningkat. Penurunan kadar esterogen juga
mempengaruhi densitas tulang, hal ini lah yang menyebabkan OA banyak terjadi
pada wanita (Reksoprodjo, 2005).
3. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Salah satu faktor resiko OA adalah berat badan. Oleh karena itu untuk
memantau status berat badan orang dewasa digunakan indeks massa tubuh
(IMT). Indeks massa tubuh merupakan parameter yang paling banyak digunakan
dalam menentukan kriteria proporsi tubuh. Dengan indeks massa tubuh
diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan kurus, normal dan gemuk.
Kelebihan berat badan dianggap sebagai salah satu faktor yang meningkatkan
intensitas nyeri yang dirasakan pasien OA (Thumboo, 2002).
Indeks massa tubuh (IMT) adalah metode yang digunakan untuk menentukan
berat badan sehat berdasarkan berat dan tinggi badan. Penelitian tentang
hubungan IMT dengan kejadian OA lutut menunjukan hasil bahwa seseorang
dengan IMT>22 (overweight) memiliki risiko 2000 kali lebih besar untuk
terkena OA lutut dibandingkan dengan orang yang memiliki IMT normal
(Listiani, 2010).
Indeks massa tubuh diatas normal merupakan faktor resiko tertinggi dalam OA
lutut, dimana terjadi peningkatan beban pada sendi lutut saat menopang badan.
Peningkatan berat badan akan melipat gandakan beban pada sendi lutut saat
berjalan, tiga hingga empat kali berat badan dibebankan pada sendi lutut pada
saat tubuh bertumpu pada satu kaki (Litwic, 2015).
4. Deformitas
Deformitas adalah bentuk abnormal dari ekstrimitas atau bagian tubuh yang
dapat berkembang dikemudian hari. Orang yang menderita kelainan bentuk
persendian atau tulang rawan sejak lahir lebih berisiko menderita OA
(Sellam&Beaumont, 2009). Deformitas pada OA lutut disebabkan oleh
bergesernya sendi lutut, bergesernya sendi lutut yang berlebihan dan mobilisasi
sendi yang kurang. Permukaan sendi pada OA lutut menjadi ireguler sehingga
terjadi ketidakseimbangan (incongruous) permukaan sendi dan dapat
menimbulkan gangguan gerakan sendi akibat adanya blok yang bersifat
mekanis.
5. Trauma Sendi
Trauma pada sendi bisa diakibatkan karena adanya pembebanan berlebihan yang
berlangsung lama pada sendi lutut. Semakin tinggi aktifitas seseorang yang
banyak membebani sendi lutut, maka akan semakin tingi juga terjadinya resiko
trauma pada sendi lutut. Selain itu, adanya riwayat cedera atau kecelakaan dan
juga cidera akibat olahraga dapat meningkatkan risiko terjadinya OA lutut.
Kelemahan otot quadrisep juga berhubungan dengan nyeri lutut, disabilitas, dan
progresivitas OA lutut. Selain karena kongenital, kelainan anatomis juga dapat
disebabkan oleh trauma berat yang menyebabkan timbulnya kerentanan terhadap
OA (Virgiyanti, 2006).
Trautama kerusakan pada ligamentum cruciatum dan robekan meniskus, dan
berhubungan dengan progresifitas penyakit. Perkembangan dan progresifitas OA
lutut pada individu yang pernah mengalami trauma lutut tidak dapat dicegah,
8
bahkan setelah kerusakan ligamentum cruciatum anterior diperbaiki. Risiko
berkembangnya OA pada kasus ini sebesar 10 kali lipat (Johnson & Hunter,
2014).
6. Aktifitas Fisik
Aktifitas fisik yang berisiko untuk timbulnya OA lutut adalah aktifitas yang
banyak memberikan pembebanan pada sendi lutut, seperti berdiri terlalu lama
yaitu lebih dari dua jam perhari, sering mengangkat beban dengan berat berlebih
dan naik turun tangga. Pada atlit sepak bola, marathon dan kung fu juga berisko
mengalami OA lutut. Pembebanan berlebih pada sendi lutut juga menyebabkan
penurunan kekuatan otot quadrisep akibat dari penurunan stabilisasi sendi
karena penggunaan yang berlebihan (Solberg, 2008).
9
nyeri yang tumpul. Bunyi krepitasi biasanya terdengar seperti bunyi “klik atau
krek” saat sendi di grakkan secara pasif (Sharma, 2015).
10
3 Sedang Osteofit jelas, penyempitan celah sendi
4 Berat Penyempitan celah sendi besar dan adanya
sklerosis
Berdasarkan tabel diatas, secara radiologis grade OA lutut dapat digambarkan
sebagai berikut:
2.1.7 Patofisiologi
Karakteristik perubahan histopatologis pada OA merupakan proses degradasi yang
bersifat progresif pada kartilago sendi dan jaringan sekitar termasuk otot, tulang
dan ligamen. Degradasi struktur molekuler kartilago sendi dan edema mengurangi
kemampuan jaringan untuk menurunkan beban yang melewati lutut dan
mengurangi gesekan pada sendi selama gerakan. Kondisi ini juga disertai dengan
pembentukan skeloris pada tulang subkondral. Laksitas ligamen dan fungsi otot
yang menurun menyebabkan penyakit OA berlangsung secara kronis. Faktor risiko
OA terjadinya akibat dari proses adalah usia lanjut, perempuan, obesitas,
kelemahan otot dan riwayat trauma. Pencetus proses patologis OA diduga karena
adanya beban mekanis yang menyebabkan proses kerusakan jaringan yang
berlangsung lebih cepat daripada kemampuan tubuh memperbaikinya (Felson,
2005).
Kerusakan jaringan ini pada OA merupakan akibat dari kegagalan kondrosit dalam
mempertahankan keseimbangan antara degradasi dengan sintesis matriks
ekstraselular. Bebrapa proteinase seperti matriks metalloproteinase ikut berperan
dalan proses perusakan kartilago. Selain itu, proinflamatory cytokines yang
disintesa oleh kondrosit dan synoviocytes dapat memicu dihasilkannya enzim-
enzim yang menyebabkan terjadinya degradasi kartilago. Mediator inflamasi lain
termasuk prostaglandin dan jenis reactive oxygen juga turut berkonstribusi dalam
patogenesis pada OA lutut. Proses homeostasis kartilago dan stres mekanik
berperan secara signifikan dalam terjadinya OA lutut. Terdapat beberapa
mekanisme yang menyebabkan stres mekanik pada sendi, salah satunya seringkali
11
diawali cedera pada sendi yang mekanisme proteksinya menjadi tidak baik.
Pelindung sendi terdiri dari: kapsul sendi, ligamen, otot, sensori aferen dan tulang
di dalamnya (Goldring, 2006).
Kapsul sendi dan ligamen bertugas untuk melindungi sendi dengan membatasi
excursion, sehingga dapat memfiksasi ruang lingkup sendi lutut. Sementara itu,
cairan sinovial mengurangi gesekan antara permukaan kartilago artikuler, berperan
sebagai pelindung utama terhadap gesekan pada kartilago. Fungsi lubrikasi
bergantung pada molekul lubricin, suatu glycoprotein mucinous yang disekresi oleh
sel fibroblast sinovial yang konsentrasinya menurun setelah terjadi cedera sendi
atau saat inflamasi sendi, sehingga menyebabkan kontraksi otot menurun (Burr,
2005).
Kontraksi Otot dan tendon akan terjadi dengan tepat pada saat excursion sendi
untuk melindungi sendi dan mengantisipasi beban yang melewatinya. Stres fokal
yang melewati sendi diminimalkan dengan cara kontaksi otot yang mengurangi
benturan pada sendi. Tulang yang berada di bawah kartilago juga dapat berfungsi
sebagai shock absorbent. Kegagalan mekanisme pelindung sendi ini akan risiko
cedera sendi dan OA lutut (Burr, 2005).
Cidera sendi lutut tidak terlepas dari peningkatan gaya mekanik yang melalui sendi.
Weight bearing juga diduga merupakan faktor yang menyebabkan degenerasi.
Selain itu, risiko OA lutut juga muncul karena aktifitas fisik yang berat. Kartilago
sendi dikenal memiliki ketahanan terhadap shear force, tapi rentan terhadap beban
yang berulang. Beban yang berlebih dapat mengakibatkan mikrofraktur dari
trabekula subchondral, yang akan mengalami proses pemulihan melalui
pembentukan callus dan remodelling, roses ini meyebabkan subchondral yang
lebih kaku daripada tulang normal dan kurang efektif sebagai shock absorber,
sehingga memicu terjadinya degenerasi kartilago artikuler. Stres mekanik juga
menyebabkan kerusakan pada kondrosit, sehingga melepaskan enzim-enzim
degeneratif (Dreier, 2010).
Degenerasi pada sendi lutut munculkan bahan tegas dan kenyal disebut tulang
rawan (cartilago) dan menutupi ujung setiap tulang. Tulang rawan menyediakan
permukaan meluncur yang mulus untuk gerakan sendi dan berfungsi sebagai
bantalan diantara tulang-tulang. Pada OA lutut, terjadi kerusakan tulang rawan
yang menyebabkan rasa sakit, bengkak dan masalah saat menggerakkan sendi. OA
lutut memburuk seiring berjalannya waktu, kerusakan tulang menyebabkan
pertumbuhan tulang yang disebut taji (osteofit). Tahap selanjutnya adalah tulang
rawan menyusut dan menggesek tulang lain yang menyebabkan kerusakan sendi
dan menyebabkan rasa sakit pda sendi lutut. Osteofit yang terdapat pada jaringan
subchondral dan pada akhirnya timbul spurs. Spurs inilah yang kemudian
menyebabkan ruang pada sendi (joint space) lutut berkurang, dan membuat lingkup
gerak sendi mengalami penurunan (Cross, 2014).
12
pada pinggir sendi dan perubahan struktur anatomi sendi. 2,3 Pada pasien ini
ditemukan osteofit pada condylus medialis dan lateralis os.femur dan tibia kanan
kiri, pada margo posterosupero et inferior os.patella kanan kiri. Hal ini mendukung
diagnosis OA Genu Dextra et. Sinistra.
2.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan pasien yang mengalami OA adalah untuk edukasi
pasien, pengendalian rasa sakit, memperbaiki fungsi sendi yang terserang dan
menghambat penyakit supaya tidak menjadi lebih parah. Penatalaksanaan
osteoartritis terbagi atas beberapa hal, yaitu :
1. Terapi non-farmakologis
a. Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar pasien dapat
mengetahui serta memaham tetang penyakit yang dideritanya, bagaimana agar
penyakitnya tidak bertambah semakin parah, dan agar persediannya tetap
terpakai
b. Terapi fisik atau rehabilitasi
Terapi ini dilakukan untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat
dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit, Penurunan
berat badan, Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang memperberat
osteoartritis. Oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga agar tidak
berlebih dan diupayakan untuk melakukan penurunan berat badan apabila
berat badan berlebih (Soeroso 2014 & Karen, 2014).
c. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan merupakan tindakan yang penting, terutama pada
pasien-pasien obesitas, untuk mengurangi beban pada sendi yang terserang
OA dan meningkatkan kelincahan pasien waktu bergerak. Suatu studi
mengikuti 21 penderita OA yang mengalami obesitas, kemudian mereka
melakukan penurunan berat badan dengan cara diet dan olah raga. Setelah
diikuti selama 6 bulan, dilaporkan bahwa pasien-pasien tersebut mengalami
perbaikan fungsi sendi serta pengurangan derajat dan frekuensi rasa sakit
(Messier, 2000).
2. Terapi farmakologis
Karena tujuan utama terapi ini untuk mengurangi nyeri secara efektif dengan
toksisitas yang rendah, obat topikal sering digunakan sebelum medikasi oral. Di
Amerika Serikat, krim capsaicin terbukti ampuh dalam penanganan nyeri OA
yang bekerja lokal dengan deplesi neurotransmiter substans P. Ketika
menggunakan obat topikal atau hasilnya kurang baik, analgesik murni biasanya
13
dibutuhkan. Asetaminofen adalah terapi farmakologi sistemik pertama yang
direkomendasikan untuk OA lutut dan pinggul oleh The American Collegeof
Rheumatology, European League Against Rheumatism, American Academy of
Orthopaedic Surgeons dan organisasi lainnya. Sejumlah besar literatur yang
membandingkan asetaminofen dengan plasebo dan dengan NSAID ( Nonsteroidal
Anti-inflammatory Drugs) pada jangka lama menunjukkan asetaminofen inferior
terhadap NSAID dan secara klinis tidak superior terhadap plasebo untuk
mengurangi nyeri OA dalam jangka panjang. Analgesik murni lainnya telah
efektif yaitu tramadol, analgesik yang bekerja di sentral, dan analgesik opioid.
Namun, keduanya memiliki insidensi yang tinggi terhadap efek samping yang
tidak bisa ditoleransi (NICE 2014).
Meski ada kekhawatiran terhadap keamanan dan publisitas terbaru tentang risiko
kardiovaskular, NSAID dan inhibitor siklo-oksigenase-2 (COX-2) tetap menjadi
terapi OA; obat ini adalah satu-satunya obat yang secara konsisten telah
menunjukkan efek mengurangi nyeri OA dalam jangka panjang. Glukosamin
maupun kondroitin sulfat tidak ada yang lebih baik dibandingkan plasebo,COX-2
meringankan nyeri lebih baik dalam 2 tahun. Pemilihan dalam menggunakan
NSAID untuk OA harus didasarkan pada beberapa faktor, seperti kecocokan
dosis, kenyamanan dokter dan pasien, dan harga. Ketika NSAID digunakan pada
pasien risiko kejadian gastrointestinalnya meningkat, dapat ditambahkan proton
pumpinhibitor atau misoprositol.(NICE 2014, Bradley 2010 ) Pasien yang
menggunakan NSAID harus diawasi untuk toksisitas ginjal, khususnya jika pasien
lajut usia, dengan hipertensi atau diabetes mellitus. Analgesik oral non opiat pada
umumnya telah dicoba pasien untuk mengobati sendiri penyakitnya, terutama
dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dengan membeli obat-
obatan yang dijual bebas. Analgesik topikal dengan mudah kita dapatkan
dipasaran dan banyak sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah
mencoba terapi dengan cara ini, sebelum memakai obat-obatan peroral lainnya
(Soeroso 2014, Amin Z. 2015.)
3. Terapi Intra-Artikular
a. Kortikosteroid
Injeksi kortikosteroid intraartikular mengurangi nyeri dalam jangka
pendek,terutama pada rasa nyeri yang sangat; terapi ini juga berguna untuk
mengurangi nyeri yang tidak responsif dengan terapi sistemik optimal.Injeksi
intra-artikular pada sendi yang sama lebih dari 3 atau 4 kali setahun tidak
dianjurkan karena kekhawatiran efek sampingnya terhadap kartilago artikular
dan struktur sendi yang mengelilinginya.
b. Hialuronan
Injeksi intra-artikular hialuronan ditujukan sebagai suplementasi viskous
karena dimaksudkan untuk meningkatkan viskositas cairan sinovial pada OA
untuk mengembalikan keadaan mendekati normal. Namun, karena waktu
paruh hialuronan secara in vivo pendek, efek mengurangi nyerinya mungkin
hasil dari mekanisme yang dihubungkan dengan nonviskositas. Beberapa
hialuronantersedia untuk penggunaan pada OA lutut. Masing-masing telah
bermanfaat mengurangi rasa nyeri yang merupakan hasil dari penggunaan obat
ini dalam 6 bulan atau lebih lama. Meskipun kontroversi tetap ada mengenai
14
batasan pengurangan rasa nyeri yang merupakan hasil penggunaan obatini,
agak aman dan ditoleransi baik.
c. PRP
Platelet rich plasma (PRP) merupakan suatu terapi baru. PRP dapat diterapkan
dan memiliki manfaat hampir sama dengan HA. PRP sangat mudah didapat,
harganya murah dan non invasif. PRP mengandung berbagai growth factor
seperti transforming growth factor beta, basic fibroblast growth factor,
platelet derived growth factor, epidermal growth factor, vascular endothelial
growth factor, dan connective tissue growth factor yang dapat meregenerasi
kartilago yang rusak (Soeroso, et al., 2009; Spaková, Rosocha, Lacko,
Harvanová, & Gharaibeh, 2012). Bahan dasar PRP adalah darah. PRP
merupakan sebuah plasma autolog yang memiliki konsentrasi platelet diatas
rerata. PRP mengacu pada konsentrasi platelet dalam plasma lebih tinggi dari
platelet normal yang beredar dalam tubuh. Dalam keadaan fisiologis, jumlah
platelet dalam darah terbentang dari 150,000/µl hingga 350,000/µl. PRP
kemudian didefinisikan sebagai konsentrasi 1,000,000 platelets/µl dalam 5 ml
volume plasma (Widyadharma, 2013).
d. Operasi
Pasien dengan gejala tidak terkontrol secara adekuat dengan terapi medis dan
dengan derajat sedang sampai berat dan gangguan fungsional harus
dipertimbangkan menjalani operasi, terutama pada lutut atau pinggul yang
sendinya bergejala. Implan modern mengurangi nyeri dan telah terbukti dapat
tahan lama dan memeperbaiki fungsional. Artroplasti telah terbukti
memperbaiki kualitas hidup pasien dengan OA lutut dan pinggul dan
merupakan satu dari beberapa penalaksanaan yang maju dalam30 tahun
terakhir.21 Sebagai tambahan pada artroplasty, beragam prosedur digunakan
pada OA termasuk debridement artroskopi, artrodesis dan teknik penyusunan
kembali sendi. Beberapa pendekatan lain pada terapi OA sedang diteliti oleh
industri farmasi dan bioteknologi dan oleh peneliti akademik. Terapi bedah ini
diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa
sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang
mengganggu aktivitas sehari-hari (NICE 2014, Seroso 2014.)
15
2.1.10 Clinical Pathway
Osteoarthritis
Pelepasan
mediator nyeri Perubahan fungsi Kurang kemampuan Keterbatasan
sendi mengingat
Menyentuh
ujung saraf nyeri Deformitas sendi Perubahan gambaran
Defisit pengetahuan diri
Sulit bergerak
Nyeri Kronis
Gangguan Citra
Tubuh
Gangguan
Mobilitas Fisik
16
2.2 Konsep Injeksi PRP dan HA
2.2.1 Pengertian PRP (Platelet Rich Plasma) dan HA (Asam Hialuronat)
Platelet-rich plasma (PRP) adalah konsentrat platelet multifungsi darah yang dapat
digunakan untuk pengobatan manifestasi osteoartritis, termasuk osteonekrosis pada
kepala femoralis, cedera tulang rawan dan rheumatoid arthritis (Smyth, 2016). Telah
dibuktikan sebelumnya bahwa PRP meningkatkan perbaikan cedera tulang rawan
artikular pada pasien dengan penyakit sendi dengan menghilangkan faktor inflamasi
yang berbahaya (Bembo, 2016). Itu juga menunjukkan bahwa PRP mengurangi
tingkat faktor inflamasi cairan sinovial pada rheumatoid arthritis tanpa menunjukkan
efek samping (Fu et.al, 2016).
HA adalah glukosamin dengan berat molekul tinggi yang disintesis oleh kondrosit,
fibroblas, dan sito sinovio (Ong et.al, 2016). Ini bertanggung jawab untuk
viskoelastisitas dan pelumasan dalam cairan sinovial dan matriks ekstraseluler
(Maheu, 2016). Telah dibuktikan bahwa terdapat konsentrasi HA yang lebih tinggi
(2.5-4.0 mg / ml) dalam cairan sinovial, sedangkan pada pasien dengan osteoarthritis
terjadi penurunan tingkat konsentrasi (Altman, 2016). Oleh karena itu, konsentrasi
HA merupakan indikator prognosis pasien osteoartritis. Kemanjuran pengobatan HA
dalam memperbaiki gejala osteoartritis telah banyak dipelajari dan hasil klinis untuk
pasien dengan osteoartritis positif (Witteveen, Panuccio & Lubowitz, 2015).
2.2.2 Efisiensi Injeksi PRP (Platelet Rich Plasma) & HA (Asam Hialuronat)
Sadabad et al (2016) menyelidiki efisiensi PRP vs. asam hialuronat (HA) untuk
pengobatan osteoartritis lutut dan Khoshbin et al (2013) melakukan tinjauan
sistematis PRP sebagai intervensi terapeutik dalam pengelolaan osteoartritis lutut
bergejala.. Laporan-laporan ini menunjukkan bahwa injeksi PRP intravena
memperbaiki kerusakan pada tendon dan tulang artikular dan mengurangi inflamasi,
yang dapat menjadi fungsi kunci dalam mempertahankan morfologi, mikroarsitektur
kolagen dan sifat mekanis dari vena yang diinjeksi.
Penelitian saat ini menyelidiki kemanjuran dan hasil pengobatan kombinasi PRP dan
HA pada pasien dengan osteoartritis lutut berusia 22-68 tahun. Data klinis
menunjukkan bahwa suntikan PRP intra-artikular lebih berhasil dalam memulihkan
fungsi artikular, mengurangi gejala dan mengurangi artralgia dan nyeri tubuh
dibandingkan dengan pengobatan HA (Lana, 2016). Perawatan kombinasi PRP dan
HA secara signifikan meningkatkan artralgia, mengurangi respons imun humoral dan
seluler, dan meningkatkan angiogenesis, yang menyebabkan peningkatan parameter
histologis, dibandingkan dengan injeksi PRP atau HA saja. Hasil ini menunjukkan
bahwa PRP dan HA memiliki peran terapeutik yang penting dalam perkembangan
17
osteoartritis lutut dan menyoroti potensinya untuk pengobatan osteoartritis lutut di
masa depan (Altman, 2016).
Selain itu, penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa aplikasi gabungan PRP dan
HA dapat memasangkan kembali degenerasi tulang rawan dan menunda
perkembangan osteoarthritis (Saturveithan, 2016). Efek sinergis ini terutama
mengubah peran sitokin inflamasi dalam proses degenerasi chon drocyte melalui
mediator spesifik (CD44, TGF-βRII), sehingga mendorong regenerasi tulang rawan
dan menghambat respons inflamasi (Andia et.al, 2014).
2.2.3 SPO Injeksi HA & PRP
Berikut adalah SPO Injeksi HA (Asam Hialuronat) & PRP
18
19
20
21
22
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan
Menurut Kozier (2010) pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, tahapan ini terdiri atas:
2.3.1Pengkajian Keperawatan
1 Identitas Pasien
Identitas pasien seperti nama, tanggal lahir, umur, jenis kelamin, alamat, agama,
status perkawinan dan penanggung jawab pasien.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya riwayat penyakit saat ini untuk pasien dengan osteoarthritis
adalah nyeri, dan untuk pengkajian nyeri kita bisa menggunakan pengkajian
sebagai berikut :
a. Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi penyebab faktor
presipitasi nyeri.
b. Quality of pain : seperti apa rasa nyeri dirasakan atau digambarkan pasien
apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region: radiation, relief : apakah rasa sakit bisa reda ,apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (scale )of pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari timbulnya
nyeri. Ini bisa berupa kronoligi kejadian yang telah dialami pasien.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Catatan tentang penyakit apa saja yang pernah dialami pasien sebelum masuk ke
rumah sakit.
2.2.3 Diagnosa Keperawatan
Menurut Nurarif & Kusuma (2015) diagnosa pada pasien dengan Setelah
operasi fraktur adalah sebagai berikut :
1. Nyeri Kronis
2. Gangguan Mobilitas Fisik
3. Defisit Pengetahuan
4. Gangguan Citra Tubuh
23
2.3.3 Intervensi Keperawatan
N Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan
o
SLKI SIKI
24
No Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan
SLKI SIKI
25
No Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan
SLKI SIKI
26
N Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan
o
SLKI SIKI
27
yang dialami pasien dapat teratasi.
29
BAB 3
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengkajian
Tanggal Pengkajian : 19 September 2020
Jam Pengkajian : 18.30 WIB
Diagnosa Medis : Osteoarthritis Genu D/S
No. RM : 0409xx
Sumber Data : Pasien dan Rekam Medis
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny.M
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 27-11-1984
Pekerjaan : Swasta
Agama : Budha
Status : Menikah
3.1.2 Riwayat Keperawatan
1. Keluhan Utama
Pasien mengatakan nyeri pada kedua lutut
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Orthopedi RSOT pada tanggal 19 September 2020 untuk
berkonsultasi hasil pemeriksaan USG. Sebelumnya pasien sudah pernah datang
ke Poli Orthopedi pada tanggal 20 Juni 2020 jam 10.19 WIB dengan keluhan
pasien mengatakan nyeri kedua lutut yang sudah dirasakan sejak tahun 2018,
nyeri terasa hilang timbul, dan terasa memberat saat digunakan untuk
berjongkok dan berjalan. Pasien mengatakan sudah melakukan injeksi PRP 2
kali pada tanggal 31 Maret 2018 dan 30 September 2019. Setelah pemeriksaan
di Poli selanjutnya pasien melakukan fisioterapi rutin mulai tanggal 21 Juni
2020 sampai tanggal 13 September 2020.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan memiliki riwayat sakit gastritis.
3.1.3 Pemeriksaan Fisik
1. Breathing
- Inspeksi: RR= 18x/menit teratur bentuk dada normal pergerakan dada
simetris
- Palpasi : tidak terkaji
- Perkusi : tidak terkaji
- Auskultasi: tidak terkaji
2. Blood
- Nadi: 82x/menit
- Tekanan Darah : 116/75 mmHg
3. Brain
- Keadaan umum pasien composmetis dengan GCS: 4-5-6
30
- Pasien dapat berkomunikasi dengan baik
4. Blader
Tidak terkaji
5. Bowel
Tidak terkaji
6. Bone
- Range of Motion (ROM) pasien: pergerakan kaki pasien terbatas, nyeri
memberat saat naik turun tangga dan berjalan jauh, kedua lutut pasien
terlihat bengkak.
- Pengkajian nyeri :
P= agen cidera biologis (peradangan sendi)
Q= seperti tertusuk
R= bagian lutut kaki kanan dan kiri
S= skala 4 dinilai dengan Numeric Rating Scale (NRS)
T= hilang timbul (muncul saat naik turun tangga dan berjalan jauh)
31
3.2 Analisa keperawatan
Tanggal Data Etiologi Problem
Nyeri kronis
32
33
Tanggal Data Etiologi Problem
kurang kemampuan
mengingat
Defisit pengetahuan
34
Tanggal Data Etiologi Problem
35
3.3 Diagnosa keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
36
No Diagnosa Keperawatan
Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi
2
DS= pasien mengatakan pengobatan apa yang efektif untuk penyembuhan
penyakitnya
DO= -
3 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri sendi
DS= pasien mengatakan nyeri dan bengkak di kedua lutut
P= agen cidera biologis (peradangan sendi)
Q= seperti tertusuk
R= bagian lutut kaki kanan dan kiri
S= skala 4 dinilai dengan Numeric Rating Scale (NRS)
T= hilang timbul (muncul saat naik turun tangga dan berjalan jauh)
DO=
- Pasien jalan tertatih
- gerakan lutut kaki minimal
- Nadi: 82x/menit reguler
- Respirasi: 18x/menit teratur
- Tekanan Darah : 116/75 mmHg
37
3.4 Intervensi Keperawatan
No Diagnosa SLKI SIKI
Keperawatan
38
No Diagnosa SLKI SIKI
Keperawatan
39
3.5 Implementasi Keperawatan
No Diagnosa Tanggal Jam Implementasi Keperawatan
Keperawatan
1 Gangguan mobilitas 19 18.30 1. Mengkaji adanya nyeri dan keluhan fisik pasien
fisik berhubungan September 18.33 2. Mengobservasi TTV
dengan nyeri sendi 2020 18.34 3. Mengidentifikasi ROM pasien pada bagian yang
sakit
18.36 4. Mengedukasi pasien untuk mengurangi aktivitas
naik turun tangga dan mengangkat beban yang
berlebih
40
3.6 Evaluasi keperawtaan
No Tanggal & Diagnosa Evaluasi H a s i l Keperawatan TTD
Jam Keperawatan
3 19-9-2020 Defisit S=
Jam 16.47 pengetahuan - pasien mengatakan ingin mengupgrade
berhubungan terapi yang lebih baik dari sebelumnya
dengan kurangnya - pasien mengatakan ingin menjadwalkan
pajanan informasi injeksi kombinasi PRP dan HA untuk
terapi pengurangan nyeri pada kedua
lututnya
O= -
A= Masalah teratasi sebagian
P= Lanjutkan Intervensi 2 dan 4
41
3.7 Pembahasan
Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai kasus yang telah diuraikan pada
bab sebelumnya yaitu asuhan keperawatan pada pasien dengan Diagnosa medis
osteoarthritis genu. Asuhan keperawatan dilaksanakan pada tanggal 19 September
2020
a. Pengkajian
Pada tahap pengkajian penulis mengumpulkan informasi yang sistematis sesuai
dengan format rekam medis pengkajian rawat jalan Rumah Sakit Orthopedi dan
Traumatologi Surabaya. Data pengkajian diperoleh dari data hasil wawancara
keluhan pasien, observasi tanda vital, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pengkajian fisik yang dilakukan mencakup breathing, blood, brain,
blader, bowel dam bone sedangkan dalam teori pengkajian tidak disebutkan
spesifik dalam melakukan pengkajian fisik, hal ini merupakan hal yang baik
karena dalam pengkajian bisa menunjukkan kondisi pasien secara keseluruhan
dan tertata, sehingga data yang diperoleh lebih akurat. Secara teori pasien
dengan osteoarthritis genu memiliki keluhan utama nyeri namun pada saat
pengkajian pasien, keluhan lain yang diutarakan gangguan mobilisasi. Hal
tersebut sesuai dengan beberapa tanda dan gejala yang telah dijelaskan pada
tinjauan teori.
b. Diagnosa Keperawatan
Pada tahap ini penulis menganalisis data yang telah dikelompokkan sesuai
dengan respon pasien, dan penulis mengangkat tiga diagnosa keperawatan pada
pasien antara lain nyeri kronis berhubungan dengan agen cidera biologis (1)
defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi (2), dan
gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri sendi (3). Menurut teori
terdapat empat diagnosa yang muncul yaitu nyeri kronis, gangguan mobilitas
fisik, defisit pengetahuan, dan gangguan citra tubuh. Namun penegakan
diagnosa prioritas pada asuhan keperawatan kasus ini disesuaikan dengan
keluhan utama pasien dan kondisi pasien. Untuk diagnosa gangguan citra tubuh
tidak dapat ditegakkan karena tidak didukung dengan data subjektif dan data
objektif dimana keadaan tubuh pasien dalam keadaan baik dan tidak ada yang
42
berubah.
c. Rencana Keperawatan
Tujuan dan perencanaan dalam membuat intervensi keperawatan disesuaikan
dengan standar intervensi keperawatan yang memaparkan kriteria hasil dan
intervensi sesuai dengan diagnosa yang muncul pada pasien. Intervensi yang
dibuat harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, standar pelayanan di
rumah sakit dan waktu pelayanan standar selama dirawat jalan. Tidak semua
intervensi yang ada pada teori diterapkan, namun hanya beberapa intervensi saja
yang digunakan dan disesuaikan dengan keadaan pasien, mengingat waktu di
poli rawat jalan yang singkat dan disesuaikan dengan tindakan apa saja yang
bisa dilakukan di poli rawat jalan.
d. Implementasi Keperawatan
Sesuai dengan intervensi keperawatan yang telah dibuat maka akan di
implementasikan. Intervensi keperawatan yang dibuat kemudian
diimplementasikan, intervensi yang dibuat harus disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan waktu yang ada. Pasien yang datang dirawat jalan memiliki waktu
yang singkat untuk mampu melakukan semua intervensi yang ada, sehingga
hanya beberapa intervensi yang diambil untuk diimplementasikan selama proses
perawatan di poli rawat jalan.
e. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan implementasi, evaluasi keperawatan yang dapat dilakukan
dalam rentang waktu 1x30 menit sebagai waktu yang ditentukan di tujuan dalam
melakukan perawatan. Waktu yang diberikan cukup singkat namun diharapkan
kriteria hasil dari perencanaan keperawatan yang telah dibuat dapat tercapai.
Pada diagnosa keperawatan gangguan mobilitas fisik kriteria hasil yang
diharapkan belum tercapai sepenuhnya atau intervensi belum dapat diterminasi
hal ini karena masih dalam nilai 3 yang artinya masih memerlukan alat bantu
dan bantuan orang lain untuk mobilisasi sehingga kriteria hasil untuk mandiri
belum teratasi, serta keluhan fisik dan rasa nyeri masih diungkapkan oleh pasien.
Untuk diagnosa keperawatan nyeri kronis kriteria hasil yang diharapkan belum
tercapai hal ini karena keluhan nyeri pasien masih skala 3 dalam keadaan
43
istirahat. Nyeri pada saat istirahat dengan skala 3 ini masih harus mendapatkan
intervensi dengan terapi farmakologis yaitu injeksi intra artikuler kombinasi PRP
dan HA yang sudah direncanakan oleh dokter. Diagnosa keperawatan defisit
pengetahuan untuk kriteria hasil belum tercapai untuk keseluruhan dimana
pasien belum melakukan terapi injeksi IA secara langsung menggunakan
kombinasi PRP dan HA, namun sudah dijadwalkan oleh dokter terkait
waktunya.
44
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
1 Asuhan keperawatan yang dilakukan dimulai dari tahap pengkajian, analisa data,
penentuan intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan yang terakhir
adalah proses evaluasi hasil selama proses keperawatan berlangsung.
2 Diagnosa keperawatan yang ditegakkan berdasarkan keluhan yang pasien rasakan
didukung dengan data objektif dari hasil pengkajian yang telah dilakukan pada
pasien selama pengkajian pasien datang, urutan diagnosa prioritas tidak sesuai
dengan teori namun harus disesuaikan dengan keadaan klinis pasien.
3 Intervensi yang direncanakan untuk pasien disesuaikan dengan kebutuhan pasien
sesuai diagnosa yang telah ditegakkan disesuaikan juga dengan waktu dan kriteria
hasil yang ingin dicapai disesuaikan dengan instalasi rawat jalan.
4 Implementasi keperawatan yang dilakukan harus sesuai dengan perencanaan
keperawatan yang telah dibuat sesuai dengan kebutuhan pasien. Waktu yang
singkat dalam pemberian asuhan keperawatan namun harus mampu mencapai
kriteria hasil yang ditentukan sesuai diagnosa keperawatan yang muncul.
5 Evaluasi keperawatan yang digunakan adalah evalusi hasil. Dari implementasi yang
telah diberikan pada diagnosa gangguan mobilitas fisik kriteria hasil belum tercapai
masih memerlukan beberapa waktu dalam meminimalisir aktivitas untuk
mengurangi keluhan fisik agar kriteria hasil tercapai. Untuk diagnosa nyeri kronis
kriteria hasil belum tercapai sepenuhnya karena masih harus melanjutkan intervensi
dengan terapi farmakologis yaitu injeksi intra artikuler kombinasi PRP dan HA
yang sudah direncanakan oleh dokter. Diagnosa keperawatan defisit pengetahuan
untuk kriteria hasil tercapai sebagian dimana pasien sudah memahami efektifitas
injeksi kombinasi PRP dan HA dalam pengurangan nyeri osteoarthritis namun,
pasien belum melakukan terapi injeksi IA secara langsung menggunakan kombinasi
PRP dan HA, akan tetapi sudah dijadwalkan oleh dokter terkait waktunya.
45
4.2 SARAN
1 Untuk Rumah Sakit
Diharapkan rumah sakit semakin berjalannya waktu akan semakin meningkatkan
mutu pelayanan pada pasien-pasien dengan masalah osteoarthritis yang datang ke
RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya dengan memberikan fasilitas dan
pelayanan yang semakin update dan lebih baik untuk pasien.
2 Untuk Departemen Keperawatan
Peran perawat dapat semakin ditingkatkan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis Osteoarthritis genu di RS
Orthopedi dan Traumatologi Surabaya dengan memberi edukasi pasien mengenai
terapi terupdate dalam pengurangan nyeri pada kasus osteoarthritis genu salah
satunya menggunakan injeksi intra artikuler kombinasi PRP dan HA, sehingga
dapat memberikan opsi pasien dalam memilih terapi untuk memperpanjang
tingkat kekambuhan rasa nyeri pada pasien osteoarthritis.
46
Daftar Pustaka
Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta: Widya
Medika.
Arya, RK &Jain, V. 2013. Osteoarthritis of the Knee Joint. Journal Indian Academy of
Clinical Medicine. Vol 14. No 2. Page 154-162
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing
ProcessApproach, 4 th Edition. New York: W.B. Saunder Company.
Braun, Hillary J., Gold, Garry E., 2011. Diagnosis of osteoarthritis : Imaging, Bone. Vol
4C. p. 1-11
Buys, Lucinda M., Elliot, Marry E., Osteoarthritis in : DiPiro, Joseph T., Buys Lucinda
M., Elliot, Marry E., Talbert, RL., Yee, GC., Matzke, GR., Wells, BG., Posey,
LM., 2008. Pharmacoterapy a Pathophysiologic Approach 7th Ed. USA:
McGraw-Hill education, p. 9-15.
Carpenito, L.J. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisis 13. Jakarta: EGC.
Cerza, F., Carni, S., Carcangiu, A., Vavo, I. Di, Schiavilla, V., Pecora, A., Ciuffreda, M.
(2012). Comparison Between Hyaluronic Acid and Platelet-Rich Plasma ,
Intraarticular Infiltration in the Treatment of Gonarthrosis. The American
47
Journal of Sport Medicine, 40(12), 2822–2827.
Flandry, F., & Hommel, G. (2011). Normal Anatomy and Biomechanics of the Knee,
19(2), 82–92.
Fu CJ, Sun JB, Bi ZG, Wang XM dan Yang CL: Evaluasi platelet-rich plasma dan fibrin
matrix untuk membantu penyembuhan dan perbaikan cedera rotator cuff: A
tinjauan sistematis dan meta-analisis. Clin Rehabil 31: 158-172, 2017.
Joewono Soeroso. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III ed. VI. Jakarta: Interna
Publishing
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Badan Penelitan dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI
Kozier, B, Glenora, Berman, A., &Snyder, SJ. (2010). Buku Ajar Fundamental
Kperawatan Konsep,Proses, & Praktik Edisi 7 Volume 2.(Wahyuningsih,E,
Yulianti,D, Yuningsih,Y, Lusyana, A, alih bahasa). Jakarta: EGC.
Lana JF, Weglein A, Sampson SE, Vicente EF, Huber SC, Souza CV, Ambach MA,
Vincent H, Urban-Paffaro A, Onodera CM, et al. Randomized controlled trial
comparing hyaluronic acid, platelet-rich plasma and the combination of both in
the treatment of mild and moderate osteoarthritis of the knee. J Stem Cells
Regen Med. 2016;12(2):69–78.
Maheu E, Rannou F dan Reginster JY: Khasiat dan keamanan asam hialuronat dalam
pengelolaan osteoartritis: Bukti dari percobaan dan survei pengaturan kehidupan
48
nyata. Semin Arthritis Rheum 45 (4 Suppl): S28-S33, 2016.
Messier S.P., Loeser R.F., Mitchell M.N., et al. Exercise and Weight Loss in Obese
Older Adults with Knee Osteoarthritis : A Preliminary Study. Journal of
American Geriatric Society, 2000; 48 : 1062 – 1072.
Ong KL, Anderson AF, Niazi F, Fierlinger AL, Kurtz SM dan Altman RD: Suntikan
asam hialuronat pada pasien osteoartritis lutut medis dikaitkan dengan waktu
yang lebih lama untuk artroplasti lutut. J Arthroplasty 31: 1667-1673, 2016.
Pearce, Evelyn C. 2015. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Sadabad, H. N., Behzadifar, M., Arasteh, F., Behzadifar, M., Reza, H., Management, H.,
Sciences, M. (2016). Efficacy of Platelet-Rich Plasma versus Hyaluronic Acid
for treatment of Knee Osteoarthritis: A systematic review and meta-analysis.
Electronic Physician, 8(3), 2115-2122.
Say, F., & Yener, K. (2013). Platelet-Rich Plasma Injection Is More Effective than
Hyaluronic Acid in the Treatment of Knee Osteoarthritis. Acta Chirurgiae
Orthopaedicae et Traumatologiae Cechoslovaca, 80, 278-283.
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
49
& Suddarth.Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Smyth NA, Haleem AM, Ross KA, Hannon CP, Murawski CD, Do HT dan Kennedy
JG: Plasma yang kaya trombosit dapat meningkatkan penyembuhan situs donor
osteochondral dalam model kelinci. Tulang rawan 7: 104-111, 2016.
Sobbota. 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi 21. EEG Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta
Thumboo, J., Chew, L.H., dan Lewin-Koh, S.C., 2002. Socioeconomic and
psychosocialfactors influence pain or physical function in Asian patients with
knee or hip osteoarthritis. The National Arthritis Foundation and Nanyang
Polytechnic, Singapore. Didapat dari :http://ard.bmj.com/content/61/11/1017.full
50