Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PEDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah besar di bidang gerontik
yang perlu mendapat perhatian serius. Masalah itu tampaknya akan menjadi salah
satu masalah kesehatan dan psikososial yang sering dijumpai di masa mendatang
seiring dengan makin banyaknya jumlah usia lanjut di Indonesia.
Data di luar negeri menyebutkan bahwa 15 30 % usia lanjut yang
tinggal di masyarakat dan 50 % usia lanjut yang di rawat menderita inkontinensia
urun. Pada tahun 1999, dari semua pasien yang di rawat di RSUPN Cipto
Mangunkusumo di dapatkan angka kejadian inkontinensia urin sebesar 10%, dan
pada tahun 2000, angka kejadian inkontinensia urin meningkat menjadi 12%.
Inkontinensia urin seringkali menyebabkan pasien dan atau keluarganya
frustasi, bahkan depresi. Bau yang tidak sedap, perasaan kotor, tidak suci untuk
beribadah tentu menimbulkan masalah sosial dan psikologis. Selain itu, adanya
inkontinensia urin juga akan mengganggu aktivitas fisik, seksual, dan pekerjaan.
Secara tidak langsung masalah itu juga dapat menyebabkan dehidrasi karena
umumnya pasien akan mengurangi minumnya karena khawatir mengompol.
Dekubitus, infeksai saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya
adalah biaya perawatan yang tinggi untuk pembelian pampers, kateter adalah
masalah yang juga dapat timbul akibat inkontinensia urin.

1.2 Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan
yang tepat untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan dapat menerapkannya
dalam praktek pemberian asuhan keperawatan kepada pasien.
BAB 2
TINJAUAN KASUS

2.1 Faktor yang mempengaruhi incontinensia urine pada lansia

Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara
fisiologik dibawah kontorl dan koordinasi sisterm saraf pusat dan sistem saraf
tepi didaerag sacrum. Sensassi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada
saat volume kandung kemih mencapai 300-600 ml. Umumnyakadung kemih
dapat menampung urine sampai lebih dari 500ml tanpa terjadi kebocoran.
Frekuensi berkemih yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau tak lebih dari
8kali sehari (Ganong,W,2003).
Inkontinensia urine adalah pelepasan urin secara tidak terkontro dalam
jumlah yang cukup banyak,sehingga dapat dianggap sebagai kondisi yang
disebabkan karena usua (setyono,2011).
Ini semua dalam kondisi fisiologis yang berpengaruh pada lansia
biasanya terjadi penurunan kemampuan berkemih. Pada lansia terjadi proses
menua yang berdampak pada perubahan hampir seluruh organ tubuh termasuk
organ berkemih yang menyebabkan lansia mengalami inkontinensia urin.
Perubahan ini dintaranya adalah melemahnya otot dasar panggul yang
menhaga kandung kemih dan pintu saluran kemih,timbulnya kontraksi
abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan ransangan berkemih
sebelum waktunya. Dan meninggalkan sisa. Pengosongan kandung kemih
yang tidak sempurna memnyebabkan urun di dalam kandung kemih yang
cukup banyak sehingga dengan pengisian sedikit saja sudah meransang untuk
berkemih. Hipertropi prostat sebagai akibat pengosongan yang tidak
sempuran(setiati,2000)
Faktor psikologis seperti stress juga dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan pengeluaran urine sebagai efek dari noreepinefrin,yang mana
noreepinefrin merupakan hormon yang mempengaruhi kontraksi otot polos
yang bekerjanya melawan denga asetilklin(Guyton,1955)
Lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya inkontinensia urin
diantaranta pengaruh cuaca atau iklim terutama pada cuaca dingin dan karena
letak toilet yag jauh.(setiati,2001)
Inkontinensia urin dapat etrjadi karena adanya faktor faktor yang
mengiringi perubahan pada organ tubuh antara lain infeksi saluran kemih,obat
obatan,imobilisasi,dan kepikunan.(farryal,2000)

2.2 Klasifikasi dan karakteristik incontinensia urine pada lansia

1. Karakteristik incontinensia urine pada lansia

Waktu dan jumlah urin pada saat mengalami inkontinensia urin dan saat
kering (kontinen)
Asupan cairan, jenis (kopi, cola, teh) dan jumlahnya.
Gejala lain seperti nokturia, disuria, frekwensi, hematuria dan nyeri.
Kejadian yang menyertai seperti batuk, operasi, diabetes, obat-obatan.
Perubahan fungsi usus besar atau kandung kemih.
Penggunaan Pad atau Modalitas lainnya.

2. Klasifikasi incontinensia urine pada lansia

Inkontinensia urin diklasifikasikan :

1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel

Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka
inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat
mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau
memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke,
arthritis dan sebagainya.

Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula


menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra
(vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi
juga sering menyebabkan inkontinensia akut.

Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya


inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi
vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan
terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker,
agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.

Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible


dapat dilihat akronim di bawah ini :

D --> Delirium

R --> Restriksi mobilitas, retensi urin

I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi

P --> Poliuria, pharmasi


2. Inkontinensia Urin Persisten

Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi


anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi
klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.

Kategori klinis meliputi :

a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)

Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal,


seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh
melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia
urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi
mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah
pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada
saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau
banyak.

b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)

Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan


berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi
detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis
sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit
Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup
waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga
timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan
penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang
terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat
mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti
inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk
mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain
sehingga penanganannya tidak tepat.

c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)

Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih


yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran
prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang
menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-
faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa
adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

d. Inkontinensia urin fungsional

Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin


akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia
berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan
kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.

Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan
gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan
yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.
2.3 Pengkajian Inkontinensia Urine padaLansia

1.Pengkajian
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan
Klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :
1. IdentitasKlienMeliputinama, jeniskelamin, umur, agama/kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, sukubangsa, alamat, diagnosamedis.
2. KeluhanUtamaPadakelayanInkontinensia Urine keluhan-keluhan yang
adaadalahnokturia,urgence, disuria, poliuria, oliguri, danstaguri.
3. RiwayatPenyakitSekarangMemuattentangperjalananpenyakitsekarangsejaktim
bulkeluhan, usahayang telahdilakukanuntukmengatasikeluhan.
4. RiwayatPenyakitDahuluAdanyapenyakit yang berhubungandengan ISK
(InfeksiSaluranKemih)yangberulang. penyakitkronis yang pernahdiderita.
5. RiwayatPenyakitkeluargaApakahadapenyakitketurunandarisalahsatuanggotak
eluargayangmenderitapenyakitInkontinensia Urine,
6. adakahanggotakeluargayangmenderita DM, Hipertensi.
7. PemeriksaanFisik PemeriksaanFisik yang digunakanadalah B1-B6 :
a. B1(breathing)
Kajipernapasanadanyagangguanpadapolanafas,sianosis
karenasuplaioksigenmenurun.kajiekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
b. B2(blood)
Terjadipeningkatantekanandarah, biasanyapasienbingungdangelisah
c. B3(brain)
Kesadaranbiasanyasadarpenuh
d. B4(bladder)
Inspeksi :periksawarna, bau, banyaknya urine
biasanyabaumenyengatkarenaadanyaaktivitasmikroorganisme (bakteri)
dalamkandungkemihsertadisertaikeluarnyadarahapabilaadalesipada
bladder, pembesarandaerah supra pubiklesipada meatus uretra,
banyakkencingdannyerisaatberkemihmenandakandisuriaakibatdariinfe
ksi, apakahklienterpasangkatetersebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di
dapatpadadaerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di
uretraluarsewaktukencing / dapatjugadiluarwaktukencing
e. B5(bowel)
Bisingususadakahpeningkatanataupenurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalanperkusi,
adanyaketidaknormalan palpasi pada ginjal
f. B6(bone)
Pemeriksaankekuatanototdanmembandingkannyadenganekstremitas
yang lain adakahnyeripadapersendian
2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin (inkontinensia urin) berhubungan dengan tidak
adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk
menghambat kontraksi kandung kemih.
2. Gangguan harga diri berhubungan dengan keadaan yang memalukan
akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.
3. Resiko insfeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu
lama.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kosntan oleh
urine.
5. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan.
3. Intervensi keperawatan yg tepat yg mengarahkan pada pencengahan
primer.ssekunder tertier dengan incontinensi /retensi pada lansia

1) Pencegahan primer
Fokus pencegahan primer untuk funsi renal dan urinaria pada lansia termasuk
pengkajian, pemantauan dan aktivitas edukasi keperawatan. Fungsi ginjal tetap
normal walaupun terdapat perubahan-perubahan terkait usia. Namun, kemampuan
fisiologis yang tidak biasa dan penyakit minor kurang dapat diakomodasi.
Asuhan keperawatan primer diarahkan untuk meminimalkan potensi untuk
sesuatau yang melebihi kapasitas kekuatan renal dan pengurangan risiko yang
berhubungan dengan perkembangan inkontinensia. Pengkajian dan pemantauan
keseimbangan cairan dan kebiasaan makan sangat penting dilakukan
2) Pencegahan sekunder
Masalah renal dan urinaria yang paling sering terjadi pada lansia adalah yang
disebabkan oleh obat-obatan, infeksi, hipertensi, dan inkontinensia.
Penatalaksanaan keperawatan dalam rangka pencegahan sekunder terdiri dari
masalah ini dan masalah lainnya dapat diklasifikasikan dalam tiga area besar.
Area pertama adalah pencegahan komplikasi iatrogenik yang dapat terjadi baik
dalam penanganan penyakit atau sistem organ yang lain atau selama prosedur
diagnostik. Area kedua berkenaan dengan penyakit yang secara langsung
memengaruhi penuaan sistem renal yang dapat menyebabkan gagal ginjal. Area
ketiga adalah penatalaksanaan keperawtan inkontinensia.
Intervensi untuk pencegahan sekunder pada inkontinensia urin:
a. Tanyakan riwayat dan lakukan pemeriksan fisik
b. Identifikasi tipe inkontinensia dan intervensi yang tepat
c. Sarankan latiahan pelvis untuk inkontinensia stres: manuver crede untuk
inkontinensia akibat aliran yang berlebihan, bladder trainning untuk
inkontinensia dorongan (urge), pergi ke toilet secara terjadwal/awal untuk
pasien yang mengalami gangguan kognitif, dan intervensi lain sesuai indikasi.
d. Kaji fasilitas keamanan, kemudahan akses, dan kegunaan toilet dan
lingkuangan secara umum.

3) Pencegahan tersier
GGK jarang terjadi pada kelompok lansia daripada kelompok usia
yang lebih muda. Penyebab GK yang paling sering pada lansia adalah
penyakit vaskular, glomerulonefritis kronis dan pielonefristis, diabetes
melitus, mieloma multipel, dan pembesaran prostat secara progresif.
Inkontinensia jangka panjang, terutama pada pasien yang mengalami
gangguan kognitif atau gangguan motorik, menjadi masalah bagi klien dan
pemberi perawatan. Intervensi yang agresif dengan menggunakan terapi
modalitas yang tepat dan kombinasi modalitas harus dimulai dan dikaji
keefektifannya. Masalah kulit merupakan konsekuensi dari inkontinensia
jangka panjang. Mungkin yang lebih penting adalah masalah psikososial yang
merupakan akibat pada lansia yang masih sadar. Inkontinensia berpengaruh
terhadap depresi dan isolasi sosial. Orang-orang yang seperti itu dapat
menghindari rasa malu dengan tetap dirumah dan jauh dari orang lain, tetapi
kesepian juga merupakan penyebab depresi.

4. program latihan yang tepat bagi klien lansia dengan incontinentia dan
retensi
intervensi untuk inkontinensia termasuk latihan pelvis, manuver crede, blader
training, toileting secara terjadwal, penggunaan alat-alat eksternal, katerisasi
secara intermiten, modifikasi lingkungan, pengobatan dan pembedahan. Pilihan
bergantung pada jenis inkontinensia, tetapi kombinasi dari pilihan-pilihan
tersebut biasanya digunakan.
Latihan pelvis kegel dianjurkan untuk mereka yang mengalami inkontinensia
stres. Otot-otot yang terlibat dapat diidentifikasi dengan cara memberitahu pasien
untuk menghentikan aliran urin pada pertengahan pancaran. Otot-otot yang
digunakan untuk melakukan hal ini adalah otot-otot yang akan diperkuat.
Tujuannya adalah untuk mencapai 40-60 kali pengurangan selama 10 detik setiap
harinya. Melakukan 15 kali latihan pada waktu makan dan waktu tidur
merupakan jadwal yang mudah diingat. Peningkatan dapat dilihat dalam waktu 4-
6 mingu dengan peningkatan maksimal selama 3 bulan. Menggunakan peralatan
biofeedback yang mencatat perubahan dalam tekanan dan aktivitas listrik
meningkatkan keefektifan latihan.
Manuver crede melibatkaan penggunaan tekanan di atas regio suprapubik
untuk secara manual menekan kandung kemih selama berkemih.
Bladder training adalah penanganan tradisional untuk inkontinensia urgensi.
Blader training meliputi berkemih dengan jadwal yang telah ditentukan
sebelumnya atau dengan pengaturan waktu setiap 30-60 menit tanpa
memperhatikan kebutuhan.

PANDUAN PENGAJARAN UNTUK LATIHAN KEGEL DAN BLADDER


TRAINING
1. latihan pelvis kegel
a. melakukan latihan ini minimal selama 6 minggu. Otot-otot akan akan
mengalami kekuatan peneuh setelah 3 bulan
b. otot-otot yang terlibat adalah otot yang digunakan untuk menahan urine
ketika harus ke kamar kecil, cobalah untuk ke kamar kecil dan kemudian
hentikan aliran urine tanpa mengencangkan otot perut. hal ini adalah untuk
latihan.
c. Kontraksi dan relaksasikan otot-otot ini 4 kali per hari dan lakukan
pengulangan sebanyak 15 kali setiap kali latihan. Secara keseluruhan
berarti 60 kali setiap harinya. Lakukan latihan tersebut sebelum makan
dan pada saat akan tidur.
2. bladeer training
a. buat catatan harian selama 5 hari untuk mencatat waktu berkemih.
Masukkan semua, bai sebelum ke toilet atau tidak.
b. Lihat catatan harian dan temukan interval terpendek yang anda miliki di
antar waktu-waktu tersebut.
c. Tambahkan 30 menit terhadap interval tersebut. Contoh, jika interval
terpendek diantara berkemih dengan berkemih selanjutnya adalah 20
menit, tambahkan 30 menti sehingga menjadi 50 menit.
d. Untuk berikutnya, pergilah ke kamar kecil setiap 50 menit. Jika anda
measa harus pergi ke kamar kecil lebih cepat, coba tahan dan alihkan
perhatian dengan menonton TV, berbicara ditelepon, atau apapun yang
anda pikirkan.
e. Setelah minggu pertama tambahkan 30 menit lagi (1 jam 20 menit)
f. Tambahkan 30 menit setiap minggu smapai dapat berkemih dengan jarak
waktu 3-4 jam, pastikan untuk memeriksa interval dan pastikan bahwa
jadwal tetap di ikuti.
(Mickey stainley, 2007) buku ajar keperawatan gerontik
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan
kencing. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa
prosedur diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk
menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama yaitu
inkontinensiastres, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan konservatif
dilakukanpada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila
dasar inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan
faktor penyebab.
3.2 Saran
Agar penderita inkontinensia urine tetap menjaga kebersihan diri agar
terhindar dari infeksi pada saluran kemih bagian bawah dan tetap menjaga
keseimbangan intake dan output cairan, agar tidak terjadi deficit volum cairan.
DAFTAR PUSTAKA

FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai