Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

INKONTENSIA URINE

OLEH:

Aditya Rahman

NPM. 1914901110002

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN. 2019
LAPORAN PENDAHULUAN
INKONTENSIA URINE

A. Pengertian
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali
pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya (FKUI,
2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi
keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif dan
menimbulkan gangguan hygiene dan social.

B. Klasifikasi
Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)
a. Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat
untuk berkemih.
b. Inkontinensia Total
Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
c. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin kurang dari
50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
d. Inkontinensia refleks
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin yang tidak
dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung
kemih mencapai jumlah tertentu.
e. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa
disadari dan tidak dapat diperkirakan.

C. Etiologi
Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :
a. Poliuria, nokturia
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan
efek akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar
panggul.
2) Perokok, Minum alkohol.
3) Obesitas
4) Infeksi saluran kemih (ISK)

D. Tanda dan Gejala


Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)
1. Inkontinensia Dorongan :
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2. Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3. Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4. Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.
5. Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

E. Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria
(Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih
dapat ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan
berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal
dan sfingter ekternal relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda
hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini.Pada lansia tidak semua
urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap adekuat.
Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi
urine.Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi
kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi
esterogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan
mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia,
2006).
2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung
kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih,
urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi
sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau
bersin.

F. PATHWAY
G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman &
Waspadji S, 2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan
alat-alat mahal.Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan
fisik. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi
urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan.
Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada
desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa
dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat.
Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih,
ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas
kandung kemih.
a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.Tes
laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin,
kalsiumglukosasitol.
b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini
digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami
inkontinensia urine dan tidak inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga
inkontinensia urine. Pencatatan  pola berkemih tersebut dilakukan selam 1-3
hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respons terapi dan juga
dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien
faktor pemicu.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai
berikut :Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut
misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara
normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu,
jumlah dan jenis minuman yang diminum.
a. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu,
mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia
ingin berkemih setiap 2-3 jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang
telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan
dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan
latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah
dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka,
kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke
belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang
air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul
menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
b. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter
relax diberikan kolinergik agonis sepertiBethanecholataualfakolinergik
antagonis sepertiprazosinuntuk stimulasi kontraksi, danterapi diberikan secara
singkat.
c. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipeoverflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk
menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu,
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
d. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu
bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers,
kateter.
e. Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari
dengan rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan
asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat
membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk mencegah kejadian-kejadian
yang memalukan. Pengurangan asupan cairan sebelum waktu tidur dapat
mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi cairan harus diminum lebih
banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan setiap harinya tetap
sama.
Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan klien
dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih) yang
berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.
5. Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, Hipertensi.
6. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah  apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri
saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah
supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing /
dapat juga di luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang
lama.
3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine.
4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat

C. Intervensi
1) Diagnosa 1
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih
dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa
melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia
Kriteria Hasil :
Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi kandung
kemih
2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis
3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan
R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume
urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi
dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika
tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000
ml, kecuali harus dibatasi.
R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.
6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan
frekuensi inkonteninsia.

2) Diagnosa 2
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang
lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat berkemih
dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya
bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan
setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan
naik ke saluran perkemihan.
3. Ikuti kewas padaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung,
pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang
terjadi (memberikan perawatan perianal, pengosongan kantung drainase urine,
penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan
kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
4. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan
masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai
dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
 Tingkatkan masukan sari buah berri.
 Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri
diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan
masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran
kemih.

3) Diagnosa 3
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan integritas
kulit teratasi.
Kriteria Hasil :
 Jumlah bakteri <100.000/ml.
 Kulit periostomal tetap utuh.
 Suhu 37° C.
 Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan
kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang
wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin
ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal.
Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan
kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam
urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.
4) Diagnosa 4
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1. Awasi TTV
R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular,
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran
R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan cairan
3. Awasi berat jenis urine
R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine
4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang
terbatas dan menurunkan rasa haus
5. Timbang BB setiap hari
R: Untuk mengawasi status cairan

D. Evaluasi
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari adanya
kemampuan dalam :
a) Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai
dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat,
kompresi pada kandung kemih atau kateter
b) Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering
tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.
c) Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak
ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
d) Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi
inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kusyati, Eni. 2006. Keterampilan dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : EGC


2. Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan
Praktik;. Volume 2. Jakarta : EGC
3. Stockslager, Jaime L. 2007 . Buku Saku Gerontik edisi: 2 . Jakarta : EGC.
4. Stanley M, Patricia GB. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC.
5. Watson, Roger. 2003. Perawatan pada Lansia. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai