Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN INDIVIDU

DEPARTEMEN: KEPERAWATAN GERONTIK

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN


INKONTINENSIA URIN

Oleh :

ALVIN FITRI HENDIKA (195070209111025)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Definisi
Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa
awam  merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia urine
adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga
mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin
meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang
juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses) (brunner, 2011).
Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS) didefinisikan
sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol; secara objektif dapat
diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis. Hal ini memberikan
perasaan tidak nyaman yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial, psikologi,
aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan interaksi sosial dan
interpersonal. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang
bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti
infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, rangsangan obat–obatan dan
masalah psikologik.

2.1.2 Etiologi
Terdapat sejumlah alasan terjadinya inkontinensia, baik yang disebabkan oleh semua
factor diatas maupun masalah klinis yang berhubungan. Alasan utama pada lansia adalah
adanya “ ketidakstabilan kandung kemih “. Beberapa kerusakan persyarafan mengakibatkan
sesorang tidak mampu mencegah kontraksi otot kandung kemih secara efektif ( otot
detrusor ) dan mungkin juga dipersulit oleh masalah lain, seperti keterbatasan gerak atau
konfusi. Keinginan untuk miksi datang sangat cepat dan sangat mendesak pada seseorang
sehingga penderita tidak sempat pergi ke toilet, akibatnya terjadi inkontinensia, kejadian yang
sama mungkin dialami pada saat tidur.
Pada wanita, kelemahan otot spingter pada outlet sampai kandung kemih seringkali
disebabkan oleh kelahiran multiple sehingga pengeluaran urine dari kandung kemih tidak
mampu dicegah selama masa peningkatan tekanan pada kandung kemih. Adanya tekanan di
dalam abdomen, seperti bersin, batuk, atau saat latihan juga merupakan factor konstribusi.
Pembesaran kelenjar prostat pada pria adalah penyabab yang paling umum terjadinya
obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini menyebabkan inkontinensia karena
adanya mekanisme overflow. Namun, inkontinensia ini dapat juga disebabkan oleh adanya
obstruksi yang berakibat konstipasi dan juga adanya massa maligna ( cancer ) dalam pelvis
yang dialami oleh pria dan wanita. Akibat dari obstruksi, tonus kandung kemih akan
menghilang sehingga disebut kandung kemih atonik. Kandung kemih yang kondisinya penuh
gagal berkontraksi, akan tetapi kemudian menyebabkan overflow, sehingga terjadi
inkontinensia.
Apapun penyebabnya, inkontinensia dapat terjadi saat tekanan urine di dalam kandung
kemih menguasai kemampuan otot spingter internal dan eksternal ( yang berturut – turut baik
secara sadar maupun tidak sadar ) untuk menahan urine, tetap berada dalam kandung kemih

2.1.3 Klasifikasi
Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya
dibahas beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu :
a. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup. Keluhan
khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan
gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk. Gerakan semacam itu dapat
meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih.
Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Kebanyakan keluhan
ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah melahirkan. Akibatnya penderita
harus sering menganti pakaian dalam dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi
berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang diperlukan setiap hari,
merupakan ukuran kegawatan keluhan inkontinensia ini.
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan
kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat
dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan
percobaan Marshall-Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai
habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih.
Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung
kemih dengan air sampai penderita merasa ingin berkemih. Dengan demikian
ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml. Kemudian
dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta
penderita batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran urine, maka
percobaan diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu sama lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada saat ini.
Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding depan
vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel hilang.
Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine terhenti maka ini
menunjukkan penderita akan dapat disembuhkan dengan operasi kelainan yang
dideritanya.
b. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)
Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter dihubungkandengan
keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi). Biasanya terjadi akibat
kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor berkontraksi tanpa sadar
secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung kemih dengan
keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak stabil. Biasanya kontraksinya
disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu urgensi, frekuensi,
nokturia dan nokturnal enuresis.
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan
pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan
inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia pada
keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya
karena detrusor (urgensi motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi
sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering
dihubungkan dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan
infeksi pada vagina dan serviks. Burnett, menyebutkan penyebabnya adalah tumor
pada susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada
sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial.
Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik lebih sering
dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa dan antikolinegrik.
Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.
c. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)
Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan
intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi kandung
kemih tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung kemih yang
lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih
dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya urine menetes
lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera
vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma
kapitis, serta tumor otak dan medula spinalis. Corak atau sifat gangguan fungsi
kandung kemih neurogen dapat berbeda, tergantung pada tempat dan luasnya luka,
koordinasi normal antara kandung kemih dan uretra berdasarkan refleks miksi, yang
berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral medula spinalis. Baik otot kandung
kemih maupun otot polos dan otot lurik pada uretra dihubungkan dengan pusat miksi.
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting
mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari pusat
yang lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di dalam
pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan kandung kemih
dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari. Refleks miksi juga dipengaruhi melalui
pleksus pelvikus oleh persarafan simpatis dari ganglion yang termasuk L 1, L2, L3.

Pada lesi, dapat terjadi dua jenis gangguan pada fungsi kandung kemih yaitu :
1)Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya lengkung refleks terjadi
kelumpuhan flasid pada kandung kemih dan dasar panggul. Sehingga miksi
sebenarnya lenyap.
2) Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral dan lengkung refleks
yang tetap utuh, maka hilangnya pengaruh pusat yang lebih atas terhadap pusat
miksi. Miksi sakral menghilangkan kesadaran atas keadaan kandung kemih.
Terjadi refleks kontraksi kandung kemih yang terarah kepada miksi yang
otomatis tetapi tidak efisien karena tidak ada koordinasi dari pusat yang lebih
atas. Sering kontraksi otot dasar panggul bersamaan waktunya dengan otot
kandung kemih sehingga miksi yang baik terhalang. Juga kontraksi otot
kandung kemih tidak lengkap sehingga kandung kemih benar-benar dapat
dikosongkan.
d. Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada
waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi, dekapitasi, atau
ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari sesudah partus lama, yang
disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama pada jaringan jalan lahir di tulang
pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan iskemia dan kematian jaringan di jalan
lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi
plastik pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya dapat
menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis ialah
dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam rongga vesika. Akan tampak metilen
biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan operasi
melalui vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi kecil. Bila
ditemukan fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa hari pascah bedah,
maka penanganannya harus ditunda tiga bulan. Bila jaringan sekitar fistula sudah
tenang dan normal kembali operasi baru dapat dilakukan.

2.1.4 Manifestasi Klinis


a. Inkontinensia stress : Keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejala-
gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stress.
b. Inkontinensia urgensi : ketidak mampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran
seringnya terburu-buru untuk berkemih.
c. Enuresis nocturnal : 10% anak usian 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun mengompol
selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu yang abnormal
dan menunjukan adanya kandung kemih yang tidak stabil.
d. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi(pancara lemah, menetes),
trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal), fistula (menetes
terus menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit
sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukan penyakit yang mendasari.
e. Ketidak nyamanan daerah pubis.
f. Distensi vesika urinaria.
g. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
h. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine (20-50 ml)
i. Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
j. Meningkatkan keresahan dan keinginanan berkemih.
k. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
l. Tidak merasakan urine keluar.
m. Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil.
2.1.5 Pathway
2.1.6 Pencegahan
a. Menjaga diri agar terhindar dari penyakit yang dapat menyebabkannya.
b. berhenti merokok dan jauhi asap rokok orang lain.
c. Makan tinggi serat agar terhindari dari sembelit.
d. Berhenti mengkonsumsi alkohol.
e. Mengurangi konsumsi caffein dan minuman bersoda.
f. Menjadi pribadi yang aktif secara fisik dan rutin berolah raga.
g. Mengontrol berat badan agar tidak menjadi kegemukan.
h. Jangan menahan-nahan keinginan untuk BAK.
i. Untuk wanita: jangan terlalu sering hamil dan melahirkan.

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik


a. Urinallisis, digunakan untuk melihat apakan ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
b. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
c. Cysometri digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi reflex otot detrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal dan reaksi
kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi ekskretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi
struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
e. Volding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan kandung
kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, striktur uretra, dan tahap
gangguan uretra prostatic stenosis ( pada pria ).
f. Uretrografi retrograde, digunakan hampir secara ekslusif pada pria, membantu diagnosis
striktur dan obstruksi orifisium uretra.
g. Elektromiografi sfingter pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran prostat atau
nyeri, kemungkinan menanndakan hipertrofi prostat jinak atau infeksi. Pemeriksaan
tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin menyebabkan inkontinensia.
h. Pemeriksaan vagina dapat memperlihatkan kekeringan vagina atau vaginitis atrofi, yang
menandakan kekuranagn estrogen.
i. Katerisasi residu pescakemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan
kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien
berkemih.

2.1.8 Penatalaksanaan
Ada beberapa cara untuk menangani pasien dengan kasus inkontinensia urin. Umumnya
dapat berupa tatalaksana farmakologis, non-farmakologis maupun pembedahan.
Prinsipnya adalah penderita inkontinensia tidak dapat ditangani hanya dengan satu
modalitas terapi, tetapi melalui serangkaian terapi yang dilakukan secara simultan.
Spektrum modalitas terapi yang dilakukan meliputi:
a. Terapi non farmakologis, yaitu:
1) Terapi suportif non-spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads
tertentu)
2) Intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih,
penjadwalan berkemih)
b. Terapi medika mentosa
c. Operasi
d. Kateterisasi
Keberhasilan penanganan pasien inkontinensia sangat bergantung pada ketepatan
diagnosis dalam penentuan tipe inkontinensia, faktor yang berkontribusi secara reversibel dan
problem medik akut yang dialami.
Intervensi pada tingkah laku pasien sangat memerlukan kerja sama yang baik dari pasien
tersebut. Secara umum yang dapat kita lakukan ialah meliputi edukasi pada pasien dan
pengasuhnya. Intervensi perilaku yang dapat meliputi bladder training, habit training,
prompted voiding dan latihan dasar otot panggul. Sedangkan teknik yang menggunakan alat
seperti stimulasi elektrik, biofeedback dan neuromodulasi dapat melengkapi teknik perilaku
ini.
Apa saja intervensi tingkah laku yang dapat dilakukan? Berikut adalah daftar hal yang
dapat dilakukan dalam terapi non farmakologis ini.
2.2 Bladder training
Merupakan suatu jenis terapi yang cukup efektif dibanding teknik non farmakologik
lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal sehingga
hanya mencapai 6-7 kali sehari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan
sensasi untuk berkemih. Misalnya awalnya interval waktu satu jam, kemudian
ditingkatkan perlahan hingga 2-3 jam. Agar tidak lupa, dapat dibuat catatan harian
untuk berkemih. Apabila pasien tidak mampu lagi menahan sensasi kemihnya, maka
ia diperbolehkan berkemih sebelum waktunya namun akan dicatat dalam catatan
hariannya. Sebisa mungkin catat volume urin yang keluar pada saat miksi dan jumlah
urin yang bocor.Fakta yang menarik yang penulis dapatkan ialah bila seseorang
tergoda untuk segera ke kamar kecil untuk muncul dorongan berkemih, maka
kandung kemihnya dapat terangsang dengan gerakan yang tergesa-gesa tersebut.
Latihan kandung kemih ini terbukti efektif terhadap inkontinensia tipe stress maupun
tipe urgensi.
2.3 Latihan dasar otot panggul
Merupakan suatu jenis latihan yang dikembangkan oleh Arnold Kegel pada tahun
1884. Berdasarkan penelitiannya, Arnold Kegel menemukan tingkat perbaikan dan
kesembuhan pada 84% subjek penelitian yaitu wanita yang menderita inkontinensia
berbagai tipe. Latihan yang dilakukan oleh Arnold Kegel ini sekarang lebih dikenal
dengan nama Senam Kegel.
Seperti yang kita ketahui bersama, otot pelvis seperti otot lainnya dapat
mengalami kelemahan akibat bertambahnya usia,. Latihan pada otot pelvis dapat
memperkuat otot-otot yang lemah di sekitar kandung kemih. Secara sederhana latihan
yang dapat dilakukan dideskripsikan mirip dengan usaha otot kita sewaktu menahan
untuk tidak flatus.
Latihan ini dapat dilakukan beberapa kali sehari dengan waktu 10 menit untuk
tiap kali latihan. Dapat dipraktikkan dimana saja, paling baik saat berbaring di tempat
tidur. Pada saat melakukan latihan, usahakan bernapas dengan normal dan tidak
menggunakan otot paha, betis dan perut. Setelah melakukan latihan ini selama 4-6
minggu, diharapkan akan ada perbaikan kondisi yaitu berkurangnya kebocoran urin.
2.4 Latihan untuk menahan dorongan berkemih
Untuk mengurangi rasa ingin berkemih, cara ini dapat digunakan bila dorongan
tersebut muncul:
2.4.1 Berdiri tenang maupun duduk diam, lebih baik jika kaki disilangkan agar mencegah
rangsang berlebihan dari kandung kemih.
2.4.2 Tarik napas teratur dan relaks.
2.4.3 Kontraksikan otot dasar panggul beberapa kali. Ini akan membantu penutupan uretra
dan menenangkan kandung kemih.
2.4.4 Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet sebelum tiba waktunya.
Latihan yang ada diatas membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun bila
dilakukan dengan sabar, hasilnya cukup memuaskan. Sedangkan terapi biofeedback
dapat digunakan agar pasien mampu menahan kontraksi involunter otot detrusor dari
kandung kemih. Stimulasi elektrik menggunakan kejutan kontraksi otot pelvis dengan
alat bantu pada vagina dan rektum. Neuromodulasi merupakan terapi yang menggunakan
stimulasi saraf sakral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neuromodulasi
merupakan salah satu cara yang dapat menangani kandung kemih yang hiperaktif dengan
baik.
Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti
efektif terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat dilaksanakan
bila upaya terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak dapat mengatasi
masalah inikontinensia tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Martono, Hadi. 2011. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Maryam, Siti. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.

Notoatmodjo, S. 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nugroho, Wahjudi. 2012. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.

Nurwidiyanti, Erika. 2008. Pengaruh Kegel Exercise Terhadap Pemenuhan Kebutuhan


Elminasi Urin Pada Lansia.Skripsi Strata Satu. Yogyakarta, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.

Onat, dkk. 2014. Relationship Between Urinary Incontinence and Quality of Life in Elderly

Purnomo, Basuki. 2009. Dasar – Dasar Urologi Edisi ke IV. Jakarta : CV Sagung Seto
Sudoyo, Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing
Universitas Sriwijaya. Inkontinensia Urin. URL http/:digilib.unsri.ac.id/ download/
inkontinensia%20urine.pdf.Diak

Wulandari. 2012. Pengaruh Bladder Training Terhadap Penurunan Inkontinensia Pada


Lansia. Skripsi Strata Satu. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai