Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

SISTEM PERKEMIHAN
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA INKONTINENSIA URIN dan
RETENSI URIN”

Dosen Pembimbing: Zuliani S.Kep,Ns.,M.Kep

Disusun oleh :
1. Yuni Khoiriyatul M.R. (7315005)
2. Riris Qurratul Alfiana (7315029)
3. Abidatul Kholiq (7315033)
4. Eko Andrian Prasetyo (7315041)
5. Rahayu Woro R. (7315042)

PROGAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ‘ULUM
JOMBANG
2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
Jigsaw “Asuhan Keperawatan Pada Inkontinensia Urin dan Retensi Urin” dengan tepat
waktu. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah
Keperawatan Perkemihan di Prodi SI Ilmu Keperawatan Unipdu.
Selanjutnya, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang
membantu baik moril maupun materil dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada
Bapak Didik Saudin, S.Kep., Ns., M.Kep selaku dosen pengampu pada mata kuliah
Keperawatan Perkemihan di Prodi SI Ilmu Keperawatan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
baik pada penulisan maupun isi dalam makalah ini. Untuk itu, penulis mengharapkan adanya
kitik dan saran dari semua pihak sebagai penyempurna makalah ini. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Jombang, 20 September 2018

Penulis

ii
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang....................................................................................
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................
1.3. Tujuan.................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi .....................................................................................
2.2 Etiologi......................................................................................
2.3 Klasifikasi ................................................................................
2.4 Pathway.....................................................................................
2.5 Patofisiologi..............................................................................
2.6 Manifestasi klinis......................................................................
2.7 Pemeriksaan Penunjang ...........................................................
2.8 Penatalaksanaan .......................................................................
2.9 Komplikasi................................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian ................................................................................
3.2. Pemeriksaan Fisik.....................................................................
3.3. Diagnosa Keperawatan..............................................................
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan ..............................................................................
4.2. Saran..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontinensia Urine (IU) merupakan keluhan subjektif individu terhadap masalah
kebocoran (leakage) urine. Pendapat lain mengatakan IU sebagai ketidak mampuan
menahan berkemih yang memberikan dampak gangguan kebersihan dan hubungan social
individu” (NIH, 1988 dalam Dewi 2013). Kondisi ini menyebabkan masalah
ketidaknyamanan dan distress pada individu. Hal tersebut jarang disampaikan oleh
pasien maupun keluarga karena dianggap memalukan (tabu) atau wajar terjadi pada lansia
sehingga tidak perlu diobati. IU dinilai bukan sebagai penyakit, melainkan suatu gejala
yang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat
menurunkan kualitas hidup. IU merupakan keluarnya urin tidak disadari dan pada waktu
yang tidak diinginkan (tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlah) yang mengakibatkan
masalah sosial dan higienisitas penderitanya (Juanda 2014).
Inkontinensia banyak dijumpai pada anak, remaja, orang dewasa dan lansia
tergantung pada etiologi yang menjadi penyebab. Bradway dan Hernly (1988 dalam Dewi
2013) mengatakan prevalensi enuresis nocturnal pada anak usia 7 tahun sebesar 10% dan
28% atlet wanita mengalami UI saat melakukan aktivitas olahraganya. Data lain
menunjukkan bahawa UI paling sering dialami oleh usia pertengahan (middle aged) dan
lansia, peningkatan jumlah UI pada dewasa muda sebesar 10-20% sedang pada dewasa
lanjut sebesar 20-30%. Peningkatan prevalensi terbesar adalah pada lansia yaitu antara
30-50% (Chan dan Wong, dalam Dewi 2013).
Inkontinensia urin (IU) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dijumpai
pada lansia. Prevalensi IU pada perempuan di dunia berkisar antara 10-58%. Menurut
Asia Pasific Continence Advisor Board (APCAB), prevalensi IU pada perempuan Asia
adalah 14,6%, dimana sekitar 5,8% berasal dari Indonesia. Di Indonesia jumlah penderita
Inkontinensia urin sangat signifikan. Pada tahun 2006 diperkirakan sekitar 5,8% dari
jumlah penduduk mengalami Inkontinensia urin, tetapi penanganannya masih sangat
kurang. Hal ini di sebabkan karena masyarakat belum tahu tempat yang tepat untuk
berobat disertai kurangnya pemahaman tenaga kesehatan tentang inkontinensia urin
(Depkes, 2012 dalam Dewi 2017). Survei IU oleh Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo
(2008) pada 793 pasien menunjukkan bahwa prevalensi IU pada perempuan 6,79%,
sedangkan pada laki-laki 3,02%. (Kurniasari, 2016).

1
Proses menua diyakini sebagai salah satu faktor predisposisi terjadinya IU. Penuaan
menyebabkan banyak perubahan anatomis dan fisiologis organ urogenital bagian bawah,
antara lain fibrosis, atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa dan menipisnya
lapisan otot yang menggangu kontraktilitas dan mudah terbentuk trabekulasi hingga
divertikel. Hal ini akan menyebabkan posisi kandung kemih prolaps sehingga
melemahkan tekanan. Risiko IU akan meningkat pada perempuan dengan obesitas,
riwayat histerektomi, infeksi urogenital dan trauma perineal, serta melahirkan
pervaginam. Pada lansia yang dirawat di panti werdha, IU sering berkaitan dengan
gangguan mobilitas, demensia, depresi, stroke, diabetes mellitus dan Parkinson. Faktor
risiko IU lainnya yang dapat dimodifikasi, antara lain infeksi saluran kemih, keterbatasan
aktivitas fisik dan faktor gangguan lingkungan (Juananda, 2014).
Menurut Newman & Smith, 1992; Taylor & Handerson, 1986, terdapat cara yang
digunakan untuk memperbaiki ketidakmampuan berkemih yaitu dengan latihan otot dasar
panggul (pelvic muscte exercise) atau sering disebut dengan latihan Kegel. Latihan dasar
panggul melibatkan kontraksi tulang otot pubokoksigeus, otot yang membentuk struktur
penyokong panggul dan mengililingi pintu panggul pada vagina, uretra, dan rectum
(Dewi 2017).
Tingginya angka kejadian inkotinensia urin menyebabkan perlunya penanganan yang
sesuai, karena jika tidak segera ditangani inkontinensia dapat menyebabkan berbagai
komplikasi seperti infeksi saluran kemih, infeksi kulit daerah kemaluan, gangguan tidur,
dekubitus, dan gejala ruam. Selain itu, masalah psikososial seperti dijauhi orang lain
karena berbau pesing, minder, tidak percaya diri, mudah marah juga sering terjadi dan hal
ini berakibat pada depresi dan isolasi sosial (Dewi, 2017)
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Perjalanan Penyakit dan Asuhan Keperawatan yang diberikan kepada pasien
Inkontinensia Urin ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah perkuliahan mahasiswa mampu menjelaskan konsep dari asuhan keperawatan
pada klien dengan inkontinensia urin.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat mengerti, dan memahami definisi inkontinensia urin.
2. Mahasiswa dapat mengerti, dan memahami etiologi inkontinensia urin.

2
3. Mahasiswa dapat mengerti, dan memahami manifestasi klinis inkontinensia
urin.
4. Mahasiswa dapat mengerti, dan memahami klasifikasi inkontinensia urin.
5. Mahasiswa dapat mengerti, dan memahami patofisiologi dan Pathway dari
inkontinensia urin.
6. Mahasiswa dapat mengerti, dan memahami penatalaksanaan pada klien dengan
inkontinensia urin.
7. Mahasiswa dapat mengerti, dan memahami masalah keperawatan yang muncul
pada pasien dengan inkontinensia urin.
1.4 Manfaat
1.4.1 Makalah ini diharapkan mampu memberikan gambaran secara mendalam tentang
asuhan keperawatan pada klien dengan inkontinensia urin.
1.4.2 Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi bagi para
pembaca khususnya tentang asuhan keperawatan pada klien dengan inkontinensia
urin.

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Inkontinensia Urin


Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan. (Brunner & Suddart. 2002). Inkontinensia urine
merupakan urine yang keluar tidak terkendali dan tidak diduga. (Mary Barader, dkk.
2009).
Inkontinensia urine adalah kehilangan kontrol berkemih yang dapat bersifat
sementara atau menetap. (Dewi, 2015). Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan
inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun jika kejadian ini timbul
karena kelainan neurologis serius (paraplegia) kemungkinan besar sifatnya akan
permanen.
Menurut Tjokroprawiro, Dkk (2015) Inkontinensia urine merupakan
ketidakmampuan seseorang dalam menahan air kemih yang dapat disebabkan oleh
berbagai kelainan. hilangnya kendali ini dapat disebabkan oleh kelainan dan gangguan
faal korteks otak, gangguan reflex sacral dan kelainan serta gangguan faal otot detrusor
dan sfingter.
2.2 Klasifikasi Inkontinensia Urin
1) Inkontinensia urin akut (Transient incontinence)
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan
biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenic dimana
menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebab tersering adalah keadaan delirium,
retriksi mobilitas, infeksi, inflamasi, impaksi feces, dan obat-obatan, pharmasi dan
poliurin (Sjamsuhidajat, 2015). Secara umum Transient incontinence disebabkan
oleh suatu kondisi atau gangguan kesehatan (Dewi, 2013).
2) Inkontinensia urin kronik (persisten)
Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung lama
(lebih dari 6 bulan). Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan menjadi beberapa
tipe:
1. Inkontinensia urin tipe stress
Terjadi apabila urin tidak terkontrol keluar akibat peningkatan intraabdomen,
melemahnya otot dasar panggul, operasi, dan penurunan estrogen. Gejalanya

4
antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal
lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut (Dewi, 2013). Urin yang
keluar biasanya sedikit sehingga tidak begitu berpengaruh terhadap kualitas
hidup, dan tidak memerlukan terapi khusus, kadangkala jika urin yang keluar
cukup banyak dan mengganggu diperlukan tindakan pembedahan
(Sjamsuhidajat, 2015).
Stress Incontinence ini disebabkan oleh kelemahan dari otot dan jaringan sekitar
muara kandung kemih dan uretra. Juga seringnya melahirkan dan menurun serta
menghilangnya pengaruh hormone estrogen, merupakan factor penyebab utama,
factor lain ialah obesitas dan batuk kronis. Tipe ini jarang terjadi pada pria
kecuali seorang ria mengalami operasi trans uretra atau setelah radiasi yang
merusak jaringan sfingter dan sekitarnya (Sjamsuhidajat, 2015).
2. Inkontinensia urin tipe urgensi
Inkontinensi urgensi atau Urge Incontinence adalah pengeluaran urin secara
tidak sadar, disertai oleh keinginan berkemih yang kuat (Dewi, 2013). Penderita
tidak mempunyai kemampuan untuk menunda berkemih. Rangsang akan timbul
saat sensasi kandung kemih penuh, sehingga biasanya urin dikeluarkan dalam
jumlah cukup banyak (Sjamsuhidajat, 2015).
Kondisi ini biasanya disebabkan oleh kontraksi otot detrusor yang prematur,
utamanya pada kondisi instabilitas detrusor (Dewi, 2013). Instabilitas detrusor
pada umumnya disebabkan oleh gangguan neurologi, seperti stroke, demensia,
Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis (Sjamsuhidajat, 2015). Meskipun
demikian Urge Incontinence dapat terjadi pada invidu yang tidak mengalami
gangguan neurologi. urge incontinence merupakan akibat dari adanya kontraksi
prematur pada kandung kemih karena adanya inflamasi atau iritasi dalam
bladder. Inflammasi atau iritasi ini dapat disebabkan oleh adanya batu,
malignansi dan infeksi. Urge incontinence umumnya terjadi pada lansia (Dewi,
2013).
3. Inkontinensia urin tipe overflow
Pengeluaran urin yang tidak disadari sebagai akibat dari overdistensi bladder
dan pengosongan bladder yang tidak sempurna (Dewi, 2013). Desakan mekanik
dari kadung kemih yang sudah sangat tegang karena sangat penuh, sehingga
urin menerobos (bocor) keluar. biasanya disebabkan karena pembesaran

5
kelenjar prostat, kista atau penyempitan uretra, terganggunya kontraksi kandung
kemih pada diabetic neuropati (Sjamsuhidajat, 2015).
Ditandai oleh elimnasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus-
menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya
secara normal dan mengalami distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi urin
terjadi dengan sering, kandung kemih tidak pernah kosong. Inkontinensia ini
disebabkan oleh kelainan neurologi (tumor, hiperplasi prostat).
4. Inkontinensia urin fungsional
Inkontinensia yang disebabkan oleh ketidakmampuan individu untuk mencapai
atau menggunakan fasilitas toileting secara benar, kondisi ini dapat disebabkan
oleh gangguan mobilitas dan atau gangguan fungsi kognitif klien (Dewi, 2013).
Tipe ini ditandai oleh keluarnya urin secara dini. Hal ini disebbkan oleh
gangguan fisik, kognitif atau karena situasi serta lingkungan yang belum siap.
bias juga karena factor psikologi seperti depresi dan marah (Sjamsuhidajat,
2015). Fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor yang
menyebabkan inkonensia, seperti gangguan kognitif berat yang membuat pasien
sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya alzheimer) atau
gangguan fisik yang menyebabkan pasien kesulitan melakukan urinasi.
5. Inkontinensia tipe campuran (mixed)
Merupakan kombinasi dari setiap jenis inkontinensia campuran antara stress dan
urge inkontinensia, biasanya terjadi pada wanita tua (Dewi, 2013).
2.3 Etiologi Inkontinensia Urin
Penyebab inkontinensia urine juga bisa bersifat akut maupun kronis (Brunner &
Suddarth, 2002).
1. Inkontinensia urine akut
a. Sembelit
b. Infeksi saluran kemih
c. Konsumsi alkohol berlebih
d. Minum terlalu banyak atau minum cairan yang dapat mengiritasi kandung
kemih
e. Mengkonsumsi obat (obat flu, diuretik, alergi)
2. Inkontinensia urine kronis
a. Otot kandung kemih yang terlalu aktif

6
b. Terdapat obstruksi pada saluran kemih, seperti terdapat batu dalam saluran
kemih
c. Otot dasar panggul lemah
d. Multiple sklerosis (penyakit kronis pada sistem saraf pusat)
e. Penyakit parkinson
f. Penyakit atau cedera yang mempengaruhi sistem saraf dan otot, termasuk
diabetes.

7
2.4 Patofisiologi Inkontinensia Urin
Proses berkemih yang normal ialah proses dinamik yang secara fisiologik
berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi sistems saraf pusat dan sistem saraf tepi di
daerah sacrum. Sensasi timbul pada saat volume volume kandung kemih mencapai 300-
600 ml. faktor yang mempengaruhi produksi urin adalah jumlah cairan yang masuk ke
tubuh, kondisi hormon, saraf sensori perkemihan, kondisi sehat sakit, tingkat aktivitas
(Dewi, 2013).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang
dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul
(Padlilah, 2014).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang
menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih
berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang
timbulnya berkemih. Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa penuaan,
pembesara kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau
sedatif. Perubahan juga dapat disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, terjadi
kontraksi yang abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan rangsangan berkemih
sebelum waktunya dan meninggalkan sisa, pada pengosongan kandung kemih yang tidak
sempurna dapat mengakibatkan urine dalam kandung kemih yang cukup banyak
sehingga dengan pengisian sedikit dapat merangsang untuk berkemih. Inkontinensia
dapat dialami setiap individu pada usia berapapun walau kondisi ini lebih umum dialami
oleh lansia (Dewi, 2013).
Inkontinensia urin yang dialami pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan
pada pasien, seperti gangguan kenyamanan, resiko dekubitus (luka pada daerah yang
tertekan), dan adapat menimbulkan rasa rendah diri pasien. Inkontinensia urin yang tidak
segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin.

8
2.5 Pathway

Hambatan/obstruksi Lesi spinal


Obstruksi uretra inkoordinasi Pembedahan Lansia
cord di bawah
kandung kemih antara detrusor uretra
Multiparitas (penurunan S2
kelamin otot detrusor
otot dasar panggul) Komplikasi Kehilangan fungsi
Ketika batuk, bersin, Otot post op Penuruna otot kognitif
tertawa, mengejan detrusor destrusor
tidak stabil Kegagalan
pengeluaran urin Penurunan fungsi
Otot detrusor
Tekanan kandung melemah Tidak dapat otot destrusor
Tekanan
kemih > uretra intravesika mengontrol keluaran
Retensi urine
meningkat
Inkontinensia Inkontinensia
Peningkatan after trauma fungsional
Kontraksi
terkanan intra Kronis Distensi Inkontinensia
kandung kemih
abdominal kandung kemih refleks
involunter

Tidak dapat
Kebocoran urine
Otot sfingter mengontrol keluaran Dysuria
involunteer
uretra melemah urine

MK: Gangguan
Inkontinensia Inkontinensia Rasa Nyaman
Inkontinensia stress urgensi/dorongan overflow Nyeri

Mk: Ansietas Perubahan status Inkontinensia Urin


Gangguan
kesehatan tubuh eliminasi urin

Genitalia eksterna basah MK: Risiko Infeksi

Urin yang bersifat asam Urin keluar saat


mengiritasi kulit malam/siang hari

MK: Risiko Kerusakan Mengganggu aktifitas,


Integritas Kulit tidur

MK: Gangguan Pola


Tidur

9
2.6 Manifestasi Klinis Inkontinensia Urin
Tanda dan gejala pada pasien dengan inkontinensia urine menurut Dewi (2013) yaitu:
1. Ketidak nyamanan daerah pubis
2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine (20-50 ml)
5. Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
6. Meningkatkan keresahan dan keinginanan berkemih
7. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih
8. Tidak merasakan urine keluar
9. Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik Inkontinensia Urin


1. Uji urodinamik
Kegagalan dalam menetukan etiologi dan diagnose inkontinensia urin terjadi
pada 50% kasus yang mendasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan fisik saja
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan urodinamik sebagai uji tambahan Urodinamik
didefinisikan sebagai suatu pengujian factor normal dan abnormal pada proses
pengisian, transport, dan pengosongan urin pada kandung kemih dan uretra dengan
menggunakan metode tertentu. Pemeriksaan meliputi:
a. Uroflowmetri (mengukur kecepatan aliran)
b. Sistometri (menggambarkan kontraktur detrusor)
c. Sistometri video (menunjukkan kebocoran urin saat mengedan saat pasien
dengan inkontinensia stress)
d. Flowmetri tekanan uretra (mengukur tekanan uretra dan kandung kemih saat
istirahat dan selama berkemih jika penyebab inkontinensia urin pasien tetap
tidak dapat ditentukan, evaluasi urodinamik merupakan langkah selanjutnya
yang harus dipertimbangkan). Ujir uro dinamik bermanfaat pada kondisi:
a) Diagnosis yang belum pasti sehingga akan dapat mempengaruhi terapi
b) Terapi empiris tidak berhasil mengatasi keadaan dan akan dicoba
pendekatan terapi lain.
c) Obstruksi yang dapat dikoreksi (diduga terjadi pada pasien dengan overflow
incontinence)

10
d) Pada pasien yang berusia lebih dari 70-75 tahun, uji urodinamik ini
mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis sebelum dilakukan terapi
invasif.(Vitriana. 2002).

11
2. Q-tip test
Tes ini dilakukan dengan menginsersikan sebuah cotton swab (Q-tip) yang steril
kedalam uretra wanita lalu kekandung kemih. Secara perlahan tarik kembali hingga
leher dari Q-tip berada di leher kandung kemih. Pasien lalu diminta untuk
melakukan Valsavamanuver atau mengkontraksikan otot abdominalnya. Perubahan
sudut Q-tip diukur dan dipergunakan sebagai ukuran laksiti dasar panggul. Bila
sudut yang terjadi lebih dari 35 derajat dengan melakukan hal tersebut maka hal
tersebut mengindikasikan adanya hipermobilitas uretra (tipe II stress incontinence).
Akan tetapi karena laksiti mempunyai nilai yang kecil dalam menentukan penyebab
inkontinensia, maka kegunaan tes ini untuk diagnostic menjadi sangat terbatas.
(Vitriana. 2002)
3. Marshall test (Marshall -Bonney test)
Jika pemeriksa mendeteksi keluarnya urin bersamaan dengan adanya kontraksi otot
abdomen, maka uji ini dapat dilakukan untuk mengetahui apakah kebocoran dapat
dicegah dengan cara menstabilisasi dasar kandung kemih sehingga mencegah
herniasime lalu diafragma urogenital atau tidak. Dilakukan dengan meletakkan dua
jari (jari ke dua dan ketiga) di fornices lateral vagina (leher kandung kemih) dan
meminta pasien untuk batuk. Kandung kemih saat itu haruslah penuh. Dua jari pada
leher kandung kemih itu bertindak sebagai penyokong uretra proksimal selama
Valsavamanuver.
4. Pad test
Merupakan penilaian semi objektif untuk mengetahui apakah cairan yang keluar
adalah urin, seberapa banyak keluarnya urin dan dapat digunakan untuk memantau
keberhasilan terapi inkontinensia. Bermanfaat sebagai tambah anamnesa pasien dan
pemeriksaan fisik. Intravesical methylene blue, oral Pyridium, atau Urised dapat
dipergunakan sebagai zat pewarna. Jika pembalut mengalami perubahan warna maka
cairan yang keluar adalah urin. Pad test ini dapat dilakukan selama 1 jam atau 24
jam. Pad kemudian ditimbang (1g=1ml) untuk menilai berapa banyak urin yang
keluar. (Vitriana. 2002)
5. Standing pelvic examination
Pemeriksaan ini dilakukan jika pemeriksaan pelvis gagal untuk menampakkan
keluarnya urin atau jika diduga terdapat prolaps organ. Jika tampak prolaps pelvis,
dorong organ yang prolapse ke atas dengan pessary atau gauze kemudian ulangi
cough stress test dalam posisi berdiri. (Vitriana. 2002)
12
6. Tes Laboratorium
a. Urinalysis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang esensial untuk klien dengan UI.
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui substansi yang terdapat dalam urin
yang dapat berhubungan UI seperti darah, glukosa, pus, bakteri, protein.
Pemeriksaan lain yang harus disertakan untuk menyingkirkan adanya infeksi
saluran kemih adalah kultur urin (Chan dalam Dewi 2013).
b. Pemeriksaan serum
Pemeriksaan serum darah diindikasi untuk melihat adanya komplikasi sistemik.
Seperti kemungkinan terjadinya peningkatan BUN dan Ureum Creatinin pada
klien dengan obstruksi dan memiliki komplikasi hidronefrosis (Chan dalam
Dewi 2013).
2.8 Penatalaksanaan Inkontinensia Urine
Penatalaksanaan inkontiensiaurin adalah untuk mengurangi factor resiko,
mempertahanan homeostasis, mengontrol inkotinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihn otot pelvis dan pembedahan.
A. Intervensi Perilaku
Intervensi Perilaku memerlukan motivasi fungsi kognitif dan fisik yang adekuat dari
penderita. Berikuk beberapa intervensi perilaku :
a) Bantuan toileting (avoiding/toileting asisstance)
1. Jadwal berkemih, jadwal direkomendasikan disusun untuk satu hari penuh.
Dengan menggunakan jadwal berkemih klien diharapkan lebih patuh
terhadap waktu berkemih yang telah disepakati. Interval berkemih pada
umumnya setiap 2 jam.
2. Latihan merubah kebiasaan
Merupakan latihan penyesuaian antara kebiasaan klien berkemih dengan
jadwal yang telah tersusun. Hal-hal yang disesuaikan antara lain adalah
frekuensi, volume, pola kontinen dan inkontinence. Dengan jadwal dan
latihan penyesuaian diharapkan klien dapat mempunyai pola baru.
3. Prompted voiding (mengatakan dengan bisikan pada diri sendiri untuk
menahan atau mengatur BAK). Bisikan untuk BAK dilakukan setiap
interval 2 jam. Tindakan ini direkomendasikan untuk klien yang mengalami
penurunan sensori untuk merasakan regangan pada bladder dan penurunan
rangsangan berkemih. Pada pasien yang mengalami kelemahan bisikan
13
dilakukan oleh caregiver. Bila klien berhasil melakukan BAK maka diberi
reward berupa umpan balik positif (Hay-Smith Dkk, Dalam Dewi, 2013).
b) Bladder training/ bladder re-education
Bladder training sangat direkomendasikan pada pasien yang mengalami
Inkontinensia Urge dan bisa juga dilakukan untuk pasien dengan stress
inkontinensia. Latihan yang dilkukan dalam bladder training adalah menunda
berkemih sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan untuk melatih
fungsi bladder dalam menampung urin sesuai ukuran normal. Dalam penelitian
terdapat perbaikan pada klien UI dengan bladder training sebesar 10-15 %
(Dewi, 2013).
Terdapat persyaratan untuk klien yang akan menjalani bladder training, klien
mampu secara fisik, kognitif dan memiliki motivasi untuk latihan. Bentuk
latihan yang dilakukan adalah klien harus mematuhi jadwal berkemih yang telah
disepakati, selanjutnya klien diminta untuk menahan keinginan berkemih
dengan melakukan relaksasi atau distraksi sampai dengan interval waktu yang
disepakati selesai (2-3jam). Latihan ini membutuhkan waktu beberapa bulan
sehingga memperlihatkan perubahan pada klien (Ekasari Dkk, 2014).
c) Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul sangat berpengaruh dalam memperbaikai stress
inkontinensia. Tujuan latihan ini adalah untuk meningkatkan kekuatan otot
periuretra dan otot dasar pelvis (Dewi, 2013).
Prinsip dari latihan otot dasar panggul ini adalah : kontraksi dan relaksasi dari
otot dasar panggul secara berulang0ulang sampai dengan 40 kalisehari setiap
gerakan ditahan kurang lebih 10 menit. semua gerakan ditujukan pada gerakan
untuk menghentikan keluarnya urin saat BAK (Sjamsudihajat, 2015).
Pasien yang dapat melakukan latihan ini sebaiknya memiliki beberapa kriteria
seperti :
a. kondisi anatomi normal dan intact
b. tidak terdapat organ pelvis yang prolaps;
c. kekuatan dan kontraktilitas otot cukup.
Beberapa alat telah diciptakan untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul
seperti; vaginal cone, stimulasi electrik, Biofeedback dan extracorporeal
Magnetic Innervation therapy (Doughty, dalam Dewi 2013).

14
B. Farmakologi
Berikut beberapa obat yang digunakan untuk inkontinensia Urin (Sjamsudihajat,
2015) :
Golongan Obat Obat
Antimuskarinik Tolteroditie
Trospium
Solifenacin
Darifenacin
Prophanteline
Atropin, Hyoscamine
Obat Kerja Ganda Oxybutynin
Dicyclomine
Propiverine
Flavocate
Penghambat Adrenergik Doxazosine
Prazosin
Terazosin
Tamsulosin
Alfuzosin
Antidepresi Imipramine
Agonis Adrenergik Tarbutaline
Salbutamol
Penghambat COX Indometasin
Flurbiprofen
Obat lain Estrogen
Vadofem
Capsaicin
Resiniferatoxin
Botulinum Toxin
Desmopressin

15
C. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbagkan pada inkontinnsia tipe stress dan urgensi, bila terapi
non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensiurin.
Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, diverticulum, hyperplasia prostat, dan
prolapse pelvic (pada wanita).
D. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.
E. Pemantauan asupan cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan rentan
yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak ada
kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan secara
tidak tepat untuk mencegah kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan
asupan cairan sebelum waktu tidur daoat mengurangi inkontinensia pada malam
hari, tetapi cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total
asupan cairan setiap harinya tetap sama.
F. Terapi
Terapi berdasarkan tipe Inkontinensia Urin
1. Type Stress
Lini 1 : Intervensi perilaku : Latihan otot dasar panggul
Lini 2 : Obat-obatan : Agonis adrenergic alfa dan/Estrogen
Lini 3 : Injeksi kolagen peri uretra
2. Type Urgensi
Lini 1 : Intervensi perilaku Kegel’s exercise, bladder training
Lini 2 : Obat-Obatan
Lini 3 : Pembedahan
3. Type Overflow
Lini 1 : Pembedahan untuk menghilangkan sumbatan
Lini 2 : Kaeterisasi menetap jangka panjang
Lini 3 : Kateterisasi suprapubik
4. Type fungsional
Lini 1 : Intervensi perilaku
16
Lini 2 : Manipulasi lingkungan
Lini 3 : Pemakaian alas ompol

2.9 Komplikasi Inkontinensia Urin


1. Masalah kulit. Inkontinensia urin dapat menyebabkan ruam, infeksi kulit, dan luka
(ulkus kulit) dari kulit selalu basah
2. Infeksi saluran kemih. Inkontinensia meningkatkan risiko infeksi saluran kemih
berulang
3. Gangguan pola tidur

17
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
3.1.1 Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, suku bangsa,
tanggal MRS, tanggal pengkajian, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
Inkontinensia mulai dirasakan mulai dewasa muda dan meningkat setelah umur
65 tahun.  Stess inkontinensia banyak terjadi sebelum usia 60 tahun, sedangkan
urge inkontinensia banyak terjadi pada usia lebih dari 60 tahun dan banyak terjadi
pada perempuan dari pada laki-laki. Terutama pada lansia yang sudah menopause
hal ini dikarenakan terjadinya penurunan produksi estrogen yang menyebabkan
perubahan kolegen dan penurunan vaskularisasi  uretra. Dan juga kehamilan akan
lebih banyak terjadi pada multipara. Bisa disebabkan kerusakan otot pelvis dan
jaringan disekitarnya. Kerusakan syaraf karena trauma atau peregangan bisa
menyebabkan disfungsi otot pelvis. Pada laki-laki banyak terjadi akibat kebiasaan
merokok dan penyakit paru kronnik , rkok memilik efek antiestrogenik. Selain
itu, pada perokok dan penderita penyakit paru kronis sering timbul gejala batuk
yang dapat meningkatkan tekanan intra abdomen.
2) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang
dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu
yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan
cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan
dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih
sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
b) Riwayat kesehatan Masa lalu klien
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah
terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.

18
c) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan,
penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

3.1.2 Pemeriksaan Fisik


1) Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari
terjadinya inkontinensia
2) Pemeriksaan Persistem :
1) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
2) B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4(bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena
adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik
lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya. Palpasi:
Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di
urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
5) B5(bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi
pada ginjal.
6) B6(bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang
lain, adakah nyeri pada persendian.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Domain 3: Eliminasi dan Pertukaran

19
Kelas 1. Fungsi urinarius
Gangguan eliminasi urine b.d infeksi saluran kemih (00016)
2. Domain 4: Aktivitas/Istirahat
Kelas 1. Tidur/Istirahat
Gangguan pola tidur b.d kegelisahan dan sering bangun saat malam (00198)
3. Domain 9: Koping/Toleransi stres
Kelas 2. Respons koping
Ansietas b.d perubahan status kesehatan (00146)
4. Domain 11: Keamanan/Perlindungan
Kelas 1. Infeksi
Risiko Infeksi (00004)

3.3 Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Keperawatan NOC NIC

20
1 Domain 3. Eliminasi dan Setelah dilakukan tindakan Perawatan inkontinensia urin
Pertukaran keperawatan selama 3x24 (0610)
Kelas 1. Fungsi jam, diharapkan gangguan 1. Monitor eliminasi urin,
Urinarius eliminasi urine klien mulai meliputi: frekuensi, konsistensi,
Gangguan Eliminasi teratasi. Dengan kriteria hasil: bau, volume, dan warna urine
Urine b.d infeksi saluran Kontinensia urine (0502) 2. Modifikasi pakaian dan
kemih (00016) 1. Klien dapat mengenali lingkungan untuk
keinginan untuk berkemih mempermudah akses klien ke
2. Klien dapat memulai dan toilet
menghentikan aliran urine 3. Batasi intake cairan 2-3 jam
3. Klien dapat berkemih sebelum tidur
pada tempat yang tepat 4. Batasi makanan yang dapat
mengiritasi kandung kemin
Eliminasi urin (0503) (misalnya: soda, kopi, the, dan
1. Saat berkemih klien dapat coklat)
mengosongkan kandung 5. Monitor keefektifan terapi
kemih sepenuhnya pembedahan, obat-obatan, dan
2. Tidak ada gangguan perawatan mandiri klien
(nyeri, rasa terbakar) saat
berkemih Bantuan berkemih (0640)
3. Tetapkan interval untuk jadwal
berkemih, berdasarkan pola
pengeluaran urin
4. Tetapkan waktu untuk memulai
dan mengakhiri berkemih
dalam jadwal bantuan berkemih
5. Berikan privasi pada klien saat
berkemih
6. Berikan umpan balik positif
jika inkontinensia membaik
2 Domain 4: Aktivitas/ Setelah dilakukan tindakan Peningkatan tidur (1850)
Istirahat keperawatan selama 3x24 a. Monitor pola tidur klien dan
Kelas 1. Tidur/ Istirahat jam, diharapkan pola tidur catat frekuensi berkemih

21
Gangguan Pola Tidur klien mulai normal. Dengan b. Batasi intake cairan sebelum
kriteria hasil: tidur
Tidur (00004) c. Anjurkan tidur di siang hari
a. Jam tidur cukup (7-8 jam) untuk memenuhi kebutuhan
b. Kualitas tidur baik tidur
c. Merasa segar setelah
bangun Manajemen lingkungan:
kenyamanan (6482)
a.Ciptakan lingkungan yang tenang
b.Sediakan lingkungan yang bersih
dan aman
c.Sesuaikan suhu ruangan yang paling
nyaman bagi klien
d.Sesuaikan pencahayaan pada malam
hari
3 Domain 9. Koping/ Setelah dilakukan tindakan Pengurangan kecemasan (5820)
Toleransi Stress keperawatan selama 3x24 1) Berikan informasi faktual
Kelas 2. Respon Koping jam, diharapkan tingkat mengenai diagnosis,
Ansietas b.d perubahan kecemasan klien berkurang. pengobatan, dan prognosis
status kesehatan (00146) Dengan kriteria hasil: 2) Ciptakan suasana untuk
Tingkat Kecemasan (00004) memfasilitasi kepercayaan
1) Kegelisahan berkurang 3) Dorong verbalisasi perasaan,
2) Tidak ada rasa cemas persepsi, dan ketakutan
yang diungkapkan secara 4) Identifikasi saat tingkat
lisan kecemasan berubah
3) Tidak ada rasa takut yang 5) Bantu pasien mengidentifikasi
diungkapkan secara lisan situasi yang memicu kecemasan
4) Tidak ada tanda-tanda
klien menarik diri dari Peningkatan koping (5230)
lingkungan 1.5 Berikan penilaian pada
kemampuan klien dalam
penyesuaian terhadap
perubahan-perubahan dalam

22
citra tubuh
1.6 Berikan penilaian mengenai
pemahaman klien terhadap
poses penyakit
1.7 Dukung sikap klien terkait
dengan harapan yang realistis,
sebagai upaya untuk mengatasi
perasaan ketidakberdayaan
1.8 Dukung aktivitas-aktivitas social
dan komunitas
4 Domain 11. Setelah dilakukan tindakan Perawatan inkontinensia urin
Keamanan/Perlindungan keperawatan selama 3x24 jam (0610)
Kelas 1. Infeksi diharapkan : 1. Identi$fikasi faktor apa saja
Risiko Infeksi (00004) Keparahan infeksi (0703) penyebab inkontinensia pada
1) Tidak ada kemerahan pasien
2) Tidak ada demam 2. Jaga privasi pasien saat
3) Tidak ada nyeri berkemih
Kontrol risiko : proses 3. Jelaskan penyebab terjadinya
infeksi (1924) inkontinensia dan rasionalisasi
2) Klien dapat mencari setiap tindakan yang dilakukan
informasi terkait 4. Monitor eliminasi urin ,
kontrol infeksi meliputi frekuensi ,konsistensi,
3) Klien dapat bau, volume dan warna urin
mengidentifikasi 5. Berikan obat-obatan diuretik
faktor risiko infeksi sesuai jadwal minimal untuk
4) Klien dapat mengenali mempengaruhi irama
faktor risiko individu sirkandian tubuh
terkait infeksi 6. Instruksikan pasien dan
5) Klien dapat keluarga untuk mencatat pola
mengidentifikasi tanda dan jumlah urin output
dan gejala infeksi
Kontrol infeksi (6540)
1. Cuci tangan sebelum dan

23
sesudah kegiatan perawatan
pasien
2. Lakukan tindakan-tindakan
pencegahan yang bersifat
universal
3. Pakai sarung tangan
sebagaimana dianjurkan oleh
kebijakan pencegahan universal
4. Gunakan kateterisasi intermiten
untuk mengurangi kejadian
infeksi kandung kemih
5. Ajarkan pasien dan keluarga
mengenai bagaimana
menghindari infeksi

Jurnal Inkontinensia
PENGARUH LATIHAN KANDUNG KEMIH (BLADDER TRAINING) TERHADAP
INTERVAL BERKEMIH WANITA LANJUT USIA (LANSIA) DENGAN
INKONTINENSIA URIN
Inkontinensia urin ialah kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara atau
menetap (Potter Dan Perry, 2006). Inkontinensia urin bukan merupakan penyakit, tetapi
keluhan yang mempunyai dampak medik, psikososial dan ekonomi serta dapat menurunkan
kualitas hidup. Dampak negatif dari inkontinensia urin adalah dijauhi orang lain karena
berbau pesing, minder, tidak percaya diri, timbul infeksi di daerah kemaluan, tidak nyaman
dalam beraktifitas termasuk dalam hubungan seksual yang akhirnya dapat menurunkan
kualitas hidup (Soetojo,2009).
Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih menurun. Sisa
urin dalam kandung kemih cenderung meningkat dan kontraksi otot kandung kemih yang
24
tidak teratur semakin sering terjadi. Keadaan ini sering membuat lansia mengalami gangguan
pemenuhan kebutuhan eliminasi urin yaitu inkontinensia urin.
Perubahan yang tercatat pada kandung kemih yang mengalami penuaan yaitu
berkurangnya kapasitas kandung kemih, berkurangnya kemampuan kandung kemih dan
uretra, berkurangnya tekanan penutupan uretra maksimal, meningkatnya voluma urin sisa
pasca berkemih, dan berubahnya ritme produksi urin di malam hari.
Salah satu cara non farmakologis untuk menangani inkontinensia urin pada lansia
adalah dengan latihan kandung kemih (Bladder Training). Bladder training adalah latihan
kandung kemih yang bertujuan untuk mengembangkan tonus otot dan spingter kandung
kemih agar berfungsi optimal, terdapat 3 macam metode bladder training, yaitu kegel
exercise, delay urination, dan scheduled bathroom trips. Kegel exercise adalah latihan
pengencangan atau penguatan otototot dasar panggul, delay urination adalah menunda
berkemih sedangkan scheduled bathroom trips yaitu menjadwalkan berkemih.
Penelitian ini menggunakan rancangan desain pra eksperimen dengan metode
pengambilan data Pre and Post Test One Group, yaitu desain penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui bagaimana interval berkemih lansia penderita inkontinensia urin sebelum dan
sesudah bladder training.
Populasi penelitian adalah lansia yang ada di UPTD PSLU Tresna Werdha Bakti
Yuswa Provinsi Lampung sebanyak 102. Sampel pada penelitian ini adalah semua lansia
wanita yang memenuhi kriteria (inkontinensia urin, bersedia menjadi responden, usia lebih
dari atau sama dengan 60 tahun, dapat melihat dan membaca angka dan tidak mengalami
dimensia).
Sampel diambil dengan teknik non random sampling yaitu menggunakan accidental
sampling diperoleh responden sebanyak 26 lansia. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal
8-16 Juli 2013 menggunakan lembar observasi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pertama, peneliti membuat catatan harian selama 2 hari yaitu mencatat waktu berkemih
lansia, baik saat berkemih di toilet atau tidak.
b. Lihat catatan harian lansia dan temukan interval terpendek yang telah dicatat pada
waktu-waktu tersebut.
c. Tambahkan 30 menit terhadap interval tersebut. Sebagai contoh jika interval berkemih
terpendek adalah 20 menit kemudian tambah 30 menit sehingga menjadi 50 menit.
d. Untuk berikutnya jadwalkan lansia untuk berkemih setiap 50 menit, apabila harus
berkemih segera dicoba untuk menahan berkemih.
25
e. Setelah satu minggu bladder training, peneliti membuat catatan kembali waktu berkemih
lansia.
Hasil
Interval berkemih sebelum bladder training
Interval berkemih pada lansia dengan inkontinensia urin sebelum bladder training interval
terpendek adalah 1 jam dan interval yang terpanjang adalah 3 jam 25 menit dan rata-rata
interval berkemih adalah 2 jam 23 menit.
Interval berkemih sesudah bladder training
Interval berkemih lansia inkontinensia urin setelah bladder training didapatkan interval
terpendek adalah 1 jam dan interval yang terpanjang adalah 3 jam 50 menit dan rata-rata
interval berkemih adalah 2 jam 46 menit. Terdapat kenaikan rata-rata interval berkemih
lansia setelah dilakukan bladder training selama 7 hari. Terdapat 3 macam metode bladder
training yaitu kegel exercise, delay urination, dan scheduled bathroom trips. Metode bladder
training yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan delay urination (menunda
berkemih) dan scheduled bathroom trips yaitu menjadwalkan berkemih. Latihan ini
bertujuan untuk mengembalikan pola normal berkemih dengan menghambat atau
menstimulasi pengeluaran air kemih dimana terdapat tujuan yang lebih spesifik dari bladder
training yaitu mengembangkan tonus otot kandung kemih, melatih kandung kemih untuk
mengeluarkan urin secara periodik serta membantu klien dengan inkontinensia urin
mendapatkan pola berkemih normal.
Pengaruh bladder training terhadap interval berkemih
Hasil penelitian didapatkan Selisih atau perbedaan antara interval berkemih pada lansia
sebelum dan setelah bladder training sebanyak 0,146 jam atau setara dengan 8,76 menit.

26
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensa urin terjadi akibat kelainan
inflamasi (sistisis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini timbul
karena neurologi yang serius (paraplegi), kemungkinan besar sifatnya akan permanen.
Penyebab inkontinensia urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih
bagian bawah, efek obat-obatan, serta produksi urin yang meningkat (keinginan sering
ke kamar mandi). Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi, jika
terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika.
4.2 Saran

Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami perjalanan


penyakit kejang. Dengan demikian, diharapkan nantinya pembaca dapat melakukan
pencegahan dan penanganan kejang apabila menemui kasus tersebut.

27
28
DAFTAR PUSTAKA

Padlilah, Rahmi (2014) Kajian Retensio Urine Pasca Salin Pervaginam Urine Retention
Study Of Pervaginam Labor. FIK Univ. Borneo Tarakan

Dewi, Dina SLI (2013). Jurnal Ilmu Keperawatan, Aspek Keperawatan Pada Inkontinensia
Urin. Universitas Brawijaya

Ekasari, Dkk (2014) Jurnal Ilmu Kesehatan, Waktu Pertama Buang Air Kecil (BAK) pada
Ibu Postpartum yang Dilakukan Bladder Training. Stikes Muhammadiyah
Pekajangan Pekalongan

PSIK UNIBRAW. Buku Panduan Lab Skill Gadar 3

Juananda Desby, Dhany Febriantara. (2014). Inkontinensia Urin pada Lanjut Usia di Panti
Werdha Provinsi Riau Urinary Incontinence among Institutionalized Elderly in
Riau Province. Kelompok Jabatan Fungsional (KJF) Anatomi, Fakultas Kedokteran
Universitas Riau 2Fakultas Kedokteran Universitas Riau

Tjokroprawiro, Dkk (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Univ.
Airlangga

Sjamsuhidajat, Dkk (2015). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Dewi Julianti, Dkk. (2017).Pengaruh Senam Kegel Terhadap Frekuensi Inkontinensia


Urine Pada Lanjut Usia Di Wilayah Kerja Puskesmas Tumpaaan Minahasa
Selatan. PSIK FK Univ. Sam Ratulangi Manado.

29

Anda mungkin juga menyukai