Anda di halaman 1dari 6

Gangguan Kepribadian Antisosial/Dissosial

Definisi Gangguan Kepribadian Antisosial

Gangguan kepribadian antisosial, atau dikenal juga dengan gangguan kepribadian disosial dan
sosiopat, adalah sebuah gangguan kepribadian yang dicirikan dengan perilaku melawan atau
melanggar hak-hak milik orang lain. Paling sering kelihatan di gangguan kepribadian ini adalah
moralnya yang tak terlihat, punya sejarah berbuat kriminal, pernah melanggar hukum, serta
perilaku yang agresif.

Istilah gangguan kepribadian antisosial sendiri adalah nama yang ditulis di Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).

Sementara, istilah ini di International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Problems (ICD) disebut sebagai Dissocial personality disorder (DPD) atau gangguan
kepribadian dissosial.

Namanya aja sih yang beda. Tapi secara umum, diagnosa untuk antisosial dan dissosial mirip-
mirip.
Namun di Indonesia sendiri lebih populer dengan antisosial, karena kita lebih sering pakai DSM
dan PPDGJ.

Baik Buku DSM maupun ICD, keduanya bilang bahwa psikopat dan sosiopat tergolong pada
gangguan kepribadian antisosial. Namun ada juga beberapa peneliti yang membuat perbedaan
konsep antara gangguan kepribadian antisosial dan psikopat.

Mereka meyakini kalau psikopat adalah gangguan yang diagnosanya punya kesamaan dengan
antisosial, tapi ada beberapa ciri-ciri psikopat yang nggak bisa dibilang antisosial.

Salah satu alasannya adalah psikopat masih bisa berhubungan dengan dunia sosial, walaupun itu
katakanlah hanya akting. Meskipun akting, tapi kan dia masih bisa?

Ini beda dengan sosiopat ataupun antisosial, yang udah fix nggak bisa berhubungan dengan
masyarakat.
Penjelasan lebih lengkap tentang psikopat ada di sini.

Ciri-ciri

Orang dengan gangguan kepribadian antisosial memiliki ciri-ciri:

 Membahayakan diri sendiri dalam situasi penuh resiko, seringkali tanpa


mempertimbangkan akibatnya untuk diri maupun orang lain
 Melakukan tindakan berbahaya dan seringkali ilegal
 Melakukan tindakan yang buat orang lain nggak menyenangkan
 Sangat mudah bosan, bertindak tanpa berpikir
 Berperilaku agresif dan sering berkelahi
 Melakukan apapun untuk mendapat yang diinginkan, seringkali dengan cara yang kasar
 Punya catatan kriminal
 Tidak merasa bersalah setelah menyakiti orang lain
 Percaya pada yang terkuatlah yang akan berkuasa
 Bakatnya sudah terlihat sejak sebelum 15 tahun

Untuk mendapat diagnosa antisosial, kamu minimal harus berusia 18 tahun.

Penyebab

Tidak ada penyebab pada gangguan kepribadian antisosial. Namun ilmuwan meyakini bahwa
gangguan di struktur otak dan perilaku orang tua yang agresif menjadi faktor yang
mempengaruhi.

Penanganan

Penanganan untuk gangguan kepribadian antisosial bisa dibilang sulit.

Meskipun kita menyebutnya sebagai gangguan, namun yang paling terganggu adalah kita
sebagai masyarakat. Orang yang memiliki gangguan itu sendiri malah merasa fine-fine aja. Ini
menyebabkan penanganan sulit dilakukan.

Keadaan ini diperparah dengan orang itu sendiri yang memang tidak suka dengan orang lain.

Namun jika ingin melakukan penanganan, psikoterapi dengan terapi bicara bisa dilakukan.
Psikiater juga bisa meresepkan obat untuk mengurangi kecemasan dan depresi seperti prozac.
Obat lain juga bisa diberikan, tergantung gejala perilaku apa yang muncul.
Depresi: Gangguan Suasana Perasaan dengan Tampilan Banyak Muka
10 Oktober 2012   02:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:00 2747 0 0

Ilustrasi Kasus:

Seorang remaja perempuan berusia 14 tahun dibawa berkonsultasi kepada psikiater anak dengan
keluhan mudah marah dan sering menentang aturan yang ditetapkan oleh orang tuanya. Keluhan
tersebut telah berlangsung kurang lebih 2 minggu. Sebelumnya, dia merupakan anak yang periang dan
memiliki banyak teman. Tetapi belakangan ini, dia menjadi sering mengurung diri di kamar dan tampak
tidak berminat lagi untuk mengikuti les piano yang merupakan hobinya. Menurut guru di sekolah, dia
juga terlihat sering bengong dan tidak konsentrasi saat menerima pelajaran di kelas. Pada akhirnya, dia
di bawa ke psikiater anak karena pada malam hari sebelumnya pulang ke rumah orangtua dengan
kondisi mabuk dan tercium bau minuman alkohol dari mulutnya.

Ilustrasi kasus tersebut diatas menunjukkan beberapa gejala depresi yang sering ditemukan pada
remaja. Gejala tersebut berupa mudah marah, sikap menentang, sulit tidur, mengurung diri, kehilangan
minat yang berujung pada penyalahgunaan alkohol.

Depresi merupakan kelompok gangguan suasana perasaan (mood) yang ditandai dengan tiga gejala
khas, yaitu kehilangan minat, tidak berenergi, dan perasaan depresi (tertekan). Depresi dapat dijumpai
pada segala golongan usia, mulai dari kanak, remaja, dewasa, sampai lanjut usia. Tetapi, gambaran
gejala depresi yang ditampilkan dapat berbeda. Hal tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh faktor
usia dari individu tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa depresi merupakan gangguan suasana perasaan
(mood) yang tampilannya memiliki banyak muka.

Depresi pada kelompok usia dewasa dapat muncul dalam bentuk tiga gejala khas yang disebutkan di
atas, seperti hilang minat, rasa malas, dan perasaan sedih yang berkepanjangan. Perasaan sedih dapat
berkembang kepada rasa bersalah atau berdosa. Gambaran ini disebut dengan istilah gejala psikologis
sebagai bentuk depresi eksternalisasi. Selain gejala utama tadi, depresi juga dapat menampilkan gejala
lain yang berbentuk somatik, vegetatif, dan kognitif. Gejala somatik dapat berupa jantung berdebar,
nyeri fisik pada bagian tubuh (nyeri dada, kepala seperti terasa berat, nyeri otot belakang kepala, nyeri
anggota gerak, dan ketegangan otot), dan rasa mual. Gejala vegetatif dapat berupa gangguan pola tidur,
pola makan dan aktifitas seksual (disfungsi seksual atau gangguan dalam dorongan atau hasrat seksual).
Sedangkan gejala kognitif dapat berupa kehilangan konsentrasi dan mudah lupa.

Apabila gejala yang tampak pada individu dewasa lebih bernuansa pada gambaran somatik, vegetatif,
atau kognitif maka dokter harus menyingkirkan dahulu penyebab organik atau fisik yang mungkin
mendasarinya seperti penyakit pada organ dalam atau saraf. Apabila telah dinyatakan tidak terdapat
gangguan fisik, baru di pikirkan suatu gangguan suasana perasaan (mood). Kondisi yang demikian
dikenal dengan istilah depresi terselubung (masked depression) karena tampilan gejalanya tidak khas
tertuju pada tiga gejala utama depresi. Kondisi yang seperti ini dapat dijumpai pula pada individu di usia
kanak akhir dan remaja yang muatan gejala psikologisnya hanya berupa mudah marah (tersinggung)
atau sikap menentang. Bentuk ini di kenal sebagai depresi internalisasi yang banyak dijumpai pada usia
kanak akhir dan remaja.

Depresi internalisasi pada individu dapat mempengaruhi organ di dalam tubuh sehingga mencetuskan
suatu penyakit yang sebelumnya pernah dialami oleh individu dan kemudian menjadi kambuh. Beberapa
penyakit yang dapat kembali kambuh oleh cetusan depresi internalisasi adalah sakit maag (gangguan
pada asam lambung), dermatitis pada kulit, penyakit asma (gangguan pernafasan), vertigo (nyeri kepala
berputar), hipertensi (tekanan darah tinggi), stroke (penyakit serebro vaskuler), gangguan irama jantung,
dan sindrom metabolik (ketidakseimbangan gula darah). Klinisi menyebutnya sebagai suatu gangguan
psikosomatik.

Pada individu remaja, manifestasi depresinya dapat mengarah pada suatu gangguan penyalahgunaan
zat atau alkohol. Kondisi ini perlu dipertimbangkan, mengingat kelompok remaja sedang berada pada
usia krisis identitas dan lebih melakukan indetifikasi kepada peer group (kelompok sebaya)-nya.
Sedangkan pada individu lanjut usia, depresi biasanya tampil dalam tampilan gejal seperti: banyak diam,
tidak konsentrasi, dan mudah lupa. Pada kelompok lanjut usia harus dipastikan apakah depresi yang
dialami berdiri sendiri atau merupakan bagian dari suatu perkembangan dari penyakit kepikunan
(demensia). Klinisi mengenalnya dengan sebutan Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia
(BPSD).

Sebagai tambahan, depresi merupakan gangguan suasana perasaan (mood) yang dapat berujung kepada
suatu percobaan bunuh diri (tentament suicide). Perilaku bunuh diri tersebut dapat dicetuskan oleh
suatu halusinasi pendengaran yang berupa suara bisikan yang sifatnya mengomentari atau menyuruh.
Apabila terdapat gejala tersebut, tentunya tidak hanya sekedar depresi semata melainkan terdapat pula
warna gejala kejiwaan lain yang dinamakan psikotik (mendengar bisikan atau bicara sendiri). Tentunya
hal tersebut memerlukan penanganan yang cepat, sehingga apabila terdapat hal itu maka masyarakat
yang mengetahui dapat merujuk ke puskesmas terdekat untuk rujukan ke rumah sakit jiwa atau
penanganan awal terkait gejala kejiwaan. Risiko kemunculan bunuh diri pada individu depresi di segala
usia berdasarkan beberapa penelitian adalah sebagai berikut: anak & remaja (20,8%), dewasa (46,4%),
dan lanjut usia (14,6-25%). Hal ini tentu harus menjadi suatu perhatian terkait dengan program promosi
kesehatan jiwa, khususnya upaya pencegahan depresi dan bunuh diri.
Psikolog: Crosshijaber Terkait Gangguan Perilaku Seksual
Tim, CNN Indonesia | Senin, 14/10/2019 20:19 WIB

Bagikan :  

Ilustrasi. (Foto: Istockphoto/selimaksan)

Jakarta, CNN Indonesia -- Kemunculan crosshijaber viral di media sosial beberapa waktu belakangan.
Fenomena para pria yang menggunakan hijab ini dikaitkan dengan gangguan perilaku
seksual transvestisme.

Transvestisme adalah gangguan perilaku seksual yang membuat seseorang berpakaian atau
mengenakan aksesori yang berlawanan dengan jenis kelaminnya untuk tujuan tertentu. Perilaku
berpakaian seperti lawan jenis ini dikenal juga dengan nama crossdressing.

Psikolog klinis Personal Growth Ni Made Diah Ayu Anggreni menjelaskan terdapat dua motif seseorang
berperilaku crossdressing seperti crosshijaber yakni dengan dorongan seksual dan tanpa motif seksual.
Lihat juga:
Stres saat Hamil 'Tularkan' Gangguan Kepribadian pada Anak

"Kenapa fenomena ini bisa muncul untuk motif perindividu harus ditelusuri satu persatu. Bisa karena
ikut-ikutan saja, bisa karena kelainan seksual transvestisme," kata psikolog yang akrab disapa Ayu ini,
kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/10).

Transvestisme merupakan salah bentuk gangguan perilaku seksual parafilia atau ketertarikan seksual
pada hal yang tidak biasa atau tabu. Ayu menyebut terdapat dua faktor yang menyebabkan seseorang
mengalami transvestisme yaitu faktor psikologi dan neurobiologis.

Secara psikologis, hal ini dapat disebabkan kecemasan untuk menghilangkan stres, dipicu pengalaman
masa lalu seperti kekerasan seksual, atau berbarengan dengan gangguan parafilia lainnya seperti
ekshibisionis. Sedangkan neurobiologis berhubungan dengan hormon yang dimiliki oleh seseorang.

Hingga saat ini, prevalensi orang dengan transvestisme masih belum diketahui.

"Dari jurnal yang saya baca prevalensinya bisa diketahui. Tapi, ketika ada gerakan yang muncul, orang
yang memiliki kepercayaan yang sama bisa muncul," tutur Ayu.

Menurut Ayu, kehadiran komunitas crosshijaber membuat orang-orang tersebut berani muncul ke
publik seperti datang ke masjid atau ikut ke pengajian.

Lihat juga:
Sifilis Kongenital, Infeksi Seksual yang Melonjak Pesat di AS

"Karena dalam tidak lagi dikenal identitas pribadi. Mereka menjadi lebih berani dan menganggap hal itu
benar," ucap Ayu.

Crosshijaber yang disebabkan oleh gangguan perilaku seksual tranvestisme ini dapat ditangani dengan
perawatan yang tepat. Para ahli seperti dokter, pskiater, dan psikolog akan mencari tahu motif dan
penyebabnya. Setelah itu, akan diberikan tindakan seperti psikoterapi, obatan-obatan, atau gabungan
keduanya.

Anda mungkin juga menyukai