Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH SEMINAR

“ INKONTINENSIA URINE “

DISUSUN OLEH:

NAMA : TOMI YAWAN D. RAMBA


NIM : PO5303203191100
MATA KULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
KODE MK : WAT 5.02
NAMA PEMBIMBING : LENI LANDUDJAMA,S.Kep,Ns.,M.Kep.
TANGGAL PENGUMPULAN :

POLLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN WAINGAPU
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Inkontinensia urine merupakan pengeluaran urine secara tidak sadar, sering pada
orang tua dan menyebabkan meningkatnya resiko infekssi saluran kemih, masalah
psikologis dan isolasi sosial. Inkontinensia cenderung tidak di laporkan, karena penderita
merasa malu dan juga mengganggap tidak ada yang dapat menolong nya dari penilitian
pada populasi lanjut usia dari masyarakat, di dapatkan 75% dari pada pria dan 12% dari
wanita diatas 70 tahun mengalami inkontinensia urine. Sedangkan mereka yang di rawat
di psikogeriatri 15-50% menderita inkontinensia urine. Inkontinensia di bagi menjadi
inkontinensia akut, dan inkontinensia kronik.
Inkontinensia akut atau transien bersifat tiba – tiba, biasanya berhubungan dengan
kondisi pengobatan atau pembedahan. Penyebab inkontinensia akut antara lain mobilitas
terbatas, pecal impacation, delirium, infeksi saluran kemih, DM tak terkontrol,
hiperkalsemia pengobatan anti kolinergik / beta adrenergik / alpha loker, diuretic,
psikotropic, norkotik atau alkohol.
Inkontinensia kronik atau persisten dibagi menjadi sters inkontinensia, urge
inkontinensia, overflow inkontinensia dan fungsional inkontinensia. Stres inkontinensia
biasa terjadi pada lansia wanita. Terjadi akibat peningkatan yang tiba – tiba pada tekanan
intra abdomen akibat adanya kelemahan otot – otot di sekitar uretra karna kehamilan.
Pada pria stres inkontinensia tidak biasa terjadi apabila ada pembedahan prostate dan
terapi radiasi.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari asuhan keperawatan ini adalah :
1. Tujuan umum
Memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan gerontik dengan gangguan
sistem perkemihan : Inkontinensia urine
2. Tujuan khusus
a. Memberikan gambaran tentang konsep dasar medis dalam asuhan keperawatan
pada anak dengan asuhan keperawatan gerontik dengan gangguan sistem
perkemihan : Inkontinensia urine
b. Memberikan gambaran tentang konsep dasar keperawatan meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan.
c. Asuhan keperawatan kepada Ny. M dengan gangguan sistem perkemihan :
Inkontinensia urine.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini :
- Memperoleh pengetahuan dan menambah wawasan tentang penyakit
inkontinensia urine.
- Memperoleh gambaran proses asuhan keperawatan pada pemenuhan kebutuhan
dasar klien dengan gagal ginjal kronik.
BAB 11
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Inkontinensia urine adalah berkemih di luar kesadaran, pada waktu dan tempat yang tidak
tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau sosial. Aspek sosial yang akan dialami oleh
lansia antara lain kehilangan harga diri, merasa terisosial dan depresi.
Inkotinensia urine adalah sering berkemih / ngompol yang tanpa disadari merupakan
salah satu keluhan orang lanjut usia.
Inkotinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan frekuensi yang cukup
banyak, sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial ( Kane, dkk, 1989 ).

2.2 Etiologi
Etiologi inkontinensia urine menurut ( soeparman dan waspadji, 2001 )
a. Poliuria, noktoria
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak di temukan usia > 50 tahun
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini di sebabkan oleh:
1. Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat
di lahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot – otot dasar panggul .
2. Perokok , minum alkohol.
3. Obesitas.
4. Infeksi saluran kemih.
2.3 Klasifikasi
1. Inkontinensia stress
Akibat adanya tekanan didalam abdomen, seperti bensin, atau selama latihan,
menyebabkan kebocoran urine dari kandung kemih. Tidak terdapat aktivitas kandung
kemih. Tipe inkontinensia urine sering di derita oleh wanita yang mempunyai banyak
anak.
2. Inkontinensia mendesak ( urge incontinence )
Bermekih dapat di lakukan, tetapi orang biasanya berkemih sebelum sampai ke toilet.
Mereka tidak merasakan adanya tanda untuk berkemih. Kondisi ini terjadi karna kandung
kemih seseorang berkontraksi tanpa didahului oleh keinginan untuk berkemih.

3. Inkontinensia overflow
Seseorang menderita inkotinensia overflow akan mengeluh bahwa urinenya mengalir
terus menerus. Hal ini di sebabkan karna obstruksi saluran kemih seperti pada pembesaran
prostat atau konstipasi.
4. Inkontinensia refleks
Ini terjadi karna kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti dimensi. Dalam hal
ini, pengosongan kandung kemih dipengaruhi refleks yang di rangsang oleh pengisian.
5. Inkontinensia fungsional
Pada klien ini mempunyai kandung kemih dan saluran urine yang utuh dan tidak
mengalami kerusakan persarafan yang secara langsung mempengaruhi sistem perkemihan
tersebut. Kondisi ini muncul akibat ketidak mampuan lain yang mengurangi kemampuan
nya untuk mempertahankan kontinensia.
2.4 Anatomi fisiologi
1. Ureter
Terdiri dari dua saluran pipa untuk mengalirkan urine dari ginjal ke kandung kemih
( vesika urinaria ), panjangnya sekitar 25 cm dengan penampang 0,5 cm. uereter sebagian
terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari 3 lapisan :
a. Dinding luar jaringan ikat ( jaringan fibrosa )
b. Lapisa tengah otot polos ( smooth muscle )
c. Lapisan sebelah dalam ( lapisan mukosa )
2. Vesika urinaria ( kandung kemih )
Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet, terletak di
belkang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti kerucut
yang di kelilingi oleh otot yang kuat dan berhubungan dengan liga mentum vesika
umbikalis medius.
3. Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih yang
berfungsi menyalurkan air kemih keluar dari tubuh. Pada laki –laki uretra berjalan
berkelok – kelok melalui tengah – tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa ke
bagian penis. Uretra pada wanita terletak di belakang simfisis pubis, berjalan miring
sedikit ke arah atas, panjangnya sekitar 3-4 cm.
2.5 Patofisiologi
Inkotinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain :
a. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem perkemihan vesika urinaria
( kandung kemih ). Kapasitas kandung kemih ang normal sekitar 300 – 600 ml.
dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150 – 350 ml. berkemih dapat di
tuntas 1 – 2 jam sejak keinginan berkemih di rasakan.ketika keinginan berkemih
atau miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter ekternal relaksasi, yang
membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urine di keluarkan
dengan proses ini. Sedangkan pada lansia tidak semua urine di keluarkan, tetapi
residu urine di keluarkan 50 ml atau kurang di anggap adekuat.
b. Fungsi otot besar yang terganggu yang mengakibatkan kontraksi kandung kemih.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine
banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang
terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.
2.6 Tanda dan gejala
a. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidak mampuan memcapai kamar
mandi karna telah mulai berkemih.
b. Desakan, frekuensi, dan nokturia.
c. Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa,
bersin melompat, batuk, atau membungkuk.
d. Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran buruk atau lambat dan merasa
menunda atau mengejen.
e. Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang adekuat.
f. Higiene atau tanda – tanda infeksi.
g. Kandung kemih terletak diatas simfisis pubis
2.7 pemeriksaan diagnostik
a. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan gulkosa dalam urine.
b. Uroflownetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
c. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot deturos, tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi
kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi eksretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi
stuktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
e. Voiding cystourethgarphy digunakan untuk mendeteksi ketidak normalan kandung
kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus protat, struktur uretra, dan tahap
gangguan uretra prostatik stenosis ( pada pria ).
f. Urterografi retrograde digunakan hampir secara ekskusif pada pria, membantu
diagnosis stuktur dan obstruksi orifisium uretra.
g. Elektromiografi sifingter eksternal mengukur aktivitas listrik sifingter urinarus
eksternal.
h. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukan pembesaran prostat atau nyeri,
kemungkinan menandakan hipertrofi protat jinak atau infeksi.
i. Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan
kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih.
2.8 Penatalaksanaan medik
a. Terapi obat disesuaikan dengan penyebab inkontinensia. Antibiotik diresepkan jika
inkontinensia akibat dari inflamasi yang di sebabkan oleh infeksi bakteri. Obat
antikolinergik digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih dan mengobati
spasme kandung kemih jika dicurigai ada ketidak stabilan pada otot destrusor. Obat
antipasmodik diresepkan untuk hiprrefleksia detrusor aktivitas otot polos kandung
kemih. Estrogen baik dalam bentuk oral, topikal, maupun suposituria, digunakan jika
vaginitis atrofik, inkontinensia stres kadang dapat diterapi dengan obat antidepresan.
b. Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu berkemih,
penyegaran berkemih, dan latihan oto panggul ( latihan kegel ). Pendekatan yang
dipilih disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasar.
c. Spiral dapat diresepkan bagi pasien wanita yang mengalami kelainan anatomi seperti
prolaps uterus berat atau relaksasi pelvik. Spiral tersebut dapat di pakai secara internal,
seperti diagfragma kontrasepsi, dan menstabilkan dasar kandung kemih serta uretra,
yang mencegah inkontinensia selama ketegangan fisik.
d. Toileting terjadwal
e. Penggunaan pads
f. Indwelling kateter, jika retensi urine tidak dapat dikoreksi secara medis / pembedahan
dan untuk kenyamanan klien terakhir.
BAB 111

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Adapun data – data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan klien
dengan diagnosa medis inkontinensia urine.
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Pada kelayan inkontinensia urine keluhan – keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan strategi.
c. Riwayat penakit sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha yang telah
dilakukan untuk mengatasi keluhan
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK ( infeksi saluran kemih ) yang
berulang, penyakit kronis yang pernah diderita.
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita
penyakit inkontinensia urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM,
hipertensi.
f. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
1. B1 ( breathing )
Kaji adanya pernafasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karna suplai
oksigen menurun. Kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
2. B2 ( blood )
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasahnya pasien bingung dan gelisah.
3. B3 ( brain )
Kesadaran biasanya sadar penuh

4. B4 ( bladder )
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karna
adanya aktifitas mikroorganisme ( bakteri ) dalam kandung kemih serta di sertai
keluhan keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra
pubik lesi pada neatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih mendadah
di urea akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri disapat pada daerah supra pubik atau pelvis, seperti rasa
terbakar di uretra luar sewaktu kencing atau dapat juga diluar waktu kencing.
5. B5 ( bowel )
Bising usus adalah peningkatan atau penurunan, adanya nyeri tekan abdomen,
adanya ketidak normalan perkusi, adanya ketidak normalan palpasi pada ginjal.
6. B6 ( bone )
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri pada persendian.
3.2 Diagnosa keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih
dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kantung kemih.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh urine.
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang adekuat.
3.3 Intervensi keperawatan
A. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih
dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa
melaporkan
Kriteria hasil : klien dapat menjelaskan penyebab inkontinensia dan rasional
penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
Rasional : berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi kandung
kemih

2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari


Rasional : pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis
3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan
Rasional : kapasitas kandung kemih mungkintidak cukup untuk menampung
volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi , jika tidak ada kebocoran, ulangi
dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak
ada kebocoran yang lebih dahulu.
Rasional : untuk membantu dan memilih penggosongan kandung kemih.
5. Pantau pemasukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000
ml, kecuali harus dibatasi.
Rasional : dehidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.
6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan
frekuensi inkontinensia.
B. Resiko infeksi berhubunga dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.
Tujuan : setelah di lakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat berkemih
dengan nyaman.
Kriteria hasil : urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukan
tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift jika pasien inkontinensia,
cuci daerah perineal segera mungkin.
Rasional : untuk mencegah kontaminasi uretra
2. Jika dipasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari ( merupakan
bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur ) dan setelah buang air
besar.
Rasional : kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih
dan naik saluran perkemihan.
3. Ikut kewaspadaan umum ( cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung,
pemakaian sarung tangan ), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi
( memberikan perawatan perineal, pengosongan kantung drainase urine,
penampungan spesimen urine ). Pertahan kan teknik aseptik bila melakukan
katerisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indweling.
Rasional : untuk mencegah kontaminasi silang
4. Kecuali di kontra indikasi ubah posisi pasien setiap 2 jam dan anjurkan masukan
sekurang – kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan
kebutuhan.
Rasional : untuk mencegah statis urine.
5. Lakukan tindakan untuk memilihara asam urine.
a. Tingkatkan masukan sari buah berri
b. Berikan obat – obat untuk meningkatkan asam urine
c. R : asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri
diperlukan untuk mencapai dam memilihara keasaman urine. Peningkatan
masukan cairan sari buah dapat berpengaru dalam pengobatan infeksi saluran
kemih.
2 Resiko kerysakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh urine
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit
teratasi.
Kriteria hasil :
1. Jumlah bakteri < 100.000 / ml
2. Kulit penostomal penuh
3. Suhu 37c
4. Urine jernih dengan sendiman minimal.
Intervensi :

1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam


Rasional : untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpanan dari hasil yang di
harapkan
2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu apa bila bocor terdefeksi. Yakinkan kulit bersih
dan kering sebelum memasang wafer yang baru.
Rasional : peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan
kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine
dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.
3 Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang adekuat.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan seimbang
Kriteria hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi :
1. Awasi tanda – tanda vital
Rasional : pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravaskular,
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran
Rasioanl : untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan cairan.
3. Awasi berat jenis urine
Rasional : untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikan urine
4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
Rasional : membantu periode tanpa cairan menimalkan kebosanan pilihan yang
terbatas dan menurunkan rasa haus
5. Timbang berat badan setiap hari
Rasional : untuk mengetasi status cairan
3.4 Impementasi
Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan radiasi dari pada rencana tindakan
keperawatan yang telah di terapkan. Meliputi tindakan independent, dependent, dan intra
dependent. Pada pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan, validasi, rencana keperawatan,
mengdokumentasikan rencana keperawatan memberikan asuhan kperawatan dan
pengumpulan data. ( susan martin, 1998 ).

3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah hasil akhir dari proses keperawatan di lakukan untuk mengetahui
sampai dimana keberhasilan tindakan yang diberikan sehingga dapat menemukan
intervensi yang akan di lanjutkan. ( susan martin, 1998 ).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan frekuensi yang cukup
banyak, sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial ( kane,dkk,1989 ),
inkontinensia urine banyak terjadi pada lansia perempuan, karena sistem anatomis dan oersonal
higience.
Pengkajian untuk lansia difokuskan pada poin – poin yang didalamnya berisi data yang
abnormal. Diagnosa yang diangkat mendekati KMB namun lebih spesifiknya karena proses
degeneratif, maka dari itu intervensi yang diberikan adalah intervensi yang lebih mengarah ke
lansia. Seperti senam kegel. Senam kegel berfungsi untuk mempertahankan status berkemih.
4.2 Saran
Sumber buku diharapkan lebih banyak referensi lagi, format pengkajian referensinya
harus sesuai. saya menyadari bahwa makalah saya tidak sempuran masih banyak kekurangan,
maka saya membutuhkan kritik dan saran untuk memperbaiki makalah saya kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

- Fatimah, 2010. Meraat lanjut usia suatu pendekatan proses keperawatan gerontik. Cetakan
pertama. Jakarta : TIM
- www.scrib.com ( di unduh, 16 oktober 2016 )

Anda mungkin juga menyukai