Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP PENYAKIT DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PASIEN DENGAN CHOLELITHIASIS

OLEH:

DESAK MADE WIDYAWATI


1802621046
A 2014

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2018
A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi

Cholelithiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah


kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu
(Smeltzer & Bare, 2002). Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa
unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung
empedu. Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di
dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut
kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis
(Newsletter, 2011).
Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu kolesterol,
bilirubin, garam empedu, kalsium,protein,asam lemak & fosfolipid (Price & Wilson,
2005). Kolelitiasis adalah batu terbentuk oleh colesterol, kalsium, bilirubinat atau
campuran yang disebabkan oleh perubahan pada komposisi empedu (Doengoes,
2000).

2. Epidemiologi

Di negara-negara Barat, prevalensi kolelitiasis diketahui adalah sebesar 7,9%


pada laki-laki dan 16,6% pada wanita. Di ras Asia , angka kejadiannya adalah
sebesar 3-15%, sementara pada ras Afrika hampir tidak ada (kurang dari 5%) dan ras
Cina sebesar 4,21-11%. Prevalensi kolelitiasis juga diketahui tinggi pada kelompok-
kelompok etnis tertentu, seperti 73% pada wanita suku Indian Pima, 29,5% dan
64,1% pada masing-masing laki-laki dan wanita suku Indian Amerika, dan 8,9% dan
26,7% pada masing-masing laki-laki dan wanita Meksiko Amerika. Dengan angka
prevalensi keseluruhan sekitar 10-20%, kolelitiasis menjadi salah satu penyakit
dengan frekuensi tinggi dan mempengaruhi keadaan ekonomi pada negara-negara
industri (Jasa Jurnal, 2016). Di Amerika, angka terjadinya penyakit ini diperkirakan
terjadi 20% pada wanita dan 8 % pada pria. Dan dari perbandingan usia umumnya
selalu diatas 40 tahun. Di Indonesia sendiri belum terdapat adanya data yang akurat
tentang jumlah penyakit kolelitiasis, tetapi diperkirakan penyakit ini terus meningkat
jumlahnya (GoDok, 2018).
3. Etiologi

Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3%
bilirubin. komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap
berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka
kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu
(Sjamsuhidajat, 2005).
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain (Newsletter, 2011) :
 Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
 Usia lebih dari 40 tahun .
 Kegemukan (obesitas).
 Faktor keturunan
 Aktivitas fisik
 Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
 Hiperlipidemia
 Diet tinggi lemak dan rendah serat
 Pengosongan lambung yang memanjang
 Nutrisi intravena jangka lama
 Dismotilitas kandung empedu
 Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
 Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis
dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam empedu)
 Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru
orang Afrika)

4. Klasifikasi

Menurut Lesmana (2000), gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu


empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
1) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang
mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3
faktor utama :
a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.

2) Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung
<20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk
akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan
oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit.
Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-
glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin
bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium
bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya
hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.
Umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu
yang terinfeksi.
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya
akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah tipe batu
yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati.
Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin.
Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam
terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.
3) Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol.

5. Manifestasi Klinis

Gejala yang pada umumnya muncul pada pasien dengan batu ginjal antara lain
(Smeltzer & Bare, 2002; GoDok, 2018)
1) Rasa nyeri dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier

disertai nyeri hebat pada abdomen kuadaran kanan atas yang menjalar ke
punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah dan

bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar. Pada sebagian pasien

rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik bilier
semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat
mengalirkan
empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu.
2) Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa kedalam
duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit
dan menbran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejal
gatal-gatal pada kulit.
3) Perubahan warna urine dan feses.
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu aka tampak kelabu,
dan biasanya pekat yang disebut “Clay-colored ”
4) Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K yang
larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-
vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu pembekuan darah yang normal.(Smeltzer, 2002)
5) Regurgitasi gas: flatus dan sendawa
6. Patofisiologi

Kuncara (2009), pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap:


(1) pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti
batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Batu empedu
terjadi karena adamya zat tertentu dalam empedu yang hadir dalam konsentrasi
yang mendekati batas kelarutan mereka. Bila empedu terkonsentrasi di dalam
kandung empadu, larutan akan berubah menjadi jenuh dengan bahan-bahan
tersebut, kemudian endapan dari larutan akan membentuk kristal mikroskopis.
Kristal terperangkap dalam mukosa bilier, akan mengahasilkan suatu endapan.
Oklusi dari saluran oleh endapan dan batu menghasilkan komplikasi penyakit
batu empedu.
Smeltzer dan Bare (2002), pada kondisi normal kolesterol tidak
mengendap di empedu karena mengandung garam empedu terkonjugasi dan
lesitin dalam jumlah cukup agar kolesterol berada di dalam larutan misel. Jika
rasio konsentrasi kolesterol berbanding garam empedu dan lesitin meningkat,
maka larutan misel menjadi sangat jenuh. Kondisi yang sangat jenuh ini
mungkin karena hati memproduksi kolesterol dalam bentuk konsentrasi tinggi.
Zat ini kemudian mengendap pada lingkungan cairan dalam bentuk kristal
kolesterol.
Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara
aktif disekresi ke dalam empedu oleh dati. Sebagian besar bilirubin di dalam
empedu berada dalam bentuk konjugat glukoronida yang larut dalam air dan
stabil, tetapi sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak
terkonjugasi, seperti lemak, fosfat, karbonat, dan anion lainnya cenderung untuk
membentuk presipitat tak larut dengan kalsium. Kalsium memasuki empedu
secara pasif bersama dengan elektrolit lain. Dalam situasi pergantian heme
tinggi, seperti hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak terkonjugasi
mungkinberada dalam empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari biasanya.
Kalsium bilirubinat mungkin kemudian mengkristal dari larutan dan akhirnya
membentuk batu pigmen hitam.
Empedu yang biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak
biasa (misalnya ada striktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri.
Bakteri menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dari hasil peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi dapat menyebabkan presipitasi terbentuknya kristal kalsium
bilirubinat, bakteri hidrolisis lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang
komplek dengan kalsium dan endapan dari larutan lain. Konkresi yang
dihasilkan memiliki konsistensi disebut batu pigmen coklat.
Batu empedu kolesterol dapat terkoloni dengan bakteri dan dapat
menimbulkan peradangan mukosa kandung empedu. Enzim dari bakteri dan
leukosit menghidrolisis bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya, dari
waktu ke waktu, batu kolesterol bisa mengumpulkan proporsi kalsium
bilirubinat dan garam kalsium, lalu menghasilkan campuran batu empedu.
Kondisi batu kandung empedu memberikan berbagai manifestasi keluhan
pada pasien dan menimbulkan berbagai masalah keperawatan. Jika terdapat batu
empedu yang menyumbat duktus sistikus dan biliaris komunis untuk sementara
waktu, tekanan di duktus biliaris akan meningkat dan peningkatan peristaltik di
tempat penyumbatan mengakibatkan nyeri visera di daerah epigastrum, mungkin
dengan penjalaran ke punggung. Respon nyeri, gangguan gastrointestinal dan
anoreksia akan meningkatkan penurunan intake nutrisi.
Respon komplikasi akut dengan peradangan akan memberikan
manifestasi peningkatan suhu tubuh. Respon kolik bilier secara kronis akan
meningkatkan kebutuhan metabolisme sehingga pasien cenderung mengalami
kelelahan. Respon adanya batu akan dilakukan intervensi medis pembedahan,
intervensi litotripsi atau intervensi endoskopi (Schwartz, 2000).
A. WOC

Serosis hepatis
Infeksi bakteri Gangguan metabolime
(kolesistitis)

Bilirubin tak terkonjugasi Perubahan


Penurunan
komposisi empedu,
pembentukan misel
stasis bilier.
Kalsium bilirubinat
Konsentrasi kolesterol
Kalsium palmiat melebihi kemampuan
Sekresi empedu
dan stearat empedu mengikatnya
Batu pigmen hitam jenih kolesterol

BATU EMPEDU/ Pembentukan Garam empedu


Batu kolesterol
KOLELITIASIS kristal kolesterol

Kulit dan mata

Oklusi dan obstruksi dari batu


Ikterus

Obstruksi duktus sistikus Obstruksi getah


Diserap oleh
dan duktus biliaris empedu ke
darah
duodenum
Kolik bilier
Ggg gastrointestinal Respon sistemik Prosedur
inflamsi pembedahan

Mual, muntah, anoreksia Nyeri


Preoperasi Intra
epigastrum
Suhu tubuh operasi

Intake nutrisi dan cairan tdak


Kurang Luka insisi
adekuat Nyeri akut pengetahuan
Hipertemia tentang tindakan
operasi Perdarahan +

Resiko Resiko
Ketidakseimbangan Ketidakseimba Ansietas Risiko
nutrisi kurang dari ngan volume
Radix dorsalis
kebutuhan cairan Post operasi
Pengeluaran mediator
kimia di syaraf bebas

Terputusnya kontinuitas
jaringan

Impuls Port the entri organisme

Medula spinalis Perawatan tidak


adekuat

Thalamus
Terpapar patogen

Korteks serebri

Resiko Infeksi
Persepsi nyeri
7. Pemeriksaan Diagnostik
 Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus.
Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi.
Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah
berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam
keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara
yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam
kandung empedu atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.
 Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu
dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi
tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan
media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi. (Smeltzer dan
Bare, 2002).
 Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding kandung
empedu telah menebal. (Williams 2003)
 ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya
dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop
serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars
desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus koleduktus serta duktus
pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut
untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan memungkinkan visualisassi
serta evaluasi percabangan bilier.(Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
 Pemeriksaan Laboratorium
1) Kenaikan serum kolesterol
2) Kenaikan fosfolipid
3) Penurunan ester kolesterol
4) Kenaikan protrombin serum time
5) Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4 mg/dl)
6) Penurunan urobilirubin
7) Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal : 5000 - 10.000/iu)
8) Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di duktus
utama (Normal: 17 - 115 unit/100ml)

8. Penatalaksanaan

Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah


dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang menyertai
kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan kolelitiasis yang
asimptomatik (Sjamsuhidajat, 2005).
1) Penatalaksanaan Non bedah
 Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh
dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk (Smeltzer &
Bare, 2002).
Manajemen terapi :
1. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
2. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.

3. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign

4. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.

5. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)

 Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian
obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada
chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan
chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan
hiperkolesterolemia sedang.
 Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu
kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu
melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter
nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini
dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya
mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
 Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated
Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau
duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa
sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung
dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran
empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot
sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan
berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada
90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7%
mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan
pembedahan perut.

2) Penatalaksanaan Bedah
 Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.
 Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-
90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil
resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal)
dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu
diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding
perut.

9. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis (Smeltzer & Bare, 2002) :
1) Kolesistisis

Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu


tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung
empedu.

2) Kolangitis

Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi


yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-
saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.

3) Hidrops

Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung


empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang
berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus
sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang
normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.

4) Empiema

Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat


membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a) Identitas pasien
Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, nomer rekam
medis dan tanggal MRS
b) Pengkajian
Pre Operatif :
 Kaji status klinis pasien (tanda-tanda vital, asupan dan keluaran)
 Kaji kemampuan pasien untuk melakukan koping terhadap pembedahan
yang akan datang
 Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien
 Kaji tingkat kecemasan pasien
Breath Kaji pernapasan pasien, seperti frekuensi napas pasien,
pergerakan dinding dada, adanya sesak napas, adanya nyerin
tekan, penggunaan otot bantu pernapasan dan pernapasan cuping
hidung, auskultasi adanya suara napas tambahan (ronchi,
wheezing)
Blood Kaji system kardiovaskuler pasien seperti tekanan darah pasien,
frekuensi nadi, observasi vena jugularis di leher dari adanya
distensi, kaji adanya nyeri dada, CRT, auskultasi suara jantung,
catat adanya suara murmur
Brain Kaji tingkat kesadaran pasien dengan menggunakan pemeriksaan
GCS, kaji adanya kelainan pada system saraf
Bladder Pada pasien tumor ginjal biasanya menggunakan kateter dengan
warna urine kemerahan, adanya nyeri tekan pada abdomen pasien
dan tampak benjolan pada abdomen serta teraba massa padat
Bowel Kaji frekuensi BAB pasien, pola pemenuhan nutrisinya, apakah
menggunakan NGT atau tidak serta kaji adanya mual muntah
selama pasien makan. Apabila pasien dipuasakan kaji sejak kapan
pasien dipuasakan.
Bone Kaji system musculoskeletal pasien, observasi adanya kerusakan
integritas kulit pasien dan kaji adanya fraktur atau deformitas

Intra Operatif :
 Catat waktu mulai dan selesai operasi
 Catat waktu mulai dan selesai anesthesi
 Catat jenis anesthesi
 Kaji satus klinis pasien (brain, blood, breath, bowel, blader, dan bone)
 Monitor adanya perdarahan
Breath Kaji status pernafasan pasien
Penggunaan otot bantu pernafasan
Penggunaan alat bantu pernafasan
Blood Kaji tekanan darah pasien, nadi, akral, turgor kulit, CRT dan
adanya nyeri dada dan kaji adanya perdarahan
Brain Kaji tingkat kesadaran pasien
Bladder Kaji penggunaan kateter dan nyeri saat berkemih
Bowel Kaji penggunaan NGT, mual, muntag dan puasa
Bone Kaji kekuatan otot atau adanya deformitas

Post Operatif :
 Kaji status pasca bedah pasien (tanda-tanda vital, bising usus, distensi
abdomen)
 Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi atau kelebihan cairan
 Kaji adanya komplikasi
 Kaji adanya tanda-tanda infeksi
 Kaji adanya tanda-tanda anemia
 Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien
 Kaji kemampuan pasien dan keluarga untuk melakukan koping terhadap
pengalamannya di rumah sakit dan pembedahan
Breath Kaji status pernafasan pasien
Penggunaan otot bantu pernafasan
Penggunaan alat bantu pernafasan
Blood Kaji tekanan darah pasien, nadi, akral, turgor kulit, CRT dan
adanya nyeri dada
Brain Kaji tingkat kesadaran pasien
Bladder Kaji penggunaan kateter dan nyeri saat berkemih
Bowel Kaji penggunaan NGT, mual, muntag dan puasa
Bone Kaji kekuatan otot atau adanya deformitas

c) Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


Pre Operatif
1. Ansietas berhubungan dengan prosedur infasif ditandai dengan pasien
tampak gelisah.
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan tidaknya adanya
intake makanan (puasa)

Intra Operatif
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan prosedur
anastesi ditandai dengan hipersalivasi
2. Risiko infeksi berhubungan dengan luka insisi
3. Risiko perdarahan berhubungan dengan kerusakan jaringan
4. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload
dan afterload jantung
5. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan luka insisi ditandai
dengan kerusakan jaringan

Post Operatif
1. Nyeri akut berhubungan agens cedera berhubungan melaporkan nyeri secara
verbal
2. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran post operasi
1) Rencana Intervensi Keperawatan
1. Pre Operasi
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 Ansietas berhubungan dengan Setelah diberikan asuhan NIC label (Anxiety Control): NIC label (Anxiety Control):
1. Observasi tanda verbal serta non verbal
krisis situasional (rencana keperawatan..x..jam diharapkan 1. Untuk mengetahui kecemasan
dari kecemasan
operasi) ditandai dengan ansietas dapat diatasi dengan pasien dan keluarga
2. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. untuk membuat klien lebih
mengekspresikan criteria hasil NOC label (Anxiety 3. Dorong keluarga pasien untuk
tenang
kekhawatiran, gelisah, level): mengungkapkan perasaan, ketakutan
3. untuk mengetahui tingkat
ketakutan terhadap a) Klien tampak tenang persepsi
kecemasan klien
b) Keluarga klien 4. Beri kesempatan pada keluarga untuk
konsekuensi yang tidak 4. Kecemasan klien dapat
mengatakan dapat menanyakan hal – hal yang ingin
spesifik. berkurang dengan mengetahui
menerima keaadaan klien diketahui sehubungan dengan prosedur
tentang tindakan
tindakan 5. Mengurangi kecemasan keluarga
5. Jelaskan semua prosedur yang akan
terhadap prosedur tindakan.
dilaksanakan termasuk sensasi yang
akan dirasakan selama prosedur
berlangsung.
2 Resiko kekurangan volume Setelah dilakukan tindakan NIC Label: Fluid management NIC Label: Fluid management
a. Pertahankan catatan intake dan output a. Untuk pemenuhan kebutuhan
cairan berhubungan dengan keperawatan selama …x 24 jam
yang akurat cairan klien
tidaknya adanya intake makanan pasien dapat mengetahui status
b. Monitor status hidrasi ( kelembaban b. Untuk mengetahui adanya tanda-
(puasa) cairan dengan kriteria hasil :
membran mukosa, nadi adekuat, tekanan tanda kekurangan cairan
NOC:Fluid balance
c. Untuk mengetahui TTV
a. Mempertahankan urine output darah ortostatik ), jika diperlukan
d. Untuk menentukan kebutuhan
c. Monitor vital sign
sesuai dengan usia dan BB
d. Monitor masukan makanan / cairan dan klien
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh
hitung intake kalori harian
dalam batas normal
c. Tidak ada tanda tanda dehidrasi,
elastisitas turgor kulit baik,
membran mukosa lembab, tidak
ada rasa haus yang berlebihan

2. Intra Operasi
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Ketidakefektifan bersihan NOC: Respiratory status: airway NIC : Airway Management NIC : Airway Management
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan 1. Agar pertukaran gas maksimal
jalan nafas potency
2. Untuk mengurangi sesak
ventilasi
3. Mengetahui ada tidaknya suara
2. Keluarkan sekret dengan batuk atau
a. oksigenasi pasien adekuat nafas yang abnormal
b. tidak ada tanda sianosis suction
4. Untuk memperlebar bronkus
c. sesak pasien berkurang 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya
5. Agar tidak terjadi dehidrasi
d. tidak ada pernafasan ciping hidung suara tambahan 6. Mengetahui kadar O2
e. tidah ada retraksi intercostae 4. Berikan bronkodilator NIC Label: Respiratory Monitoring
f. tidak ada suara nafas abnormal 5. Atur intake untuk cairan 1. Mengetahui
mengoptimalkan keseimbangan. ketidakabnormalan yang dialami
NOC: Vital sign status 6. Monitor respirasi dan status O2
klien
2. Mengetahui
NIC Label: Respiratory Monitoring
g. RR,Nadi, suhu dalam rentang normal 1. Catat pergerakan pola nafas klien
h. Pola, kedalaman, irama nafas normal
dada,amati kesimetrisan, penggunaan
otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
2. Monitor pola nafas :
bradipena, takipenia, kussmaul,
hiperventilasi, cheyne stokes, biot
Resiko Infeksi Setelah diberikan asuhan keperawatan NIC Label : Infection protection NIC Label : Infection protection
1. Inspeksi kulit dan mukosa membrane 1. Untuk mengetahui adanya tanda
selama …x 24 jam diharapkan tidak
terhadap kemerahan, kehangatan dan gejala infeksi
terjadi tanda-tanda infeksi dengan
2. Untuk menjaga homeostasis
ekstrem, atau drainase
criteria hasil:
2. Tingkatkan asupan cairan, dengan tepat tubuh
3. Ajarkan keluarga mengenai tanda dan 3. Terkait pengetahuan keluarga
NOC Label : Infection Severity
gejala infeksi dan melaporkan kepada untuk mengetahui tanda dan
a. Tidak terdapat tanda kemerahan
penyedia pelayan kesehatan pabila ada gejala sehingga bisa dilaporkan
b. Temperature tubuh pasien stabil
tanda dan gejala infeksi kepada petugas kesehatan apabila
c. Pasien tidak mengalami demam
menemukan tanda dan gejala
d. WBC dalam batas normal 4. Jauhkakan bunga segar dan tanaman dari
infeksi.
area klien
4. Mencegah adanya mikroorganisme
dalam tanaman yang memicu
terjadinya infeksi

Resiko Perdarahan NOC Label: Blood Loss Severity Bleeding Precaution


Dengan kriteria hasil:
1. Monitor kondisi yang dapat 1. Dapat memperkirakan dan
a. Tidak terlihat kehilangan darah
b. Tidak ada Hematuria menyebabkan perdarahan mencegah terjadinya perdarahan
c. Tekanan darah sistolik dan diastolik
2. Monitor jumlah dan kenampakan 2. Memonitor jumlah darah yang
normal
kehilangan darah hilang dapat digunakan untuk
d. Tidak terjadi Penurunan kesadaran
e. Tidak terjadi Penurunan kadar 3. Catat hemogblobin dan hematocrit menentukan jumlah caitran
darah (HGB) 4. Monitor statius intake dan output cairan pengganti
f. Tidak terjadi penurunan pembekuan 5. Monitor protein koagulasi (PT/PTT, 3. Hb dan hematocrit merupakan
darah (HCT) fibrinogen, jumlah platelet) komponen penting dalam perfusi
6. Monitor faktor yang mempengaruhi jaringan dan indicator volume
distribusi oksigen (PaO2, SaO2, dan cairan
hemoglobin serta kardiak output) 4. Mengetahui adanya dehidrasi
7. Perkirakan kemungkinan transfusi darah 5. Memastikan status pembekuan
8. Berikan produk darah darah pasien baik
6. Memastikan oksigen dapat
terdistribusi ke seluruh tubuh
7. Dapat melakukan persiapan prosuk
darah
8. Untuk mengganti kehilangan darah

Vital Signs Monitoring


1. Monitor tekanan darah, nadi, saturasi 1. Memonitor adanya gangguan
oksigen, dan status respirasi sistemik akibat perdarahan
2. Catat apabila terjadi perubahan tekanan 2. Perubahan tekanan darah secara
darah yang fluktuatif fluktuatif merupakan indikasi
3. Monitor warna, suhu dan kelembaban terjadinya perdarahan
kulit 3. Penurunan volume intravaskuler
4. Monitor adanya sianosis menurunakn perfusi perifer
4. Penurunan perfusi perifer berakibat
sianosis

Resiko penurunan curah Setelah dilakukan asuhan keperawatan NIC Label: Cardiac Care NIC Label: Cardiac Care
jantung berhubungan selama 3x24 jam, diharapkan penurunan a. Catat tanda dan gejala penurunan curah a. Dengan mengetahui gejala maka
dengan perubahan preload curah jantung klien dapat teratasi jantung. kita dapat melakukan intervensi yang
dan afterload jantung dengan : b. Monitor frekuensi tanda vital tepat.
a.NOC Label: Cardiac Pump b.Untuk mengetahui kaedaan umum
Effectiveness pasien (TTV) sehingga dapat
Dengan kriteria hasil: menentukan tindakan selanjutnya.
a. Tekanan darah sistole dan diastole
normal. (120/80 mmHg)
b. Tidak ada distensi vena leher.

Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC Label : Skin Surveillance NIC Label : Skin Surveillance
jaringan berhubungan selama 3x 24 jam, kerusakan integritas 1. Inspeksi kulit dari kemerahan, edema, 1. Untuk melihat tanda-tanda
dengan luka insisi kulit klien dapat berkurang, dengan teraba hangat. inflamasi.
ditandai dengan criteria hasil: 2. Observasi ekstremitas dari warna, 2. Untuk memantau perubahan tanda-
kerusakan jaringan temperature, edema, dan ulcer. tanda infeksi.
NOC Label: Tissue Integrity : Skin &
NIC Label : Wound Care NIC Label : Wound Care
Mucous Membran
3. Bersihkan luka dengan NS atau 3. Untuk mencegah infeksi dari
a. Klien mengatakan tidak merasakan
pembersih nontoksik. material yang menempel pada
panas lagi pada kulitnya yang
4. Berikan perawatan luka. luka.
terinfeksi
b. Tidak terlihat adanya kemerahan Jaga teknik steril dressing ketika perawatan 4. Untuk mempercepat proses

pada kulit klien yang terinfeksi luka. penyembuhan.


c. Integritas kulit klien dapat 5. Untuk mencegah infeksi
membaik dibanding keadaan
sebelumnya

3. Post Operasi
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Nyeri akut berhubungan agens Setelah dilakukan asuhan NIC LABEL : Pain Management NIC LABEL : Pain Management
1. Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi 1. Berguna dalam pengawasan
cedera berhubungan keperawatan selama ...x24 jam
nyeri. Gunakan skala nyeri dengan pasien keefektifan obat,dan membedakan
melaporkan nyeri secara verbal diharapkan nyeri klien berkurang
dari 0 (tidak ada nyeri) – 10 (nyeri paling karakteristik nyeri. Perubahan
dengan kriteria hasil:
buruk). pada karakteristik nyeri
NOC Label: Pain Level
2. Gunakan komunikasi terapeutik untuk
menunjukan terjadinya abses atau
 Pasien melaporkan nyeri
mengetahui nyeri dan respon pasien
peritonitis
berkurang (skala 5)
terhadap nyerinya 2. Berguna untuk mengetahui nyeri
 Panjang episode nyeri normal 3. Kaji dengan pasien faktor-faktor yang
dan respon nyeri pasien
(skala 5) dapat meningkatkan/mengurangi nyerinya 3. Untuk mengetahui aktivitas apa
 Ekspresi wajah terhadap nyeri 4. Kaji efek dari pengalaman nyeri terhadap
yang dapat meningkatkan dan
normal (skala 5) kualitas tidur, nafsu makan, aktivitas dan
mengurangi nyeri pasien sehingga
suasana hati
NOC Label: Pain Control perawat dapat menegakan
5. Control lingkungan sekitar pasien yang
a. Klien dapat melaporkan nyeri implementasi dengan benar
dapat memberikan respon tidak nyaman,
b. Klien dapat mendeskripsikan 4. Untuk mengetahui masalah lain
misalnya temperature ruangan,
penyebab nyeri yang ditimbulkan dari nyeri
c. Klien dapat menggunakan pencahayaan dan kebisingan 5. Untuk meminimalisir respon
6. Ajarkan tekhnik nonfarmakologis,
analgesic yang dianjurkan ketidaknyamanan pasien
(misalnya guided imageri, distraksi, 6. Berguna untuk mengurangi nyeri
relaksasi, terapi musik, massage), dan meminimalisir penggunaan
sebelum, setelah, dan jika mungkin selama terapi farmakologik
7. Mencegah terjadinya dosis yang
nyeri berlangsung, sebelum nyeri
berlebihan
meningkat, dan selama nyeri berkurang
7. Ajarkan tentang penggunaan
farmakologikal dalam mengurangi nyeri

2. Risiko cedera berhubungan Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Environmental Management NIC Label: Environmental
dengan penurunan kesadaran keperawatan selama ... x ... jam 1. Ciptakan lingkungan yang aman untuk Management
post operasi diharapkan pasien tidak mengalami pasien 1) Untuk mencegah pasien terjatuh
2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
jatuh dengan kriteria hasil: 2) Agar intervensi yang diberikan
berdasarkan tingkat fisik, fungsi kognitif
NOC Label: Risk Control sesuai dengan kondisi pasien
dan sejarah tingkah laku
a. Memonitor faktor resiko dari 3) Untuk mengurangi resiko pasien
3. Hilangkan bahaya lingkungan
lingkungan 4. Jauhkan objek berbahaya dari terjatuh
b. Mengembangkan strategi
lingkungan 4) Untuk mengurangi resiko pasien
dalam mengontrol faktor 5. Menjaga dengan siderail jika diperlukan
terjatuh
6. Sediakan tempat tidur yang rendah jika
resiko yang efektif
5) Untuk mencegah pasien terjatuh
c. Mengatur strategi dalam diperlukan
dari tempat tidur
mengontrol faktor resiko
6) Untuk mencegah pasien terjatuh
dari tempat tidur
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., et al. (Eds.). (2013). Nursing Intervenstion Classification (NIC) Sixth
Edition. Mosby: United State America

Doenges, M., dkk. (2002). Rencana asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta. EGC.
Ester, Monica. 2001. Keperawtan medikal Bedah Pendekatan Sistem Gastrointestinal.
Jakarta: EGC

GoDok. (2018). Kolelitiasis: Penyebab, Gejala dan Penanganan. Retrieved from


https://www.go-dok.com/kolelitiasis-penyebab-gejala-dan-penanganan/ diakses
pada tanggal 19 Agustus 2018
Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. (Eds.). (2014). Nanda International Nursing
Diagnosis: Definition & Classification, 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell

Jasa Jurnal. (2016). Epidemiologi dan Etiologi Kolelitiasis. Retrieved from


http://www.jasajurnal.com/epidemiologi-dan-etiologi-kolelitiasis-batu-empedu-
part-1/ (Diakses pada tanggal 19 Agustus 2018)

Kuncara, H. Y. (2009). Aplikasi klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen, edisi


2. Jakarta: EGC
L.A, Lesmana. (1999). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
Moorhead, S. et al. (Eds.). (2008). Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition.
Mosby: United State America

Muttaqin, A., Sari, K. (2010). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Newsletter, N. P. (2011). Batu Empedu. Jakarta: PT.Nucleus Precise


Price, Sylvia Anderson. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat R, de Jong W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth vol. 1, edisi 8. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai