Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN KEPERAWTAAN INKONTINENSIA PADA LANSIA

NAMA KELOMPOK :

1. Futry Zahwa Novyani (241911003)


2. Khoiriyah Dwi Agustin (241911004)
3. Puja Wirdana (241911007)
4. Wita Yulianti Barges (241911009)
5. Yulia Puspita Sari (2419110010)

MAYAPADA NURSING ACADEMY


TAHUN AJARAN 2021/2022
TEORI

1.1 Pengertian Inkontinensia Urine

Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urin terjadi akibat kelainan
inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini
timbul karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia), kemungkinan besar
sifatnya akan permanen.

Dewasa di Amerika serikat menderita inkontinensia urin (AHCPR, 1992).


Keadaan ini mengenai individu dengan segala usia meskipun paling sering dijumpai
diantara para lansia. Dilaporkan bahwa lebih dari separuh penghuni panti lansia
menderita inkontinensia urin. Meskipun inkontinensia urin bukan konsekuensi normal
dari proses penuaan, namun perubahan traktus urinarius yang berkaitan dengan usia
merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia urin.

Usia, jenis kelamin serta jumlah persalinan pervaginam yang pernah dialami
sebelumnya merupakan faktor resiko yang sudah dipastikan dan secara parsial
menyebabkan peningkatan insidensnya pada wanita. Faktor resiko lain yang
diperkirakan merupakan penyebab gangguan ini adalah infeksi saluran kemih ,
menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan berbagai obat.
Gejala ruam, dekubitus, infeksi kulit serta saluran kemih dan pembatasan aktivitas
merupakan konsekuensi dari inkontinensia urin.

Biaya perawatn bagi pasien inkontinensia urin diperkirakan lebih dari 10,3
milyar US $ pertahunnya (AHCPR, 1992). Biaya psikososial dari inkontinensia urin
sangat besar, yaitu: perasaan malu, kehilangan kepercayaan diri dan isolasi sosial
merupakan hasil yang umumnya terjadi. Inkontinensia urin pada lansia sering
menyebabkan perlunya perawatan dalam lembaga perawatann

1.2 Etiologi Inkontinensia Urine

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU)
antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan,
produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.

Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau
uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku
harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi
feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas,
asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine
juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya
gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain
adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan
cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke
toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.

Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang


dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat
jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat.
Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik,
narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan
kalsium antagonik.

Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga


memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi
akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan,
kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.

Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan


melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan
jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko
terjadinya inkontinensia urine.

Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause


(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko
yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya
juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).

1.3 Patofisiologi

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada
tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat
berkemih disacrum.Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung
kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000). Pengisian kandung kemih dilakukan
dengan cara relaksasi kandung kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis
dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf
somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).

Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang


menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih
berkurang.

Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya


berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia
sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat
mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan  relaksasi uretra yang mana
gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

1.4 Tanda dan Gejala Inkontinensia Urine pada Lansia

Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu:

1. Ketidaknyamanan daerah pubis


2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
a.Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
b. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
c.Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

1.5 Tipe Inkontinensia Urine

Menurut Cameron (2013) ,Tipe Inkontinensia urine di bagi menjadi beberapa yaitu :

1. Inkontinensia akibat stres


merupakan eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari
peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen.
Tipe inkontinensia ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh
cedera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula,
disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lainnya. Disamping itu, gangguan ini dapat
terjadi akibat kelainan kongenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik).
2. Urge incontinence
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak
mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus,
kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat merupakan faktor yang menyertai;
keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang mengganggu
penghambatan kontraksi kandung kemih atau pada pasien dengan gejala lokal iritasi
akibat infeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih.
3. Overflow incontinence
Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus
menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya
secara normal dan mengalami distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi urin
terjadi dengan sering, kandung kemih tidak pernah kosong. Overflow inkontinence
dapat disebabkan oleh kelainan neurologi (yaitu, penggunaan obat-obatan, tumor,
striktur dan hiperplasia prostat). Kandung kemih neurogenik dibahas secara terpisah
dalam bagian berikutnya.
4. Inkontinensia fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi
ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat pasien sulit untuk
mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan
fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk
melakukan urinasi.
5. Bentuk-Bentuk Inkontinensia Urin Campuran, yang mencakup ciri-ciri
inkontinensia seperti yang baru disebutkan, dapat pula terjadi. Selain itu inkontinensia
urin dapat terjadi akibat interaksi banyak faktor.

Dengan pengenalan permasalahan yang tepat, pemeriksaan dan perujukan


untuk evaluasi diagnostik secara terapi, maka prognosis inkontinensia dapat
ditentukan. Semua pasien inkontinensia harus diperhatikan untuk mendapatkan
pemeriksaan evaluasi dan terapi.

1.6 Pemeriksaan penunjang


Menurut Arniati (2014), Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang inkontensia
yaitu :
a. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
b. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu
bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
c. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan
reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih.
d. Urografi ekskretori
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan
fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
e. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah
urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah


mengurangifaktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia
urin, modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari
beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan,
selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi,
dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
 Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih
6-7 x/hari.
 Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.
 Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
 Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengankebiasaan lansia.
 Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi
kognitif  (berpikir).
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
 Antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
 Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
 Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfa kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan
terapi diberikan secara singkat.
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin.
Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic(pada wanita).
5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi
lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan
alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan
 Kelainan neurologi (medulla spinalis)
 Penyumbatan saluran urin (obat2an, tumor)
 Otot detrusor tdk stabil/ bereaksi berlebihan
 Ingin kencing mendadak, dimalam hari
 Disfungsi neurologi
 Kontraksi kandung kemihterhambat
1.7 Pathway

Perubahananatomi& Penyakit kronis,


fungsitubuh ETIOLOGI
Obat-obatan
imobilisasi, DM, gagal
jantung

Neurogenic, berkurangnya kadar estrogen dan


melemahnya jaringan/otot-otot
Fungsi korteks serebri
panggul,pembesarankelenjarprostat , kontraksi
otot involunteer , kontraksi abnormal di
dinding VU, penurunan hormon

Gangguan aktifitas
kolinergik Tahanan uretra

Kegagalan uretra

Keluar urin tnp


disadari

Inkontinensia pd lansia

Tekanan abdomen Sensasi utk berkemih Output berlebih

Pengeluaran urin Toileting Iritasi kulit


saat aktivitas inadequate
Rembesan urin
involunteer G3an psikiatrik
Tertawa, batuk MK : Resiko kerusakan
& mengejan MK : Inkontinensia Pengeluaran urin
integritas kulit
urinarius dorongan tnp disadari
MK : Inkontinensia
urinarius stres
MK :
. Resikoisolasisosial Keluaran urin tdk
diinginkan

MK : Harga diri rendah


1.8 Penatalaksanaan

Penanganan inkontinensia urin bergantung pada faktor penyebab yang


mendasarinya, sebelum terapi yang tepat dapat dimulai, munculnya masalah ini harus
diidentifikasi dahulu dan kemungkinan keberhasilan terapi diakui. Jika perawat dan
petugas kesehatan lainnya menerima inkontinensia sebagai bagian yang tidak
terelakan dari proses penuaan dan perjalanan penyakitnya atau menganggap
inkontinensia tidak dapat dipulihkan dan tidak dapat diterapi pada usia berapa un,
maka keadaan tersebut tidak akan dapat diterapi dengan hasil yang baik. Upaya yang
bersifat interdisipliner dan kolaboratif sering sangat penting dalam mengkaji dan
mengatasi inkontinensia urin secara efektif.

Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada tipe inkontinensia urin dan


faktor penyebabnya. Inkontinensia urin dan faktor penyebabnya. Inkontinensia urin
dapat bersifat sepintas atau reversibel; setelah penyebab yang mendasari berhasil
diatasi, pola urinasi pasien akan kembali normal.

Penyebab yang bersifat reversibel dan sering terjadi secara singkat dapat
diingat melalui singkatan DIAPPERS . penyebab ini mencakup keadaan berikut:
delirium, infeksi saluran kemih, atrofik vaginitis atau uretritis, pharmacologic agents
( agens farmakologi; preparat antikolinergik, sedatif, alkohol, analgesik, diuretik,
relaksan otot, preparat adrenergik), psichologic factors (faktor psikologis; depresi,
regresi), excessive urin production (asupan cairan yang berlebihan, kelainan endokrin
yang menyebabkan diuresis), restricted activity (aktivitas yang terbats), dan stool
impaction (impaksi fekal) (AHCPR, 1992), setelah semua ini berhasil diatasi, pola
urinasi pasien biasanya kembali normal.

1.9 Penatalaksanaan Bedah

Koreksi dengan pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi


inkontinensia stres. Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat dilakukan:
perbaikan vagina, suspensi kandung kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika
urinaria. Sfingter artifisial yang dimodifikasi dengan menggunakan balon karet-
silikon sebagai mekanisme penekanan swa-regulasi dapat digunakan untuk menutup
uretra.

Metode lain untuk mengontrol inkontinensia stres adalah aplikasi stimulasi elektronik
pada dasar panggul dengan bantuan pulsa generator miniatur yang dilengkapi
elektrode yang dipasang pada sumbat intra-anal.

Untuk tipe-tipe inkontinensia yang lain, tindakan keperawatan seperti yang dijelaskan
diatas biasanya lebih tepat.

1.11 Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urine pada Lansia

1. Pengkajian
Pengkajian asuhan keperawatan pada lansia secara menyeluruh menurut Rosidawati,
(2011) yaitu :
a. Karakteristik demografi
1) Identitas pasien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, suku
bangsa, status perkawinan, alamat sebelumnya, dan hobi.
2) Riwayat keluarga, keluarga yang bisa dihubungi, jumlah saudara kandung,
jumlah anak, riwayat kematian keluarga dalam satu tahun, dan riwayat
kunjungan keluarga.
3) Riwayat pekerjaan dan status ekonomi, pekerjaan sebelumnya dan sumber
pendapatan saat ini.
4) Aktivitas dan rekreasi, meliputi jadwal aktivitas, hobi, wisata, dan keanggotaan
organisasi
b. Pola kebiasaan sehari-hari
1) Pola nutrisi
Pola nutrisi meliputi frekuensi makan, nafsu makanan, jenis makanan yang
dimakan, kebiasaan sebelum makan, makanan yang disukai dan tidak
disukai, alergi dengan makanan, dan keluhan yang berhubungan dengan
makan. Selain makan juga perlu dikaji asupan cairannya, meliputi jumlah
air yang diminum dalam sehari, jenis minuman (air putih, teh, cokelat,
minuman berkafein, bersoda, dan beralkohol), dan minuman kesukaan.
2) Pola eliminasi
Menurut Maas, (2014) pengkajian pola eliminasi khusus untuk lansia
dengan inkontinensia urin yaitu :
a) Buang air kecil, frekuensi berkemih sepanjang hari, frekuensi berkemih
di malam hari, kesulitan dalam berkemih (perlu mengejan atau tidak),
aliran urin, nyeri saat berkemih, adanya campuran darah saat berkemih,
dan warna urin.
b) Buang air besar, frekuensi buang air besar, konsistensi, warna feses,
keluhan saat buang air besar, dan penggunaan obat pencahar.
3) Pola personal hygiene
Menggambarkan frekuensi mandi, gosok gigi, mencuci rambut, penggunaan
alat mandi (sabun, pasta gigi, dan shampo), dan kebersihan tangan serta
kuku.
4) Pola istirahat dan tidur
Menggambarkan pola tidur, lamanya tidur saat malam hari, lama tidur saat
tidur siang, dan keluhan saat tidur.
5) Pola hubungan dan peran
Menggambarkan hubungan responden dengan keluarga, masyarakat, dan
tempat tinggal.
6) Pola sensori dan kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori meliputi
pengkajian penglihatan, pendengaran, perasaan, dan pembau.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap
kemampuan konsep diri. Konsep diri menggambarkan gambaran diri, harga
diri, peran dan identitas diri. Mengkaji tingkat depresi responden
menggunakan format pengkajian status psikologis.
8) Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan masalah terhadap seksualitas.
9) Pola mekanisme stress dan kopping
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress.
10) Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan pola, nilai keyakinan termasuk spiritual.
11) Kebiasaan mengisi waktu luang
Menggambarkan kegiatan responden dalam mengisi waktu luang seperti
mencuci baju, merajut, membaca majalah atau koran, mendengarkan radio,
dan beribadah.
12) Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Menggambarkan kebiasaan responden yang berdampak pada kesehatan
meliputi merokok, minum minuman beralkohol, dan ketergantungan
terhadap obat.
c. Status kesehatan
1) Status kesehatan saat ini
Biasanya adanya keluhan nyeri saat berkemih atau urin keluar dengan
tiba-tiba, dan tingginya frekuensi berkemih.
2) Riwayat kesehatan masa lalu
a) Penyakit yang pernah diderita, meliputi diabetes, hipertensi,
kolesterol, dan asam urat.
b) Riwayat alergi (obat, makanan, minuman, binatang, debu, dan lain-
lain).
c) Riwayat kecelakaan, lansia sering mengalami jatuh dan terpeleset saat
berjalan.
d) Riwayat dirawat di rumah sakit.
e) Riwayat pemakaian obat, biasanya pemakaian obat diuretik yang
cukup lama dapat menyebabkan inkontinensia urin.
3) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan meliputi keadaan umum, berat badan, kepala, dada, abdomen,
kulit, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah.
4) Lingkungan dan tempat tinggal
Pengkajian terhadap kebersihan dan kerapian ruangan, penerangan, sirkulasi
udara, dan kebersihan toilet.
2. Analisa Data dan Diagnosa
Berdasarkan pengkajian di atas, dapat disimpulkan diagnosa yang muncul pada
pasien inkontinensia urine menurut SDKI (2017) :
a. Inkontinensia urin berlanjut berhubungan dengan neuropati arkus refleks,
disfungsi neurologis, kerusakan refleks kontraksi detrusor, trauma, kerusakan
medula spinalis, dan kelainan anatomis.
b. Inkontinensia berlebih berhubungan dengan blok sfingter, kerusakan atau
ketidakadekuatan jalur aferen, obstruksi jalan keluar urin, dan ketidakadekuatan
detrusor.
c. Inkontinensia urin fungsional berhubungan dengan ketidakmampuan atau
penurunan mengenali tanda-tanda berkemih, penurunan tonus kandung kemih,
hambatan mobilisasi, faktor psikologis; penurunan perhatian pada tanda-tanda
keinginan berkemih, hambatan lingkungan, kehilangan sensorik dan motorik,
gangguan penglihatan.
d. Inkontinensia urin refleks berhubungan dengan kerusakan konduksi impuls di atas
arkus refleks, dan kerusakan jaringan.
e. Inkontinensia urin stres berhubungan dengan kelemahan intrinsik sfingter uretra,
perubahan degenerasi/non degenerasi otot pelvis, kekurangan estrogen, peningkatan
tekanan intraabdomen, dan kelemahan otot pelvis.
f. Inkontinensia urgensi berhubungan dengan iritasi reseptor kontraksi kandung kemih,
penurunan kapasitas kandung kemih, hiperaktivitas detrusor dengan kerusakan
kontraktilitas kandung kemih, dan efek agen farmakologis.
g. Kesiapan peningkatan eliminasi urin
h. Isolasi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan menjalin hubungan yang
memuaskan, perubahan penampilan fisik, dan perubahan status mental.
i. Risiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan organisme patogen
lingkungan.
3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


Keperawatan Kriteria Hasil

Inkontinensia urin Setelah dilakukan 1. Kaji pola 1. Memberikan


tindakan
berkemih dan informasi mengenai
keperawatan kegel
exercise 4 kali 10 bandingkan dengan perubahan yang
siklus sehari dalam 4
sekarang. mungkin terjadi
minggu, diharapkan
kontinensia urin selanjutnya.
pasien meningkat 2. Dukung
dengan kriteria
hasil : 1. perawatan diri 2. Memotivasi
Kemampuan responden untuk
berkemih
3. Buat jadwal
meningkat. latihan otot dasar menjaga kebersihan
panggul atau kegel diri dan
2. Nokturia
menurun. menghindarkan
4. Anjurkan minum responden dari
3. Residu volume adekuat selama resiko infeksi.
urin setelah
berkemih menurun. siang hari, minimal
2 liter (sesuai 3. Kegel exercise
4. Distensi kandung toleransi), dan diet berfungsi untuk
kemih menurun.
tinggi serat. menguatkan otot-
5. Dribbling otot elevator ani dan
menurun. 5. Batasi minum saat urogenital yang
6. Frekuensi menjelang tidur. dapat menurunkan
berkemih membaik. inkontinensia urin.
6. Kolaborasi
7. Sensasi berkemih
membaik (SLKI , dengan dokter dalam 4. Minum yang
L.04036, 2018) mengkaji efek adekuat akan
pemberian obat. menurunkan risiko
(SIKI, 2018) dehidrasi, infeksi
saluran kemih, dan
konstipasi.

5. Pembatasan
minum di malam
hari dapat
menghindarkan
responden dari
enuresis dan
nokturia.

6. Menurunkan
derajat
inkontinensia.
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah aksi dalam melakukan tindakan dari keperawatan,
selesaikan perencanaan mandiri dan kolaboratif untuk membantu pasien mencapai
hasil dan tujuan yang diinginkan. Tindakan mandiri adalah aktivitas dimana perawat
menggunakan pertimbangannya sendiri (Potter & Perry, 2010).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi dengan klien yang dilakukan terapi kegel
exercise. Klien merupakan sumber evaluasi hasil dari respons terbaik bagi asuhan
keperawatan. Perawat harus mengevaluasi efektivitas intervensi keperawatan dengan
membandingkan tujuan. Bandingkan hasil aktual dengan hasil yang diharapkan untuk
menentukan keberhasilan sebagian atau penuh (Potter & Perry, 2010).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urin terjadi akibat kelainan
inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini
timbul karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia), kemungkinan besar
sifatnya akan permanen.

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian
dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh
setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku
yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia
tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang
kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan
yang berbeda, di dalam parameter yang  cukup sempit, proses  tersebut tidak
tertandingi.

3.2 Saran

Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan nantinya akan memberikan


manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan
bagaimana memberikan asuhan keperawatan pada klien Lanjut usia dengan masalah
Inkontinensia urin.

Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini
bisa bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan DasarManusia. Jakarta :Salemba Medika


Potter, Perry. 2006. Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai