Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS

A. Pendahuluan

Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang

ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat

kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (smelzel dan

Bare,2015). Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit atau

gangguan metabolik dengan karakteristik hipeglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi urin, kerja insulin, atau kedua – duanya (ADA,2017).

Data World Health Organization (2015) telah mencatat Indonesia

dengan populasi 230 juta jiwa, menduduki kedudukan keempat di dunia dalam

hal jumlah penderita diabetes terbesar setelah Cina, India, dan Amerika

Serikat. Bahkan Kementerian Kesehatan menyebut prevalensi diabetes

mencapai 14,7% di perkotaan dan 7,2 % di pedesaan. Dengan asumsi

penduduk berumur di atas 20 tahun pada 2010 mencapai 148 juta jiwa,

diperkirakan ada 21,8 juta warga kota dan 10,7 juta warga desa menderita

diabetes.

Menurut American Diabetes Asociation (ADA,2015), DM dapat di

klasifikasikan menjadi beberapa tipe yakni, DM tipe 1, DM tipe 2, Dm

gestasional. Beberapa tipe yang ada, DM tipe 2 merupakan salah satu jenis

yang paling banyak ditemukan yaitu lebih dari 90-95%. Dimana faktor

pencetus dari DM tipe 2 yakni berupa obesitas, mengosumsi makanan instan,


terlalu banyak makan karbohidrat, merokok dan stres, kerusakan pada sel

prankreas dan kelainan hormonal.

Menurut International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2015

terdapat 415 juta (8,8%) penderita DM di seluruh dunia dan diprediksikan

angka tersebut akan terus bertambah menjadi 642 juta (10,4%) penderita DM

tahun 2040. Sedangkan jumlah estimasi penyandang DM di Indonesia

diperkirakan sebesar 10 juta yang menempatkan Indonesia dalam urutan ke-7

tertinggi di dunia bersama China, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia, dan

Meksiko (IDF, 2015).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2017,

prevalensi Diabetes Melitus di Indonesia berdasarkan wawancara yang

terdiagnosis dokter sebesar 2,5 % .DM terdiagnosis dokter atau gejala sebesar

3,0 %. (Kemenkes, 2017).

B. Definisi

Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau

mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna

manis atau madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang

mengalirkan volume urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes

melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan

absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel terhadap insulin

(Corwin, 2009).
DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh

kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia yang disebabkan

defisiensi insulin atau akibat kerja insulin yang tidak adekuat (Smeltzer &

Bare, 2009).

Diabetes Melitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai

berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan

berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah,

disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop

elektron (Mansjoer dkk, 2007).

C. Anatomi Fisiologi

Menurut Gonzaga.B (2010), prankreas terletak melintang dibagian atas

abdomen dibelakang glaster didalam ruang retroperitonial. Disebelah kiri ekor

prankreas mencapai hiluslinpa diarah kronio dorsal dan bagian kiri atas kaput

prankreas dihubungkan dengan corpus oleh leher prankreas yaitu bagian

prankreas yang lebar biasanya tidak lebih dari 4 cm, arteri dan vena mesentrika

superior berada dibagian kiri prankreas ini disebut processus unsinatis

prankreas. Menurut Gonzaga Prankreas terdiri dari 2 jaringan utama yaitu:

1. Asinus yang menyekresi getah pencernaan ke duodenum.

2. Pulau langerhans yang tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi

menyekresi insulin deddan glukagon langsung ke darah. Pulau langerhans

manusia mengandung tiga jenis sel utama yaitu sel alfa, beta dan delta yang

satu sama lain dibedakan dengan struktur dan sifat pewarnaannya. Sel beta
mengekresi insulin, sel alfa mengekresi glukagon, dan sel-sel delta

mengekresi somatostatin.

3. Fisiologi Prankreas

Menurut Gongzaga 2010, Prankreas disebut sebagai organ rangkap,

mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai kelenjer eksokrin dan kelenjer endokrin.

Fungsi eksokrin menghasilkan sekret yang mengandung enzim yang dapat

menghidrolisis protein, lemak, dan karbohidrat, sedangkan endokrin

menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang memegang peranan

penting pada metabolisme karbohidrat. Kelenjer prankreas dalam mengatur

metabolisme glukosa dalam tubuh berupa hormon hormon yang

disekresikan oleh sel-sel di pulau langerhans. Hormon ini dapat

diklasifikasikan sebagai hormon yang merendahkan kadar glukosa darah

yaitu insulin dan hormon yang dapat meningkatkan glukosa darah yaitu

glukagon.

Menururt Gonzaga (2010), Prankreas dibagi menurut bentuk nya:

a. Kepala (kaput) merupakan bahagian paling besar terletak di sebelah

kanan umbilical dalam lekukan duodenum.

b. Badan (korpus) merupakan bagian utama organ itu letaknya sebelah

lambung dan depan vertebra lumbalis pertama.

c. Ekor (kauda) adalah bagian runcing sebelah kiri, dan yang sebenarnya

menyentuh lympa
D. Klasifikasi

Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s

Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus,

menjabarkan 4 kategori utama diabetes, yaitu: (Corwin, 2009)

1. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)/ Diabetes Melitus

tergantung insulin (DMTI)

Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe

I. Sel-sel beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin

dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk

mengontrol kadar gula darah. Awitannya mendadak biasanya terjadi

sebelum usia 30 tahun.

2. Tipe II: NonInsulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes

Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)

Sembilan puluh persen sampai 95% penderita diabetik adalah tipe

II. Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin

(resisten insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin.

Pengobatan pertama adalah dengan diit dan olah raga, jika kenaikan kadar

glukosa darah menetap, suplemen dengan preparat hipoglikemik (suntikan

insulin dibutuhkan, jika preparat oral tidak dapat mengontrol

hiperglikemia). Terjadi paling sering pada mereka yang berusia lebih dari

30 tahun dan pada mereka yang obesitas.

3. DM tipe lain
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik),

obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan

karakteristik gangguan endokrin.

4. Diabetes Kehamilan: Gestational Diabetes Mellitus (GDM)

Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak

mengidap diabetes.

E. Etiologi

Penyebab dari DM Tipe II antara lain (FKUI, 2011):

1. Penurunan fungsi cell β pancreas

Penurunan fungsi cell β disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

a) Glukotoksisitas

Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan

peningkatan stress oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat

peningkatan apoptosis sel β.

b) Lipotoksisitas

Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa

dalam proses lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif

menjadi ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi

apoptosis.

c) Penumpukan amyloid

Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar

glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha
mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga

terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti

dengan sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel

beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu

sendiri sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans

menjadi berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai

50-60%.

d) Efek incretin

Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara

meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan

mengurangi apoptosis sel beta.

e) Usia

Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin

sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada

usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa

mencapai 50 – 92%. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30

tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia.

Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan

ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi

homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel

beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan

terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang

mempengaruhi kadar glukosa.


2. Retensi insulin

Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas,

tapi faktor-faktor berikut ini banyak berperan:

a) Obesitas

Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa

darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh

termasuk di otot berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.

b) Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

c) Kurang gerak badan

d) Faktor keturunan (herediter)

e) Stress

Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf

simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila

stress menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan.

Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing faktor yang

menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol, yang akan

mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah.

F. MANIFESTASI KLINIS

Beberapa gejala dari diabetes tipe 2, antara lain:

1. Sering buang air kecil, terutama saat malam hari.

2. Sering merasa haus.

3. Sering merasa lapar.


4. Berat badan turun.

5. Luka yang sulit sembuh.

6. Mudah terserang infeksi.

7. Kulit gatal.

8. Pandangan kabur.

9. Kelelahan.

10. Nyeri atau mati rasa pada kaki dan tangan.

11. Kesemutan.

12. Gatal di kemaluan pada wanita.

13. Gangguan ereksi pada pria.

G. Patofisiologi

Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi

insulin perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan

fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula

timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi

insulin untuk mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah

tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi

mengkompensasi retensi insulin hingga kadar glukosa darah meningkat dan

fungsi sel beta makin menurun saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan.

Penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya

sama sekali tidak mampu lagi mensekresi insulin (FKUI, 2011).


Pada diabetestipe2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan

dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.

Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.

Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu

rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin

pada diabetes mellitus tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.

Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi

pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan

mencegah terbentuknya glukagon dalam darah harus terdapat peningkatan

jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,

keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa

akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun

demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan

akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes mellitus

tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas

diabetes mellitus tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang

adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang

menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada diabetes

mellitus tipe II. Meskipun demikian, diabetes mellitus tipe 2 yang tidak

terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom

hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).

Pada keadaan tertentu glukosa dapat meningkat sampai dengan 1200

mg/dl hal ini dapat menyebabkan dehidrasi pada sel yang disebabkan oleh
ketidakmampuan glukosa berdifusi melalui membran sel, hal ini akan

merangsang osmotik reseptor yang akan meningkatkan volume ekstrasel

sehingga mengakibatkan peningkatan osmolalitas sel yang akan merangsang

hypothalamus untuk mengsekresi ADH dan merangsang pusat haus di bagian

lateral (Polidipsi). Penurunan volume cairan intrasel merangsang volume

reseptor di hypothalamus menekan sekresi ADH sehingga terjadi diuresis

osmosis yang akan mempercepat pengisian vesika urinaria dan akan

merangsang keinginan berkemih (Poliuria). Penurunan transport glukosa

kedalam sel menyebabkan sel kekurangan glukosa untuk proses metabolisme

sehingga mengakibatkan starvasi sel. Penurunan penggunaan dan aktivitas

glukosa dalam sel (glukosa sel) akan merangsang pusat makan di bagian

lateral hypothalamus sehingga timbul peningkatan rasa lapar (Polipagi).

Pada Diabetes Mellitus yang telah lama dan tidak terkontrol, bisa terjadi

atherosklerosis pada arteri yang besar, penebalan membran kapiler di seluruh

tubuh, dan degeneratif pada saraf perifer. Hal ini dapat mengarah pada

komplikasi lain seperti thrombosis koroner, stroke, gangren pada kaki,

kebutaan, gagal ginjal dan neuropati.


H. Pathway

I. Penatalaksanaan

Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan

aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi

komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe

diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.

Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes (FKUI, 2011):


1. Diet

2. Obat obatan

3. Latihan atau olahraga

4. Pemantauan

5. Terapi (jika diperlukan)

6. Pendidikan

J. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk DM sebagai berikut (FKUI, 2011):

1. Glukosa darah sewaktu

2. Kadar glukosa darah puasa

3. Tes toleransi glukosa

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali

pemeriksaan:

1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)

2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)

3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah

mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl.


DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes


Melitus Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC

Huda, Amin. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis


& NANDA NIC-NOC. Jakarta: Mediaction Publishing.

Smeltzer, S. C., & Bare B. G. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC.

Stockslager L, Jaime dan Liz Schaeffer. 2007. Asuhan Keperawatan Geriatric.


Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai