Definisi
Inkontinensia Urine (IU) merupakan salah satu keluhan utama pada penderita
lanjut usia. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial.
Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai
benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai
pengeluaran feses) (brunner, 2011).
Faktor yang berkonstribusi terhadap perkembangan inkontinensia adalah factor
fisiologis dan psikologis. Faktor psikologis dapat mencakup depresi dan apatis, yang
dapat meperberat kondisi sehingga sulit untuk mengatasi masalah kearah normal.
Beberapa kondisi psikiatrik dan kerusakan otak organic seperti demensia, dapat juga
menyebabkan inkontinensia. Faktor anatomis dan fisiologis dapat mencakup kerusakan
saraf spinal, yang menghancurkan mekanisme normal untuk berkemih dan rasa ingin
menghentikannya. Penglihatan yang kurang jelas, infeksi saluran perkemihan, dan
medikasi tertentu seperti diuretic juga berhubungan dengan inkontinensia. Selain itu,
wnaita yang melahirkan dan laki – laki dengan protatism, cenderung mengalami
kerusakan kandung kemih yang dapat menyebabkan inkotinansia, akibat trauma atau
pembedahan.
2. Penyebab
Inkontinensia urin dapat disebabkan oleh berbagai masalah medis:
1. Untuk perempuan, penipisan dan pengeringan kulit dalam vagina atau saluran kencing,
terutama setelah menopause.
2. Untuk pria, kelenjar prostat membesar atau operasi prostat.
3. Pelemahan dan peregangan otot-otot panggul setelah melahirkan.
4. Obat-obatan tertentu.
5. Penumpukan tinja di perut (karena kesulitan buang air besar).
6. Kegemukan dan obesitas, yang meningkatkan tekanan pada kandung kemih dan otot yang
mengendalikan kandung kemih.
7. Penyakit tertentu.
3. Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran
kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-
tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat
temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat
terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari
berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian
koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada
keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung
kemih penuh atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat
atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan
normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase
pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat
mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa
dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase
pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih
meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang
merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka
uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena
kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam
uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-
otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase
pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).
4. Klasifikasi
Meskipun berbagai penyebab inkontinensia menghasilkan proses yang sederhana, tetapi
inkontinensia perlu dikategorisasikan, seperti yang telah ditetapkan oleh Perhimpunan
Kontinensia Internasional.
a. Inkontinensia stress
Terjadi akibat adanya tekanan di dalam obdomen ( peningkatan intra badomen secar
tiba – tiba yang menambah tekanan yang emmang telah ada pada kandung kemih ). Oleh
Karen itu, bersin batuk, tertawa, latihan / olahraga, atau perubahan posisi dengan bangun dari
kursi atay berbalik dapat menyebabkan kehilangan sejumlah kecil urine tanpa disadari atau
kebocoran urine dari kandung kemih. Hal tersebut lebih sering terjadi pada wanita karena
kehilangan tonus otot dasar panggul yang dihubungkan dengan melahirkan anak, prolaps
pelvis seperti sistokel, uretra yang lebih pendek secra natomis, dan kelemahan sfingter. Pada
pria, prostatektomi adalah salah satu penyebabnya.
b. Inkontinensia mendesak ( urgensi )
Inkontinensia ini dihubungkan dengan keinginan yang kuat dan mendesak untuk
berkemih dengan kemampuan yang kecil untuk menunda berkemih. Berkemih dapat
dilakukan, tetapi orang biasanya berkemih sebelum sampai ke toilet. Mereka tidak merasakan
adanya tanda untuk berkemih. Pada inkontinensia urgensi, kandung kemih hampir penuh
sebelum kebutuhan utnuk berkemih dirasakan dan sebagai akibatnya, sejumlah kecil sampai
sedang urine keluar sebelum dapat mencapai toilet. Sensasi urgensi tersebut disertai dengan
frekuensi. Penyebabnya dihubungkan dengan ketidakstabilan otot trusor ( aktivitas yang
berlebihan ) oleh otot itu sendiri atau yang dihubungkan dengan kondisi seperti sistitis,
obstruksi aliran keluar, cedera spinal pada bagian suprasakral, dan stroke. Antara 40 – 70%
inkontinensia pada lansia adalah jenis inkontinensia urgensi.
c. Inkontinensia Overflow
Inkontinensia karena aliran yang berlebihan ( overflow ) adalah hilangnya urine yang
terjadi dengan distensi kandung kemih secara berlebihan yang terjadi pada 7 sampai 11%
pasien inkontinensia. Kapasitas berlebihan, yang menyebabkan tekanan kandung kemih lebih
besar daripada tekanan resistensi sfingter uretra. Karena otot detrusor tidak berkontraksi,
terjadi urine yang menetes dan penurunan pancaran urine saat berkemih.
Inkontinensia karena aliran yang berlebihan disebabkan oleh gangguan transmisi saraf
dan oleh adanya obstruksi pada saluran keluarnya urine seperti yang terjadi pada pembesaran
prostat atau impaksi fekal. Hal ini juga disebut hipnotik atau atonik kandung kemih. Residu
urine setelah berkemih lebih dari 150 sampai 200 ml.
Kondisi ini juga terjadi saat aktivitas kandung kemih tidak ada dan muncul karena
adanya beberapa obstruksi yang menahan urine untuk keluar. MIksi normal tidak mungkin
terjadi. Akhirnya, tekanan dari urine di dalam kandung kemih mengatasi obstruksi dan terjadi
episode inkontinensia. Hal ini biasanya terjadi pada prostatism dan konstipasi fekal.
d. Inkontinensia reflex
Akibat dari kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti demensia. Dalam hal ini,
pengosongan kandung kemih dipengaruhi reflex yang dirangsang oleh pengisian.
Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.
e. Inkontinensia fungsional
Inkontinensia fungsional disebabkan oleh factor – factor selain dari disfungsi system
urinaria. Struktur system urinaria utuh dan fungsinya normal, tetapi factor eksternal
mengganggu kontinensia. Demensia, gangguan psikologis lain, kelemahan fisik atau
imobilitas, dan hambatan lingkungan seperti jarak kamar mandi yang jauh adalah salah satu
factor – factor ini. Hal ini terjadi saat terdapat factor yang membatasi individu untuk
kontinensia, bias berupa spinal, psikiatrik, atau musculoskeletal.
f. Inkontinensia Fekal
Meskipun biasanya bukan merupakan tanda penyakit mayor, inkontinensia dapat
menyebabkan gangguan yang serius pada kesejahteraan fisik dan psikologis lansia.
Inkontinensia fekal dapat terjadi secara bertahap ( seperti demensia ) atau tiba – tiba ( seperti
cedera medulla spinalis ). Inkontinensia fekal biasanya akibat dari statis fekal dan impaksi
yang disertai penurunan aktivitas, diet yang tidak tepat, penyakit anal yang nyeri yang tidak
diobati, atau konstipasi kronis. Inkontinensia fekal juga dapat disebabkan oleh penggunaan
laksatifyang kronis, penurunan asupan cairan, deficit neurologis dan pembedahan pelvic,
prostat, atau rectum serta obat – obatan seperti antihistamin, psikotropik, dan preparat besi.
Lansia yang mengalami inkontinensia fekal mungkin tidak menyadari kebutuhan untuk
defekasi. Jika ia tidak dapat pergi ke kamar mandi atau menggunakan commode atau pispot
sendiri, pasien dapat kehilangan sensitifitas rectum akibat harus menahan desakan defekasi
sementara menunggu bantuan. Perubahan musculoskeletal dapat juga emmepngaruhi
kemampuan lansia untuk mengambil posisi yang nyaman, yang mempengaruhi frekuensi dan
keefektifan defekasi.
g. Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine bukan merupakan tanda – tanda normal penuaan. Inkontinensia
urine selalu merupakan suatu gejala dari masalah yang mendasari. Jutaan lansia mengalami
beberapa kehilangan kendali volunteer. Masalah kontinensia urinarius dibagi menjadi akut
atau persisten dan dapat berkisar dari kehilangan control kandung kemih ringan sampai
inkontinensia total. Inkotinensia akut terjadi secara tiba – tiba biasanya akibat dari penyakit
akut. Sering terjadi pada individu yang dirawat di rumah sakit, inkontinensia akut biasanya
hilang setelah penyakit sembuh. Inkontinensia akut juga dapat akibat dari obat, terapi, dan
factor lingkungan . Inkontinensia persisten diklasifikasikan menjadi inkontinensia urgensi,
inkontinensia stress, inkontinensia overflow, dan inkontinensia fungsional. Inkontinensia
urine dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan endokrin, seperti hiperklasemia dan
hiperglikemia. Keterbatasan mobilitas atau penyakit yang menyebabkan retensi urine dapat
mencetuskan inkontinensia urine ata dapat akibat depresi pada lansia.
5. Manifestasi Klinis
a. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi
karena telah mulai berkemih.
b. Desakan, frekuensi, dan nokturia.
c. Inkontinensia stress dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa,
bersin, melompat, batuk atau membungkuk.
d. Inkontinensia overflow, dicirikan dengan volume dan aliran urine buruk atau lambat dan
merasa menunda atau mengejan.
e. Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang adekuat.
f. Hiegiene buruk atau tanda – tanda infeksi.
g. Kandung kemih terletak di atas sifisis pubis.
6. Pengobatan
Pengobatan tergantung pada sumber masalah dan jenis inkontinensia.
1. Jika disebabkan oleh masalah medis, inkontinensia akan hilang setelah penyakitnya
diterapi.
2. Senam kegel dapat membantu beberapa jenis inkontinensia dengan memperkuat otot-otot
panggul.
3. Teknik relaksasi untuk memperpanjang interval kencing yang normal (frekuensi kencing
yang umum adalah 6-7 kali per hari) dapat membantu mengatasi inkontinensia stres dan
mendesak.
4. Pengobatan dan operasi adalah pilihan terapi bagi inkontinensia yang disebabkan
penyakit.
Penatalaksanaan
a. Non farmakologis
Terapi non farmakologis meliputi terapi suportif non spesifik
(edukasi, manipulasi
lingkungan, pakaian dan pads tertentu) dan intervensi tingkah laku (latihan
otot dasar
panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan.)
Bladder training
Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang
normal dengan teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau
3-4 jam sekali. Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada interval waktu
tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya interval berkemih diperpanjang
secara bertahap sampai pasien ingin berkemih setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti
bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stres, namun untuk itu diperlukan motivasi yang
kuat
dari pasien untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya berkemih pada interval
waktu tertentu saja.
5
-
Latihan otot dasar panggul. Terapi ini efektif untuk inkontinensia campuran. Latihan
dilakukan 3-5 kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Latihan
dilakukan dengan melakukan kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul.
Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan
kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien menjalani latihan,
harus dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rektum untuk
menetapkan
apakah mereka dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya.
5
-
Habit training
memerlukan penjadwalan berkemih sesuai dengan jadwal berkemih
pasien sendiri
. Teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin tipe
fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien
Biofeedback therapy
merupakan terapi yang bertujuan agar pasien mampu
mengontrol kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihnya
.
5
b.
Farmakologis
Terapi farmakologis telah dibuktikan mempunyai efek yang baik terhadap
inkontinensia urin tipe urgen dan stres. Obat-obat yang dipergunakan dapat digolongkan
menjadi: antikolinergik, antispasmodik, agonis adrenergik α, dan estrogen tropikal.
-
Anticholinergic Agents
. Merupakan obat kelas pertama pada wanita yang menderita
inkontinensia urin tipe urgensi. Obat-obatan golongan ini menghalangi pengikatan
asetilkolin kepada reseptor kolinergik sehingga menekan kontraksi kandung kemih
involunter. Dicyclomine Hydrochloride merupakan obat golongan Agen
Antikolinergik sebagai relaksan otot polos dan masih diterima untuk pemberian
kepada wanita hamil. Pemberian obat ini dapat menurunkan kemampuan pasien
untuk mengemudi dan aktivitas berbahaya lain
.
5
-
Antispasmodic Drugs
. Merupakan obat-obatan yang bekerja sebagai relaksan otot
polos kandung kemih dengan mengerahkan aksi spasmolitik ke otot polos kandung
kemih yang mengakibatkan meningkatnya kapasitas kandung kemih dan cukup
efektif untuk terapi farmakologis inkontinensia urin tipe urgensi. Oxy-butynin
Chloride merupakan obat yang paling umum digunakan. Merupakan obat golongan
antispasmodik dengan mekanisme mengerahkan efek antispasmodik dan
antimuskarinik ke otot polos sehingga menunda keiningan untuk berkemih,
meningkatkan kapasitas kandung kemih, dan menurunkan kontraksi involunter
sehingga menurunkan frekuensi dan keinginan berkemih.
-
Agonists Alpha-Adrenergic
. Obat golongan ini meningkatkan resistensi sphincter
urethra interna untuk berelaksasi, sehingga sphincter urethra tetap berkontraksi
menyebabkan penurunan frekuensi inkontinensia tipe stress. Contoh obat golongan
ini adalah Pseudoephedrine Hydrochloride. Obat ini merupakan obat golongan
Dekongestan Sistemik yang merupakan agonis alfa-adrenergik dengan dosis 60mg
bertahan selama 6 hari dan 120mg bertahan selama 12 hari. Penggunaan pada wanita
hamil belum diketahui efeknya.
c.
Pembedahan
Tindakan operasi dilakukan pada wanita dengan inkontinensia tipe stres yang tidak
membaik dengan penanganan konservatif harus dilakukan upaya operatif.
Tindakan
pembedahan yang paling sering dilakukan adalah ileosistoplasti dan miektomi detrusor.
Pembedahan yang dilakukan untuk inkontinensia tipe stres adalah
injectable
intraurethral bulking agents, urethral slings, artificial urinary sphincters
dan suspense nya 2 - 4 x sehari, dengan sangat