Anda di halaman 1dari 15

BAB 1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontinensia Urin (IU) oleh International Continence Society(ICS) didefinisikan
sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol; secara objektif dapat
diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis. Inkontinensia urin dapat
bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang bersifat akut dapat diobati bila
penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi saluran kemih, gangguan
kesadaran, vaginitis atrofik, rangsangan obat–obatan dan masalah psikologik.
Inkontinensia urin dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang mengiringi perubahan
pada organ tubuh antara lain infeksi saluran kemih, obat-obatan, imobilisasi, dan
kepikunan (Farryal, 2000). Di Amerika Serikat,diperkirakan sekitar 10-12 juta orang
dewasa mengalami gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia.
Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnya umur dan paritas. Pada
usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian10%, sedangkan pada usia 35-65 tahun
mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun.
Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan
meningkat sampai 20% pada wanitadengan 5 anak.
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Terapi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi inkontinensia urin pada lansiasecara umum menggunakan rangsangan listrik,
biofeedback, dan teknik vaginal conesyang dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi
otot-otot dasar panggul.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana Konsep Dasar Inkontinensia Urin ?
1.2.2 Bagaimana Konsep Dasar Terapi Modalitas Keperawatan ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui Konsep Dasar Inkontinensia Urin
1.3.2 Untuk mengetahui Konsep Dasar Terapi Modalitas Keperawatan

1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh olej mahasiswa utamanya mahasiswa keperawatan
adalah laporan pendahuluan ini dapat memberikan informasi pada mahasiswa
keperawatan tentang konsep dasar asuhan keperawatan klien lanjut usia dengan masalah
keperawatan inkontinensia urin dan terapi modalitas untuk menangani masalah tersebut.

1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Masalah Keperawatan
2.1.1. Konsep Dasar Inkontinensia Urin
Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara
fisiologik berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan

2
sistem saraf tepi di daerah sacrum. Sensasi pertama ingin berkemih biasanya
timbul pada saat volume kandung kemih mencapai 300 – 600 ml. Umumnya
kandung kemih dapat menampung urin sampai lebih kurang 500 ml tanpa terjadi
kebocoran. Frekuensi berkemih yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau tak
lebih dari 8 kali sehari (Ganong W, 2003).
Inkontinensia Urin (IU) oleh International Continence Society(ICS)
didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol;
secara objektif dapat diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau
higienis. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin
yang bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya
diatasi seperti infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik,
rangsangan obat–obatan dan masalah psikologik.
Pada lansia terjadi proses menua yang berdampak pada perubahan hampir
seluruh organ tubuh termasuk organ berkemih yang menyebabkan lansia
mengalami inkontinensia urin. Perubahan ini diantaranya adalah melemahnya otot
dasar panggul yang menjaga kandung kemih dan pintu saluran kemih, timbulnya
kontraksi abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan rangsangan berkemih
sebelum waktunya dan meninggalkan sisa. Pengosongan kandung kemih yang
tidak sempurna menyebabkan urine di dalam kandung kemih yang cukup banyak
sehingga dengan pengisian sedikit saja sudah merangsang untuk berkemih.
Hipertropi prostat juga dapat mengakibatkan banyaknya sisa air kemih di kandung
kemih sebagai akibat pengosongan yang tidak sempurna (Setiati, 2000).
2.1.2. klasifikasi
Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)
a. Inkotinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat
untuk berkemih.
b. Inkontinensia Total
Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
c. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin kurang
dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
d. Inkontinensia refleks
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin yang
tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume
kandung kemih mencapai jumlah tertentu.

3
e. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa
disadari dan tidak dapat diperkirakan.

2.1.3. Etiologi Inkontinensia urin


Faktor psikologis seperti stress juga dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan pengeluaran urin sebagai efek dari noreepinefrin, yang mana
noreefinefrin merupakan hormon yang mempengaruhi kontraksi otot polos yang
bekerjanya berlawanan dengan asetilkolin (Guyton, 1995). Lingkungan juga dapat
mempengaruhi terjadinya inkontinensia urin diantaranya pengaruh cuaca atau
iklim terutama pada cuaca dingin dan karena letak toilet yang jauh sehingga
sebelum mencapai tempatnya sudah tidak dapat menahan air kemih (Setiati, 2001)
Inkontinensia urin dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang mengiringi
perubahan pada organ tubuh antara lain infeksi saluran kemih, obat-obatan,
imobilisasi, dan kepikunan (Farryal, 2000). Etiologi Inkontinensia Urine menurut
(Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :
a. Poliuria, nokturia
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan
efek akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar
panggul.
2) Perokok, Minum alkohol.
3) Obesitas
4) Infeksi saluran kemih (ISK)

2.1.4. Tanda Dan Gejala


a. Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)
1) Inkontinensia Dorongan
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.

4
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.
5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin.

2.1.5. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologi juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada
tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di
pusat berkemih di sacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume
kandung kemih di medula spinalis (Darmojo, 2000). Pengosongan kandung kemih
melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung
kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri
menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya
penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia
sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat
mengganggu koordinasi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang
mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia
(Setiati, 2001).

2.1.6. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut
(Soeparman&Waspadji S, 2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan
tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu
diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat
dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada
saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus
dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk
berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi
atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat
diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak
adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Tes
laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin,
kalsium glukosasitol.

5
b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini
digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami
inkontinensia urine dan tidak inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga
inkontinensia urine. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selam 1-3
hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respons terapi dan
juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan
pasien faktor pemicu.

2.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a) Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut
misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang
keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain
itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b) Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi
yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih
(memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi
dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Melakukan
latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar
panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan
otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara : Berdiri di lantai
dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian
pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke
belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat
kita buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot
dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan
baik.

6
c) Terapi farmakologi
Obat obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urin seperti,
Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada
inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter
relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi,
dan terapi diberikan secara singkat.
d) Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak
berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
e) Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml
perhari dengan rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml
perhari dengan asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang
kontinen dapat membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk
mencegah kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan
cairan sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada
malam hari, tetapi cairan harus diminum lebih banyak selama siang
hari sehingga total asupan cairan setiap harinya tetap sama.

2.2 Konsep Dasar Terapi Modalitas Keperawatan

Terapi modalitas yang dapat diterapkan pada lansia dengan inkontinensia urin
adalah dengan menggunakan terapi fisik, seperti dalam penelitian dengan judul “Effects
Of Physical Therapy In Older Women With Urinary Incontinence: A Systematic Review”.
Menurut International Continence Masyarakat (ICS), inkontinensia urin (UI)
didefinisikan sebagai kebocoran disengaja dari urine. Inkontinensia urin (UI) adalah salah
satu masalah kesehatan masyarakat yang paling umum derita oleh wanita disegala umur,
tetapi pravelensi yang lebih tinggi terjadi pada lansia. Di samping itu, besarnya tingkat
inkontinensia urin mempengaruhi kualitas hidup lansia baik secara fisik maupun

7
psikologis. Dampak yang ditimbulkan antara lain lanjut usia menjadi kurang percaya diri,
kemudian menutup diri yang akan semakin merasa kesepian di hari tuanya.
Terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi inkontinensia urin pada lansiasecara
umum menggunakan rangsangan listrik, biofeedback, dan teknik vaginal conesyang dapat
meningkatkan kekuatan dan fungsi otot-otot dasar panggul. Tujuan dari penelitian ini
secara sistematis untuk meninjau bukti ilmiah tentangefek dari terapi fisik pada gejala
inkontinensia urinpada wanita yang lebih tua/lansia wanita.
Metode dalam penelitian ini menggunakan pencarian literatur di ISI Web of
Knowledge, Medline / Pubmed, Lilac, Scielo dan Pedro database. Isi studi dianalisis
dengan dua evaluator dan dipilih menggunakan kriteria inklusi seperti pelaporan peserta
mengenai keluhan kebocoran urin/ sering mengompol, sampel yang terdiri dari beberapa
wanita tua (> 60 tahun), penyelidikan efek dari beberapa teknik terapi fisik, dan studi
yang diterbitkan setelah tahun 2000. Kualitas uji klinis dipilih dinilai menggunakan Skala
Pedro yang terdiri dari sebelas pertanyaan. Skor akhir berkisar dari 0 sampai 10 dan
diperoleh melalui jumlah semua tanggapan positif. Semua studi yang dipilih diindekskan
dalam Pedro database, kemudian skor yang berkualitas diekstraksi dari database.Studi
dengan skor sama atau lebih dari lima dianggap sebagai metodologi kualitas tinggi.
Hasil penelitian yaitu lima dari enam studi yang telah dipilih menunjukkan bahwa
perempuan dengan otot-otot daerah perineum yang lemah tidak mampu
mengkontraksikan otot dasar panggulnya secara efektif untuk menginhibisi kontraksi
otot-otot detrusor sehingga kontrol terhadap keluarnya urin menjadi menurun. Latihan
otot dasar panggul dengan intensitas tinggi dan dilakukan secara teratur akan
meningkatkan kemampuan otot dasar panggul untuk menahan kontraksi otot detrusor
yang timbul saat vesika urinaria telah penuh, sehingga urin tidak keluar tanpa
disadari.Kemampuan otot dasar panggul yang tinggi akan mampu mengontrol
inkontinensia urin. Lansia wanita dengan inkontinensia urin diberi terapi dengan
menggunakan terapi stimulasi listrik selama 12 minggu didapatkan hasil 70%
melaporkan mengalami penurunan kebocoran kemih. Latihan otot dasar panggul dengan
biofeedback dan vaginal conesjuga dapat meningkatkan kekuatan otot dasar panggul lebih
baik sehingga dapat mengurangi gejala stres inkontinensia urin dan meningkatkan
kekuatan otot-otot dasar panggul secara bertahap pada lansia wanita.
Terapi fisik dengan rangsangan listrik, biofeedback, dan teknik vaginal
conesseperti dalam penelitian ini merupakan metode terapi yang efektif digunakan untuk
inkontinensia urin pada lansia wanita. Namun, sejumlah kecil studi menyebutkan bahwa

8
penggunaan terapi ini apabila dilakukan bersamaan dengan pengobatan medis perlu
dibatasi. Oleh karena itu, studi baru perlu dilakukan untuk memberikan kesimpulan lebih
definitif tentang efek terapi fisik apabila dilakukan bersamaan dengan pengobatan medis
inkontinensia urin pada wanita yang lebih tua.

BAB 3. APLIKASI TEORI


3.1 Gambaran Kasus
Klien laki-laki berusia 63 tahun beragama Islam.Menurut riwayat kesehatan
dahulu, klien terdiagnosa diabetes mellitus dengan nilai gula darah 235 mg/dl, saat ini
rutin mengkonsumsi obat Glibenklamid 1mg/hari. Hasil wawancara mengatakan bahwa
klien ketika bangun pagi tiba-tiba celananya sudah basah dan tidak terasa sudah
mengompol dan mengatakan ketidakmampuan mencapai toileting pada saat berkemih,
klien mengatakan tidak memberitahu masalah ini ke petugas panti karena malu, dia
menganggap dirinya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Pada saat perawat
melakukan pemeriksaan Bladder, terlihat penampung urin dengan jumlah urin output
1000ml, warna kuning, poli uri dan tidak ada tanda pembesaran dan nyeri tekan kandung
kemih.
Hasil obeservasi didapatkan sehari-hari klien makan 3x/hari yang disediakan oleh
pihak PSTW Budi Mulia. Makan selalu habis bahkan terkadang menambah porsi jika ada
makanan sisa. Makanan yang disediakan panti sudah memenuhi standar gizi yaitu nasi,
sayur, lauk pauk, dan buah yang bervariasi setiap waktu makan. Jika malam hari merasa
lapar, klien mengatasinya dengan minum atau mengemil biskuit. Berdasarkan pola
minum klien terlihat sering minum kopi biasanya 1 gelas perhari, sedangkan minum air
putih ± 7 gelas sehari, klien mengatakan sering merasa haus.Pemeriksaan penunjang lain
yang dilakukan yaitupemeriksaan resiko jatuh (FMS) dengan nilai 35 (risiko jatuh
sedang) dan pemeriksaan Indeks Kemandirian dengan nilai 100 (Kemandirian penuh).

3.2 Pengkajian
3.2.1 Eliminasi Urine
Pertanyaan Wawancara Untuk Menilai Faktor Risiko Yang Mempengaruhi
Eliminasi:

9
1. (pria) apakah anda pernah menjalani operasi apapun untuk masalah prostat atau
kandung kemih ?
2. (pria) apakah anda pernah punya masalah gangguan prostat? Apakah anda pernah
berfikir memiliki masalah prostat?
3. (wanita) apakah anda pernah melakukan operasi apapun untuk gangguan panggul,
kandung kemih, atau rahim?
4. (wanita) apakah anda mempunyai infeksi di daerah vagina anda?
5. Apakah anda memiliki penyakit kronik?
6. Obat apa yang pernah anda konsumsi?
7. Apakah anda memiliki masalah dengan perut anda?
8. Berapa banyak air dan cairan lain yang anda minum pada siang hari? (mintalah rincian
tentang waktu dan jumlah konsumsi alkohol, minuman berkarbonasi, dan minuman
berkafein yang dikonsumsi.

Pertanyaan Wawancara Untuk Mengkaji Faktor Risiko Untuk Eliminasi Urine


Yang Tepat Secara Sosial:

1. Apakah Anda memiliki kesulitan berjalan atau dalam keseimbangan?

2. Apakah Anda memiliki kesulitan membaca tanda-tanda atau menemukan toilet ketika
Anda berada di tempat umum?

Pertanyaan Wawancara Untuk Mengkaji Tanda Dan Gejala Disfungsi Kemih:

1. Apakah Anda pernah ngompol?

2. Apakah Anda pernah memakai pembalut atau pakaian pelindung untuk melindungi
pakaian Anda dari basah?

3. Apakah Anda pernah mengalami kesulitan menahan air kencing Anda yang cukup lama
untuk sampai ke toilet? Berapa lama Anda bisa menahan kencing Anda setelah Anda
pertama kali merasa perlu untuk pergi ke kamar mandi?

4. Apakah Anda memiliki kesulitan menahan air kencing Anda ketika Anda batuk,
tertawa, atau membuat gerakan tiba-tiba?

5. Apakah Anda bangun di malam hari karena Anda harus pergi ke kamar mandi untuk
buang air kecil? (Jika reaspon adalah afirmatif, mencoba untuk membedakan antara gejala
ini dan kebiasaan pergi ke kamar mandi setelah bangun untuk beberapa alasan lainnya)

10
6. Segera setelah buang air kecil apakahandapernahmengalamirasanya seperti
belumselesaimengosongkankandung kemih sampaihabis

7. Apakah Anda harus mengerahkan tekananselamabuang air kecil untuk merasa seperti
kandung kemih Anda sudahbenar-benarkosong

8. (Laki-laki) ketika buang air kecil, apakah Anda memiliki kesulitan memulai kencing
atau menjaga aliran kencing?

Pertanyaan Wawancara Jika Inkontinensia:

1. Kapan andamulaiinkontinensia?

2. Apa yang telah Anda lakukan dalam mengelola masalah? (Apakah anda mengurangi
jumlah cairan yang Anda minum? Apakah Anda mengosongkan kandung kemih Anda
pada interval yang sering sebagai tindakan pencegahan?

3. Adakahhal-haltertentuyang membuat masalah lebih buruk atau lebih baik?

4. Apakah itu terjadi sepanjang waktu, atau hanya pada waktu tertentu?

5. Apakah Anda merasa sakit ketika buang air kecil?

6. (wanita) Apakahanda merasakan tekanan di daerah panggul Anda?

Wawancara Pertanyaan Untuk Menilai Ketakutan, Sikap, Dan Konsekuensi


Psikososial Dari Inkontinensia:

1. Apakah Anda pernah meminta bantuan atau berbicara dengan penyedia perawatan
primer atau perawatan kesehatan profesional lainnya tentang masalah ini?

2. Apakah Anda mengubah setiap kegiatan Anda karena Anda perlu tetap dekat toilet?

3. Apakah Anda menghindari pergi ke tempat-tempat tertentu karena kesulitan menahan


kencing Anda?

Evaluasi neurologis pada segmen bawah sakrum, termasuk bulbocavernosus


dan reflek spinter anus.
a. Pemeriksaan status mental.
b. Pemeriksaan abdomen untuk mengevaluasi massa atau kumpulan cairan,
yang dapat mempengaruhi tekanan intra abdomen dan fungsi detrusor.

11
c. Pemeriksaan pelvis yang biasanya normal pada penderita overaktif kandung
kemih, untuk menilai adakah kontribusi dari gejala overaktif kandung kemih
dan juga pemeriksaan rectal harus dinilai.
d. Test penekanan akibat batuk, untuk menilai adakah inkontinensia akibat
stress.
e. Estimasi volume residu setelah pengosongan baik melalui kateter atau
ultrasound pelvis, residu < 50 cc normal, residu 100 cc – 200 cc dianggap
pengosongan kandung kemih tidak sempurna.

3.3 Diagnosa
Berdasarkan hasil pengkajian diatas dapat disimpulkan bahwa diagnosa yang
mungkin terjadi pada klien tersebut yaitu:
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan gangguan sensori motor.
2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kehilangan fungsi tubuh, perubahan
keterlibatan sosial.
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.

3.4 Intervensi dan Implementasi


No Diagnosa NOC NIC

1. Inkonteninsia Kriteria Hasil: 1. Kaji kebiasaan pola


berhubungan 1. Klien akan bisa melaporkan berkemih dan gunakan catatan
dengan suatu penguranganatau berkemih sehari.
2. Pertahankan catatan
kelemahan otot penghilangan inkonteninsia.
harian untuk mengkaji
pelvis dan 2.Klien dapat menjelaskan
efektifitas program yang
struktur dasar penyebab inkonteninsia dan
direncanakan.
penyokongnya. rasional penatalaksanaan.
3. Intruksikan klien batuk
dalam posisi litotomi, jika
tidak ada kebocoran, ulangi
dengan posisi klien
membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri
jika tidak ada kebocoran yang
lebih dulu.
4. Pantau masukan dan
pengeluaran, pastikan klien
12
mendapat masukan cairan
2000 ml, kecuali harus
dibatasi
5. Kolaborasi dengan
dokter dalam mengkaji efek
medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat,
dosis atau jadwal pemberian
obat untuk menurunkan
frekuensi inkonteninsia.
2. Gangguan citra Kriteria Hasil: 1. Kaji secara verbal dan
tubuh non verbal respon klien
1. Body image positif
berhubungan terhadap tubuhnya
dengan 2. Mampu mengidentifikasi 2. Jelaskan tentang
kehilangan fungsi kekuatan personal pengobatan dan perawatan
tubuh, perubahan penyakit
3. Mendeskripsikan secara
keterlibatan 3. Identifikasi arti
factual perubahan fungsi tubuh
sosial. pengurangan melalui
4. Mempertahankan pemakaian alat bantu.
interaksi sosial 4. Fasilitasi kontak dengan
individu lain dalam kelompok
lain
3. Ansietas Kriteria Hasil: Anxiety Reduction
berhubungan 1. Gunakan pendekatan
1. Klien mampu
dengan yang menenangkan.
mengidentifikasi dan
perubahan dalam 2. Jelaskan semua prosedur
mengungkapkan gejala cemas.
status kesehatan. dan apa yang dirasakan
2. Mengidentifikasi, selama prosedur.
mengungkapakan dan 3. Pahami prespektif klien
menunjukkan teknik untuk terhadap situasi stress.
mengontrol cemas. 4. Temani pasien untuk
memberikan keamanan dan
3. Postur tubuh, ekspresi
mengurangi takut.
wajah, bahasa tubuh dan
5. Dorong keluarga untuk
tingkat aktifitas menunjukkan

13
berkurangnya kecemasan. menemani pasien.

3.5 Evaluasi
No. Diagnosa Evaluasi

1. Inkonteninsia berhubungan dengan S : Klien mengatakan tidakmampu


kelemahan otot pelvis dan struktur mencapai toileting pada saat
berkemih
dasar penyokongnya.
O : Penampung urin urin output
1000ml

A : Masalah belum teratasi

P : Lanjutkan intervensi 1, 2, 3, 4
dan 5

2. Gangguan citra tubuh berhubunganS : Klien mengatakan malu


memberitahukan masalahnya pada
dengan kehilangan fungsi tubuh,
perawat
perubahan keterlibatan sosial. O : Tidak terbuka kepada orang lain

A : Masalah teratasi sebagian

P : Lanjutkan intervensi 2, 3 dan 4

3. Ansietas berhubungan dengan S : Klien mengatakan saat bangun


pagitiba- tiba celananya sudah basah
perubahan dalam status kesehatan.
dan tidak terasa sudah mengompol
O : Klien tampak gelisah

A : Masalah belum teratasi

P : Lanjutkan intervensi 1, 2, 3, 4
dan 5

DAFTAR PUSTAKA

14
Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1. Jakarta:
EGC.
Hidayah, a. Aziz Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan (Edisi 2). Jakarta:
Salemba Medika.
Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Stanley, Mickey dan Patricia G. Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2.
Jakarta: EGC
Syaifuddin. 2003. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC.

15

Anda mungkin juga menyukai