PEDAHULUAN
1.2 Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan
yang tepat untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan dapat menerapkannya
dalam praktek pemberian asuhan keperawatan kepada pasien.
BAB 2
TINJAUAN KASUS
Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara
fisiologik dibawah kontorl dan koordinasi sisterm saraf pusat dan sistem saraf
tepi didaerag sacrum. Sensassi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada
saat volume kandung kemih mencapai 300-600 ml. Umumnyakadung kemih
dapat menampung urine sampai lebih dari 500ml tanpa terjadi kebocoran.
Frekuensi berkemih yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau tak lebih dari
8kali sehari (Ganong,W,2003).
Inkontinensia urine adalah pelepasan urin secara tidak terkontro dalam
jumlah yang cukup banyak,sehingga dapat dianggap sebagai kondisi yang
disebabkan karena usua (setyono,2011).
Ini semua dalam kondisi fisiologis yang berpengaruh pada lansia
biasanya terjadi penurunan kemampuan berkemih. Pada lansia terjadi proses
menua yang berdampak pada perubahan hampir seluruh organ tubuh termasuk
organ berkemih yang menyebabkan lansia mengalami inkontinensia urin.
Perubahan ini dintaranya adalah melemahnya otot dasar panggul yang
menhaga kandung kemih dan pintu saluran kemih,timbulnya kontraksi
abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan ransangan berkemih
sebelum waktunya. Dan meninggalkan sisa. Pengosongan kandung kemih
yang tidak sempurna memnyebabkan urun di dalam kandung kemih yang
cukup banyak sehingga dengan pengisian sedikit saja sudah meransang untuk
berkemih. Hipertropi prostat sebagai akibat pengosongan yang tidak
sempuran(setiati,2000)
Faktor psikologis seperti stress juga dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan pengeluaran urine sebagai efek dari noreepinefrin,yang mana
noreepinefrin merupakan hormon yang mempengaruhi kontraksi otot polos
yang bekerjanya melawan denga asetilklin(Guyton,1955)
Lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya inkontinensia urin
diantaranta pengaruh cuaca atau iklim terutama pada cuaca dingin dan karena
letak toilet yag jauh.(setiati,2001)
Inkontinensia urin dapat etrjadi karena adanya faktor faktor yang
mengiringi perubahan pada organ tubuh antara lain infeksi saluran kemih,obat
obatan,imobilisasi,dan kepikunan.(farryal,2000)
Waktu dan jumlah urin pada saat mengalami inkontinensia urin dan saat
kering (kontinen)
Asupan cairan, jenis (kopi, cola, teh) dan jumlahnya.
Gejala lain seperti nokturia, disuria, frekwensi, hematuria dan nyeri.
Kejadian yang menyertai seperti batuk, operasi, diabetes, obat-obatan.
Perubahan fungsi usus besar atau kandung kemih.
Penggunaan Pad atau Modalitas lainnya.
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka
inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat
mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau
memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke,
arthritis dan sebagainya.
D --> Delirium
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan
gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan
yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.
2.3 Pengkajian Inkontinensia Urine padaLansia
1.Pengkajian
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan
Klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :
1. IdentitasKlienMeliputinama, jeniskelamin, umur, agama/kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, sukubangsa, alamat, diagnosamedis.
2. KeluhanUtamaPadakelayanInkontinensia Urine keluhan-keluhan yang
adaadalahnokturia,urgence, disuria, poliuria, oliguri, danstaguri.
3. RiwayatPenyakitSekarangMemuattentangperjalananpenyakitsekarangsejaktim
bulkeluhan, usahayang telahdilakukanuntukmengatasikeluhan.
4. RiwayatPenyakitDahuluAdanyapenyakit yang berhubungandengan ISK
(InfeksiSaluranKemih)yangberulang. penyakitkronis yang pernahdiderita.
5. RiwayatPenyakitkeluargaApakahadapenyakitketurunandarisalahsatuanggotak
eluargayangmenderitapenyakitInkontinensia Urine,
6. adakahanggotakeluargayangmenderita DM, Hipertensi.
7. PemeriksaanFisik PemeriksaanFisik yang digunakanadalah B1-B6 :
a. B1(breathing)
Kajipernapasanadanyagangguanpadapolanafas,sianosis
karenasuplaioksigenmenurun.kajiekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
b. B2(blood)
Terjadipeningkatantekanandarah, biasanyapasienbingungdangelisah
c. B3(brain)
Kesadaranbiasanyasadarpenuh
d. B4(bladder)
Inspeksi :periksawarna, bau, banyaknya urine
biasanyabaumenyengatkarenaadanyaaktivitasmikroorganisme (bakteri)
dalamkandungkemihsertadisertaikeluarnyadarahapabilaadalesipada
bladder, pembesarandaerah supra pubiklesipada meatus uretra,
banyakkencingdannyerisaatberkemihmenandakandisuriaakibatdariinfe
ksi, apakahklienterpasangkatetersebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di
dapatpadadaerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di
uretraluarsewaktukencing / dapatjugadiluarwaktukencing
e. B5(bowel)
Bisingususadakahpeningkatanataupenurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalanperkusi,
adanyaketidaknormalan palpasi pada ginjal
f. B6(bone)
Pemeriksaankekuatanototdanmembandingkannyadenganekstremitas
yang lain adakahnyeripadapersendian
2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin (inkontinensia urin) berhubungan dengan tidak
adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk
menghambat kontraksi kandung kemih.
2. Gangguan harga diri berhubungan dengan keadaan yang memalukan
akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.
3. Resiko insfeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu
lama.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kosntan oleh
urine.
5. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan.
3. Intervensi keperawatan yg tepat yg mengarahkan pada pencengahan
primer.ssekunder tertier dengan incontinensi /retensi pada lansia
1) Pencegahan primer
Fokus pencegahan primer untuk funsi renal dan urinaria pada lansia termasuk
pengkajian, pemantauan dan aktivitas edukasi keperawatan. Fungsi ginjal tetap
normal walaupun terdapat perubahan-perubahan terkait usia. Namun, kemampuan
fisiologis yang tidak biasa dan penyakit minor kurang dapat diakomodasi.
Asuhan keperawatan primer diarahkan untuk meminimalkan potensi untuk
sesuatau yang melebihi kapasitas kekuatan renal dan pengurangan risiko yang
berhubungan dengan perkembangan inkontinensia. Pengkajian dan pemantauan
keseimbangan cairan dan kebiasaan makan sangat penting dilakukan
2) Pencegahan sekunder
Masalah renal dan urinaria yang paling sering terjadi pada lansia adalah yang
disebabkan oleh obat-obatan, infeksi, hipertensi, dan inkontinensia.
Penatalaksanaan keperawatan dalam rangka pencegahan sekunder terdiri dari
masalah ini dan masalah lainnya dapat diklasifikasikan dalam tiga area besar.
Area pertama adalah pencegahan komplikasi iatrogenik yang dapat terjadi baik
dalam penanganan penyakit atau sistem organ yang lain atau selama prosedur
diagnostik. Area kedua berkenaan dengan penyakit yang secara langsung
memengaruhi penuaan sistem renal yang dapat menyebabkan gagal ginjal. Area
ketiga adalah penatalaksanaan keperawtan inkontinensia.
Intervensi untuk pencegahan sekunder pada inkontinensia urin:
a. Tanyakan riwayat dan lakukan pemeriksan fisik
b. Identifikasi tipe inkontinensia dan intervensi yang tepat
c. Sarankan latiahan pelvis untuk inkontinensia stres: manuver crede untuk
inkontinensia akibat aliran yang berlebihan, bladder trainning untuk
inkontinensia dorongan (urge), pergi ke toilet secara terjadwal/awal untuk
pasien yang mengalami gangguan kognitif, dan intervensi lain sesuai indikasi.
d. Kaji fasilitas keamanan, kemudahan akses, dan kegunaan toilet dan
lingkuangan secara umum.
3) Pencegahan tersier
GGK jarang terjadi pada kelompok lansia daripada kelompok usia
yang lebih muda. Penyebab GK yang paling sering pada lansia adalah
penyakit vaskular, glomerulonefritis kronis dan pielonefristis, diabetes
melitus, mieloma multipel, dan pembesaran prostat secara progresif.
Inkontinensia jangka panjang, terutama pada pasien yang mengalami
gangguan kognitif atau gangguan motorik, menjadi masalah bagi klien dan
pemberi perawatan. Intervensi yang agresif dengan menggunakan terapi
modalitas yang tepat dan kombinasi modalitas harus dimulai dan dikaji
keefektifannya. Masalah kulit merupakan konsekuensi dari inkontinensia
jangka panjang. Mungkin yang lebih penting adalah masalah psikososial yang
merupakan akibat pada lansia yang masih sadar. Inkontinensia berpengaruh
terhadap depresi dan isolasi sosial. Orang-orang yang seperti itu dapat
menghindari rasa malu dengan tetap dirumah dan jauh dari orang lain, tetapi
kesepian juga merupakan penyebab depresi.
4. program latihan yang tepat bagi klien lansia dengan incontinentia dan
retensi
intervensi untuk inkontinensia termasuk latihan pelvis, manuver crede, blader
training, toileting secara terjadwal, penggunaan alat-alat eksternal, katerisasi
secara intermiten, modifikasi lingkungan, pengobatan dan pembedahan. Pilihan
bergantung pada jenis inkontinensia, tetapi kombinasi dari pilihan-pilihan
tersebut biasanya digunakan.
Latihan pelvis kegel dianjurkan untuk mereka yang mengalami inkontinensia
stres. Otot-otot yang terlibat dapat diidentifikasi dengan cara memberitahu pasien
untuk menghentikan aliran urin pada pertengahan pancaran. Otot-otot yang
digunakan untuk melakukan hal ini adalah otot-otot yang akan diperkuat.
Tujuannya adalah untuk mencapai 40-60 kali pengurangan selama 10 detik setiap
harinya. Melakukan 15 kali latihan pada waktu makan dan waktu tidur
merupakan jadwal yang mudah diingat. Peningkatan dapat dilihat dalam waktu 4-
6 mingu dengan peningkatan maksimal selama 3 bulan. Menggunakan peralatan
biofeedback yang mencatat perubahan dalam tekanan dan aktivitas listrik
meningkatkan keefektifan latihan.
Manuver crede melibatkaan penggunaan tekanan di atas regio suprapubik
untuk secara manual menekan kandung kemih selama berkemih.
Bladder training adalah penanganan tradisional untuk inkontinensia urgensi.
Blader training meliputi berkemih dengan jadwal yang telah ditentukan
sebelumnya atau dengan pengaturan waktu setiap 30-60 menit tanpa
memperhatikan kebutuhan.
3.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan
kencing. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa
prosedur diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk
menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama yaitu
inkontinensiastres, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan konservatif
dilakukanpada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila
dasar inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan
faktor penyebab.
3.2 Saran
Agar penderita inkontinensia urine tetap menjaga kebersihan diri agar
terhindar dari infeksi pada saluran kemih bagian bawah dan tetap menjaga
keseimbangan intake dan output cairan, agar tidak terjadi deficit volum cairan.
DAFTAR PUSTAKA
FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC