Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH SISTEM PERKEMIHAN

“ASUHAN KEPERAWATAN GLOMERULONEFRITIS”

Dosen Pembimbing : Zuliani S. Kep., Ns., M. Kep

Di susun oleh kelompok 5 :


1. Devy Inatasari (7315014)
2. Aima Nur Maulida (7315027)
3. Umi Nurmaisarah (7315022)
4. Lailatul Khabibah (7315018)
5. Ahmad Afifudin (7315024)

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ‘ULUM JOMBANG
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Dengan memanjatkan rasa puja dan puji syukur kehadirat Allah Swt atas
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Askep Glomerulonefritis”.
Dalam penyusunan tugas makalah ini penulis telah mendapatkan bantuan
serta dorongan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Dekan FIK : Ibu Pujiani, S. Kep., Ns, M. Kes
2. Ka. Prodi S1 Keperawatan: Ibu Khotimah, S. Kep., Ns. M. Kes
3. Dosen Pembimbing Makalah S. Perkemihan : Zuliani S. Kep., Ns. M. Kep
4. Orang tua, dosen, dan teman-teman atas do’a dan dukunganya.
Semoga dengan adanya tugas makalah ini dapat menunjang dalam proses
pembelajaran. Penulis pun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna baik dalam hal penyusunan maupun tulisan. Oleh karena itu, kami
harap kritik dan saran yang membangun dari pembaca tentang makalah ini.
Akhirnya penulis memohon petunjuk dan perlindungan kepada Allah
SWT, semoga tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Jombang, 15 September 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN....................................................................................................4
2.1 Definisi.........................................................................................................................4
2.2 Klasifikasi ....................................................................................................................4
2.3 Etiologi ........................................................................................................................6
2.4 Manifestasi Klinis ........................................................................................................7
2.6 Patofisiologi..................................................................................................................8
2.5 Pathway .......................................................................................................................8
2.9 Pemeriksaan Penunjang ..............................................................................................14
2.8 Penatalaksanaan...........................................................................................................15
2.10 Komplikasi ................................................................................................................17
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN...............................................................................18
3.1 Pengkajian .................................................................................................................18
3.2 Diagnosa Keperawatan...............................................................................................23
3.3 Intervensi Keperawatan .............................................................................................24
3.4 Evaluasi ......................................................................................................................27
3.4 Discharge Planning.....................................................................................................28
BAB IV JURNAL.............................................................................................................29
4.1 Lampiran Jurnal Internasioal.......................................................................................29
4.2 Penjelasan jurnal..........................................................................................................29
BAB V PENUTUP............................................................................................................30
4.1 Kesimpulan.................................................................................................................30
4.2 Saran...........................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................31
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Glomerulonefritis berdasarkan pemaparan Prof. Dr. dr. Anies, M.Kes.,
PKK (2017), glomerulonefritis merupakan suatu peradangan yang terjadi
pada glomerulus yang mana adalah organ kecil di ginjal yang berfungsi
sebagai penyaring. Glomerulus berfungsi membuang kelebihan cairan,
elektrolit, dan limbah dari aliran darah yang akan diteruskan ke dalam urin.
Glomerulonefritis dapat terjadi secara mendadak sehingga dapat
menyebabkan peradangan kronis. Ada beberapa klasifikasi dalam penyakit
glomerulonefritis dimana glomerulus bisa terjadi inflamasi dari tahap akut
yang terjadi secara mendadak dan inflamasi glomerulus pada tahap kronis
yang bisa berlanjut pada glomerulonefrosis progresis cepat.
Berdasarkan studi literatur ulasan dari tahun 1980-2010 mengenai
insiden utama glomerulonefritis (GN) di seluruh dunia yang dilakukan oleh
40 studi insiden utama GN di Eropa, Amerika Utara, dan Selatan, Kanada,
Australia, dan Timur Tengah menunjukkan bahwa rata-rata glomerulonefritis
di temukan pada dewasa dengan 0,2/100.000/tahun.
Glomerulonefritis mewakili 1-15% penyakit glomerulus. Meskipun
terjadi secara komersialsporadik, insiden Streptococus Glomerulonefritis
telah turun selama beberapa dekade terakhir. Berdasarkan statistik insidensi
glomerulonefritis di dunia sebesar 0,2/100.000/tahun dengan perbandingan
laki-laki sebaliknya wanita 1,1 banding 1 selagi pada infeksi PSGN, angka
insidensi tinggi pada anak waktu 6-16 tahun dengan perbandingan laki-laki
dan wanita 2:1 (Yono, 2013)
Reaksi imunitas mendasari kejadian glomerulonefritis dengan
kontribusi reaksi imunitas selular (limfosit T dan magrofag), imunitas
humoral (antibody, kompleks imun dan komplement) dan mediator inflamasi
lainnya. Faktor genetik biasanya melibatkan gen yang mengontrol respon
imun, terutama yang bersifat kompleks histokompaktibilitas mayor dan gen
HLA. Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain obat-obatan, zat
kimia dan agen infeksius (Rasyid, 2015).
Menurut Muttaqin dan Sari (2012) tujuan terapi adalah mencegah
kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan resiko komplikasi. Hipertensi
Ensefalopati merupakan kondisi darurat medis, dan terapi digunakan untuk
mengurangi tekanan darah sehingga mengganggu fungsi renal. Menurut
Samladl (2017), penanganan pada glomerulonefritis kronis sampai saat ini
belum ditemukan obatnya. Perawatan bervariasi pada masing-masing
individu, juga tergantung pada penyakit penyebab. Kebanyakan langkah
perawatan terfokus untuk mengendalikan gejala.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa definisi dari glomerulonefritis ?
b. Bagaimana klasifikasi glomerulonefritis?
c. Bagaimana etiologi glomerulonefritis?
d. Bagaimana manifestasi klinis glomerulonefritis?
e. Bagaimana patofisiologi glomerulonefritis?
f. Bagaimana pathway glomerulonefritis?
g. Bagaimana pemeriksaan glomerulonefritis?
h. Bagaimana penatalaksanaan glomerulonefritis?
i. Bagaimana komplikasi glomerulonefritis?
j. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan glomerulonefritis?

1.3 Tujuan Masalah


a. Memahami definisi dari glomerulonefritis
b. Memahami klasifikasi dari glomerulonefritis
c. Memahami etiologi dari glomerulonefritis
d. Memahami manifestasi klinis dari glomerulonefritis
e. Memahami patofisiologi dari glomerulonefritis
f. Memahami pathway dari glomerulonefritis
g. Memahami pemeriksaan penunjang glomerulonefritis
h. Memahami penatalaksanaan glomerulonefritis
i. Memahami komplikasi dari glomerulonefritis
j. Memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan glomerulonefritis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut Prof. Dr. dr. Anies, M.Kes., PKK (2017),
glomerulonefritis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada
glomerulus yang mana adalah organ kecil di ginjal yang berfungsi sebagai
penyaring. Glomerulus berfungsi membuang kelebihan cairan, elektrolit,
dan limbah dari aliran darah yang akan diteruskan ke dalam urin.
Glomerulonefritis dapat terjadi secara mendadak sehingga dapat
menyebabkan peradangan kronis.
Glomerulonefritis menurut Haerani Rasyid (2015) merupakan
suatu keadaan dimana glomerulus terjadi inflamasi, yang berdasarkan
etiologi dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Reaksi imunitas
yang mendasari kejadian glomerulonefritis.

2.2 Klasifikasi
2.2.1 Glomerulonefritis Akut
Glumerulonefritis akut merupakan peradangan glomerulus
secara mendadak pada kedua ginjal. Peradangan akut glomerulus terjadi
akibat pengendapan kompleks antigen antibody pada kapiler-kapiler
glomerulus. Kompleks biasanya terbentuk 7-10 hari setelah infeksi
faring atau kulit oleh streptokokus, tetapi dapat juga timbul setelah
infeksi lain (Muttaqin & Sari, 2012).
Glomerulonefritis akut merupakan penyakit ginjal dimana
inflamasi terjadi pada glomerulus. Pada sebagian besar tipe
glomerulonefritis, immunoglobulin utama (lgG) dapat di deteksi pada
dinding kapiler glomerular. Akibat dari reaksi anti antigen-antibodi,
agregat molekul (kompleks) dibentuk dan beredar keseluruh tubuh,
beberapa dari kompleks ini terperangkap di glomerulus, dan mencetus
respon inflamasi (Suharyanto & Madjid, 2009).
2.2.2 Glomerulonefritis Kronik
Menurut Muttaqin & Sari (2012) glumerulonefritis kronis
merupakan suatu kondisi peradangan yang sudah terjadi lama dari sel-
sel glomerulus. Penyakit ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut
yang tidak juga membaik maupun timbul secara spontan.
Menurut Haerani Rasyid (2015) dalam bukunya, kebanyakan
tipe glomerulonefrotis memasuki fase kronik karena pasien tersebut
memiliki risiko untuk mengalami kerusakan glomerular yang
berkelanjutan sehingga pada akhirnya akan masuk kepada penyakit
ginjal kronik (PGK). Sebagian besar pasien yang mengalami
glomerulonefrosis di usia muda biasanya bisa menjadi PGK di usia
dewasa. Progresi ke PGK pada usia muda dapat di perlambat atau di
cegah dengan memperhatikan proteksi ginjal sejak awal.
2.2.3 Glumerulonefritis Progresif
Menurut Muttaqin & Sari (2012) glomeruloneritis progresif
cepat merupakan peradangan glomerulus yang terjadi sedemikian cepat
sehingga mengakibatkan penurunan GFR 50% dalam 3 bulan setelah
awitan penyakit.
Menurut Haerani Rasyid (2015), glomerulo progresi cepat
merupakan salah satu kegawat daruratan nefrologi yang membutuhkan
perhatian khusus. Glomerulonefritis progesi cepat secara klinis
memperlihatkan manifestasi klinis sindrom nefritik yaitu edema,
hipertensi dan gross hematuria, serta ditemukannya ganggual ginjal
akut (penurunan yang berat laju infiltrasi glomerulus/LFG yang
bermanifestasi sebagai oliguria atau anuria, dan peniingkatan kadar
serum ureum dan kreatinin. Progresif akan menjadi gagal ginjal terjadi
dalam beberapa hari sampai minggu.

2.3 Etiologi
2.3.1 Glumerulonefritis Akut
Factor penyebab yang mengakibatkan penyakit glomerulonefritis akut
secara luas dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan noninfeksi yaitu
sebagai berikut :
1. Infeksi
Glumerulonefritis Akut disebabkan oleh Infeksi streptokokus dan
penyebab lainnya yaitu nonstreptokokus meliputi:
a. Bakteri : Staphylococcus albus, Streptokokus grup C, Leptospira,
Meningococcocus, Sterptoccocus viridans, Gonococcus,
Salmonella typhi, Mycoplasma Pneumoniae.
b. Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, parvovirus, influenza,
echovirus, parotitis epidemika.
c. Parasit : malaria dan toksoplasma (Suharyanto dan Madjid, 2009)
2. Noninfeksi
Penyakit sistematik multisystem, seperti pada lupus eritematosus
sistemik (SLE) vaskulitis, sindrom Goodpasture, granulomatosis
Wegener (Muttaqin dan Sari, 2012).
2.2.4 Glumerulonefritis kronis
Menurut Muttaqin & Sari (2012) penyebab terjadinya
glomerulonefritis kronis yaitu sebagai berikut :
1. Lanjutan Glomerulonefritis Akut, sering terjadi tanpa adanya riwayat
infeksi (Streptococcus beta hemoliticus group A).
2. Thrombosis vena renalis
3. Keracunan
4. Hipertensi kronis
5. Penyakit kolagen
6. Diabetes melitus
7. Penyebab lain yang tidak di ketahui yang di temukan pada stadium
lanjut
2.2.5 Glumerulonefritis progresif
Menurut Muttaqin & Sari (2012) penyebab glomeruloneritis
progresif cepat yaitu akibat perburukan glomeruloneritis akut. Suatu
penyakit auto imun, atau tanpa diketahui penyebabnya (ideopatik).

2.4 Manifestasi Klinis


a. Edema
Menurut Muttaqin & Sari (2012), edema merupakan gejala yang paling
sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang di akhir
minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital
(edema palpebra), kemudian daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan
hebat, maka timbul edema di daerah perut (asites), dan genitalia
eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik.
b. Hematuria
Menurut Muttaqin & Sari (2012), hematuria makroskopik terjadi pada
30-70% kasus GNA sedangkan hematuria mikroskopik ditemukan
hampir pada semua kasus. Urin tampak bewarna coklat kemerah-
merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna seperti
cola (merah muda). Pada minggu pertama biasanya timbul hematuria
makroskopik yang berlangsung selama beberapa hari, atau beberapa
minggu. Hematuria mikroskopik berlangsung lebih lama, umumnya
akan menghilang dalam waktu 6 bulan. Terkadang masih dijumpai
hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAP
sudah sembuh
c. Hipertensi
Menurut Muttaqin & Sari (2012), hipertensi adalah gejala pada 60-
70% kasus GNA. Umumnya terjadi pada minggu pertama dan
menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain.
Pada sebagian besar kasus terdapat hipertensi ringan (tekanan diastolik
80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab tekanan
darah akan normal kembali jika dengan istirahat yang cukup dan diet
yang teratur. Terkadang hipertensi berat menyebabkan ensefalopati
hipertensi yaitu hipertensi yang disertai dengan gejala serebral, seperti
sakit kepala, kesadaran menurun muntah-muntah, dan kejang- kejang.
d. Oliguri
Menurut Muttaqin & Sari (2012), oliguria jarang ditemukan, terdapat
pada 5-10% kasus GNA dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m2
LPB/hari. Oliguria terjadi apabila fungsi ginjal menurun atau timbul
kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria
umumnya timbul pada minggu pertama dan dapat menghilang
bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama.
Oliguria bisa pula berubah menjadi anuria yang menunjukkan adanya
kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang buruk.
e. Edema paru
Menurut Nursalam dkk (2009), edema paru merupakan gejala yang
paling sering terjadi akibat bendungan sirkulasi. Kelainan ini dapat
bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara radiologic dengan
gejala klinik batuk, dipsneu, dan sianosis. Terdengar suara pernapasan
ronki basah halus atau basah kasar pada saat pemeriksaan fisik yang
disebut dengan acute pulmonary edema. Keadaan ini bisa terjadi pada
minggu pertama. Kemungkinan juga bisa berakibat fatal.

2.5 Patofisiologi
2.2.1 Menurut Muttaqin & Sari (2012) bahwa pada glomerulonefritis akut
akan terjadi dua perubahan yaitu :
1. Perubahan Struktural
a. Proliferasi seluler : hal ini menyebabkan peningkatan jumlah sel di
glomerulus karena proliferasi endotel, mesangial, dan epitel sel.
Poliferasi tersebut dapat bersifat endokapiler (yaitu dalam batas-
batas dari kapiler glomerular) atau ekstrakapiler (yaitu dalam ruang
bowman yang melibatkan sel-sel epitel). Dalam poliferasi
ekstrakapiler, proliferasi sel epitel parietal mengarah pada
pembentukan tertentu dari Glomerulonefritis progresif cepat.
b. Poliferasi leukosit : hal ini ditunjukan dengan adanya neutrophil dan
monosit dalam lumen kapiler glomerulus dan sering menyertai
poliferasi selular.
c. Penebalan membrane basal glomerulus : perkembangan ini muncul
sebagai penebalan dinding kapiler baik disisi epitel atau endotel
membrane dasar.
d. Hialinisasi atau sclerosis : kondisi ini menunjukkan cedera
ireversibel.
Perubahan structural ini diperantai oleh reaksi antigen-
antibodi, agregat molekul (kompleks) dibentuk dan beredar ke
seluruh tubuh. Beberapa dari kompleks ini terperangkap di
glomerulus, suatu bagian penyaring di ginjal, dan mencetuskan
repon peradangan.
Reaksi peradangan di glomerulus dapat menyebabkan
aktifnya komplemen sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus, serta filtrasi
glomerulus. Protein–protein pada plasma dan sel darah merah bocor
melalui glomerulus. Akhirnya membrane glomerulus rusak
sehingga terjadi pembengkakan dan edema di ruang interstisium
Bowman. Hal ini dapat meningkatkan tekanan cairan interstisium,
sehingga terjadi kolaps dari setiap glomerulus di daerah tersebut.
Akhirnya peningkatan tekanan cairan interstisium akan
melawan filtrasi glomerulus lebih lanjut. Aktifnya komplemen
menarik sel-sel darah putih dan trombosit ke glomerulus. Pada
peradangan terjadi pengaktifan factor-faktor koagulasi yang bisa
menyebabkan pengendapan fibrin, pembentukan jaringan parut, dan
hilangnya fungsi glomerulus. Membran glomerulus mengalami
penebalan dan menyebabkan GFR lebih lanjut.
2. Perubahan fungsional
Perubahan fungsional meliputi proteinuria, hematuria,
penurunan GFR (yaitu oligoanuria) serta sedimen urine aktif dengan
sel darah merah. Penurunan GFR dan retensi air akan memberikan
manifestasi terjadinya ekspansi volume intravascular, edema dan
hipertensi sistemik. Respon perubahan secara structural dan
fungsional memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien
yang mengalami glomerulus.
2.2.2 Pathway
2.2.3 Patofisiologi Glomerulonefritis kronis
Menurut Muttaqin & Sari (2012) hampir semua bentuk
glomerulonephritis akut memiliki kecenderungan untuk berkembang
menjadi glomerulonephritis kronis.
Setelah terjadinya infeksi yang berulang ini, ukuran ginjal
sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal, yang terdiri dari
jaringan fibrosa yang luas. Korteks semakin mengecil menjadi lapisan
yang tebalnya ±1-2 mm. Berkas jaringan parut merusak sisa korteks
yang menyebabkan permukaan ginjal menjadi kasar dan irreguler.
Sejumlah glomerulus dan tubulus berubah menjadi jaringan parut, serta
cabang-cabang arteri renal mengalami penebalan. Perubahan ini terjadi
dalam rangka untuk menjaga GFR dari nefron yang tersisa sehingga
menimbulkan konsekuensi kehilangan fungsional nefron. Perubahan ini
pada akhirnya kaan menyebabkan kondisi glomerulo sclerosis dan
kehilangan nefron lebih lanjut.
Pada penyakit ginjal dini (tahap 1-3), penurunan substansial
dalam GFR dapat menyebabkan hanya sedikit peningkatan dalam kadar
serum kreatinin. Azotamia (yaitu penignkatan kadar BUN dan kreatinin
serum) terlihat ketika GFR menurun hingga kurang dari 60-70ml per
menit. Selain peningkatan BUN dan kadar kreatinin, beberapa kondisi
lain juga memperberat kondisi klinik, meliputi :
1. Penurunan produksi aritropoietin sehingga menyebabkan anemia.
2. Penurunan produksi vitamin D sehingga menyebabkan hipokalsemia,
hiperparatiroidisme, hiperfosfatemia, osteodistrofi ginjal.
3. Pengurangan ion hydrogen, kalium, garam, dan ekskresi air
mengakibatkan kondisi asidosis, hyperkalemia, hipertensi, dan
edema
4. Disfungsi trombosit yang menyebabkan penignkatan kecenderungan
terjadi peradarahan.
Akumulasi produk ureum (toksin uremik) mempengaruhi
hampir semua system organ. Azotemia terjadi dengan tanda dan gejala
uremia. Pada GFR sekitar 10 ml/menit dapat terjadi uremia dan
kemudian berlanjut pada kondisi gagal ginjal terminal. Respon
perubahan secara structural dan fungsional memberikan berbagai
masalah keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulonephritis
kronis.
2.2.4 Pathway
2.2.5 Patofisiologi Glomerulonefritis Progresif
Menurut Muttaqin & Sari (2012) glomeruloneritis progresif
cepat berkaitan dengan proliferasi difus sel-sel glomerulus di dalam
ruang bowman yang menyebabkan rusaknya ruang biowman oleh
struktur yang berbentuk mirip bulan sabit. Kecepatan filtrasi glomerulus
menurun sehingga terjadi gagal ginjal.
Sindrome goodpasture adalah suatu jenis glomerulonephritis
progresi cepat yang disebabkan oleh terbentuknya antibody yang
melawan sel-sel glomerulus itu sendiri. Kapiler paru juga terkena.
Terjadi pembentukan jaringan parut luas di glomerulus. Dalam
beberapa minggu atau bulan sering timbul gagal ginjal. Awitan
penyakit ini seringkali tidak jelas atau bisa juga akut, disertai
pendarahan paru-paru hemoptysis. Biasanya sebelumnya tidak terjadi
suatu penyakit yang disebabkan oleh antibody autoimun terhadap
membran basalis glomerulus dalam darah penderita. Dengan mikroskop
electron dapat dilihat zat kompleks imun subendotel. Jika terdapat
gambaran linier dan imunofluoresensi dapat diestimasikan bahwa
patogenesisnya merupakan mekanisme nefrotoksik imun. endapan
immunoglobulin juga ditemukan disepanjang membrane paru-paru.
Klien dapat dipertahankan hidup dengan hemodialysis, tetapi dapat juga
meninggal akibat pendarahan paru-paru.
Respon perubahan patologis pada glomerulus secara
fungsional akan memberikan berbagai masalah keperawatan pada
pasien yang mengalami glomerulus progresif cepat.
2.2.6 Pathway
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Pemeriksaan Penunjang Glomerulonefritis Akut
Pemeriksaan penunjang Glomerulonefritis Akut adalah sebagai
berikut :
1. Urinalisis : ditemukan hematuria (darah dalam urine). Urine tampak
berwarna kola akibat sel darah merah dan butiran atau sedimen protein
(lempengan sel darah merah menunjukkan adanya cedera glomerulus).
2. Pemeriksaan Protein Urin : proteinuria, terutama albumin juga terjadi
akibat meningkatnya permeabilitas membrane glomerulus.
3. Pemeriksaan Darah
Peningkatan kreatinin dan BUN seiring dengan menurunnya urine
output. (Muttaqin dan Sari, 2012)
4. Biopsi dengan jarum pada ginjal
Sumbatan kapiler glomerulus dari proliferasi sel endotel (Nursalam,
dkk, 2009).
Pada urine di temukan albumin (+) silinder, eritrosit, leukosit
hilang timbul, berat jenis urine menetap pada 1008-1012. Pada darah di
temuakan LED, ureum , kreatinin dan fosfor serum yang menurun,
sedangkan kalium serum yang meningkat. Anemia tetap ada uji fungsi
ginjal menunjukkan fungsi ginjal menurun (Muttaqin & Sari, 2012).
2.6.2 Pemeriksaan Penunjang Glomerulonefritis Kronis
Menurut Muttaqin dan Sari (2012) pemeriksaan penunjang dari
glomerulonefritis kronis yaitu sebagai berikut :
1) Urinalisis, ditemukan proteinuria, hematuria, endapan urinarius (hasil
sekresi protein oleh tubulus yang rusak).
2) Rongen dada menunjukkan pembesaran jantung dan edema pulmoner
3) Elektrokardiogram normal, namun dapat juga menunjukkan adanya
hipertensi disertai hipertrofi ventrikel kiri dan gangguan elektrolit,
seperti hyperkalemia dan puncak gelombang T yang tinggi
Pada urine di temukan albumin (+) silinder, eritrosit, leukosit
hilang timbul, berat jenis urine menetap pada 1008-1012. Pada darah
di temuakan LED, ureum , kreatinin dan fosfor serum yang sama-sama
menurun , sedangkan kalium serum yang meningkat anemia tetap ada
uji fungsi ginjal menunjukkan fungsi ginjal menurun (Muttaqin & Sari,
2012).
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang Glomerulonefritis Progresif
Menurut Muttaqin dan Sari (2012) pemeriksaan penunjang dari
glomerulonefritis progresif yaitu sebagai berikut :
1) Laboratorium
Studi laboratorium meliputi hal-hal berikut:
 Anemia biasanya didapatkan sekunder dari gagal ginjal atau
perdarahan dari saluran pencernaan dan pernafasan.
 Perubahan nilai dari pemeriksaan elektrolit serum, BUN, kreatinin,
laktat dehydrogenase (LDH), phosphokinase creatine (CPK), dan
tes fungsi hati.
 C-reaktif protein meningkat.
 LED meningkat.
2) Radiagnostik
Harus dilakukan USG pada ginjal untuk menyingkirkan uropati
obstruktif dalam setiap pasien dengan gagal ginjal akut. Pada pasien
dengan glomerulonephritis progresif cepat. USG ginjal dilakukan
untuk menilai fungsi kedua ginjal sebelum biopsy ginjal perkutan.

2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut
Menurut Muttaqin dan Sari (2012) tujuan terapi adalah
mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan resiko
komplikasi. Hipertensi Ensefalopati merupakan kondisi darurat medis,
dan terapi digunakan untuk mengurangi tekanan darah sehingga
mengganggu fungsi renal.
Untuk mencapai tujuan terapi, maka penatalaksanaan tersebut
sebagai berikut :
a. Pemberian anti mikroba derivate penisilin untuk mengobati infeksi
streptokokus
b. Pemberian deuritik dan antihipertensi untuk mengontrol hipertensi.
c. Pemberian terapi cairan. Jika pasien dirawat dirumah sakit, maka
intake dan output di ukur secara cermat dan dicatat. Cairan diberikan
dengan tujuan untuk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan
harian.
2.7.2 Penatalaksanaan Glomerulonefritis Kronis
Menurut Samladl (2017), penanganan pada glomerulonefritis
kronis sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Perawatan bervariasi
pada masing-masing individu, juga tergantung pada penyakit penyebab.
Kebanyakan langkah perawatan terfokus untuk mengendalikan gejala.
a. Menurunkan tekanan darah tinggi dengan perubahan asupan pola
makan yang terfokus untuk mengurangi asupan sodium dan kalium
b. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
c. Menjaga jumlah protein yang cukup dalam tubuh
d. Pemberian obat diuretik untuk mengatasi pembengkakan
e. Jika disebabkan oleh kelainan autoimun, plasmapheresis untuk
mengurangi kadar autoantibodi
f. Jika karena kelainan pada sistem imun, diberikan obat kortikosteroid
dan obat imunosupresif
g. Jika kerusakan pada ginjal yang menyebabkan ESRD, maka pasien
memerlukan dialisis kemih atau transplantasi jantung
Mengurngi faktor stres (Samladl, 2017).
2.7.3 Penatalaksanaan Glomerulonefritis Progresif
a. Terapi kombinasi kortokosteroid dan siklofosfamid
b. Dialisis
c. Protokol lain, yang telah digunakan secara luas dan dengan sukses di
eropa adalah substitusi azathioprine untuk siklofosfamid setelah periode
induksi 3 bulan. Azathioprine dapat diberikan secara oral sebesar 2
mg/kg dalam dosis tunggal harian. Hal ini berlangsung selama 6-12
bulan.
d. Methotrexate telah menggantikan siklofosfamid dalam pengobatan awal
granulomatosis Wegener untuk penyakit ringan dan telah digunakan
untuk perawatan setelah terapi induksi awal dengan siklofosfamid pada
penyakit yang lebih berat.
e. Plasmaheresis dapat menjadi tambahan yang bermanfaat untuk terapi
bagi pasien yang menderita gagal ginjal berat (serum kreatinin >mg/dl).

2.8 Komplikasi
Pasien mendapat anemic akibat hilangnya sel darah merah kedalam
urine dan perubahan mekanisme hematopik tubuh (Muttaqin dan Sari,
2012).
Komplikasi lain diantaranya adalah:
1. Hipertensi Ensefalopati
Ensefalopati hipertensi adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi)
yang pada anak > 6 tahun tekanan darah melewati 180/120 mmHg.
Ensefalopati hipertensi dapat diatasi dengan memberikan terapi
medikamemtosa nifedipin (0,25-0,5 mg/kgBB/.dosis) secara oral atau
sublingual pada anak dengan kesadaran menurun
2. Malnutrisi
3. Gagal jantung kongestif
4. Edema pulmoner
5. Posterior leukoencephalopathy syndrome
Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan
dengan ensefalopati hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang
sama seperti sakit kepela, kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan
darah masih normal. (Suharyanto dan Madjid, 2009).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan Glomerulonefritis Akut, Kronis dan Progresif


Cepat
3.1.1 Pengkajian
a. Anamnesa
Meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada usia muda), pendidikan
(biasanya terjadi pada seseorang dengan tingkat pendidikan rendah), alamat,
pekerjaan (biasanya yang sering terpapar dengan zat kimia/hidrokarbon).
Pada pengkajian glomerulonefritis progresif cepat, biasanya keluhan
berhubungan dengan kondisi vaskulitis Aca (antineutrophil cytoplasmic
antibodies) seperti flu ditandai dengan malaise, demam arthralgias,
myalgia, anoreksia kehilangan dan berat. Hal ini terjadi pada lebih dari
90% pasien dan dapat terjadi dalam beberapa hari untuk bulan
terjadinya nefritis atau maniestasi lain dari vaskulitis. Setelah keadaan
tersebut, yang paling umum dikeluhkan adalah sakit perut, gangguan
kulit dengan adanya nodul atau ulserasi. Ketika terdapat keterlibatan
saluran pernapasan atas, pasien mengeluh gejala sinusitis batu, dan
hemoptysis.
b. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat kesehatan dahulu: pasien mengalami riwayat penyakit yang
berhubungan dengan ginjalnya, dan juga mengalami infeksi pada
saluran pernapasan atas
2. Riwayat kesehatan sekarang: pasien mengalami edema pada wajah
dan ekstremitas, urine berdarah, mual dan muntah, kelainan warna
urine, dan pasien mengalami keletihann dan badan terasa lemah.
Pasien glomerulonefritis progresif cepat mengalami flu dengan
malaise, nyeri pinggang, demam, arthralgias, miyalgia, anoreksia,
3. Riwayat kesehatan keluarga: biasanya perlu ditanyakan kepada
keluarga klien apakah ada keluarga yang pernah mengalami penyakit
yang sama yang diderita oleh klien. Dan juga perlu dipertanyakan
kebiasaan klien sehari-hari.
c. Pemeriksaan fisik B1-B6
1. B1 (breathing): biasaya tidak didaptkan didapatkan adanya
gangguan pola napas dan jalan napas walau secara frekuensi
mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase lanjut
sering terjadi gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan
respons terhadap edema pulmoner serta adanya sindrom uremia.
2. B2 (Blood) : salah satu tanda khas glomerulonephritis adalah
peningkatan tekanan darah sekunder dari retensi natrium dan air
yang memberikan dampak pada fungsi system kardiovaskular
dimana akan terjadi penurunan perfusi jaringan akibat tingginya
beban sirkulasi. Pada kondisi azotemia berat, pada auskultasi
perawat akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda
khas efusi pericardial skunder dari sindrom uremik.
3. B3 (Brain) : didapatkan edema wajah terutama periobital,
konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik dan mukosa mulut tidak
mengalami peradangan. Status neurologis mengalami perubahan
sesuai dengan tingkat parahnya azotemia pada sistem syaraf pusat.
Pasien beresiko kejang skunder gangguan elektrolit.
4. B4 (Bladder) :
 Inspeksi, terdapat edema pada ekstrimitas dan wajah. Perubahan
warna urine output seperti warna urine berwarna kola dari
proteinuria, silinderuri dan hematuria.
 Palpasi, didapatkan adanya nyeri tekan ringan pada area
kostovertebra.
 Perkusi, perkusi pada sudut kostovertebra memberikan stimulus
nyeri ringan local disertai suatu penjalaran nyeri ke pinggang dan
perut.
5. B5 (Bowel) : didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia
sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
6. B6 (Bone) : didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum
sekunder dari edema tungkai atau edema wajah terutama pada
periorbital, anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi
(Muttaqin dan Sari, 2012).

d. Pemeriksaan Fisik Umum


1. Inspeksi
a) Pada daerah pinggang atau abdomen sebelah atas harus
diperhatikan pada saat melakukan inspeksi pada daerah ini.
Pembesaran itu mungkin disebabkan oleh karena hidronefrosis atau
tumor pada daerah retroperitonium.
b) Edema terutama di wajah dan mata, ekstremitas bawah, dan jika
pasien dalam keadaan bedfast kaji edema pada permukaan sakral.
c) Kaji turgor kulit dan status hydrasi.
d) Observasi warna kulit, pallor menandakan anemia.
e) Fullness pada flank, kemungkinan adanya tumor, kista, abses atau
akumulasi cairan pada pelvis renal (hydronephrosis). Hal ini akan
menjadi bertambah terasa jika pasien duduk dan lean forward.
f) Suprapubic bulge, jika terjadi distensi bladder (500ml) atau lebih.
g) Inspeksi meatus uretra jika ada edema, kemerahan, dan sekresi
h) Pada pemeriksaan buli-buli diperhatikan adanya benjolan/massa
jaringan parut bekas irisan/operasi di suprasimfisis
i) Pada inspeksi genetaliaeksterna diperhatikan kemungkinan adanya
kelainan pada penis/uretra antara lain: mikropenis, makropenis,
hipospadia, kordae, epispadia, stenosis pada meatus uretra eksterna,
fimosis/parafimosis, fistel uretro-kutan, dan ulkus/tumor penis.
j) Perhatikan apakah ada pembesaran pada skrotum. Untuk
membedakan antara massa padat dan massa kistus yang terdapat
pada isi skrotum, dilakukan pemeriksaan transiluminasi
(penerawangan) pada isi skrotum dengan cahaya terang. Jika isi
skrotum tampak menerawang berarti berisi cairan kistus dan
dikatakan sebagai transiluminasi positif atau diafanoskopi positif.
2. Palpasi
a) Letak ginjal di bagian dalam pada abdominal cavity sehingga
sangat sulit melaksanakan palpasi ginjal. Sudut bawah ginjal kanan
sangat memungkinkan untuk bisa dipalpasi karena areanya sangat
luas dan ditempati liver.
b) Palpasi ginjal dilakukan secara bimanual yaitu dengan memakai
dua tangan. Tangan kiri diletakkan di sudut kosto-vertebra untuk
mengangkat ginjal ke atas sedangkan tangan kanan meraba ginjal
dari depan.
c) Massa di daerah suprasimfisis mungkin merupakan tumor ganas
buli-buli atau karena buli-buli yang terisi penuh dari suatu retensi
urine. Dengan palpasi dapat ditentukan batas atas buli-buli.
d) Striktura uretra anterior yang berat menyebabkan fibrosis korpus
spongiosum yang teraba pada palpasi di sebelah ventral penis,
berupa jaringan keras yang dikenal dengan spongiofibrosis.
Jaringan keras yang teraba pada korpus kavernosum penis mungkin
suat penyakit Peyrone.
e) Langkah-langkah melaksanakan palpasi ginjal adalah:
 Posisikan pasien pada posisi supine dan berdirilah di sisi kanan
pasien (jika perawat tidak kidal)
 Letakkan tangan kiri anda secara tegas pada flank (panggul),
diantara rib cage dan iliac crest serta naikkan panggul pasien.
 Palpasi abdomen kuadran atas dengan ujung-ujung jari tangan
kanan, tekan pada bagian bawah costal margin.
 Ujung-ujung jari anda harus menunjuk secara lateral dan sedikit
menurun.
 Ulangi prosedur ini pada sisi yang lain.
 Setelah melaksanakan palpasi, dokumentasikan tentang ukuran
ginjal, general countour, tenderness.
 Bladder dapat dipalpasi jika terdapat urin di dalamnya minimal 150
mL. Tonjolan lembut dapat dirasakan pada area suprapubic pada
posisi supine.
3. Perkusi
Perkusi dapat digunakan untuk mendeteksi distensi bladder, dengan
cara:
a) Dilakukan pada posisi setinggi umbilikus
b) Elaksanaan perkusi yang tegas pada area costovertebral hanya
dilakukan oleh dokter dan perawat yang berpengalaman untuk
menemukan tenderness renal. Tendernes renal menunjukkan
adanya infeksi.
c) Perkusi atau pemeriksaan ketok ginjal dilakukan dengan
memberikan ketokan pada sudut kostovertebra (yaitu sudut yang
dibentuk oleh kosta terakhir dengan tulang
d) Vertebra). Pembesaran ginjal karena hidronefrosis atau tumor
ginjal, mungkin teraba pada palpasi dan terasa nyeri pada perkusi
e) Perkusi tidak boleh dilakukan jika kasusnya polikistik ginjal atau
transplantasi ginjal.
4. Auskultasi
Digunakan untuk mendeteksi bruits pada arteri renal posterior pada
area sudut costovertebral dan anterior pada area abdomen kuadran
atas.
5. Colok Dubur (Rectal toucher)
Pemeriksaan colok dubur adalah memasukkan jari telunjuk
yang sudah diberi pelican kedalam lubang dubur. Pemeriksaan ini
menimbulkan rasa sakit dan menyebabkan kontraksi sfingter ani
sehingga dapat menyulitkan pemeriksaan.
Pada pemeriksaan colok dubur dinilai: (1) tonus sfingter ani
dan reflex bulbo-kavernosus (BCR), (2) mencari kemungkinan
adanya massa di dalam lumen rectum, dan (3) menilai keadaan
prostat. Penilaian reflex bulbo-kavernosus dilakukan dengan cara
merasakan adanya reflex jepitan pada sfingter ani pada jari akibat
rangsangan sakit yang kita berikan pada glans penis atau klitoris.
Pada wanita yang sudah berkeluarga selain pemeriksaan
colok dubur, perlu juga diperiksa colok vagina guna melihat
kemungkinan adanya kelainan di dalam alat kelamin wanita, antara
lain: massa di serviks, darah vagina, atau massa di buli-buli

3.1.2 Diagnosa Keperawatan


A. Glomerulonefritis Akut
1) Kelebihan volume cairan b.d. penurunan volume urine, retensi cairan
dan natrium, peningkatan aldosterone sekunder dari penurunan GFR.
2) Nyeri b.d.respon inflamasi.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. mual,
muntah
4) Ansietas b.d prognosis penyakit.
5) Kelelahan b.d edema ekstermitas

B. Glomerulonefritis Kronis
1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
pembatasan cairan, diet, dan hilangnya protein
2) Resiko cidera b.d keterbatasan gerak sendi, nyeri panggul, nyeri kaki
dan kram otot
3) Ketidak efektifan pola nafas b.d edema pulmoner dan adanya sindrom
uremia
4) Ansietas b.d prognosis penyakit

C. Glomerulonefritis Progresif Cepat


Dari hasil pengkajian di atas diagnosis keperawatan yang lazim
ditemukan, meliputi hal-hal berikut:
1) Aktual/risiko tinggi jalan nafas tidak efektif b.d akumulasi secret dan
darah di jalan napas
2) Aktual/risiko kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine,
retensi cairan dan natrium, peningkatan aldosterone efek sekunder dari
penurunan GFR.
3) Aktual/risiko tinggi menurunya curah jantug b.d penurunan
kontraktilitas ventrikel kiri, perubahan rekuensi, irama, konduksi
elektrikal efek sekunder penurunan pH, hiperkalemi, dan uremia.
4) Aktual/risiko tinggi kejang b.d peradangan arteri meningeal , gangguan
system saraf pusat.
5) Nyeri b.d respons peradangan sendi, peradangan otot rangka, sekunder
dari peradangan arteri parier.
6) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake
nutrisi yang tidak adekuat efek sekunder dari anoreksia , mual, muntah.
7) Gangguan Aktivity Daily Living (ADL) b.d edema ekstremitas,
kelemahan fisik secara umum.
8) Kecemasan b.d prognosis penyakit, ancaman, kondidi sakit, dan
perubahan kesehatan.

3.1.3 Intervensi Keperawatan


A. Glomerulonefritis Akut
Kelebihan volume cairan b/d akumulasi cairan didalam jaringan,
gangguan mekanisme regulasi (retensio sodium, natrium, dan air).
Definisi : peningkatan retensi cairan isotoik
Batasan karakteristik :
1) Gangguan elektrolit
2) Odema anasaka
3) Azotemia
4) Perubahan tekana darah
5) Perubahan status mental
6) Perubahan pola pernafasan
7) Penurunan hematocrit
8) Penurunan hemoglobin
9) Dipsnea
10) Edema
NOC :
 Tidak ada edema apada tanagan
 Tidak ada acites
 Seluruh tubuh tidak edema
 Tidak ada kenaikan sertum sodium
NIC : Hypervolemia management
a) Pantau berat setiap hari pada waktu yang konsisten (setelah berkemih
bdan sebelum sarapan)
b) Pantau statius hemodinamik, termasuk HR,BP,MAP,CVP, PAP,
PCWP, CO, CI jika tersedia
c) Pantau hipotensi arthistic dan pusing saat berdiri
d) Monitor sumber perdarahan kehilangan cairan (muntah, diare,
keringat yang berlebihan, dan takipneu)
e) Monitor intake & output

B. Glomerulonefritis Kronis
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
pembatasan cairan, diet,dan hilangnya protein.
Definisi : asupan nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolic tubuh.
Batasan karaketristik
- Kram abdomen
- Nyeri abdomen
- Menghindari makanan
- Berat badan ≥20% di bawah berat badan ideal
- Kerapuhan kapiler
- Diare
- Bising usus hiperaktif
- Membran mukosa pucat
- Ketidakmampuan memakan makanan
Factor yang berhubungan
- Factor biologis
- Factor ekonomi
- Ketidak mampuan untuk mengasorbsi nutrient
- Ketidakmampuan untuk mencerna makanan
- Ketidakmampuan menelan makann
- Faktor psikologis
NOC:
- Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
- Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
- Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
- Tidak ada tanda tanda malnutrisi
- Menunjukkan peningkatan fungsi pegecapan dari meneelan
- Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
NIC:
- Kaji adanya alergi makanan
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk meneentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang di butuhkan
- Yakinkan diet yang di makan mengandug tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
- Berikan iformasi tentang kebutuhan nutrisi
- Kaji kemampuan pasien dalam memperoleh nutrisi yang di
butuhkan

C. Glomerulonefritis Kronis
Ketidakefektifan pola nafas b/d ekspansi paru tidalk maksimal ditandai
denagnn asites, dypsneu.
Definisi : inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi
Batasan karakteristik :
1) Perubahan kedalaman pernafasan
2) Bradipneu
3) Penurunan tekanan ekspirasi
4) Fase ekspirasi memenjang
5) Takipneu
6) Pernafasan cuping hidung
7) Penueunan kapasitas vital
8) Penurunan ventilasi semenit
NOC : Respiratory status : Airwai patency Vital sign
a) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak
sianosis dan dipsneu.
b) Menunjukan jalan nafas yang paten (irama nafas,frekuensi
pernafasan normal)
c) Tanda tanda vital alam rentang normal
NIC : Airway Management
1. Posisikan pasien untuk memaksimalakan ventilasi.
2. Identifikasi pasien terkait keperluan pemasangan alat jalan nafas
buatan atau tidak.
3. Latih pasien untuk batuk efektif atau suction untuk mengeluarkan
secret.
4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan.
5. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
6. Monitor respirasi dan status O2 Oksigen terapi
7. Monitor adanya ansietas pada pasien terhadap oksigenasi
8. Monitor TD, Nadi, Suhu, RR
9. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
10. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

3.2 Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah mendata intervensi, meliputi hal-hal berikut:
1) Kelebihan volume cairan dapat menurun atau tidak terjadi
2) Terjadi penurunan skala nyeri
3) Terjadi peningkatan asupan nutrisi
4) Terpenuhinya aktivitas sehari-hari
5) Terjadinya penurunan tingkat kecemasan (Muttaqin dan Sari, 2012).

3.3 Discharge Planning


1. Bekali keluarga dengan pengetahuan tentang penyakit glomerulonefritis
dan rencana pengobatannya
2. Instruksikan tentang pengobatan pasie selama di rumah sakit
3. Instrukskan keluarga tentang bagaiman memantau tekanan darah dan berat
badan dan mendapatkan urinalisis untuk beberapa bulan, pemeriksaan
tindak lanjut pasien harus di atur
4. Minta anggota keluarga untuk menghubungi anggota tenaga medis yang
bersangkutan jika terdapat perubhan kondisi anak seperti adanya tanda
tanda infeksi, edema, perubahan kebiasaan makan, nyeri abdomen, sakit
kepala, perubahan tampilan atau jumlah urin atau alergi.
5. Jelaskan batasan batasan diet pada pasien (Amin,H,N dkk, 2015)
BAB IV
JURNAL GLOMERULONEFRITIS

4.1 Lampiran Jurnal


(Terlampir)

4.2 Penjelasan Jurnal


Glomerulonefritis progresif cepat adalah penyakit yang tidak umum
dan serius di pediatri. Etiologi, presentasi, diagnosis, pengobatan, dan hasil
klinis RPGN hanya dibahas dalam beberapa penelitian, dengan sedikit
informasi spesifik yang tersedia untuk Timur Tengah dan Arab Saudi.
Glomerulonefritis progresif cepat pada pasien anak di Rumah Sakit King
Abdulaziz University, Jeddah, Arab Saudi bahwa penilaian etiologi dan hasil
ginjal didapatkan penyakit Glomerulonefritis progresif cepat di sebabkan oleh
glomerulonefritis pasca infeksi (PIGN) dan lupus nephritis.
Penilaian etiologi dan hasil ginjal dalam jurnal dijelaskan bahwa
sebagian besar pasien adalah laki-laki, (68,4%), dengan mean ± SD usia saat
diagnosis 8,52 ± 3,15 tahun. Etiologi utama yang paling umum adalah
glomerulonefritis pasca infeksi (PIGN) (63,2%) dan lupus nephritis (21,1%).
Tiga belas pasien menunjukkan prognosis klinis yang baik (68,4%), dengan 6
menunjukkan prognosis yang buruk (31,6%), 4 di antaranya berkembang
menjadi penyakit ginjal stadium akhir (ESRD), satu mengalami kambuh dan
satu berkembang penyakit ginjal kronis. Glomerulonefritis pasca infeksi
dikaitkan dengan hasil klinis terbaik secara keseluruhan. Pengobatan
dilakukan di awal sebagian besar pasien dan dilanjutkan selama 3 bulan. Di
antara 19 pasien, 2 meninggal dan satu menjalani hemodialisis.
Glomerulonefritis pasca infeksi adalah etiologi RPGN yang paling
umum, dengan pasien ini mencapai prognosis klinis yang baik secara
keseluruhan. Identifikasi dini dan pengobatan RPGN penting untuk
mempertahankan fungsi ginjal, yang merupakan faktor kunci untuk mencapai
prognosis yang baik.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Glomerulonefritis menurut Haerani Rasyid (2015) merupakan suatu
keadaan dimana glomerulus terjadi inflamasi, yang berdasarkan etiologi dapat
terjadi secara primer maupun sekunder. Reaksi imunitas yang mendasari
kejadian glomerulonefritis.
Glumerulonefritis terbagi menjadi 3 klasifikasi diantaranya yaitu
glomerlonefritis akut, kronis dan progresif cepat. Glomerulonefritis akut
merupakan peradangan glomerulus secara mendadak pada kedua ginjal.
Peradangan akut glomerulus terjadi akibat pengendapan kompleks antigen
antibody pada kapiler-kapiler glomerulus. Glomerulonefritis kronik dapat
terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak juga membaik maupun timbul
secara spontan. Menurut Muttaqin & Sari (2012) glomeruloneritis progresif
cepat merupakan peradangan glomerulus yang terjadi sedemikian cepat
sehingga mengakibatkan penurunan GFR 50% dalam 3 bulan setelah awitan
penyakit.

5.2 Saran

Setelah dilakukan penyusunan makalah ini diharapkan kepada mahasiswa


dapat mempelajari dan memahami tentang glomerulonefritis. Dalam penyusunan
makalah kami menyadari bahwa makalah ini sangatlah kurang dari kesempurnaan,
maka dari itu kami mengaharapkan kritik dan saran yang membangun agar dalam
penyusunan makalah selanjutnya dapat lebih baik
DAFTAR PUSTAKA

Amin, h. n., & kusuma, h. (2015). Nanda Nic Noc. Jogjakarta: Mediaction
Publishing.
Gloria, M. B., Howard, K. B., Joanne, M. D., & Cheryl, M. W. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC). United States of America: ISBN:978-0-
323-10011-3
Madjid dan Suhariyanto. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: TIM
Moorhead, S., Johnson, M., Meridean, L. M., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC). United States of America: ISBN:978-0-
323-10010-6.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Selemba Medika
Nursalam, Dkk. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Rasyid, Haerani. 2015. Manifestaasi Klinis Glomerulonefritis. Divisi Ginjal-
Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Makassar. Diakses pada 18 September 2018 pukul 22:50
WIB di
http://www.google.co.id/url?sa=t&sourch=web&rct=j&url=http://repository
.unhas.ac.id/id/bitstream/handle/123456789/20537/C.17%2520Manifestasi
%2520Klinis%2520Glomerulonefritis.
Samladl, Lika Aprilla. 2017. Glomerulonefritis Kronis. Artikel Hello Sehat.
Diakses pada 18 September 2018 pukul 21:37 WIB di
http://www.google.co.id/amp/s/hellosehat.com/penyakit/glomerulonefritis-
kronis/amp/
Yono, Achmad Riski. 2013. Etiologi dan epidmeologi glomerulonefritis.Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Diakses pada Rabu 19 September 2018
pukul 12.14 WIB di https://www.google.co.id/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http;//www.academia.edu/25291448/

Anda mungkin juga menyukai