Anda di halaman 1dari 19

SISTEMPERKEMIHAN

Laporan Pendahuluan Inkontinensia Urin

DISUSUN OLEH:

1. Indah Rohana
2. Muhamad akhwanudin
3. Riana Kurnia Ningtiyas

S1 KEPERAWATAN IIIB

STIKes HUTAMA ABDI HUSADA


Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husodo No. 1 Tulung Agung
TAHUN AJARAN 2016/2017
Laporan Pendahuluan Inkontinensia Urin

1. Definisi

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter yang


menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata (International
Continence Society (ICS).
Inkontinensia urine (beser) adalah kondisi ketika dorongan berkemih tidak mampu
dikontrol oleh sfingter ekternal. (Mubarak wahit iqbal & chayatin Nurul, 2007)
Inkontinensia urine adalah ketidak mampuan otot sfingter ekternal sementara atau
menetap untuk mengontrol ekresi urine. (Wartonah Tarwoto, 2003)
Inkontinensia urine adalah keluarnya urin secara tidak terkendali atau tidak pada
tempatnya. (Soeparman &Waspadji Sarwono, 2001)
Inkontinensia urine adalah eliminasi urine dari kandung kemih tidak terkendali atau
terjadi diluar keinginan (Brunner & Sudarth, 2002)

1.1 Klasifikasi Inkontinensia Urine

Inkontinensia Urin Berdasarkan sifat reversibilitasnya dapat dikelompokkan menjadi 2


yaitu :
1. Inkontinensia urin akut ( Transient incontinence )
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan
biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenic dimana menghilang
jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya dikenal dengan akronim DIAPPERS yaitu :
delirium, infeksi dan inflamasi, atrophic vaginitis, psikologi dan pharmacology, excessive
urin production (produksi urin yang berlebihan), restriksi mobilitas dan stool impaction
(impaksi feses).
2. Inkontinensia urin kronik ( Persisten )
Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung lama
( lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan mendasar yang melatar belakangi
Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu :
a. Menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif
b. Karena kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot
detrusor.
Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi beberapa tipe
1. Stress
2. Urge
3. Overflow
4. Mixed
Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing tipe :

a) Inkontinensia urin tipe stress


Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat
peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan
penurunan estrogen. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa,
bersin,berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan
dapat dilakukan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-
obatan), maupun dengan operasi.
Inkontinesia urin tipe stress dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu14:
1. Tipe 0 : Pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan melalui
Pemeriksaan.
2. Tipe 1 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stress dan adanya sedikit
penurunan uretra pada leher vesika urinaria.
3. Tipe 2 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada leher vesika
urinaria 2 cm atau lebih.
4. Tipe 3 : Uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa kontraksi kandung kemih.
Leher uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma atau bedah sebelumnya) dengan
gangguan neurologic atau keduanya. Tipe ini disebut juga defisiensi sfingter intrinsic.

b) Inkontinensia urin tipe urge


Timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, yang
mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan ketidak
mampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya dapat
berupa perasaan ingin kencing yang mendadak ( urge ), kencing berulang kali ( frekuensi )
dan kencing di malam hari ( nokturia ).

c) Inkontinensia urin tipe overflow


Pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu banyak
di dalam kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah.
Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada
sumsum tulang belakang, atau saluran kencing yang tersumbat.
Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing ( merasa urin masih tersisa
di dalam kandung kemih ), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah. Inkontinensia
tipe overflow ini paling banyak terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita.

d) Inkontinensia tipe campuran (Mixed)


Merupakan kombinasi dari setiap jenis inkontinensia urin di atas. Kombinasi
yangpaling umum adalah tipe campuran inkontinensia tipe stress dan tipe urgensi atau tipe
stress dan tipe fungsional.

2. Etiologi

Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001)

a.    Poliuria, nokturia

b.    Gagal jantung

c.    Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.

d.     Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :

1)   Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat

melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.

2)   Perokok, Minum alkohol.

3)   Obesitas

4)   Infeksi saluran kemih (ISK)

3. Manifestasi Klinik

a. urgensi

b. retensi

c. kebocoran urine

d. frekuensi
  4. Patofisiologi

Inkontinensia urine bisa disebabkan karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran
kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara
tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau
bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat
berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada
pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian
koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada
keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung
kemih penuh atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-
loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini.
Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar
kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali.
Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara
sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu
sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume
kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah.
Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan
tegang. Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam
kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi
pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine memancar
keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa
fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh
mengalir balik ke dalam ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali.
Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control volunter dan
disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra
internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi oleh
korteks otak.
Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor,
lapisan submukosa dan lapisanmukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian
kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung
kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri
atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf
pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih.
Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan
melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat
subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi
sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk
berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih
disadari, dan pusat kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin.
Gangguan pada pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat
mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam
mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut.
Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan kandung
kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari urethra
sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke
uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau
batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat
dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian
kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan
penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan
aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar panggul. Pada
fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis
meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih.
Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks
serebri dan serebelum. Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin
yaitu ada inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe
overflow..
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak
dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring dengan bertambahnya usia,
ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya
otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau
batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung
kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran
kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena
infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urine berlebih karena
berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus
dipantau
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan
otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya
otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat
membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta
robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke
atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra),
sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine.
Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan
dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin
besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul.
4.1 Patway

5. Faktor Resiko
Faktor Resiko Inkontinensia Urin Faktor resiko yang berperan memicu inkontinensia
urin pada wanita adalah14 :
1. Faktor kehamilan dan persalinan
a. Efek kehamilan pada inkontinensia urin tampaknya bukan sekedar proses mekanik
inkontinensia urin pada perempuan hamil dapat terjadi dari awal kehamilan hingga
masa
nifas, jadi tidak berhubungan dengan penekanan kandung kemih oleh uterus.
b. Prevalensi inkontinensia urin meningkat selama kehamilan dan beberapa minggu
setelah persalinan.
c. Tingginya usia, paritas dan berat badan bayi tampaknya berhubungan dengan
inkontinensia urin.
2. Wanita dengan indeks masa tubuh lebih tinggi akan cenderung lebih banyak
mengalami inkontinensia urin
3. Menopause cenderung bertindak sebagai kontributor untuk resiko terjadinya
inkontinensia urin.
Ada mitos yang menetap yang menganggap bahwa inkontinensia urin pada wanita
merupakan konsekuensi proses penuaan normal. Walaupun proses penuaan bukanlah
penyebab inkontinensia, perubahan fungsi saluran kemih bawah terjadi seiring dengan
proses penuaan dan ini menjadi faktor predisposisi inkontinensia urin.
Usia pada wanita merupakan faktor independen penting yang berhubungan dengan
prevalensi inkontinensia urin tetapi sangat sulit untuk membedakan apakah inkontinensia
urin timbul akibat efek independen dari pertambahan usia itu sendiri atau akibat
menopause.

6.     Pemeriksaan Penunjang


1. Urinallisis : Digunakan untuk melihat apakan ada bakteri, darah dan glukosa
dalam urine.
2.  Uroflowmetry : Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan

obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran


ketika pasien berkemih.

3.Cysometri : Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung kemih


dengan mengukur efisiensi reflex otot detrusor, tekanan dan
kapasitas intravesikal dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan
panas.

4.Urografi ekskretorik (Pielografi intravena) : Digunakan untuk mengevaluasi struktur

dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung


kemih.

5.Volding cystourethrography: Digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan kandung

kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat,


striktur uretra, dan tahap gangguan uretra prostatic stenosis
( pada pria ).

6. Uretrografi retrograde : Digunakan hampir secara ekslusif pada pria, membantu

diagnosis striktur dan obstruksi orifisium uretra.

7. Elektromiografi sfingter : Pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran

prostat atau nyeri, kemungkinan menanndakan hipertrofi


prostat jinak atau infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat
menunjukkan impaksi yang mungkin menyebabkan
inkontinensia.

8.Pemeriksaan vagina : Dapat memperlihatkan kekeringan vagina atau vaginitis

atrofi, yang menandakan kekuranagn estrogen.

9.Katerisasi residu pescakemih : Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan

kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam

kandung kemih setelah pasien berkemih.

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko,

mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,

medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.


Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :

a.    Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu

berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang

keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang

diminum.

b.    Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia

urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan

lain-lain.

Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih

(memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga

frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk

berkemih bila belum waktunya.

Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,

selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3

jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan

kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal

kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila

ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif

(berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar

panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul

tersebut adalah dengan cara :

Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian

pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali.

Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup

dengan baik.

c.    Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti

Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress

diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi

urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau

alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan

secara singkat.

d.   Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila

terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow

umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi

ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic

(pada wanita).

e.    Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan

inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami

inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti

urinal, komod dan bedepan.


ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KASUS INTOLERANSI AKTIVITAS

1. Pengkajian

A. Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia
ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan
lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
B. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat
ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi
fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah
ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
2. Riwayat Kesehatan Klien
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah
dirawat dirumah sakit.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal
bawaan/bukan bawaan.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari
terjadinya inkontinensia.
a.Inspeksi: Adanya kemerahan, iritasi / lecet dan bengkak pada daerah perineal.
Adanya benjolan atau tumor spinal cord Adanya obesitas atau kurang gerak.
b.  Palpasi: Adanya distensi kandung kemih atau nyeri tekan Teraba benjolan
tumor
daerah spinal cord
c.Perkusi: Terdengar suara redup pada daerah kandung kemih

2. Pemeriksaan Sistem :

a. B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b. B2 (blood) :Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c. B3 (brain) :Kesadaran biasanya sadar penuh
d. B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta
disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah
supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis,
seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu
kencing.
e. B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi
pada ginjal.
f. B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.
2. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan infeksi kandung kemih


2. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan hiperglikemia
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan produksi urine
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi yang salah.

3. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan infeksi kandung kemih
Nyeri Akut
Definisi : pengalaman NOC : NIC:
sensori dan emosional yang 1. Pain level Paint manajemen :
tidak menyenangkanyang 2. Pain control 1. Lakukan
muncul akibat kerusakan 3. Comfort level pengkajian nyeri
jaringan dan berlangsung secara
kurang dari 6 bulan komprehensif
Batasan karakteristik : Kriteria hasil : 2. Observasi reaksi
1. Perubahan selera 1. Mampu mengontrol non verbal dan
makan nyeri ketidaknyamanan
2. Perubahan TD, HR 2. Melaporkan nyeri 3. Gunakan tehnik
dan RR berkurang dengan komunikasi
3. Laporan isyarat/ menggunakan terapeutik
mengekspresikan manjemen nyeri 4. Control lingkungan
perilaku 3. Mampu mengenali yang dapat
4. Diaphoresis nyeri mempengaruhi
5. Perilaku distraksi 4. Menyatakan rasa nyeri
6. Gangguan tidur nyaman setelah nyeri 5. Ajarkan tehnik non
7. Sikap tubuh berkurang farmakologi
melindungi nyeri 6. Kolaborasi dengan
Factor yang berhubungan dokter untuk
1. Agen cedera pemberian
(biologis, zat kimia, analgesik
fisik, psikologis)

2. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan denganhiperglikemia

Resiko infeksi
Definisi : mengalami NOC : NIC :
peningkatan resiko terserang 1. Immune status Infection control
organisme patogenik 2. Knowledge : infection 1. Cuci tangan
control sebelum dan
3. Risk control sesudah melakukan
Factor – factor resiko : Kriteria hasil : tindakan
1. Penyakit kronis (DM, 1. klien bebas dari tanda keperawatan
obesitas) dan gejala infeksi 2. Pertahankan
2. Pengetahuan yang 2. menunukkan lingkungan aseptic
tidak cukup untuk kemampuan untuk selama perawatan
menghindari mencegah timbulnya 3. Tingkatkan status
pamajanan pathogen infeksi nutrisi
3. Pertahanan tubuh 3. biochemical pertanda 4. Monitor tanda dan
primer dan sekunder infeksi dalam batas gejala infeksi
yang tidak adekuat normal sistemik
4. Prosedur invasive 4. menunjukkan perilaku 5. instruksikan pada
5. malnutrisi hidup sehat pengunjung untuk
cuci tangan saat
berkunjung dan
setelah berkunjung
meninggalkan
pasien
6. observasi dan
evaluasi hasil lab
(penanda infeksi)
7. kolaborasi medis
untuk pemberian
terapi

3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan produksi urine

Kekurangan volume
cairan
Definisi :penurunan cairan NOC : NIC:
intra vaskuler ,interstitial, 4. Fluid balance 1. Timbang
dan intraseluler. Ini 5. Hydration popok/pembalut
mengacu pada 6. Nutritional status : food jika diperlukan
dehidrasi ,kehilangan 7. Fluid intake 2. Pertahankan catatan
cairan tanpa perubahan intake dan output
natrium 3. Monitor status
hidrasi
Batasan karakteristik : Kriteria hasil : 4. Monitor status
8. Perubahan status 5. Mempertahankan urine nutrisi
mental output sesuai dengan 5. Berikan cairan iv
9. Perubahan tekanan usia dan bb, BJ urin dengan kolaborasi
darah normal, HT normal 6. Dorong masukan
10. Perubahan tekanan 6. Tekanan oral
nadi darah ,nadi ,suhu dalam 7. Tawarkan snack
11. Perubahan volume batas normal (jus,buah)
nadi 7. Tidak ada tanda- tanda 8. Monitor tingkat Hb
12. Penurunan turgor dehidrasi dan hematocrit
kulit dan lidah 9. Monitor TTV
13. Penurunan haluran 10. Monitor BBpx
urin 11. Monitor respon
14. Membrane mukosa pasien
kering
15. Kulit kering
16. Peningkatan
hematocrit
17. Peningkatan
konsentrasi urin
18. Penurunan berat
badan
19. Kelemahan
20. Haus

Factor yang
berhubungan
2. Kehilangan cairan
aktif
3. Kegagalan
mekanisme
regulasi

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi yang salah.

Defisiensi pengetahuan
Definisi : ketiadaan atau NOC : NIC:
defisiensi informasi kognitif 8. Pengetahuan tentang 12. Berikan penilaian
yang berkaitan dengan topic proses penyakit tentang tingkat
tertentu 9. Pengetahuan tentang pengetahuan yang
kebiasaan hidup spesifik tentang
sehat proses penyakit
Batasan karakteristik : Kriteria hasil : 13. Jelaskan
21. Perilaku hiperbola 8. Pasien dan keluarga patofisiologi dari
22. Ketidakakuratan menyatakan penyakit dan
mengikuti perintah pemahaman tentang bagaimana hal ini
23. Perilaku tidak tepat penyakit, kondisi, berhubungan
(hysteria, agitasi, prognosis dan dengan anatomi
apatis, bermusuhan) program pengobatan dan fisiologi
24. Pengungkapan masalah 9. Pasien dan keluarga (dengan cara yang
mampu tepat)
melaksanakan 14. Jelaskan tanda dan
Factor yang berhubungan prosedur yang gejala yang biasa
4. Keterbatasan kognitif dijelaskan secara muncul, dengan
5. Salah interpretasi benar cara yang tepat
informasi 10. Pasien dan keluarga 15. Jelaskan
6. Kurang pajanan mampu menjelaskan kemungkinan
7. Kurang dapat kembali apa yang penyebab
mengingat telah dijelaskan oleh 16. Sediakan informasi
8. Tidak familier dengan tim kesehatan bagi pasien dan
sumber informasi keluarga tentang
kemajuan pasien
17. Diskusikan
pemilihan terapi
dan penanganan
(dukung eksplorasi/
second opinion)
18. Diskusikan
perubahan gaya
hidup untuk
mencegah
komplikasi dan
proses
pengontrolan
penyakit
Daftar pustaka

Amin Huda Nuratif, Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta

Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Doengoes, Marilynn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Nanda NicNoc jilid 2 edisi 2015

Anda mungkin juga menyukai