“ INKONTINENSIA URINE “
DISUSUN OLEH:
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Inkontinensia urine adalah berkemih di luar kesadaran, pada waktu dan tempat yang tidak
tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau sosial. Aspek sosial yang akan dialami oleh
lansia antara lain kehilangan harga diri, merasa terisosial dan depresi.
Inkotinensia urine adalah sering berkemih / ngompol yang tanpa disadari merupakan
salah satu keluhan orang lanjut usia.
Inkotinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan frekuensi yang cukup
banyak, sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial ( Kane, dkk, 1989 ).
2.2 Etiologi
Etiologi inkontinensia urine menurut ( soeparman dan waspadji, 2001 )
a. Poliuria, noktoria
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak di temukan usia > 50 tahun
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini di sebabkan oleh:
1. Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat
di lahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot – otot dasar panggul .
2. Perokok , minum alkohol.
3. Obesitas.
4. Infeksi saluran kemih.
2.3 Klasifikasi
1. Inkontinensia stress
Akibat adanya tekanan didalam abdomen, seperti bensin, atau selama latihan,
menyebabkan kebocoran urine dari kandung kemih. Tidak terdapat aktivitas kandung
kemih. Tipe inkontinensia urine sering di derita oleh wanita yang mempunyai banyak
anak.
2. Inkontinensia mendesak ( urge incontinence )
Bermekih dapat di lakukan, tetapi orang biasanya berkemih sebelum sampai ke toilet.
Mereka tidak merasakan adanya tanda untuk berkemih. Kondisi ini terjadi karna kandung
kemih seseorang berkontraksi tanpa didahului oleh keinginan untuk berkemih.
3. Inkontinensia overflow
Seseorang menderita inkotinensia overflow akan mengeluh bahwa urinenya mengalir
terus menerus. Hal ini di sebabkan karna obstruksi saluran kemih seperti pada pembesaran
prostat atau konstipasi.
4. Inkontinensia refleks
Ini terjadi karna kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti dimensi. Dalam hal
ini, pengosongan kandung kemih dipengaruhi refleks yang di rangsang oleh pengisian.
5. Inkontinensia fungsional
Pada klien ini mempunyai kandung kemih dan saluran urine yang utuh dan tidak
mengalami kerusakan persarafan yang secara langsung mempengaruhi sistem perkemihan
tersebut. Kondisi ini muncul akibat ketidak mampuan lain yang mengurangi kemampuan
nya untuk mempertahankan kontinensia.
2.4 Anatomi fisiologi
1. Ureter
Terdiri dari dua saluran pipa untuk mengalirkan urine dari ginjal ke kandung kemih
( vesika urinaria ), panjangnya sekitar 25 cm dengan penampang 0,5 cm. uereter sebagian
terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari 3 lapisan :
a. Dinding luar jaringan ikat ( jaringan fibrosa )
b. Lapisa tengah otot polos ( smooth muscle )
c. Lapisan sebelah dalam ( lapisan mukosa )
2. Vesika urinaria ( kandung kemih )
Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet, terletak di
belkang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti kerucut
yang di kelilingi oleh otot yang kuat dan berhubungan dengan liga mentum vesika
umbikalis medius.
3. Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih yang
berfungsi menyalurkan air kemih keluar dari tubuh. Pada laki –laki uretra berjalan
berkelok – kelok melalui tengah – tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa ke
bagian penis. Uretra pada wanita terletak di belakang simfisis pubis, berjalan miring
sedikit ke arah atas, panjangnya sekitar 3-4 cm.
2.5 Patofisiologi
Inkotinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain :
a. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem perkemihan vesika urinaria
( kandung kemih ). Kapasitas kandung kemih ang normal sekitar 300 – 600 ml.
dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150 – 350 ml. berkemih dapat di
tuntas 1 – 2 jam sejak keinginan berkemih di rasakan.ketika keinginan berkemih
atau miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter ekternal relaksasi, yang
membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urine di keluarkan
dengan proses ini. Sedangkan pada lansia tidak semua urine di keluarkan, tetapi
residu urine di keluarkan 50 ml atau kurang di anggap adekuat.
b. Fungsi otot besar yang terganggu yang mengakibatkan kontraksi kandung kemih.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine
banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang
terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.
2.6 Tanda dan gejala
a. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidak mampuan memcapai kamar
mandi karna telah mulai berkemih.
b. Desakan, frekuensi, dan nokturia.
c. Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa,
bersin melompat, batuk, atau membungkuk.
d. Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran buruk atau lambat dan merasa
menunda atau mengejen.
e. Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang adekuat.
f. Higiene atau tanda – tanda infeksi.
g. Kandung kemih terletak diatas simfisis pubis
2.7 pemeriksaan diagnostik
a. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan gulkosa dalam urine.
b. Uroflownetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
c. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot deturos, tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi
kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi eksretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi
stuktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
e. Voiding cystourethgarphy digunakan untuk mendeteksi ketidak normalan kandung
kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus protat, struktur uretra, dan tahap
gangguan uretra prostatik stenosis ( pada pria ).
f. Urterografi retrograde digunakan hampir secara ekskusif pada pria, membantu
diagnosis stuktur dan obstruksi orifisium uretra.
g. Elektromiografi sifingter eksternal mengukur aktivitas listrik sifingter urinarus
eksternal.
h. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukan pembesaran prostat atau nyeri,
kemungkinan menandakan hipertrofi protat jinak atau infeksi.
i. Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan
kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih.
2.8 Penatalaksanaan medik
a. Terapi obat disesuaikan dengan penyebab inkontinensia. Antibiotik diresepkan jika
inkontinensia akibat dari inflamasi yang di sebabkan oleh infeksi bakteri. Obat
antikolinergik digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih dan mengobati
spasme kandung kemih jika dicurigai ada ketidak stabilan pada otot destrusor. Obat
antipasmodik diresepkan untuk hiprrefleksia detrusor aktivitas otot polos kandung
kemih. Estrogen baik dalam bentuk oral, topikal, maupun suposituria, digunakan jika
vaginitis atrofik, inkontinensia stres kadang dapat diterapi dengan obat antidepresan.
b. Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu berkemih,
penyegaran berkemih, dan latihan oto panggul ( latihan kegel ). Pendekatan yang
dipilih disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasar.
c. Spiral dapat diresepkan bagi pasien wanita yang mengalami kelainan anatomi seperti
prolaps uterus berat atau relaksasi pelvik. Spiral tersebut dapat di pakai secara internal,
seperti diagfragma kontrasepsi, dan menstabilkan dasar kandung kemih serta uretra,
yang mencegah inkontinensia selama ketegangan fisik.
d. Toileting terjadwal
e. Penggunaan pads
f. Indwelling kateter, jika retensi urine tidak dapat dikoreksi secara medis / pembedahan
dan untuk kenyamanan klien terakhir.
BAB 111
3.1 Pengkajian
Adapun data – data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan klien
dengan diagnosa medis inkontinensia urine.
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Pada kelayan inkontinensia urine keluhan – keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan strategi.
c. Riwayat penakit sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha yang telah
dilakukan untuk mengatasi keluhan
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK ( infeksi saluran kemih ) yang
berulang, penyakit kronis yang pernah diderita.
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita
penyakit inkontinensia urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM,
hipertensi.
f. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
1. B1 ( breathing )
Kaji adanya pernafasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karna suplai
oksigen menurun. Kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
2. B2 ( blood )
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasahnya pasien bingung dan gelisah.
3. B3 ( brain )
Kesadaran biasanya sadar penuh
4. B4 ( bladder )
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karna
adanya aktifitas mikroorganisme ( bakteri ) dalam kandung kemih serta di sertai
keluhan keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra
pubik lesi pada neatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih mendadah
di urea akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri disapat pada daerah supra pubik atau pelvis, seperti rasa
terbakar di uretra luar sewaktu kencing atau dapat juga diluar waktu kencing.
5. B5 ( bowel )
Bising usus adalah peningkatan atau penurunan, adanya nyeri tekan abdomen,
adanya ketidak normalan perkusi, adanya ketidak normalan palpasi pada ginjal.
6. B6 ( bone )
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri pada persendian.
3.2 Diagnosa keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih
dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kantung kemih.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh urine.
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang adekuat.
3.3 Intervensi keperawatan
A. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih
dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa
melaporkan
Kriteria hasil : klien dapat menjelaskan penyebab inkontinensia dan rasional
penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
Rasional : berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi kandung
kemih
3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah hasil akhir dari proses keperawatan di lakukan untuk mengetahui
sampai dimana keberhasilan tindakan yang diberikan sehingga dapat menemukan
intervensi yang akan di lanjutkan. ( susan martin, 1998 ).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan frekuensi yang cukup
banyak, sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial ( kane,dkk,1989 ),
inkontinensia urine banyak terjadi pada lansia perempuan, karena sistem anatomis dan oersonal
higience.
Pengkajian untuk lansia difokuskan pada poin – poin yang didalamnya berisi data yang
abnormal. Diagnosa yang diangkat mendekati KMB namun lebih spesifiknya karena proses
degeneratif, maka dari itu intervensi yang diberikan adalah intervensi yang lebih mengarah ke
lansia. Seperti senam kegel. Senam kegel berfungsi untuk mempertahankan status berkemih.
4.2 Saran
Sumber buku diharapkan lebih banyak referensi lagi, format pengkajian referensinya
harus sesuai. saya menyadari bahwa makalah saya tidak sempuran masih banyak kekurangan,
maka saya membutuhkan kritik dan saran untuk memperbaiki makalah saya kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
- Fatimah, 2010. Meraat lanjut usia suatu pendekatan proses keperawatan gerontik. Cetakan
pertama. Jakarta : TIM
- www.scrib.com ( di unduh, 16 oktober 2016 )