Anda di halaman 1dari 51

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

W
DENGAN DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR TERBUKA FEMUR
SINISTRA, KONTUSIO SEREBRI DAN TRAUMA THORAKS
POST OPERASI DEBRIDEMENT DAN ORIF
DI RUANG MELATI 3
RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah KMB IV

Oleh Kelompok 15 :
Maizan Rahmatina

P07120112064

Putri Pamungkassari

P07120112071

Vinda Astri Permatasari

P07120112080

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2014

BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

A. FRAKTUR FEMUR
1. Pengertian
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur
akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit
seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer,
2000).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa
nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan dan
krepitasi (Doenges, 2002).
Fraktur Femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang
dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi
tertentu seperti degenerasi tulang atau osteoporosis. Batang femur dapat
mengalami fraktur akibat trauma langsung, puntiran, atau pukulan pada
bagian depan yang berada dalam posisi fleksi ketika kecelakaan lalu lintas
(Mansjoer, 2000).
Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain:
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)

Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari
luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka :
1) Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
2) Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
3) Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2
yaitu:
a. Patah tulang lengkap (complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap (incomplete fraktur)
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu
sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green
stick.
Menurut Price dan Wilson (2006) kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada
fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.

Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya


dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan
oleh trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kearah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) jumlah garis patahan ada 3
antara lain:
a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
2. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
a. Cidera atau benturan
b. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
c. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan
lari.
3. Patofisiologi

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran
fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui
dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

d. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang


yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
(Smeltzer dan Bare, 2002).
5. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang
harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi,
reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
a. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai
akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera

mungkin

untuk

mencegah

jaringan

lunak

kehilangan

elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada


kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang
harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi

eksterna

atau

interna.

Metode

fiksasi

eksterna

meliputi

pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator
eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi
eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan
fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus

menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur
dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan
eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk
fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang
diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona
trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment
berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak (Muttaqin, 2008).
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas

fungsional

semaksimal

mungkin

untuk

menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus


segera

dimulai

melakukan

latihan-latihan

untuk mempertahankan

kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).


6. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2002) dan Price dan
Wilson (2006) antara lain:
a. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
1) Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra
sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas,
thoraks, pelvis dan vertebra.
2) Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak pada aliran darah.
3) Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa

disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena


fasia yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau
balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot
karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai
masalah (misalnya : iskemi dan cidera remuk).
4) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi,
CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
5) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
6) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali
dengan adanya Volkmans Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2002).

b. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,
delayed union, dan non union.
1) Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
2) Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
3) Non union

Non union

merupakan

kegagalan

fraktur

berkonsolidasi

dan

memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9


bulan. Non union di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada

sisi

fraktur

yang

membentuk

sendi

palsu

atau

pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang


kurang (Price dan Wilson, 2006).
7. Pengkajian Fokus
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur
merujuk pada teori menurut Doenges (2002) dan Muttaqin (2008) ada
berbagai macam meliputi:
a. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang,
pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah
tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan,
perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma
angulasi akan menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek,
sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama
fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti
kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhan tulang.
c. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari
pembengkakan jaringan, nyeri)
2) Sirkulasi
a) Hipertensi ( kadang kadang terlihat sebagai respon nyeri atau
ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)

b) Takikardia (respon stresss, hipovolemi)


c) Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang
cedera,pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang terkena.
d) Pembangkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
3) Neurosensori
a) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
b) Kebas/ kesemutan (parestesia)
c) Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi
(bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
4) Agitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
5) Nyeri / kenyamanan
a) Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada
area jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak ada nyeri
akibat kerusakan syaraf .
b) Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
6) Keamanan
a) Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
b) Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tibatiba).
7) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat
karena klien harus menjalani rawat inap.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan dan
kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktifitasnya secara normal dan
pandangan terhadap dirinya yang salah.
9) Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
10) Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi
dan konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oel nyeri dan
keterbatasan gerak yang di alami klien.
8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada
pasien fraktur antara lain:
a) Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
b) Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
c) Pemeriksaan darah lengkap : hematokrit

mungkin

meningkat

(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi

fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah
putih adalah respon stress normal setelah trauma.
d) Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
e) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple, atau cedera hati.
9. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan fraktur menurut Doengoes (2000) dan Barbara
(1999) adalah
a) Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/ immobilisasi, stress,
ansietas.
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan
oleh terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor
kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
c) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidaknyamanan,
kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktifitas, penurunan
kekuatan / tahanan.
d) Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respon inflamasi
tertekan, prosedur invasi dan jalur penusukan, luka/ kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
e) Defisit perawatan diri berhubungan dengan faktor (kolaboratif): traksi atau
f)

gips pada ekstrimitas


Resiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan intake yang tidak adekuat.


g) Harga diri rendah berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh.
10. Fokus Intervensi dan Rasional
Fokus intervensi keperawatan dan rasional merujuk pada Carpenito
(2007) dan Doenges (2000) antara lain :
a) Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat kontraksi/ immobilisasi,
stress, ansietas.
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu
beradaptasi dengan nyeri yang di alami.
2) Kriteria hasil : nyeri berkurang atau hilang, klien tampak tenang.
3) Intervensi :
i.
Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
Rasional: hubungan yang baik membuat klien dan keluarga
kooperatif.

ii.

iii.

iv.
v.

Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri.


Rasional: tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukan skala
nyeri.
Jelaskan pada klien penyebab nyeri.
Rasional: memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan
klien tentang nyeri.
Observasi tanda- tanda vital.
Rasional: untuk mengetahui perkembangan klien.
Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
analgetik.
Rasional: merupakan tindakan dependent perawat, dimana

analgetik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.


b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan
oleh terdapat luka atau ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan,
turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
1) Tujuan : setelah di lakukan tindakan pemenuhan masalah kerusakan
kulit dapat teratasi, penyembuhan luka sesuai waktu.
2) Kriteria hasil : tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus, kemerahan,
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor, tanda- tanda vital dalam batas
normal atau dapat di toleransi.
3) Intervensi :
i.
Kaji kulit dan identitas pada tahap perkembangan luka.
Rasional:
mengetahui
sejauhmana
perkembangan

luka

ii.

mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.


Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
Rasional: mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan

iii.

mempermudah intervensi.
Pantau peningkatan suhu tubuh.
Rasional: suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasi sebagai

iv.

adanya proses peradangan.


Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptic. Balut luka dengan
kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
Rasional:
tehnik
aseptik
membantu

v.

mempercepat

penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.


Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya
debridement.
Rasional: agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak

vi.

menyebar luas pada area kulit normal lainya.


Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.

Rasional: balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari


vii.

tergantung kondisi parah/ tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.


Kolaborasi pemberian anti biotik sesuai indikasi.
Rasional: anti biotik berguna untuk mematikan mikroorganisme

pathogen pada daerah yang beresiko terjadi infeksi.


c) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ ketidaknyamanan,
kerusakan muskuloskeletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/ tahanan.
1) Tujuan : pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal
2) Kriteria hasil : klien mampu melakukan pergerakan dan perpindahan,
mempertahankan mobilitas optimal yang dapat ditoleransi dengan
karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan pengawasan
dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
3) Intervensi
i.
Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan

ii.

peralatan.
Rasional: mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
Rasional: mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktifitas

iii.
iv.
v.

apakah karena ketidakmampuan atau ketidakmauan.


Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
Rasional: menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
Rasional: sebagai suatu sumber untuk mengembangkan
perencanaan

dan

mempertahankan

atau

meningkatkan

mobilitas pasien.
d) Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons
inflamasi tertekan, prosedur infasif dan jalur penusukan, luka/ kerusakan
kulit, insisi pembedahan.
1) Tujuan : infeksi tidak terjadi/ terkontrol
2) Kriteria hasil : tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus, luka bersih
tidak lembab dan tidak kotor, tanda-tanda vital dalam batas normal
atau dapat ditoleransi.

3) Intervensi :
i.
Pantau tanda-tanda vital
Rasional: mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila
ii.

suhu tubuh meningkat.


Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptik.
Rasional:
mengendalikan
penyebaran

mikroorganisme

iii.

pathogen.
Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infuse,

iv.

kateter, drainase luka, dll.


Rasional: untuk mengurangi resiko infeksi nosokomial.
Jika di temukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah,
seperti Hb dan leukosit.
Rasional: penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari

v.

normal bias terjadi akibat terjadinya proses infeksi.


Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
Rasional: antibiotic mencegah perkembangan mikroorganisme
patogen.

e) Defisit perawatan diri berhubungan dengan faktor(kolaboratif): traksi atau


gips pada ekstrimitas
1) Tujuan : tidak terjadi defisit perawatan diri
2) Kriteria hasil :tidak ada bau badan, tidak bau mulut, mukosa mulut
lembab, kulit utuh
3) Intervensi :
i.
Berikan bantuan pada AKS sesuai kebutuhan, ijinkan pasien untuk
merawat diri sesuai dengan kemampuannya.
Rasional: AKS adalah fungsi-fungsi dimana orang normal
melakukan tiap hari untuk memenuhi kebutuhan dasar. Merawat
untuk kebutuhan dasar orang lain membantu mempertahankan
ii.

harga diri.
Setelah reduksi, tempatkan kantung plastik di atas ekstrimitas
untuk mempertahankan gibs/ belat/ fiksasi eksternal tetap kering
pada saat mandi. Rujuk pada bagian terapi fisik sesuai pesanan
untuk instruksi berjalan dengan kruk untuk ambulasi dan dapat
menggunakannya secara tepat.
Rasional: kantong plastik melindungi alat-alat dari kelembaban
yang berlebih yang dapat menimbulkan infeksi dan dapat
menyebabkan lunaknya gibs, hal ini menyiapkan pasien untuk
mendorong dirinya sendiri setelah dia pulang. Ahli terapi fisik

adalah sepesialis latihan yang membantu pasien dalam rehabilitasi


f)

mobilitas.
Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubunngan
dengan intake yang tidak adekuat.
1) Tujuan : nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan tubuh
2) Kriteria hasil: tanda-tanda mal nutrisi tidak ada
3) Intervensi:
i.
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan

ii.

iii.
iv.

nutrisi

yang

dibutuhkan
Rasional: untuk mengetahui tingkat status nutrisi pasien
Ciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan selama
waktu makan
Rasional: untuk meningkatkan nafsu makan.
Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering
Rasional: untuk mengurangi rasa mual.
Kaji faktor yang dapat merubah masukan nutrisi seperti anoreksi
dan mual
Rasional: menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat

diubah atau di hilangkan untuk meningkatkan masukan diet.


Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat anti mual
Rasional: mengurangi rasa mual pada pasien.
g) Harga diri rendah berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh.
1) Tujuan: memperbaiki konsep diri
2) Kriteria hasil: pasien tidak minder dan malu dengan keadaan
v.

sekarang
3) Intervensi:
i.
Kaji respon dan reaksi pasien serta keluarga terhadap penyakit
dan penangananya
Rasional: Mengetahui bagaimana tanggapan pasien dan keluarga
ii.
iii.
iv.

terhadap penyakitnya sekarang.


Kaji hubungan pasien dengan anggota keluarganya
Rasional: Mengetahui adanya masalah dalam keluarga.
Kaji pola koping pasien dan keluarga pasien
Rasional: Mengetahui cara penyelesaian masalah dalam keluarga
Diskusikan peran memberi dan menerima kasih sayang,
kehangatan dan kemesraan.
Rasional: seksualitas mempunyai arti yang berbeda bagi tiap
individu tergantung pada tahap maturasi.

B. CONTUSIO CEREBRI atau CEDERA KEPALA


1. Pengertian
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi
otak akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara
makroskopis tidak mengganggu jaringan. Kontusio sendiri biasanya

menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorik


otak., secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar
selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis
akibat kerusakan jaringan otak. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan
daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri
menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah
yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT Scan disebut
Pulp brain.
Kontusio cerebri erat kaitannya dengan trauma kepala berikut beberapa
prinsip pada trauma kepala :
a. Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak, mempunyai daya
elastisitas untuk mengatasi adanya pukulan.
b. Bila daya atau toleransi elastisitas terlampau akan terjadi fraktur
c. Berat atau ringannya cedera tergantung pada :
1) Lokasi yang terpengaruh :
Cedera kulit.
Cedera jaringan tulang atau tengkorak.
Cedera jaringan otak.
2) Keadaan kepala saat terjadi benturan.
Masalah utama adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
(PTIK)
TIK dipertahankan oleh 3 komponen :
Volume darah /Pembuluh darah ( 75 - 150 ml).
Volume Jaringan Otak (. 1200 - 1400 ml).
Volume LCS ( 75 - 150 ml).
2. Klasifikasi
Trauma kepala atau cedera kepala meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cedera otak terdapat dibagi dalam dua macam yaitu :
a. Cidera otak primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari
trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
b. Cidera otak sekunder
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia,
metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala
yang muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai
klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The
Traumatic Coma Data Bank

mendefinisikan berdasarkan skor Skala

Koma Glasgow (Glasgow coma scale).

Kategori Penentuan Keparahan cedera kepala berdasarkan Glasgow


coma scale (GCS)

Penentuan Keparahan
Minor/ Ringan

Sedang

Berat

Deskripsi
GCS 13 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak
ada kontusia cerebral, hematoma
GCS 9 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
GCS 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari
24 jam. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau
hematoma intrakranial

Penilaian Glasgow coma scale (GCS)

Membuka Mata
Spontan
Terhadap rangsang suara
Terhadap nyeri
Tidak ada
Respon Verbal
Orientasi baik
Orientasi terganggu
Kata-kata tidak jelas
Suara Tidak jelas
Tidak ada respon
Respon Motorik
Mampu bergerak
Melokalisasi nyeri
Fleksi menarik
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak ada respon
Total

4
3
2
1
5
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
3 - 15

Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak


sadar dan lama amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi :
a. Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia
berlangsung kurang dari 30 menit.
b. Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia
terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.

c. Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih


dari 24 jam, perdarahan subdural dan kontusio serebri.
Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran
ataupun amnesia saat ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas.
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan jumlah GCS saat masuk rumah sakit
merupakan definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).
Berdasarkan tipenya, cedera kepala dibagi menjadi 2 tipe, yaitu :
a. Cidera kepala terbuka
1) Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak
menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau tembakan.
2) Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media
berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan
epidural.

Fraktur

linier

yang

melintang

garis

tengah,

sering

menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis


superior.
3) Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau
kepala bagian atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur
di fosa anterior, sering terjadi keluarnya liquor melalui hidung
(rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon eye).
4) Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal
(lebih jarang). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan
posterior. Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah
temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah
oksipital.
5) Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus
akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2
3 hari akan nampak battle sign (warna biru di belakang telinga di atas
os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). perdarahan dari
telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak
tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya fraktur tulang tengkorak itu
sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi, namun yang
sering

menimbulkan

masalah

adalah

fragmen

tulang

itu

menyebabkan robekan pada durameter, pembuluh darah atau


jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pusat vital, saraf
kranial dan saluran saraf (nerve pathway).
b. Cidera kepala tertutup

1)
2)
3)
4)

Komotio serebri (gegar otak)


Edema serebri traumatik
Kontusio serebri
Perdarahan Intrakranial
a) Perdarahan epidural
b) Perdarahan Subdural
c) Perdarahan subarahnoid
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri
meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam
pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan
labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk
batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan
intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam
waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan intra
serebral.
3. Etiologi
a. Kecelakaan
b. Jatuh
c. Trauma
4. Tanda dan Gejala
Manifestasi

kontusio

serebri

bergantung

pada

lokasi

luasnya

kerusakan otak. Akan terjadi penurunan kesadaran. Apabila kondisi


berangsur kembali, maka tingat kesadaran pun akan berangsur kembali tetapi
akan memberikan gejala sisa, tetapi banyak juga yang mengalami kesadaran
kembali seperti biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan ICP
terjadi bila terjadi edema serebral.
Gejala lain yang sering muncul :
a. Gangguan kesadaran lebih lama.
b. Kelainan neurologik positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsi.
c. Gejala TIK meningkat.
d. Amnesia retrograd lebih nyata.
e. Pasien tidak sadarkan diri
f.

Pasien terbaring dan kehilangan gerakan

g. Denyut nadi lemah


h. Pernafasan dangkal
i.

Kulit dingin dan pucat

j.

Sering defekasi dan berkemih tanpa disadari.

k. Hemiparese/Plegi
l.

Aphasia disertai gejala mual-muntah

m. Pusing sakit kepala


4.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak
lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.

5.

Pathway
Kecelakaan, Jatuh, Trauma persalinan
Cidera kepala

Cidera otak primer


Kontusio
Laserasi

TIK - oedem
- hematom
Respon biologi
Hypoxemia
Kelainan metabolisme
Cidera otak sekunder
Nyeri akut
Kerusakan cel otak

Gangguan autoregulasi rangsangan simpatis


Aliran darah keotak
lambung

tahanan vaskuler
Sistemik & TD

Stress
katekolamin
sekresi asam

O2 ggg metabolisme
Pemb.darah
Mual, muntah
Pulmonal

tek.

Asam laktat
kurang

Asupan nutrisi

tek. Hidrostatik

Oedem otak
kebocoran cairan kapiler
Ketidakseimbangan
nutrisi:kurang
dari kebutuhan
Perfusi jaringan
oedema paru cardiac out put
cerebral tidak efektif
Difusi O2 terhambat
Pola napas
tidak efektif
hipoksemia,
hiperkapnea
C. TRAUMA THORAX
1. Pengertian
Trauma adalah cedera atau rudapaksa atau kerugian psikologis atau
emosional (Dorland, 2002).
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis
akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang
dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah
menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang
disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan
atau organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena
trauma tajam. Memahami kinematis dari trauma akan meningkatkan
kemampuan

deteksi

dan

identifikasi

awal

atas

trauma

sehingga

penanganannya dapat dilakukan dengan segera (Kukuh, 2002; David,


2005).
Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan
rongga abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan
bawah leher dapat diraba incisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding
dada yaitu: m.latissimus dorsi, m.trapezius, m.rhomboideus mayor dan
minor, m.serratus anterior, dan m.intercostalis. Tulang dinding dada terdiri
dari sternum, vertebra torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak di

dalam rongga toraks : paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung,


pembuluh darah besar, saraf dan sistem limfatik (Kukuh, 2002).

2.

Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan
trauma tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena
kecelakaan

kendaraan

bermotor

(63-78%).

Dalam

trauma

akibat

kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan,
samping, belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus
dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap
orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh
karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan tingkat energinya
yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi sedang
dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan trauma
toraks oleh karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan
kecepatan melebihi 3000 kaki per detik. Penyebab trauma toraks yang lain
oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru bisa
menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada scuba) (David.A,
3.

2005; Sjamsoehidajat, 2003).


Tanda dan gejala
Tanda-tanda dan gejala pada trauma thorak :
a.
b.
c.
d.

Ada jejas pada thorak


Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi
Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi
Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek

4.

e. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan


f. Penurunan tekanan darah
Manifestasi klinis
a. Tamponade jantung :
1) Trauma tajam di daerah perikardium atau yang diperkirakan
menembus jantung.
2) Gelisah.
3) Pucat, keringat dingin.
4) Peninggian TVJ (tekanan vena jugularis).
5) Pekak jantung melebar.
6) Bunyi jantung melemah.
7) Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure.
8) ECG terdapat low voltage seluruh lead.
9) Perikardiosentesis keluar darah (FKUI, 1995).
b. Hematotoraks :
1) Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD
2) Gangguan pernapasan (FKUI, 1995).
c. Pneumothoraks :
1) Nyeri dada mendadak dan sesak napas.
2) Gagal pernapasan dengan sianosis.
3) Kolaps sirkulasi.
4) Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara

5.

napas yang terdengar jauh atau tidak terdengar sama sekali.


5) Pada auskultasi terdengar bunyi klik (Ovedoff, 2002).
Komplikasi
a. Iga : fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.
b. Pleura, paru-paru, bronkhi : hemo/hemopneumothoraks-emfisema
pembedahan.
c. Jantung : tamponade jantung ; ruptur jantung ; ruptur otot papilar ; ruptur
klep jantung.
d. Pembuluh darah besar : hematothoraks.
b. Esofagus : mediastinitis.
c. Diafragma : herniasi visera dan perlukaan hati, limpa dan ginjal

6.

7.

(Mowschenson, 1990).
Pemeriksaan diagnostik
a. Radiologi : foto thorax (AP).
b. Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
c. Torasentesis : menyatakan darah atau cairan serosanguinosa.
d. Hemoglobin : mungkin menurun.
e. Pa CO2 kadang-kadang menurun.
f. Pa O2 normal atau menurun.
g. Saturasi O2 menurun (biasanya).
h. Oraksentesis : menyatakan darah atau cairan,
Terapi
A. Chest tube atau drainase udara (pneumothorax).
B. WSD (hematotoraks).
C. Pungsi.
D. Torakotomi.

E. Pemberian oksigen.

DAFTAR PUSTAKA
Barbara, Engram. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:
EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Rencana Asuhan dan Pendokumentasian.
Keperawatan. Alih Bahasa Monika Ester. Edisi 2. Jakarta : EGC
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: ECG
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Muttaqin, Arif. 2008.

Asuhan

Keperawatan

Klien

Gangguan

Sistem

Muskuloskeletal. Jakarta: EGC


Price, A. S. dan Wilson M. L., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Alih Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC
Smeltzer, S. C dan Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner Suddarth. Edisi 8. Jakarta: Penerbit

LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. W


DENGAN DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR TERBUKA FEMUR SINISTRA,
KONTUSIO SEREBRI DAN TRAUMA THORAKS
POST OPERASI ORIF DAN DEBRIDEMEN
DI RUANG MELATI 3
RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah KMB IV

Disusun Oleh :
Maizan Rahmatina

P07120112064

Putri Pamungkassari

P07120112071

Vinda Astri Permatasari

P07120112080

Tingkat 3 Reguler B
Telah mendapatkan persetujuan pada tanggal

September 2014

Oleh :

Pembimbing Lapangan,

Pembimbing Pendidikan,

)
(

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Hari/tanggal
Pukul
Tempat
Metode
Sumber
Oleh

: Selasa, 22 September 2014


: 14.00 WIB
: Bangsal Melati 3 RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro
: Wawancara, studi dokumen dan observasi
: Pasien, keluarga dan dokumen.
: 1. Maizan Rahmatina
2. Putri Pamungkassari
3. Vinda Astri Permatasari

1. Identitas
a. Klien
Nama
Umur
Tanggal lahir
Jenis kelamin
Agama
Pendidikan
Status
Alamat
Suku / bangsa
Pekerjaan
Tanggal masuk
No RM
Diagnosa medis

: Tn. W
: 48 tahun
: pati 04 agustus 2014
: Laki-laki
: Islam
: SD
: Kawin
: Dawangsari, Sambirejo, Prambanan, Sleman
: Jawa / Indonesia
: Buruh
: 13 September 2014
: 829550
: fraktur terbuka femur sinistra, kontusio serebri dan
trauma thoraks Post operasi orif dan debridemen

b. Penanggung Jawab
Nama
Usia
Agama
Pekerjaan
Hubungan dengan pasien
I.

: Ny. K
: 37 th
: Islam
: Petani
: Istri

RIWAYAT KESEHATAN
A. Kesehatan Pasien
1. Alasan masuk rumah sakit
Keluarga pasien mengatakan pasien kecelakaan sepeda motor
dengan sepeda motor dengan keadaan pasien tidak sadarkan diri,
pusing, lemes, sesak napas lecet dan jejas pada dada kemudian
dibawa ke RSUD Prambanan kemudian dilakukan tindakan pasang
spalk, hetting situational, dipassang iv line 2 jalur dan juga dipasang
DC.
Kemudian pasien langsung dirujuk ke RSUP Dr Suradji
kemudian di bawa ke IGD

dengan diagnosa medis Contusio

Cerebri, trauma thorax dan fraktur femur sinistra. Pada tanggal 13


september 2014 pasien di bawa ke HCU selama 4 hari kemudian
tanggal 17 september 2014 pasien di rawat di bangsal melati 3.
2. Keluhan utama
Pasien mengatakan di kaki sebelah kiri, nyeri seperti di tekan
pasien mengatakan nyeri skala 3 dari skala 0-5 pasien mengatakan
nyeri tidak menjalar tetapi nyeri ketika bergerak, pasien mengatakan
nyeri hilang timbul. Pasien terlihat meringis menahan nyeri
3. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien sudah dilakukan tindakan orif dan debridement pada hari
senin tanggal 22 September 2014, pasien terpasang drain 150 cc,
pasien terpasang infus RL di tangan kiri, terpasang DC, pada kaki
kiri terpasang perban elastik tidak ada rembesan darah, di sekitar
ektremitas kiri bawah odem derajat 1. Pasien mengatakan jika duduk
kepala terasa pusing
4. Riwayat kesehatan yang lalu

Pasien mengatakan belum pernah dirawat di rumah sakit


sebelumnya.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Pasien dan istri pasien mengatakan tidak ada riwayat penyakit
menurun seperti hipertensi maupun diabetes melitus.
II.

POLA KEBIASAAN PASIEN


A. Aspek Fisik Biologis
1. Pola Nutrisi
Sebelum dan selama sakit pasien makan 3 kali sehari dengan
nasi dan lauk pauk seadanya. Pasien minum sehari 1200 ml
berupa air putih dan kadang minum teh.
2. Pola Eliminasi
Sebelum sakit pasien mengatakan BAB 2 kali sehari setiap pagi
dan sore hari BAK pasien sehari 4-5 kali dan selama sakit pasien
mengatakan baru BAB 2 kali dengan konsistensi lunak bau khas
feses, pasien terpasang DC terlihat urin 250 cc di urin bag warna
kuning kecoklatan.
3. Pola Aktivitas
Sebelum sakit pasien aktifitasnya dilakukan secara mandiri.
Selama sakit pasien melakukan aktivitasnya dengan dibantu
keluarganya.

Keluarga pasien mengatakan pasien melakukan

seluruh aktivitasnya di atas tempat tidur. Pasien mengatakan dalam


melakukan aktivitas, selalu dibantu orang lain. Pasien mengatakan
nyeri saat kaki kiri digerakkan. Pasien terbaring di tempat tidur.
Pasien terlihat meringis menahan sakit saat kaki kiri Pasien bergerak
dengan pelan-pelan
Kemampuan perawatan diri

Makan/minum

Mandi

Toileting

Berpakaian

Mobilitas di tempat tidur

Berpindah

Ambulasi/ROM

Keterangan :
1 : Mandiri
3 : Dibantu orang lain dan alat
2 : Alat bantu
4 : Tergantung total
3 : Dibantu orang lain
4. Pola istirahat dan tidur
Pasien mengatakan sebelum sakit pasien tidur 9 jam dan tidak
pernah tidur siang, selama sakit pasien mengatakan lebih banyak
tidur 12 jam sehari, tidur pasien nyenyak tetapi terkadang pasien
bangun ketika pasien merasa sangat kesakitan dan ketika pasien
kedinginan.
5. Pola Kebersihan Diri
a. Kebersihan kulit
Selama sakit pasien mandi 2 kali sehari dengan dibantu oleh
keluarganya. Pasien mandi dengan cara dilap setiap pagi. Kulit
berwarna coklat dan lembab.
b. Rambut
Rambut bersih, berwarna hitam dan disisir dengan rapi.
Keluarga pasien menyatakan selama dirawat di RSpasien tidak
keramas.
c. Telinga
Telinga simetris, tidak keluar cairan dari dalam telinga, tidak
ada gangguan pendengaran.
d. Mulut
Gigi pasien terlihat kuning. Keluarga pasien menyatakan
setiap hari pasien selalu sikat gigi 2x sehari dengan menggunakan
pasta gigi dan sikat gigi walaupun dengan cara dibantu.
B. Aspek Mental Intelektual Sosial - Spiritual
1. Konsep diri
a. Identitas diri
Pasien adalah seorang suami dengan pekerjaan yaitu buruh
bangunan
b. Gambaran diri
Pasien terbuka dengan orang yang baru dikenal.
c. Peran diri
Pasien sebagai kepala keluarga mempunyai 1 orang anak.
d. Ideal diri
Pasien berharap cepat sembuh dan tidak merasakan sakit lagi.

2. Intelektual
Pasien mengatakan bahwa paha kirinya patah dan harus
beristirahat tidak banyak bergerak, jika sudah pulang pasien
mengetahui bahwa berjalan menggunakan alat bantu yaitu kruk
3. Hubungan interpersonal
Pasien mengatakan hubungan dengan keluarga dan sekitar baikbaik saja.
4. Mekanisme Koping
Pasien menerima dengan ikhlas dan berharap diberi kesembuhan
oleh Allah SWT.
5. Support Sistem
Keluarga sangat mendukung untuk kesembuhan pasien.
6. Aspek Mental/ Emosional
Pasien tidak gampang emosional. Pasien tidak nampak gelisah
dan tegang saat perawat datang. Saat dilakukan pengkajian pasien dan
keluarga terlihat kooperatif dan menjaga kontak mata dengan perawat.
7. Aspek Spiritual
Agama pasien adalah Islam. Pasien mengatakan sebelum dan
selama di rawat jarang sholat, sholat jika tidak malas dan tidak sibuk.

III.

PEMERIKSAAN FISIK
A.

Keadaan umum:
1.
Kesadaran
: Compos Mentis
2.
Status gizi
TB : 160 cm
BB : 60 kg
IMT : 60 kg/2,56 m2 = 23,4 kg/m2 (normal)
3.
Tanda-tanda vital
a. Tekanan darah : 140/80 mmHg
b. Suhu
: 36,7 C
c. Nadi
: 90 x/menit
d. Respirasi
: 30 x/menit
4.
GCS (Glassgow Coma Scale)
a. Eye
:4
b. Verbal
:5
c. Movement
:6
Nilai GCS
: 16 (Normal)
B.
Pemeriksaan cephalokaudal
1. Kepala
Bentuk kepala mesochepal. Terlihat bersih dan tidak
terlihat adanya luka.
2. Mata
Tidak ada gangguan penglihatan. Konjungtiva tidak terlihat
anemis.
3. Telinga
Bentuk telinga simetris, tidak ada cairan keluar dari telinga,
tidak ada gangguan pendengaran.
4. Hidung
Hidung tidak ada luka, tidak ada cairan yang keluar dari
hidung. Tidak terlihat pernapasan cuping hidung.
5. Leher
Tidak ada pembesaran tiroid, tidak terlihat benjolan.

6. Dada
a. Inspeksi
Bentuk dada

simetris,

tidak

terlihat

penggunaan

otot

aksesoris, tidak ada retraksi dinding dada. Terlihat jejas di


dada.
b. Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada krepitasi. Tidak teraba
benjolan.
c. Perkusi
Suara lapang paru sonor.
d. Auskultasi
Suara pernafasan vesikuler.
7. Abdomen
a. Inspeksi
Bentuk simetris, warna coklat merata, terlihat jejas di perut,
tidak terlihat benjolan
b. Auskultasi
Peristaltik usus 10x/menit
c. Perkusi
Timpani
d. Palpasi
Tidak teraba benjolan, tidak ada nyeri tekan
8. Genetalia
Pasien terpasang DC terisi urin 250 cc berwarna kuning
kecoklatan.
9. Ekstermitas
a. Ekstrimitas atas
Ekstrimitas atas lengkap. Terpasang IVFD RL 20 tpm di
tangan sebelah kiri sejak dengan kondisi balutan terlihat kotor.
b. Ekstrimitas bawah
Pasien mengatakan nyeri di kaki kiri saat digerakkan, di
sepanjang femur di balut menggunakan perban elastik, tidak
ada rembesan darah, di sekitar ekstremitas kiri bawah edema
derajat 1. Capillary refill time <2 detik. Akral teraba hangat.
Terlihat lesi di jempol kaki kiri pasien.
IV.

TERAPI
A.
B.
C.
D.
E.
F.

Cefotaxim 2x1g
Ranitidin 2x50mg
Ketorolac 3x30mg
Citicholine 3x500mg
Gentamycin 2x 80mg
IVFD RL 20 tpm

V.

PEMERIKSAAN FISIK
A. Hasil pemeriksaan rontgen femur sinistra pada tanggal 22 September
2014
Foto genu sinistra AP dan lateral view, hasil :
1. Garis fraktur di os femur sinistra pars tertia distal dalam fiksasi
internal plate and screw, aposisi dan alignment cukup
2. Garis fraktur os patela sinistra
B. Hasil pemeriksaan darah rutin pada tanggal 23 September 2014

VI.

Pemeriksaan
WBC

Hasil
11,8

Satuan
10 /L

RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
RDW
PDW
MPV
P-LCR
DIFFERENTIAL
LYM%
MXD%
NEUT%
LYM#
MXD#
NEUT#

3,32
9,8
28,5
85,8
29,5
365
365
40,4
10,1
8,5
14,5

103/L
g/dL
%
fL
fL
Pg
103/L
fL
fL
fL
%

4-5,2
11,5-15,5
34-40
80-99
27-31
33-37
150-450
35-45
9-13
7,2-11,1
15-25

13,3
11,9
74,8
1,6
1,4
8,8

%
%
%
103/L
103/L
103/L

19-48
0-12
40-74
1-3,7
0-1,2
1,5-7

Nilai Normal
4,5-10,3

LAPORAN OPRASI
1. Oprasi dilakukan pada tanggal 22 september 2014 pukul 09.30-10.30
WIB lama oprasi 1 jam
2.
3. Luka dicuci kemudian dijahit dan di pasang drain
B. ANALISA DATA

DATA
DS :
Pasien menyatakan:
P : nyeri ketika
bergerak

MASALAH
Nyeri akut

PENYEBAB
Agen cedera biologis
(post op debridement
dan ORIF)

Q : nyeri seperti
di tekan
R : Pasien
mengatakan di
kaki sebelah kiri,
mengatakan nyeri
tidak menjalar
S: pasien
mengatakan nyeri
skala 3 dari skala
0-5 pasien
T : pasien
mengatakan nyeri
hilang timbul.
DO :
-

Pasien terlihat

meringis
Melindungi area
nyeri

DS :
-

Hambatan mobilitas fisik


Pasien melakukan
aktivitasnya
dengan dibantu

keluarganya.
Keluarga pasien
mengatakan pasien
melakukan seluruh
aktivitasnya di atas

tempat tidur.
Pasien
mengatakan dalam
melakukan
aktivitas, selalu

dibantu orang lain.


Pasien
mengatakan nyeri

Nyeri (gangguan
muskuloskeletal)

saat kaki kiri


digerakkan.
DO :
-

Pasien terbaring di

tempat tidur
Pasien terlihat
meringis menahan

sakit saat kaki kiri


Pasien bergerak
dengan pelan-

pelan
Pasien post op.
ORIF dan
debridement

DS : -

Resiko infeksi

debridement dan ORIF)

DO:
-

Tekanan darah :

140/80 mmHg
Suhu: 36,7 C
Nadi: 90 x/menit
RR: 20 x/menit
Pasien post op.
ORIF

dan

debridement

pada

hari Senin tanggal


22

September

2014
Pasien

drain 150 cc
pasien terpasang

terpasang

infus RL di tangan
-

Prosedur invasif (post

kiri,
Terpasang DC
Pada
kaki
terpasang

kiri

perban

elastik

tidak

ada

rembesan darah
Di
sekitar

ektremitas
bawah

kiri
odem

derajat 1.
WBC: 11,8 (103/L)

DS : DO :
-

Resiko perdarahan

Prosedur invasif (drain


post debridemen dan

Pasien

terpasang

drain

ORIF)

dengan

cairan darah keluar


150 cc,
HGB : 9,8 g/dL
HCT : 28,5%

C.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (luka post op.
ORIF dan debridement yang ditandai dengan :
DS : DO:
-

Tekanan darah
: 140/80 mmHg
Suhu: 36,7 C
Nadi: 90 x/menit
RR: 20 x/menit
Pasien post op. ORIF dan debridement pada hari Senin tanggal 22

September 2014
Pasien terpasang drain 150 cc
pasien terpasang infus RL di tangan kiri,
Terpasang DC
Pada kaki kiri terpasang perban elastik tidak ada rembesan darah
Di sekitar ektremitas kiri bawah odem derajat 1.
WBC: 11,8 (103/L)
2. Risiko perdarahan berhubungan dengan prosedur invasif (drain post op.
-

ORIF dan debridement) yang ditandai dengan:


DS : DO :
-

Pasien terpasang drain dengan cairan darah keluar 150 cc,

HGB : 9,8 g/dL


HCT : 28,5%

3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (luka post op. ORIF
dan debridement yang ditandai dengan:
DS :
Pasien menyatakan:
P : nyeri ketika bergerak
Q : nyeri seperti di tekan
R : Pasien mengatakan di kaki sebelah kiri, mengatakan nyeri tidak
menjalar
S: pasien mengatakan nyeri skala 3 dari skala 0-5 pasien
T : pasien mengatakan nyeri hilang timbul.
DO :
-

Pasien terlihat meringis


Melindungi area nyeri
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri (gangguan
muskuloskeletal) yang ditandai dengan:
DS :
-

Pasien melakukan aktivitasnya dengan dibantu keluarganya.


Keluarga pasien mengatakan pasien melakukan seluruh aktivitasnya di

atas tempat tidur.


Pasien mengatakan dalam melakukan aktivitas, selalu dibantu orang

lain.
Pasien mengatakan nyeri saat kaki kiri digerakkan.
DO :

Pasien terbaring di tempat tidur


Pasien terlihat meringis menahan sakit saat kaki kiri
Pasien bergerak dengan pelan-pelan
Pasien post op. ORIF dan debridement

D. PERENCANAAN
Diagnosa Keperawatan
Risiko infeksi berhubungan
dengan prosedur invasif
(luka post op ORIF dan
debridement)

Perencanaan
Intervensi
22 September 2014
14.00 WIB
1. Monitor tanda-tanda vital:

Rasional
22 September 2014
14.00 WIB
1. Mengidentifikasi kondisi

TD,N,S,RR
2. Kaji keadaan luka pasien

vital pasien
2. Mengidentifikasi kondisi

terjadi, dengan kriteria hasil:

3. Monitor tanda dan gejala

luka
3. Mengidentifikasi adanya

1. Tanda-tanda vital dalam

infeksi
4. Lakukan perawatan luka

Tujuan
22 September 2014
14.00 WIB
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama
perawatan, infeksi tidak

batas normal

infeksi
4. Luka yang bersih dapat

2. Tidak terdapat tanda dan

5. Cek kadar leukosit dalam

mencegah terjadinya

gejala infeksi

darah

infeksi
5. Jumlah leukosit yang

3. Jumlah leukosit dalam


batas normal 4,5-10,3
(103/L)
3. Pasien dan keluarga
mengerti tentang tanda dan

6. Anjurkan pasien diet


TKTP
7. Ajarkan kepada keluarga
dan pasien mengenai tanda
dan gejala infeksi
8. Kelola pemberian

gejala infeksi
Maizan

antibiotik Cefotaksim 2x1 g


dan Gentamicin 2x80 mg

tinggi dapat mengakibatkan


infeksi
6. Diet TKTP dapat
mempercepat proses
penyembuhan luka pasien
7. Menambah pengetahuan
pasien dan keluarga, agar
lebih waspada
8. Antibiotik dapat

Maizan

membunuh
mikroorganisme penyebab
infeksi

Risiko perdarahan
berhubungan dengan
prosedur invasif (drain post
op ORIF dan debridement)

22 September 2014
14.00 WIB
Setelah dilakukan asuhan

22 September 2014
14.00 WIB
1. Monitor tanda-tanda vital:

Maizan
22 September 2014
14.00 WIB
1. Mengidentifikasi kondisi

keperawatan selama 3x24

TD,N,S,RR
2. Monitor output darah dari

vital pasien
2. Output darah yang

drain

berlebihan merupakan

3. Monitor keadaan drain

indikasi perdarahan
3. Mengidentifikasi

jam, perdarahan tidak


terjadi, dengan kriteria hasil:
1. Output darah normal
2. Kadar HGB normal 11,5-

pasien

keadaan drain terpasang

15,5 g/dL
3. Kadar HCT normal 34-40
%

dengan benar
4. Pastikan sirkulasi darah
4. Mengurangi risiko

pasien lancar

4. Tanda-tanda vital dalam


batas normal
Putri P.
Nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera
biologis (luka post op ORIF
dan debridement)

perdarahan
5. Cek kadar HGB dan HCT
5. Menurunkan risiko

dalam darah
Putri P.

22 September 2014
14.00 WIB
Setelah dilakukan asuhan

22 September 2014
14.00 WIB
1. Monitor tanda-tanda vital:

terjadinya perdarahan
Putri P.
22 September 2014
14.00 WIB
1. Mengidentifikasi kondisi

keperawatan selama 3x24

TD,N,RR,S
2. Lakukan pengkajian nyeri

vital pasien
2. Mengetahui karakteristik

jam, nyeri teratasi, dengan


kriteria hasil :
1. Pasien melaporkan nyeri
berkurang
2. Skala nyeri 1 dari 0-5
3. Pasien lebih rileks
4. Tanda-tanda vital dalam
batas normal
Vinda

nyeri yang dirasakan


pasien
3. Rasa nyaman

3. Atur posisi pasien


senyaman mungkin
4. Ajarkan teknik

mengurangi nyeri
4. Membuat rileks,

manajemen nyeri

mengurangi nyeri secara

nonfarmakologi : teknik

nonfarmakologi

distraksi relaksasi, nafas


dalam
5. Kelola pemberian

5. Mengurangi nyeri secara

analgetik Ketorolac 3x30

farmakologi
Vinda

mg
Vinda
Hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan nyeri
(gangguan muskuloskeletal)

22 September 2014
14.00 WIB
Setelah dilakukan asuhan

22 September 2014
14.00 WIB
1. Kaji kemampuan

22 September 2014
14.00 WIB
1. Mengidentifikasi

keperawatan selama 3x24

mobilisasi pasien
2. Latih pasien dalam

kemampuan gerak
2. Meningkatkan motivasi

pemenuhan kebutuhan ADL

dalam peningkatan

secara mandiri sesuai

mobilitas fisik

kemampuan
3. Ajarkan pasien cara

3. Mencegah cedera pada

jam, hambatan mobilitas


fisik teratasi, dengan kriteria
hasil :
1. Pasien meningkat dalam
aktivitas fisik
2. Pasien mengetahui tujuan
peningkatan aktivitas fisik

mengubah posisi dan


berikan bantuan jika

pasien
Maizan

Maizan

diperlukan
Maizan

E. CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal/Jam
22 September 2014

Diagnosa Keperawatan
Nyeri akut berhubungan

Implementasi
1. Mengobservasi tanda-tanda

Evaluasi
22 September 2014

22.00 WIB

dengan agen cedera biologis

vital pasien

22.30 WIB

(luka post op ORIF dan

2. Mengajarkan teknik nafas

S : Pasien menyatakan masih

debridement)

dalam

terasa nyeri, skala 2 dari 0-5

3. Mengelola pemberian

O : TD : 120/70 mmHg, RR :

analgetik Ketorolac 30 mg

20x/mnt, N : 80x/mnt, S :

Putri P.

36,6oC
Ketorolac 30 mg/IV, kepada
Tn. W, pukul 22.00 WIB
A : Nyeri akut teratasi sebagian
P : Monitor ku dan vs pasien
Putri P.

22 September 2014

Risiko infeksi berhubungan

1. Mengobservasi tanda-tanda

22 September 2014

22.00 WIB

dengan prosedur invasif (luka

vital pasien

22.20 WIB

post op ORIF dan

2. Mengelola pemberian
antibiotik Cefotaksim 1 g, dan
Gentamicin 80 mg
Putri P.

S : Pasien menyatakan tidak

debridement)

ada keluhan, tidak ada tanda


dan gejala infeksi
O : TD : 120/70 mmHg,
N : 80x/mnt, RR : 20x/mnt,

S :36,6 oC
Cefotaksim 1 g/IV dan
gentamicin 80 mg/IV, kepada
Tn. W, pukul 22.00 WIB
A : Risiko infeksi teratasi
sebagian
P : Lakukan perawatan luka
pada 23 September 2014
Putri P.
23 September 2014

Risiko infeksi berhubungan

1. Mengobservasi tanda-tanda

23 September 2014

10.00 WIB

dengan prosedur invasif (luka

vital pasien

10.10 WIB

post op ORIF dan

2. Mengelola pemberian

S: pasien mengatakan paham

debridement)

antibiotik Cefotaksim 1 g, dan

mengenai tanda-tanda infeksi.

Gentamicin 80 mg

O : TD : 140/80 mmHg, S:

3. memberitahu pasien dan

36,7C, RR: 20x/menit, N:

keluarga pasien mengenai

80x/menit. Cefotaksim 1 g/IV,

tanda-tanda infeksi.

dan gentamicin 80 mg/IV


Maizan

kepada Tn.W pukul 10.00WIB


A: resiko infeksi teratasi
sebagian
P : lakukan perawatan luka

pada tanggal 24 September


Maizan
23 September 2014

Risiko perdarahan

1. Memonitor tanda-tanda vital:

23 September 2014

10.00 WIB

berhubungan dengan prosedur

TD
2. Memonitor output darah dari

10.15 WIB

invasif (drain post op ORIF dan


debridement)

drain
3. Memonitor keadaan drain

S : pasien mengatakan tidak


ada keluhan
O: drain pasien berisi 400cc

pasien

TD :140/880mmHg
Maizan

A : resiko perdarahan belum


teratasi
P : memonitor drain setiap shift
Maizan

23 September 2014

Nyeri akut berhubungan

1. Memonitor tanda-tanda vital:

23 September 2014

10.00 WIB

dengan agen cedera biologis

TD,N,RR,S
2. melakukan pengkajian nyeri
3. mengatur posisi pasien

10.30 WIB

(luka post op ORIF dan


debridement)

senyaman mungkin
4. mengajarkan teknik

S : pasien mengatakan
kakinya masih terasa nyeri
ketika malam hari tetapi

manajemen nyeri

setelah diberi obat nyerinya

nonfarmakologi : teknik

berkurang. Pasien

distraksi relaksasi, nafas

mengatakan posisinya nyaman

dalam
5. mengelola pemberian
analgetik Ketorolac 3x30 mg
Maizan

setengah duduk. Pasien


mengatakan sudah bisa napas
dalam
O : TD: 140/80 mmHg, pasien
terlihat sudah bisa nafas dalam
yang diajarkan. analgetik
Ketorolac 3x30 mg sudah di
injeksi.
A : nyeri akut teratasi sebagian
P : mengevaluasi tentang
napas dalam yang sudah
diajarkan.
Maizan

23 September 2014

Hambatan mobilitas fisik

1. mengkaji kemampuan

23 September 2014

11.00 WIB

berhubungan dengan nyeri

mobilisasi pasien
2. membantu pasien

11.30 WIB

(gangguan muskuloskeletal)

mengubah posisi yang nyaman


Maizan

S : pasien mengatakan sudah


bisa miring walaupun sedikitsedikit.
O : pasien terlihat sudah bisa
miring dengan cara di bantu
memiringkan

A : hambatan mobilitas fisik


tercapai sebagian
P : membantu mengubah
posisi jika perlu
23 September 2014

Nyeri akut berhubungan

1. Mengobservasi tanda-tanda

Maizan
S : Pasien menyatakan tidak

22.00 WIB

dengan agen cedera biologis

vital pasien

merasakan nyeri lagi

(luka post op ORIF dan

2. Mengelola pemberian

O : TD : 120/70 mmHg, RR :

debridement)

analgetik Ketorolac 30 mg

20x/mnt, N : 80x/mnt, S :

Vinda

36,6oC
:Ketorolac 30 mg/IV masuk
pukul 22.00 WIB
A : Nyeri akut teratasi sebagian
P : Monitor ku dan vs pasien
: kelola pemberian ketorolac
30 mg

23 September 2014

Risiko infeksi berhubungan

1. Mengobservasi tanda-tanda

Vinda
S : Pasien menyatakan tidak

22.00 WIB

dengan prosedur invasif (luka

vital pasien

ada keluhan

post op ORIF dan

2. Mengelola pemberian

O : TD : 120/70 mmHg,

debridement)

antibiotik Cefotaksim 1 g, dan

N : 80x/mnt, RR : 20x/mnt,

S :36,6 oC

Gentamicin 80 mg
Vinda

: Cefotaksim 1 g/IV dan


gentamicin 80 mg/IV masuk
pukul 22.00 WIB
A : Risiko infeksi teratasi
sebagian
P : Lakukan perawatan luka
pada 25 September 2014
Vinda

24 September 2014

Risiko perdarahan

1. Monitor output darah dari

24 September 2014

08.00 WIB

berhubungan dengan prosedur

drain

08.30 WIB

invasif (drain post op ORIF dan

2. Melepas drain

S : Pasien mengatakan sakit

debridement)

Vinda

saat drain dilepas


O : Terlihat darah pada drain
100 cc
: Kondisi luka tidak terlihat
nanah, darah, tidak terlihat
tanda-tanda infeksi
A : Masalah resiko perdarahan
teratasi
P : Pasien BLPL

: Berikan edukasi mengenai


perawatan luka
: Anjurkan kontrol jahitan 2 hari
sekali
Vinda

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Diagnosa keperawatan yang muncul :
a. Masalah teratasi
1) Risiko perdarahan berhubungan dengan prosedur invasif (drain
post op ORIF dan debridement)
b. Masalah teratasi sebagian
1) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (luka post
op ORIF dan debridement)
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (luka
post op ORIF dan debridement)
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri (gangguan
muskuloskeletal)

Anda mungkin juga menyukai