Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETIC FOOT (KAKI DIABETIK)

A. Definisi

Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter,


dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala
klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh,
gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga
gangguan metabolisme lemak dan protein (Billota,2012).
Diabetic Foot (Kaki diabetik) adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan
komplikasi kronik diabetes mellitus; merupakan suatu penyakit pada penderita diabetes
bagian kaki (Sujano & Sukarmin,2012). Kaki diabetik merupakan gambaran secara umum
dari kelainan tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes melitus yang diawali
dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus berupa luka terbuka pada permukaan kulit
yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat yang sering disebut dengan ulkus
diabetik karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan
neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan dan
dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob yang pada
tahap selanjutnya dapat dikategorikan dalam gangren yang pada penderita diabetes melitus
disebut dengan gangren diabetik.

B. Klasifikasi

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetik yaitu klasifikasi oleh Edmonds dari
King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi Wagner, klasifikasi Texas,
serta yang lebih banyak digunakan adalah yang dianjurkan oleh International Working Group
On Diabetik Foot karena dapat menentukan kelainan apa yang lebih dominan yakni vaskular,
infeksi dan neuropati, sehingga arah pengelolaan dalam pengobatan dapat tertuju dengan
baik, namun pada penelitian ini klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi berdasarkan
Wagner.
1. Klasifikasi menurut Edmons
a. Stage 1: Normal Foot d. Stage 4: Infected Foot

b. Stage 2: High Risk Foot e. Stage 5: Necrotic Foot

c. Stage 3: Ulcerated Foot f. Stage 6: Unsavable Foot

2. Klasifikasi menurut Wagner


a. Derajat 0
Derajat 0 ditandai antara lain kulit tanpa ulserasi dengan satu atau lebih faktor risiko
berupa neuropati sensorik yang merupakan komponen primer penyebab ulkus;
peripheral vascular disease; kondisi kulit yaitu kulit kering dan terdapat callous (yaitu
daerah yang kulitnya menjadi hipertropik dan anastesi); terjadi deformitas berupa
claw toes yaitu suatu kelainan bentuk jari kaki yang melibatkan metatarsal
phalangeal joint, proximal interphalangeal joint dan distal interphalangeal joint.
Deformitas lainnya adalah depresi caput metatarsal, depresi caput longitudinalis dan
penonjolan tulang karena arthropati charcot.
b. Derajat I
Derajat I terdapat tanda-tanda seperti pada grade 0 dan menunjukkan terjadinya
neuropati sensori perifer dan paling tidak satu faktor risiko seperti deformitas tulang
dan mobilitas sendi yang terbatas dengan ditandai adanya lesi kulit terbuka, yang
hanya terdapat pada kulit, dasar kulit dapat bersih atau purulen (ulkus dengan infeksi
yang superfisial terbatas pada kulit).
c. Derajat II
Pasien dikategorikan masuk grade II apabila terdapat tanda-tanda pada grade I dan
ditambah dengan adanya lesi kulit yang membentuk ulkus. Dasar ulkus meluas ke
tendon, tulang atau sendi. Dasar ulkus dapat bersih atau purulen, ulkus yang lebih
dalam sampai menembus tendon dan tulang tetapi tidak terdapat infeksi yang
minimal.
d. Derajat III
Apabila ditemui tanda-tanda pada grade II ditambah dengan adanya abses yang
dalam dengan atau tanpa terbentuknya drainase dan terdapat osteomyelitis. Hal ini
pada umumnya disebabkan oleh bakteri yang agresif yang mengakibatkan jaringan
menjadi nekrosis dan luka tembus sampai ke dasar tulang, oleh karena itu diperlukan
hospitalisasi/ perawatan di rumah sakit karena ulkus yang lebih dalam sampai ke
tendon dan tulang serta terdapat abses dengan atau tanpa osteomielitis.
e. Derajat IV
Derajat IV ditandai dengan adanya gangren pada satu jari atau lebih, gangren dapat
pula terjadi pada sebagian ujung kaki. Perubahan gangren pada ekstremitas bawah
biasanya terjadi dengan salah satu dari dua cara, yaitu gangren menyebabkan
insufisiensi arteri. Hal ini menyebabkan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat. Pada
awalnya mungkin terdapat suatu area focal dari nekrosis yang apabila tidak dikoreksi
akan menimbulkan peningkatan kerusakan jaringan yang kedua yaitu adanya infeksi
atau peradangan yang terus-menerus Dalam hal ini terjadi oklusi pada arteri digitalis
sebagai dampak dari adanya edema jaringan lokal.
f. Derajat V
Derajat V ditandai dengan adanya lesi/ulkus dengan gangren-gangren diseluruh kaki
atau sebagian tungkai bawah.

3. Klasifikasi modifikasi Brodsky


Kedalaman Luka Definisi

0 Kaki berisiko tanpa ulserasi

1 Ulserasi superfisial, tanpa ulserasi

2 Ulserasi yang dalam sampai mengenai tendon

3 Ulserasi yang luas/abses


Luas Daerah Iskemik Definisi

A Tanpa iskemik

B Iskemik tanpa gangrene


C Partial gangrene

D Complete foot gangrene

Berdasarkan pembagian menurut Wagner di atas, maka tindakan pengobatan atau


pembedahan dapat ditentukan sebagai berikut :

a. Derajat 0 : perawatan lokal secara khusus tidak ada


b. Derajat I-IV : pengelolaan medik dan tindakan bedah minor
c. Derajat V : tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan dengan tindakan bedah
mayor (amputasi diatas lutut atau amputasi bawah lutut).

Beberapa tindakan bedah khusus diperlukan dalam pengelolaan kaki diabetik ini,
sesuai indikasi dan derajat lesi yang dijumpai seperti :

a. Insisi : abses atau selulitis yang luas


b. Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II
c. Debridement/nekrotomi : pada kaki diabetik derajat II, III, IV dan V
d. Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
e. Amputasi : pada kaki diabetik derajat V

C. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya kaki diabetik dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai
berikut:
1. Usia
Penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa persentase kaki diabetik paling
tinggi pada usia ≥45 tahun, seperti diketahui usia lanjut biasanya memiliki keterbatasan
gerak, penglihatan yang buruk dan masalah penyakit yang lain. Tubuh mengalami
banyak perubahan terutama pada organ pankreas yang memproduksi insulin dalam darah
pada usia ≥45 tahun, kejadian kaki diabetik sangat tinggi pada usia ini karena fungsi
tubuh secara fisiologis menurun.
2. Lama Menderita Diabetes Mellitus
Kaki diabetik terutama terjadi pada penderita diabetes melitus yang telah menderita 10
tahun atau lebih dengan kadar glukosa darah tidak terkendali yang menyebabkan
munculnya komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami
makroangiopati-mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati yang
mengakibatkan menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan/luka pada kaki penderita
diabetik yang sering tidak dirasakan.
3. Kontrol Glikemik
Kontrol glikemik atau pengendalian glukosa darah pada penderita diabetes melitus
dilihat dari dua hal yaitu glukosa darah sesaat danglukosa darah jangka panjang.
Pemantauan glukosa darah sesaat dilihatdari glukosa darah puasa dan 2 jam PP,
sedangkan pengontrolan glukosa darah jangka panjang dapat dilakukan dengan
pemeriksaan HbA1c.
4. Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan atau
penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan
kadar kolesterol total dan trigliserida serta penurunan kadar kolesterol HDL.
5. Obesitas
Obesitas adalah penumpukan lemak di badan secara abnormal atau berlebihan yang
dapat mengganggu kesehatan seseorang, dikatakan obesitas apabila Indeks Massa Tubuh
(IMT) ≥ 23 untuk wanita dan IMT ≥ 25 untuk laki- laki.
6. Hipertensi
Hipertensi (TD >130/80mmHg) pada penderita diabetes melitus karena adanya viskositas
darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga terjadi defisiensi
vaskuler, selain itu hipertensi dengan tekanan >130/80mmHg dapat merusak atau
mengakibatkan lesi pada endotel pembuluh darah. Kerusakan pada endotel akan
berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses adhesi dan agregasi trombosit yang
berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi hipoksia pada jaringan yang akan
mengakibatkan terjadinya ulkus. Penelitian studi kasus kontrol di Lowa menghasilkan
bahwa riwayat hipertensi 4 kali lebih besar untuk terjadi ulkus diabetika dengan tanpa
hipertensi pada diabetes melitus.
7. Riwayat Ulserasi pada Kaki
Riwayat ulserasi yang ditandai dengan luka terbuka pada permukaan kulit, nekrosis
jaringan karena gangguan peredaran darah ke organ perifer ditandai dengan menurunnya
pulsasi arteri dorsalis pedis dan neuropati ditandai dengan menurunnya sensasi rasa pada
penderita diabetes melitus tipe 2.
8. Riwayat Trauma pada Kaki
Nilai ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi syaraf sensoris
kaki. Pada keadaan normal, sensasi nyeri yang diterima oleh kaki cepat mendapat respon
dengan cara merubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih besar.
Pada penderita diabetes melitus, adanya neuropati diabetika sensorik akan menyebabkan
penderita diabetes melitus kurang atau tidak merasakan adanya trauma, baik trauma
mekanik, kemikal maupun termis. Keadaan ini memudahkan terjadinya lesi atau ulserasi
yang kemudian karena infeksi terjadilah selulitis ataupun gangren.

D. Patofisiologi
Kaki diabetik terjadi diawali dengan adanya hiperglikemia yang menyebabkan
gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan perubahan distribusi
tekanan pada telapak kaki, kerentanan terhadap infeksi meluas sampai ke jaringan sekitarnya.
Faktor aliran darah yang kurang membuat luka sulit untuk sembuh dan jika terjadi ulkus,
infeksi akan mudah sekali terjadi dan meluas ke jaringan yang lebih dalam bahkan sampai ke
tulang.

1. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling sering ditemukan pada pasien
diabetes melitus. Neuropati diabetik adalah gangguan metabolisme syaraf sebagai akibat
dari hiperglikemia kronis. Angka kejadian neuropati ini meningkat bersamaan dengan
lamanya menderita penyakit diabetes melitus dan bertambahnya usia penderita. Tipe
neuropati terbagi atas 3 (tiga) yaitu:
a. Neuropati sensorik
Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan saraf sensoris
pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang menyebabkan
distribusi stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf tipe A akan
menyebabkan kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan, vibrasi
dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul gejala seperti kejang dan
kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C berperan dalam analisis sensari nyeri dan
suhu. Kerusakan pada saraf ini akan menyebabkan kehilangan sensasi protektif.
Ambang nyeri akan meningkat dan menyebabkan trauma berulang pada kaki.
Neuropati perifer dapat dideteksi dengan hilangnya sensasi terhadap 10 g nylon
monofilament pada 2-3 tempat pada kaki. Selain dengan 10 g nylon monofilament,
dapat juga menggunakan biothesiometer dan Tunning Fork untuk mengukur getaran.
b. Neuropati motorik
Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan kerusakan motor
end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling sering terkena dan
menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi dari otot intraosseus
menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint kehilangan
stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan distribusi tekanan kaki
saat melangkah dan dapat menyebabkan kallus pada bagian-bagian kaki dengan
tekanan terbesar. Jaringan di bawah kalus akan mengalami iskemia dan nekrosis
yang selanjutnya akan menyebabkan ulkus. Neuropati motorik menyebabkan
kelainan anatomi kaki berupa claw toe, hammer toe, dan lesi pada nervus peroneus
lateral yang menyebabkan foot drop. Neuropati motorik ini dapat diukur dengan
menggunakan pressure mat atau platform untuk mengukur tekanan pada plantar
kaki.
c. Neuropati otonom
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki menjadi kering.
Kaki yang kering sangat berisiko untuk pecah dan terbentuk fisura pada kalus.
Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan pada saraf-saraf yang mengontrol
distribusi arteri-vena sehingga menimbulkan arteriolar-venular shunting. Hal ini
menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga terjadi iskemi pada kaki,
keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya distensi vena-vena pada kaki.
2. Kelainan Vaskuler
Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi makrovaskular dari diabetes
melitus. Penyakit arteri perifer ini disebabkan karena dinding arteri banyak menumpuk
plaque yang terdiri dari deposit platelet, sel-sel otot polos, lemak, kolesterol dan kalsium.
PAP pada penderita diabetes berbeda dari yang bukan diabetes melitus. PAP pada pasien
diabetes melitus terjadi lebih dini dan cepat mengalami perburukan. Pembuluh darah
yang sering terkena adalah arteri tibialis dan arteri peroneus serta percabangannya.
Risiko untuk terjadinya kelainan vaskuler pada penderita diabetes adalah usia, lama
menderita diabetes, genetik, merokok, hipertensi, dislipidemia, hiperglikemia, obesitas.
Pasien diabetes melitus yang mengalami penyempitan pembuluh darah biasanya ada
gejala, tetapi kadang juga tanpa gejala, sebagian lain dengan gejala iskemik, yaitu :
a. Intermitten Caudication
Nyeri dan kram pada betis yang timbul saat berjalan dan hilang saat berhenti
berjalan, tanpa harus duduk. Gejala ini muncul jika Ankle-Brachial Index < 0,75.
b. Kaki terasa dingin
c. Nyeri
Terjadi karena iskemi dari serabut saraf, diperberat dengan panas, aktivitas, dan
elevasi tungkai dan berkurang dengan berdiri ata u kaki menggantung.
d. Nyeri iskemia nokturnal
Terjadi malam hari karena perfusi ke tungkai bawah berkurang sehingga terjadi
neuritis iskemik.
e. Pulsasi arteri tidak teraba
f. Pengisian vena yang terlambat setelah elevasi tungkai dan Capillary Refilling Time
(CRT) yang memanjang
g. Rambut di kaki dan ibu jari yang mulai menghilang
h. Kuku menebal, rapuh, sering dengan infeksi jamur

Untuk memastikan adanya iskemia pada kaki diabetik perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan lanjutan, terutama jika diperlukan rekonstruksi vaskuler. Pemeriksaan penunjang
lanjutan yang non invasif antara lain:
a. Palpasi denyut nadi perifer
Apabila denyut kaki bisa di palpasi, maka PAP tidak ada. Jika denyut dorsalis pedis
dan tibial posterial tidak teraba maka dibutuhkan pemeriksaan yang lebih lanjut.
b. Doppler flowmeter
Dapat mengukur derajat stenosis secara kualitatif dan semi kuantitatif melalui
analisis gelombang doppler. Frekuensi sistolik doppler distal dari arteri yang
mengalami oklusi menjadi rendah dan gelombangnya menjadi monofasik.
c. Ankle Brachial Index (ABI)
Tekanan diukur di beberapa tempat di ekstremitas menggunakan manset pneumatik
dan flow sensor, biasanya doppler ultrasound sensor. Tekanan sistolik akan
meningkat dari sentral ke perifer dan sebaliknya tekanan diastolik akan turun.
Karena itu, tekanan sistolik pada pergelangan kaki lebih tinggi dibanding Brachium.
Jika terjadi penyumbatan, tekanan sistolik akan turun walaupun penyumbatan masih
minimal. Rasio antara tekanan sistolik di pergelangan kaki dengan tekanan sistolik
di arteri brachialis (Ankle Brachial Index) merupakan indikator sensitif untuk
menentukan adanya penyumbatan atau tidak.
d. Transcutaneous Oxymetri (TcPO2)
Berhubungan dengan saturasi O2 kapiler dan aliran darah ke jaringan. TcPO2 pada
arteri yang mengalami oklusi sangat rendah. Pengukuran ini sering digunakan untuk
mengukur kesembuhan ulkus maupun luka amputasi.
e. Magnetic Resonance Angiography (MRA)
Merupakan teknik yang baru, menggunakan magnetic resonance, lebih sensitif
dibanding angiografi standar. Arteriografi dengan kontras adalah pemeriksaan yang
invasif, merupakan standar baku emas sebelum rekonstruksi arteri. Namun, pasien-
pasien diabetes memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya gagal ginjal akut akibat
kontras meskipun kadar kreatinin normal.
3. Infeksi
Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal, selulitis dan osteomyelitis.
Infeksi akut pada penderita yang belum mendapatkan antibiotik biasanya monomikrobial
sedangkan pasien dengan ulkus kronis, gangrene dan osteomyelitis bersifat
polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai pada infeksi ringan adalah
Staphylococcus aereus dan streptococcal serta isolation of Methycillin-resstant
Staphyalococcus aereus (MRSA). Jika penderita sudah mendapat antibiotik sebelumnya
atau pada ulkus kronis, biasanya dijumpai juga bakteri batang gram negatif
(Enterobactericeae, enterococcus, dan pseudomonas aeruginosa).

E. Manifestasi Klinis
Kaki diabetik adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan komplikasi kronik
diabetes mellitus. Suatu penyakit pada penderita diabetes bagian kaki, dengan gejala dan
tanda sebagai berikut:

- Sering kesemutan/gringgingan (asmiptomatus).


- Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermil).
- Nyeri saat istirahat.
- Kerusakan jaringan (necrosis, ulkus).

Gambaran klinis dibedakan: neuropatik dan iskemik.

1. Gambaran neuropatik
- gangguan sensorik
- perubahan trofik kulit
- ulkus plantar
- atropati degeneratif (sendi Charcot)
- pulsasi sering teraba
- sepsis (bakteri/jamur)
2. Gambaran iskemik
- nyeri saat istirahat
- ulkus yang nyeri disekitar daerah yang tertekan
- riwayat klaudikasio intermiten
- pulsasi tidak teraba
- sepsis ( bakteri/jamur)

Tabel 2. Perbedaan klinis iskemia dan neuropati pada kaki diabetik


Iskemia Neuropati
Gejala Klaudikasio Biasanya tidak nyeri
Nyeri saat istirahat Kadang nyeri neuropati
Inspeksi Tergantung rubor Lenngkung tinggi
Perubahan Tropik Kuku-kuku jari kaki
Tak ada perubahan
Palpasi Dingin tropic
Tak teraba nadi Hangat
Ulserasi Nyeri Nadi teraba
Tumit dan jari kaki Tak nyeri
Plantar
Tabel 3. Stadium dari Fontaine
Stadium Gejala dan Tanda Klinis
I Gejala tidak spesifik seperti kesemutan , rasa berat
II Claudicatio intermitten yaitu sakit bila berjalan, hilang bila
IIa istirahat
IIb Bila keluhan sakit pada jarak jalan >200 m
III Bila keluhan sakit pada jarak jalan <200 m
IV Rest pain : sakit meskipun waktu istirahat (malam hari)
Ulkus / gangrene

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah

1. Pemeriksaan X-ray untuk mengetahui ada tidaknya osteomyelitis.


2. Pemeriksaan glukosa darah.
3. Kultur dan resistensi untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang menginfeksi
luka segingga dapat memilih obat antibiotik yang tepat.
4. Tes lain yang dapat dilakukan adalah: sensasi pada getaran, merasakan sentuhan
ringan, kepekaan terhadap suhu.

G. Penatalaksanaan Medis
Menurut Levin(1988), penatalaksanaan ulkus kaki diabetic memerlukan pengobatan
yang agresif dalam jangka pendek, hal tersebut mencakup:

a. Debridement local radikal pada jaringan sehat.


b. Terapi antibiotic sistemik untuk memerangi infeksi, diikuti tes sensitivitas
antibiotic,
contohnya :

 Untuk infeksi M.chelonei dapat digunakan quinolon (ciprofloxacin,


ofloxacin), sulfonamides.
 Untuk infeksi M. fortuitum dapat digunakan quinolon dan B-lactams
cefloxitin.
 Untuk infeksi M. haemophilum, M.Non-Chronogenicum, M. ulcerans yang
paling umum digunakan adalah quinolon G.
Beberapa obat lain yang biasa digunakan pada kasus kaki diabetic adalah insulin,
neurotropik, kompres luka, obat anti trombosit, neuromin, dan oksoferin solution.

c. Kontrol diabetes untuk meningkatkan efisiensi sistem imun.


d. Posisi tanpa bobot badan untuk ulkus plantaris

Adapun usaha pengelolaan kaki diabetik guna menyelamatkan dari amputasi secara
umum:

1. Memperbaiki kelainan vaskular yanga ada.


2. Memperbaiki sirkulasi.
3. Pengamatan kaki teratur.
4. Pengelolaan pada masalah yang timbul(pengobatan vaskularisasi, infeksi, dan
pengendalian gula darah).
5. Sepatu khusus.
6. Kerjasama tim yang baik
7. Penyuluhan pasien.

A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang
mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu :
a. Pengumpulan data
a. Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status
perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan
diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun,
adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya yang
telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada kaitannya
dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit
jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat
maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.

e. Riwayat kesehatan keluarga


Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga
menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya
defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
f. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami penderita
sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit
penderita.

b. Pemeriksaan fisik
- Status kesehatan umum:
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan
dan tanda – tanda vital.

- Kepala dan leher


Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga
kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa
tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan
berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
- Sistem integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban
dan shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar
luka, tekstur rambut dan kuku.
- Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi
infeksi.
- Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,
takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
- Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase,
perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
- Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih.
- Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah,
lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.
- Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek
lambat, kacau mental, disorientasi.

c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl
dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
2. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna
pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
3. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai
dengan jenis kuman.

2. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik adalah
sebagai berikut :
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya / menurunnya aliran
darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
2. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada
ekstrimitas.
3. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.
4. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka.
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake makanan yang kurang.
6. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu
anggota tubuh.
7. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.

3. Intervensi

1) Gangguan perfusi berhubungan dengan melemahnya/menurunnya aliran


darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
Tujuan : mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal.
Kriteria Hasil :
- Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler
- Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis
- Kulit sekitar luka teraba hangat.
- Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.
- Sensorik dan motorik membaik
Rencana tindakan :
1. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi
Rasional : dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah.
2. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah :
Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi elevasi pada waktu
istirahat ), hindari penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan
bantal, di belakang lutut dan sebagainya.
Rasional : meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga tidak terjadi
oedema.
3. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa :
Hindari diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok,
dan penggunaan obat vasokontriksi.
Rasional : kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok
dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk
mengurangi efek dari stres.
4. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan
gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ).
Rasional : pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh darah
sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan gula darah
secara rutin dapat mengetahui perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk
memperbaiki oksigenasi daerah ulkus/gangren.

2) Ganguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada


ekstrimitas.
Tujuan : Tercapainya proses penyembuhan luka.
Kriteria hasil :
- Berkurangnya oedema sekitar luka.
- pus dan jaringan berkurang
- Adanya jaringan granulasi.
- Bau busuk luka berkurang.
Rencana tindakan :
1. Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan.
Rasional : Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan
membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya.
2. Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka secara abseptik
menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan yang menempel pada
luka dan nekrotomi jaringan yang mati.
Rasional : merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga kontaminasi luka
dan larutan yang iritatif akan merusak jaringan granulasi tyang timbul, sisa
balutan jaringan nekrosis dapat menghambat proses granulasi.
3. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan kultur pus
pemeriksaan gula darah pemberian anti biotik.
Rasional : insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur pus
untuk mengetahui jenis kuman dan anti biotik yang tepat untuk pengobatan,
pemeriksaan kadar gula darahuntuk mengetahui perkembangan penyakit.
3) Ganguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.
Tujuan : rasa nyeri hilang/berkurang
Kriteria hasil :
- Penderita secara verbal mengatakan nyeri berkurang/hilang .
- Pergerakan penderita bertambah luas.
- Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas normal.( S : 36 – 37,5 0C, N:
60 – 80 x /menit, T : 100 – 130 mmHg, RR : 18 – 20 x /menit ).
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi nyeri yang dialami pasien.
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.
2. Jelaskan pada pasien tentang sebab-sebab timbulnya nyeri.
Rasional : pemahaman pasien tentang penyebab nyeri yang terjadi akan
mengurangi ketegangan pasien dan memudahkan pasien untuk diajak
bekerjasama dalam melakukan tindakan.
3. Ciptakan lingkungan yang tenang.
Rasional : Rangasanga yang berlebihan dari lingkungan akan memperberat rasa
nyeri.
4. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri yang
dirasakan pasien.
5. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan pasien.
Rasional : Posisi yang nyaman akan membantu memberikan kesempatan pada
otot untuk relaksasi seoptimal mungkin.
6. Lakukan massage dan kompres luka dengan BWC saat rawat luka.
Rasional : massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran pus
sedangkan BWC sebagai desinfektan yang dapat memberikan rasa nyaman.
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
Rasional : Obat –obat analgesik dapat membantu mengurangi nyeri pasien.

4) Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
Tujuan : Pasien dapat mencapai tingkat kemampuan aktivitas yang optimal.
Kriteria Hasil :
- Pergerakan paien bertambah luas
- Pasien dapat melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan (duduk, berdiri,
berjalan).
- Rasa nyeri berkurang.
- Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai dengan
kemampuan.
Rencana tindakan :
1. Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien.
Rasional : Untuk mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien.
2. Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas untuk menjaga kadar gula
darah dalam keadaan normal.
Rasional : Pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam
tindakan keperawatan.
3. Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas bawah sesui
kemampuan.
Rasional : Untuk melatih otot – otot kaki sehingg berfungsi dengan baik.
4. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
Rasional : Agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain : dokter ( pemberian analgesik ) dan tenaga
fisioterapi.
Rasional : Analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri, fisioterapi untuk
melatih pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan benar.

5) Gangguan pemenuhan nutrisi (kurang dari) kebutuhan tubuh berhubungan


dengan intake makanan yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
- Berat badan dan tinggi badan ideal.
- Pasien mematuhi dietnya.
- Kadar gula darah dalam batas normal.
- Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
Rencana Tindakan :
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.
Rasional : Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien
sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.
2. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
Rasional : Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya
hipoglikemia/hiperglikemia.
3. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
Rasional : Mengetahui perkembangan berat badan pasien ( berat badan merupakan
salah satu indikasi untuk menentukan diet ).
4. Identifikasi perubahan pola makan.
Rasional : Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang
ditetapkan.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik.
Rasional : Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam
jaringan sehingga gula darah menurun,pemberian diet yang sesuai dapat
mempercepat penurunan gula darah dan mencegah komplikasi.

6) Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu


anggota tubuh.
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu anggota tubuhnya
secar positif.
Kriteria Hasil : Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan. Tanpa
rasa malu dan rendah diri. Pasien yakin akan kemampuan yang dimiliki.
Rencana tindakan :
1. Kaji perasaan/persepsi pasien tentang perubahan gambaran diri berhubungan
dengan keadaan anggota tubuhnya yang kurang berfungsi secara normal.
Rasional : Mengetahui adanya rasa negatif pasien terhadap dirinya.
2. Lakukan pendekatan dan bina hubungan saling percaya dengan pasien.
Rasional : Memudahkan dalm menggali permasalahan pasien.
3. Tunjukkan rasa empati, perhatian dan penerimaan pada pasien.
Rasional : Pasien akan merasa dirinya di hargai.
4. Bantu pasien untuk mengadakan hubungan dengan orang lain.
Rasional : dapat meningkatkan kemampuan dalam mengadakan hubungan dengan
orang lain dan menghilangkan perasaan terisolasi.
5. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan kehilangan.
Rasional : Untuk mendapatkan dukungan dalam proses berkabung yang normal.
6. Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan hargai
pemecahan masalah yang konstruktif dari pasien.
Rasional : Untuk meningkatkan perilaku yang adiktif dari pasien.

7) Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
Tujuan : Gangguan pola tidur pasien akan teratasi.
Kriteria hasil :
- Pasien mudah tidur dalam waktu 30 – 40 menit.
- Pasien tenang dan wajah segar.
- Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup.
Rencana tindakan :
1. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan
tidur/istirahat.
2. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah.
Rasional : mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien
ketika tidur akan mempengaruhi pola tidur pasien.
3. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek
obat-obatan dan suasana ramai.
Rasional : Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain dialami
dan dirasakan pasien.
4. Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik relaksasi .
Rasional : Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam tidur,
teknik relaksasi akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.
5. Kaji tanda-tanda kurangnya pemenuhan kebutuhan tidur pasien.
Rasional : Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien
akibat gangguan pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat.
PATHWAY
DAFTAR PUSTAKA
ADA, 2011, Standards of Medical Care for Patients With Diabetes Mellitus, Diabetes Care
25.
Pokja SDKI DPP PPNI.2017. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia.DewanPpengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia:Jakarta

Pokja SLKI DPP PPNI.2019. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia edisi I


.DewanPpengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia:Jakarta

Pokja SIKI DPP PPNI.2018. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia edisi I .Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia:Jakarta

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2013. Riset
Kesehatan Dasar 2013, Jakarta : Laporan Nasional.
Black & Hawks, 2009. Medical Surgical Nursing, 7thed, St.Louis, Elsevier Saunders.
Bustan, M.N, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Cetakan Kedua, Edisi Revisi,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Kristianto, Heri. 2014. Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik Sistem Endokrin. Materi Kuliah.
Malang
PERKENI. 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di
Indonesia 2011
Smeltzer& Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 8, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Soegondo, S, dkk., 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai