Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN


INKONTENENSIA URINE

I. KONSEP DASAR INKONTENENSIA URINE


A. Pengertian
Inkontinensia didefinisikan sebagai berkemih ( defekasi ) di luar
kesadaran, pada waktu dan tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan
masalah kebersihan atau social ( Watson, 1991 ).
Terdapat dua aspek social yang sangat penting dalam definisi
inkontinensia ini. Inkontinensia yang diderita oleh klien mungkin tidak
menimbulkan sejumlah masalah yang nyata bagi teman atau keluarganya.
Aspek social yang lain yaitu adanya konsekuensi yang ditimbulkan
inkontinensia terhadap individu yang mengalminya, antara lain klien akan
kehilangan harga diri, juga merasa terisolasi dan depresi.
B. Klasifikasi
Menurut Hidayat, 2006 berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin
dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
1. Inkontinensia urin akut ( Transient incontinence )
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan
dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenic
dimana menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya dikenal
dengan akronim DIAPPERS yaitu : delirium, infeksi dan inflamasi,
atrophic vaginitis, psikologi dan pharmacology, excessive urin production
(produksi urin yang berlebihan), restriksi mobilitas dan stool impaction
(impaksi feses).
2. Inkontinensia urin kronik ( Persisten )
Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan
berlangsung lama ( lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan
mendasar yang melatar belakangi Inkontinensia urin kronik (persisten)
yaitu : menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena
kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot
detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi
beberapa tipe (stress, urge, overflow, mixed). Berikut ini adalah
penjelasan dari masing-masing tipe Inkontinensia urin kronik atau
persisten :
a. Inkontinensia urin tipe stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol
keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot
dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Gejalanya antara lain
kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal
lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat
dilakukan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan
beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.
b. Inkontinensia urin tipe urge
Timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil,
yang mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini
ditandai dengan ketidak mampuan menunda berkemih setelah sensasi
berkemih muncul. Manifestasinya dapat berupa perasaan ingin
kencing yang mendadak ( urge ), kencing berulang kali ( frekuensi )
dan kencing di malam hari ( nokturia ).
c. Inkontinensia urin tipe overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu
banyak di dalam kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor
kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan
saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang,
atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas
setelah kencing ( merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih ),
urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah. Inkontinensia tipe
overflow ini paling banyak terjadi pada pria dan jarang terjadi pada
wanita.

d. Inkontinensia tipe campuran (Mixed)


Merupakan kombinasi dari setiap jenis inkontinensia urin di atas.
Kombinasi yangpaling umum adalah tipe campuran inkontinensia tipe
stress dan tipe urgensi atau tipe stress dan tipe fungsional.
C. Etiologi
Terdapat sejumlah alasan terjadinya inkontinensia, baik yang disebabkan
oleh semua factor diatas maupun masalah klinis yang berhubungan. Alasan
utama pada lansia adalah adanya “ ketidakstabilan kandung kemih “.
Beberapa kerusakan persyarafan mengakibatkan sesorang tidak mampu
mencegah kontraksi otot kandung kemih secara efektif ( otot detrusor ) dan
mungkin juga dipersulit oleh masalah lain, seperti keterbatasan gerak atau
konfusi. Keinginan untuk miksi datang sangat cepat dan sangat mendesak
pada seseorang sehingga penderita tidak sempat pergi ke toilet, akibatnya
terjadi inkontinensia, kejadian yang sama mungkin dialami pada saat tidur.
Pada wanita, kelemahan otot spingter pada outlet sampai kandung kemih
seringkali disebabkan oleh kelahiran multiple sehingga pengeluaran urine dari
kandung kemih tidak mampu dicegah selama masa peningkatan tekanan pada
kandung kemih. Adanya tekanan di dalam abdomen, seperti bersin, batuk,
atau saat latihan juga merupakan factor konstribusi.
Pembesaran kelenjar prostat pada pria adalah penyabab yang paling
umum terjadinya obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini
menyebabkan inkontinensia karena adanya mekanisme overflow. Namun,
inkontinensia ini dapat juga disebabkan oleh adanya obstruksi yang berakibat
konstipasi dan juga adanya massa maligna ( cancer ) dalam pelvis yang
dialami oleh pria dan wanita. Akibat dari obstruksi, tonus kandung kemih
akan menghilang sehingga disebut kandung kemih atonik. Kandung kemih
yang kondisinya penuh gagal berkontraksi, akan tetapi kemudian
menyebabkan overflow, sehingga terjadi inkontinensia.
Apapun penyebabnya, inkontinensia dapat terjadi saat tekanan urine di
dalam kandung kemih menguasai kemampuan otot spingter internal dan
eksternal ( yang berturut – turut baik secara sadar maupun tidak sadar ) untuk
menahan urine, tetap berada dalam kandung kemih.
D. Pathway
E. Manifestasi Klinis
Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :
1. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari
normal bila di bandingkan denga pola yang lazim di miliki seseorang atau
lebih sering dari normal yang umumnya di terima, yaitu setiap 3-6 jam
sekali.
2. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam
waktu 24 jam.
3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
4. Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun
penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi
penuh seperti keadaan normal.
5. Urge inkontinensia yaitu dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan
tidak dapat ditahan sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke toilet
urine telah keluar lebih dulu.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinallisis, digunakan untuk melihat apakan ada bakteri, darah dan
glukosa dalam urine.
2. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur
laju aliran ketika pasien berkemih.
3. Cysometri digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung
kemih dengan mengukur efisiensi reflex otot detrusor, tekanan dan
kapasitas intravesikal dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan
panas.
4. Urografi ekskretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
5. Volding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan
kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, striktur
uretra, dan tahap gangguan uretra prostatic stenosis ( pada pria ).
6. Uretrografi retrograde, digunakan hampir secara ekslusif pada pria,
membantu diagnosis striktur dan obstruksi orifisium uretra.
7. Elektromiografi sfingter pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran
prostat atau nyeri, kemungkinan menanndakan hipertrofi prostat jinak atau
infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang
mungkin menyebabkan inkontinensia.
8. Pemeriksaan vagina dapat memperlihatkan kekeringan vagina atau
vaginitis atrofi, yang menandakan kekuranagn estrogen.
9. Katerisasi residu pescakemih digunakan untuk menentukan luasnya
pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam
kandung kemih setelah pasien berkemih.
G. Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih
2. Ulkus pada kulit
3. Problem tidur
4. Depresi dan kondisi medis lainnya.
H. Penatalaksanaan
1. Terapi non farmakologis
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan
untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk
berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu
yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
b. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia
dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
c. Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot
dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara
mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :
 Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan
terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10
kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan
berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
 Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar
dilakukan ± 10 kali.
 Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan
urethra dapat tertutup dengan baik.
2. Terapi farmakologis
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis,
yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.Pada sfingter
relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan
secara singkat.
3. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan
untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor,
batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
4. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah
pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
1) Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana
pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun
pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka
lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air
seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat
menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
2) Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin
karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi
pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara
yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk
mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien
yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini
juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
II. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa
medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan),
masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran jumlah
cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan
diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
b. Riwayat kesehatan dahulu.
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat
urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
c. Riwayat kesehatan keluarga.
d. Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia.
b. Pemeriksaan Sistem
1. B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
2. B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3. B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4. B4 (bladder)
 Inspeksi:
Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam
kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi
pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus
uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.
 Palpasi
Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa
terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu
kencing.

5. B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
6. B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan sensori motor.
2. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh, perubahan
keterlibatan sosial.
3. Ansietas b/d perubahan dalam status kesehatan.
C. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Kriteria hasil Intervensi Aktivitas NIC


keperawatan berdasarkan NOC keperawatan
berdasarkan NIC
Gangguan Kriteria Hasil: Urinary retention 1. Lakukan penilaian
eliminasi urine 1. Kandung kemih care kemih yang komprehensif
b/d gangguan kosong secara berfokus pada
sensori motor penuh. inkontinensia(misalnya,
2. Tidak ada residu output urin, pola berkemih,
urine >100-200 cc. fungsikognitif)
3. Intake cairan 2. Pantau penggunaan obat
dalam rentang dengan sifat antikolinergik
normal. 3. Memantau intake dan
4. Balance cairan output
seimbang. 4. Memantau tingkat
distensi kandung kemih
dengan palpasi atau perkusi
5. Bantu dengan toilet
secara berkala
6. Kateterisasi
Gangguan citra Kriteria Hasil: Body image 1. kaji secara verbal dan
tubuh b/d 1. Body image enhancement non verbal respon klien
kehilangan positif terhadap tubuhnya
fungsi tubuh, 2. Mampu 2. jelaskan tentang
perubahan mengidentifikasi pengobatan dan perawatan
keterlibatan kekuatan personal penyakit
sosial. 3. Mendeskripsik 3. identifikasi arti
an secara factual pengurangan melalui
perubahan fungsi pemakaian alat bantu.
tubuh 4. Fasilitasi kontak dengan
4. Mempertahank individu lain dalam kelompok
an interaksi sosial lain
Ansietas b/d Kriteria hasil: Anxiety reduction 1. Gunakan pendekatan
perubahan 1. klien mampu (penurunan yang menenangkan.
dalam status mengidentifikasi dan kecemasan) 2. Jelaskan semua
kesehatan mengungkapkan prosedur dan apa yang
gejala cemas. dirasakan selama prosedur.
2. Mengidentifika 3. Pahami prespektif klien
si, mengungkapakan terhadap situasi stress.
dan menunjukkan 4. Temani pasien untuk
teknik untuk memberikan keamanan dan
mengontrol cemas. mengurangi takut.
3. Postur tubuh, 5. Dorong keluarga untuk
ekspresi wajah, menemani pasien.
bahasa tubuh dan
tingkat aktifitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta. EGC

Doengoes, Marlynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta. EGC

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 3.
Jogjakarta: Mediaction.

Anda mungkin juga menyukai