Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GEROTIK

INKONTENENSIA URIN
DI WISMA FLAMBOYAN BPPLU PAGAR DEWA
PROVINSI BENGKULU
TANGGAL 12 - 13 APRIL 2017

DOSEN : Ns. Hanifah, M.Kep

NAMA KELOMPOK 4:

1. GITA NOVITA LEKA 1426010025


2. ITA FITRIANI 1426010016
3. YULIANA 1426010014
4. WAWAN MARZUKI 1426010012

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
TRI MANDIRI SAKTI KOTA BENGKULU
TAHUN AJARAN 2016/2017
LAPORAN PENDAHULUAN
INKONTINENSIA URIN

A. Tinjauan Teoritis
1. Definisi
Inkontenensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung
kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan.
Inkontenensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang
tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis
penderitanya.
Menurut International Continence Sosiety, inkontinesia urine
adalah kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan
secara obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene dan sosial.
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol
dalam jumlah yang cukup banyak. Sehingga dapat dianggap masalah bagi
seseorang.
Inkontinensia Urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.
Inkontinensia urine merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin
berkisar antra 15-30 % usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien
geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan
kemungkinan bertambah urin berat inkontinensia urinnya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya
meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Perubahan
– perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian
bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk
mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi
inkontinensia bukan bagian normal proses menua.
2. Klasifikasi
a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat
pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium
teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap
kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
peesisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan
sebagainya. Resistensi urin karena obar-obatan, atau obstruksi
anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan
inflamasi pada vagina dan uretra (vaginitis dan urethritis) mungkin
akan memicu inkontinensia urin, konstipasi juga sering menyebabkan
inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria
dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau
kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan
edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkotinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Chanennel
Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesicnarcotic, psikotropik,
antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah mengingat
penyebab inkontinensia uri akut reversible dapat dilihat akronim
dibawah ini :
 Delirium
 Restriksi mobilitas, retensi urin
 Infeksi , Inflamasi, Impaksi
 Poliuria , Pharmasi

b. Inkontinensia Urin Persisten


Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai
cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan
praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat
membantu evaluasi dan intervensi klinis. Kategori klinis meliputi :
 Inkontinensia Akibat Stress
Merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui uretra
sebagai akibat dari peningkatan mendadak pada tekanan intra-
abdomen. Seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga.
Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul ,
merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia
dibawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi
mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter
urethra setelah pembedahan trans urethral dan radiasi. Pasien
mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk , atau
berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
 Urge Incontinence
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk
urinasi tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum
mencapai toilet. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan
dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overacitivity).
Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan
inkontinensia urin. Urgensi ini, meliputi stroke, penyakit
Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien
mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul
keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa
inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi merupakan
penyebab tersering inkontinensia pada lansia dia atas 75 tahun.
Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiper aktifitas detrusor
dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami
kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung
kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia
urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk
mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai
inkontinensia urin tipe lain sehingga penangananya tidak tepat.
 Overflow Incontinence
Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang
terjadi hampir terus-menerus terjadi. Tidak terkendalinya
pengeluaran urin dikaitkan dengan kandung kemih tidak dapat
mengosongkan isinya secara normal dan mengalami distensi yang
berlebihan. Meskipun eliminasi urine sering terjadi, kandung
kemih tidak pernah kosong. Hal ini disebabkan oleh obstruksi
anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada
diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan
berkurang atau tidak berkontraksinnya kandung kemih, dan
faktor-faktor obat-obatan. Pasien umunya mengeluh keluarnya
sedikit urin tanpa adanya sensasi bahawa kandung kemih sudah
penuh.
 Inkontinensia Urin Fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian
bawah yang utuh tetapia ada faktor lain, seperti gangguan kognitif
berat yang membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya
miksi (demensia alzhimer) atau gangguan fisik yang
menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet
untuk melakukan urinasi. Memerlukan identifikasi semua
komponen tidak terkendalinnya pengeluran urine akibat faktor-
faktor di luar saluran kemih. Peyebab tersering adalah demensia
berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang
menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor
psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul
dengan berbagai gejala dengan membran urodinamik lebih dari
satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat
memerlukan identifikasi semua komponen.
(http://www.smallcrab.com/lanjut-usia/838-inkontinensia-urin-
pada-lansia)
3. Etiologi
a. Persalinan Pervaginanan
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak
akibat regangan otot dan jaringan otot dan jaringan penunjang serta
robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya
inkontinensia urine.
b. Proses menua
Dengan menurunnya kadar hormon estogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas). Akan terjadi penurunan tonus otot
vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebbakan
terjadinya inkontinensia urine. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggung.
c. Gangguan urologi (peningkatan pada produksi urine (DM)
d. Infeksi saluran kemih
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih bisa menyebabkan inkontinensia urine.

4. Patofisiologi
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang
memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada
dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada keadaan normal selama fase
pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh
atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-
loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar
keinginna ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi
kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung
kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau
memperlambat miksi menurut khendaknya secara sadar , tanpa
dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu
sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga
meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung
kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme
penutupan selalu dalam dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka
uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih
meningkat karena kontruksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi
pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan
urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung
kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase
pengeluaran. pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam
ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan
tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada
dibawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot
detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada dibawah
dibawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh
korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa,
lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Ketika otot
detrosur berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot
kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses
berkemih proses berkemih berlangsung. Otot detrusor adalah otot
kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme
detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis, dan pusat
saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai
terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan
medula spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal
(pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih
berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang
mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih
berlanjut, rasa penggebungan kandung kemih disadari ,dan pusat kortikal
(pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan
pada pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat
mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting
dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung
kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan
agulasi yang tepat antara urethra dan kandung kemih. Fungsi sfingter
normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehingga dapat
meningkatkan tekanan intra abdomen secara efektif ditrasmisikanke
uretrea. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat
tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang
berpusat dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat
berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan
aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher
kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan
aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar
panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun,
sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi konraksi otot detrusor
dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh
sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan
serebelum. Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontenensia urin
yaitu ada inkontenensia urin tipe stress, inkontenensia tipe urgensi, tipe
fungsional , dan tipe overflow.
Inkontenensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi
antara lain:
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila
batuk dan bersin. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran
kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas
berlebihan. Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan
pada anatomi dan fungsi organ berkemih, antara lain: melemahnya otot
dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengedan yang
salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih,sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontenensia
Urine (UI) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian
bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan / keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah
bisa karena infeksi. Inkontenensia Urine juga bisa terjadi karena produksi
urine berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik,
seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontenensia urine juga
terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca
melahirkan, kegemukan (obesitas), menopausee, usia lanjut, kurang
aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena
ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat
otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang
serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya
inkontenensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada
wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontenensia urine. Faktor resiko yang lain adalah obesitas
atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan inkontenensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontenensia urine, karena terjadi perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.

5. Manifestasi Klinis
a. Desakan berkemih, di sertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi
karena telah berkemih.
b. Frekuensi , dan nokturia.
c. Inkontenensia stress, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urin
ketika tertawa, bersin, ,melompat, batuk atau membungkuk.
d. Inkontenensia overflow, dicirikan dengan aliran urin buruk atau
melambat dan merasa menunda atau mengedan.
e. Inkontenensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urin
yang adekuat.
f. Higiene buruk atau tanda-tanda infeksi.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes diagnostik pada inkontinensia urin
(Menurut Ouslander). Tes diagnostik pada inkontenensia perlu
dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial
mengakibatkan inkontenensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan
menentukan tipe inkontenensia. Mengukur sisa urine setelah
berkemih, dilakukan dengan cara :
 Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui
kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis,
bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak
adekuat. Urinalisis , dilakukan terhadap spesimen urine yang
bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap
spesimen urine yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang
berperan terhadap terjadinya inkontenensia urin seperti hematuri,
piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik
lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum
jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
 Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea
nitrogen, crestinin , kalsium glukosa sitologi.
 Tes urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi
saluran kemih bagian bawah.
 Tes tekanana urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra
saat istirahat dan saat dinamis.
 Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan
bawah.

b. Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan


tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa –sisa urine pasca berkemih
perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik
dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine.
Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga
dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung
kemih penuh dan ada desekan keinginan untuk berkemih. Diminta
untuk bantuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau
berdiri. Merembesnya urin sering kali dapat dilihat. Informasi yang
dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada
atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan
kapsitas kandung kemih.

c. Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum


dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan
poliuri.

d. Catatan berkemih (voiding record)


Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan
ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami
inkontenensia urin dan tidak inkontenensia urin, dan gejala berkaitan
dengan inkontenensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut
dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk
memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi
terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang
memicu terjadinnya inkontenensia urin pada dirinya.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontenensia urin menurut Muller adalah
mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontenensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis
dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan
sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah
urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar
karena tak tertahan, selain itu catat waktu, jumlah dan jenis minuman
yang diminum.
b. Terapi non farkomlogi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontenensia urine, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :
 Melakukan latihan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih ) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekwensi 6-7 x/hari.
 Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila
belum waktunya
 Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu,
mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
 Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan kebiasaan lansia.
 Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia
mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan
petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
dilakuka pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
 Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan
otot dasar panggul secara berulang-ulang.
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontenensia urine adalah :
 Antikolinergik seperti Oxybutitin, Propantteine, Dicylomine
 Pada inkontenensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
: pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
 Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti :
bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
d. Terapi pemedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontenensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontenensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
 Penatalaksanaan pembedahan
Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat dilakukan :
Perbaikan vagina , suspensi kandung kemih pada abdomen dan
evevasi kolum vesika urinaria. Sfingter artificial yang dimodifikasi
dengan menggunakan balon karet-silikon sebagai mekanisme
penekanan regulasi dapat digunakan untuk menutup uretra. Metode
lain untuk mengontrol inkontenensia stress adalah aplikasi stimulasi
elektronik pada dasar panggul dengan bantuan pulsa generator
miniature yang dilengkapi electrode yang dipasang pada sumbat intra-
anal.
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontenensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontenensia urin , diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu seperti urinal, komod, dan
bedpan.
f. Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena
dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi
pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara
yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk
mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien
yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini
juga beri=esiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
g. Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod, dan bedpan yang digunakan oleh orang usia
lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat
bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta
membnatu memberikan kemandiran pada lansia dalam menggunakan
toilet.
h. Latihan Otot Dasar Panggul
 Posisi tidur telentang dengan kedua kai ditekuk sehingga otot
panggul sejajar dengan lantai.
 Tahan otot panggul seperti menahan kencing selama sepuluh
hitungan atau sesanggupnya.
 Lepaskan dan refleksselama sepuluh hitungan.
 Lakuka lagidan lepaskan lagi lebih kurang 5x latihan.
 Lakukan sebanyak 3x sehari (pagi, siang, dan semalam).

B. Askep Teoritis
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan
diagnosa medis.
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkontenensiannya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkontenensia (stress, ketakutan, tertawa, gerakan).
Masukan cairan , usia /kondisi fisik, kekuatan dorongan /aliran
jumlah cairan berkenan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi
inkontenensia, apakah terjadi ketidakmampuan.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya ,
riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
3) Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan pakah ada riwayat penyakit
bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan /bulkan bawaan
c. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum:
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinnya inkontenensia.
d. Pemeriksaan Sistem
B1 (breathing) : kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas,
sianosis karena suplai oksigen menurun. Kaji ekspasi dada, adakah
kelainan pada perkusi.

B2 (blood) : peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan


gelisah.

B3 (brain) : kesadaran biasanya penuh.

B4 (bladder)
 Inspeksi : Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada
lesi pada bladder , pembesaran daerah suprapubik lesi pada meatus
uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuria akibat dari infeksi , apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.
 Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik /pelvis,
seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing / dapat juga di
luar waktu kencing.
B5 (bowel) : Bising usus adakah peningkatan atau penurunan,
adannya nyeri tekan abdomen , adanya ketidaknormlan palpasi pada
ginjal.

B6 (bone) : pemeriksaaan kekuatan otot dan membandingkannya


dengan ekstermitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.

e. Pengkajian psikososial
Bersedih , murung, mudah tersinggung, mudah marah, isolasi social,
perubahan peran.

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


a. Gangguan eliminasi urin b/d tidak dapat menahan air kencing.
b. Kekurangan volume cairan b/d diuresis ostomic.
c. Resiko isolasi sosial b/d keadaan yang memalukan akibat mengompol
di depan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta :EGC.

Anda mungkin juga menyukai