Anda di halaman 1dari 18

Asuhan Keperawatan Tentang Trauma Melahirkan

(Inkontinensia Urine, Fistula Genetalia)

A. Inkontinensia Urine
1. Definisi Inkontinensia urin

Inkontinensia urin adalah keluarnya urin secara tidak terkendali sehingga menimbulkan
masalah fisik Uatuh. dekubitus akibat kulit lembab) dan psikososial (higiene, isolasi sosial.
depresi), serta mengakibatkan penurunan kualitas hidup. Inkontinensia urin sering ditemukan
pada pasien geriatri, namun usia lanjut bukanlah penyebab inkontinensia urin.

Inkontinensia urin adalah sebuah gejala, bukan sebuah penyakit. Kondisi tersebut dapat
memberi dampak bermakna dalam kehidupan klien, menciptakan masalah fisik seperti
kerusakan kulit dan kemungkinan menyebabkan masalah fisiko sosial seperti rasa malu, isolasi
dan menarik diri dari pergaulan sosial (Kozier,2010).

2. Etiologi Inkontinensia urin

Menurut Soeparman & Wapadji Sarwono, (2001) dalam Aspiani, (2014) faktor penyebab
inkontinensia urin antara lain :

a. Poliuria
Poliuria merupakan kelainan frekuensi buang air kecil karena kelebihan
produksi urin. Pada poliuria volume urin dalam 24 jam meningkat melebihi batas
normal karena gangguan fungsi ginjal dalam mengonsentrasi urin.
b. Nokturia
Kondisi sering berkemih pada malam hari disebut dengan nokturia. Nokturia
merupakan salah satu indikasi adanya prolaps kandung kemih.
c. Faktor usia
Inkontinensia urin lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun karena
terjadinya penurunan tonus otot pada saluran kemih.
d. Penurunan produksi estrogen (pada wanita)
Penurunan produksi estrogen dapat menyebabkan atropi jaringan uretra
sehingga uretra menjadi kaku dan tidak elastis.
e. Operasi pengangkatan rahim
Pada wanita, kandung kemih dan rahim didukung oleh beberapa otot yang sama.
Ketika rahim diangkat, otot-otot dasar panggul tersebut dapat mengalami kerusakan,
sehingga memicu inkontinensia.
f. Frekuensi melahirkan
Melahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
g. Merokok
Merokok dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek nikotin
pada dinding kandung kemih.
h. Konsumsi alkohol dan kafein
Mengonsumsi alkohol dan kafein dapat menyebabkan inkontinensia urin karena
keduanya bersifat diuretik sehingga dapat meningkatkan frekuensi berkemih.
i. Obesitas
Berat badan yang berlebih meningkatkan resiko terkena inkontinensia urin
karena meningkatnya tekanan intra abdomen dan kandung kemih. Tekanan intra
abdomen menyebabkan panjang uretra menjadi lebih pendek dan melemahnya tonus
otot.
j. Infeksi saluran kemih
Gejala pada orang yang mengalami infeksi saluran kemih biasanya adalah
peningkatan frekuensi berkemih. Frekuensi berkemih yang semakin banyak akan
menyebabkan melemahnya otot pada kandung kemih sehingga dapat terjadi
inkontinensia urin.

3. Klasifikasi Inkontinensia urin

Inkontinensia Urine dikelompokkan menjadi lima kelompok berdasarkan gejala dan tata
laksana yang akan diberikan, yaitu:

a. Inkontinensia Urine tekanan (Stress urinary incontinence)


Gejala: IU pada saat aktivitas fisik seperti batuk, bersin, tertawa, olahraga, atau
mengangkat beban berat
b. Inkontinensia Urine desakan (Urgency urinary incontinence)
Gejala: IU yang ditandai dengan desakan berkemih yang biasanya disertai keluhan
sering berkemih siang dan malam hari
c. Inkontinensia Urine campuran (Mixed urinary incontinence)
Gejala: Gabungan antara IU tekanan dan desakan
d. Inkontinensia Urine luapan (Overflow urinary incontinence)
Gejala:: IU yang ditandai dengan ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih,
seperti mengedan, pancaran urin lemah, tidak lampias, dan kandung kemih terasa
penuh
e. Inkontinensia Urine terus-menerus/kontinua (Continuous urinary incontinence)
Gejala: Keluarnya urine terus menerus.

4. Tanda dan Gejala Inkontinesia Urin

Gejala dan tanda mayor yang muncul Inkontinensia Urin antaralain keluarnya urin tanpa
distensi, nokturia, residu urin 100 ml. Adapun kondisi yang terkait dengan inkontinensia urin
adalah asma, alergi, penyakit neurologis, cedera kepala, multiple sklerosis demielinisasi
syaraf, neuropati alcohol.

5. Komplikasi Inkontinensia urin

Inkontinensia dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti infeksi saluran kemih,


infeksi kulit daerah kemaluan, gangguan tidur, dekubitus, dan gejala ruam. Selain itu, masalah
psikososial seperti dijauhi orang lain karena berbau pesing, minder, tidak percaya diri, mudah
marah juga sering terjadi dan hal ini berakibat pada depresi dan isolasi sosial.

6. Penatalaksanaan Inkontinensia urin


a. Penatalaksanaan Farmakologi

b. Penanganan Khusus Sesuai Tipe


1) Tipe urgensi (overactive bladder): latihan otot dasar panggul, bladder training,
schedule toileting {berkemih tiap 2-4 jam), obat antimuskarinik/ antikolinergik
2) Tipe stres: latihan otot dasar panggul (pilihan utama), bladder training, obat
agonis a (namun hati-hati penggunaannya pada usia lanjut);
3) Tipe overflow: hilangkan sumbatan yang ada, kateterisasi intermiten atau
menetap, serta bladder retraining. Bladder training adalah terapi yang
memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik relaksasi atau
distraksi sehingga frekuensinya menjadi 3-4 jam sekali. Pasien diajarkan untuk
berkemih dengan interval yang bertahap, mulai dari setiap jam hingga 2-3 jam.

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Kultur Urine
b. IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula
c. Sistoskopi jika dicurigai terdapat batu atau neoplasma kandung kemih
d. Pemeriksan speculum vagina ± sistogram jika dicurigai terdapat fistula
vesilovagina.
e. Uji Uro Dinamik
f. Q-Tip Test
Tes ini dilakukan dengan menginsersikan sebuah cotton swab (Q-tip)
yang steril kedalam uretra wanita lalu kekandung kemih. Secara perlahan tarik
kembali hingga leher dari Q-tip berada di leherkandungkemih. Pasien lalu
diminta untuk melakukan Valsavamanuver atau mengkontraksikan otot
abdominalnya. Bila sudut yang terjadi lebih dari 35 derajat dengan melakukan
hal tersebut maka hal tersebut mengindikasikan adanya hipermobilitas uretra
(tipe II stress incontinence). Akan tetapi karena laksiti mempunyai nilai yang
kecil dalam menentukan penyebab inkontinensia, maka kegunaan tes ini untuk
diagnostic menjadi sangat terbatas.
g. Marshall Test (Marshall -Bonney test)
Jika pemeriksa mendeteksi keluarnya urin bersamaan dengan adanya
kontraksi otot abdomen, maka uji ini dapat dilakukan untuk mengetahui apakah
kebocoran dapat dicegah dengan cara menstabilisasi dasar kandung kemih
sehingga mencegah herniasime lalu diafragma urogenital atau tidak.
h. Pad Test
Merupakan penilaian semi objektif untuk mengetahui apakah cairan yang
keluar adalah urin, seberapa banyak keluarnya urin dan dapat digunakan untuk
memantau keberhasilan terapi inkontinensia. Bermanfaat sebagai tambah
anamnesa pasien dan pemeriksaan fisik.
Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urin
Pengkajian
1. Identitas Klien inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung
terjadi pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan,
tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat
ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan
cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan
dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih
sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
b) Riwayat Kesehatan Klien
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah
terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan,
penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon
dari terjadinya inkontinensia.
b. Pemeriksaan Persistem :
1. B1 (Breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
2. B2 (Blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah.
3. B3 (Brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh.
4. B4 (Bladder)
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri
saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi: Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa
terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
5. B5 (Bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan. Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
6. B6 (Bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
- Hematuria
- Poliuria
- Bakteriuria
b. Pemeriksaan Radiografi
1. IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
2. VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan
fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat),
mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
c. Kultur Urine
1. Steril
2. Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml)
3. Organisme

Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan Iritasi Kulit.
2. Ansietas berhubungan dengan Status Kesehatan.
3. Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan Kelelahan.
Intervensi
Diagnosa 1 : Kerusakan Integritas Kulit berhubungan Iritasi Kulit
Tujuan : Integritas kulit pasien menjadi baik.
Kriteria hasil :
a. Tidak ada luka atau lesi pada kulit.
b. Mampu melindungi kulit dan mempertahakan kelembaban kulit.
c. Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka.
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya cedera berulang.

No Intervensi Rasional
1. Menganjurkan pasien untuk Membantu mengurangi
menggunakan pakaian yang kemungkinan adanya lesi.
longgar
2. Menjaga kebersihan kulit agar Membantu agar kulit pasien tetap
tetap bersih dan lembab terjaga.
3. Monitor kulit akan adanya Mengetahui adanya kemerahan
kemerahan atau tidak pada kulit pasien
4. Memberikan posisi yang Mempercepat penyembuhan luka
mengurangi tekanan pada luka pada pasien

Diagnosa 2 : Ansietas berhubungan dengan status kesehatan.


Tujuan : Pasien dapat mengatasi kecemasannya.
Kriteria hasil :
a. Pasien mampu mengidentifikasi dan menunjukkan teknik untuk mengontrol
cemas.
b. Pasien mampu mengungkapkan gejala cemas.
c. TTV dalam batas normal.
d. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh menunjukkan berkurangnya
kecemasan.
No Intervensi Rasional
1. Menggunakan pendekatan yang Agar terjalin pendekatan yang
menenangkan diinginkan
2. Mendukung pasien untuk Membantu mengurangi kece-
mengungkapkan perasaan ketakutan masan.
dan persepsi

3. Menemani pasien untuk Agar pasien tidak merasa kesepian.


memberikan keamanan dan
mengurangi rasa takut.

Diagnosa 3 : Gangguan pola tidur berhubungan dengan kelelahan.


Tujuan : Pola tidur pasien menjadi lebih teratur.
Kriteria hasil :
a. Jumlah jam tidur dalam batas normal.
b. Kualitas tidur dalam batas normal.
c. Perasaan fresh sesudah tidur atau istirahat.
No Intervensi Rasional
1. Menjelaskan pentingnya tidur yang Agar pasien mengetahui pentingnya
adekuat pola tidur yang baik.

2. Menciptakan lingkungan yang Agar pasien merasa nyaman saat


nyaman beristirahat.

3. Mengkolaborasi pemberian obat tidur Agar pasien dapat beristirahat.

Implementasi
Pada tahapan implementasi ini diharapkan tindakan yang dilakukan pada pasien
adalah sesuatu yang tepat, tentunya sesuai dengan rencana tindakan yang sudah
disusun agar menghasilkan jawaban atas tujuan yang diinginkan.

Evaluasi
1. Iritasi kulit dan luka pada kulit sempat dialami pasien sudah membaik.
2. Proses penyembuhan lukanya dapat teratasi.
3. Pasien mampu mengidentifikasi dan menunjukkan teknik untuk mengontrol
cemasnya.
4. Pasien menjalani pola hidup sehat dan bahagia, serat mengajak keluarga dan
orang terdekat untuk memulai pola hidup sehat sedini mungkin.
5. Keluarga terus melakukan dukungan dan mendampingi perawatan pasien tanpa
berat hati.
Kasus Pemicu

Perempuan usia 27 tahun baru melahirkan 1 bulan yang lalu datang ke puskesmas dengan
keluhan mengeluarkan cairan berbau busuk dari kemaluan, gatal di kemaluan dan merasa nyeri
saat berkemih semejak 2 minggu yang lalu. Hasil pemeriksaan didapatkan feses di saluran
vagina, kemaluan memerah dan berbau.
B. Fistula Genetalia
1. Definisi Fistula genital

Fistula adalah saluran abnormal yang berada di antara 2 buah organ atau antara organ
dan bagian luar tubuh.

Fistula genitalia dalah terjadinya hubungan antara traktus genitalia dengan traktus
urinarius atau, gastrointestinal dan dapat ditemukan satu atau gabungan dua kelainan secara
bersamaan.

2. Klasifikasi Fistula Genetalia


a. Fistula Uretrovaginalis: terdapat fistula antara uretra dan vagina, dapat muncul
akibat anomali kongenital, bedah ginekologis, terapi radiasi maupun injeksi.
b. Fistula Vesikovaginal fistula : fistula traktus urinarius yang paling umum. Terbentuk
di dinding vagina anterior, terjadi karena cedera selama histerektomi. Urine keluar
melalui vagina menyebabkan inkontinensia komplek atau parsial.
c. Fistula Rektovaginal fistula: disebabkan oleh infeksi pada episiotomy, luasnya
radiasi atau kanker serviks. Perbaikan dapat dilakukan dengan upaya pembedahan.

3. Etiologi Fistula Genetalia


a. Fistula Vesiko Vagina
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Fistula Vesiko Vagina antara
lain :
2. Komplikasi Obstetrik, yaitu terjadi karena persalinan.
a) Karena robekan oleh forceps, alat-alat yang meleset atau karena sectio
sesare.
b) Karena nekrosis tekanan, dimana jaringan tertekan lama antara kepala
anak dan sympisis seperti pada persalinan dengan panggul sempit,
hydrocepalus atau kelainan letak. Kalau pembukaan belum lengkap
dapat terjadi fistula cervicalis atau fistel ureter, sedangkan pada
pembukaan lengkap biasanya terjadi fistula vesico vaginalis.
Pengawasan kehamilan yang baik disertai pimpinan dan penanganan
persalinan yang baik pula akan mengurangi jumlah fistel akibat
persalinan. Fistel karena perlukaan atau robekan terjadi segera setelah
partus, sedangkan fistel karena nekrosis (partus lama) terjadi 4-7 hari
post partum.
3. Operasi Ginekologi, terjadi pada :
a) Karsinoma, terutama karsinoma servisis uteri.
b) Karena penyinaran : baru timbul 2-5 tahun setelah penyinaran.
c) Karena operasi ginekologis : pada histerektomi abdominal dan vaginal
atau operasi untuk prolaps dapat terjadi perlukaan vesika urinaria. Pada
histerektomi totalis dapat terjadi lesi dari ureter atau kandung kemih.
4. Fistula Traumatik, terjadi pada :
a) Pada abortus kriminalis
b) Perlukaan oleh benda-benda runcing, misalnya karena terjatuh pada
benda yang runcing.
c) Karena alat-alat : kateter, sonde, kuret
5. Penyebab lain yang jarang ditemukan seperti kondisi peradangan saluran
pencernaan, penyakit chronis, trauma yang berasal dari benda asing dan
kelainan kongenital.
b. Fistula Recto Vaginal
2) Cedera selama proses melahirkan
3) Penyakit Crohn atau penyakit peradangan usus lainnya.
4) Pengobatan kanker atau radiasi di daerah pinggul.
5) Operasi yang melibatkan vagina, perineum, rektum dan anus berikut
komplikasinya.
6) Penyebab lainnya seperti infeksi anus atau rektum; diverkulitis; ulcerative
colitis; atau cedera vagina lain yang tidak disebabkan proses melahirkan.

4. Pemeriksaan Diagnostik

a. Tes pewarnaan Urine (Test Metilen Biru)


Dilakukan jika dengan pemeriksaan Spekulum lokasi Fistel sukar ditentukan.
Beberapa kasa diletakkan dalam vagina, kemudian kandung kemih diisi dengan
metilen biru melalui kateter sebanyak 30-50 cc. Setelah 3 – 5 menit kasa dalam
vagina dikeluarkan satu per satu dengan mudah dapat terlihat adanya cairan metilen
biru dan sekaligus dapat mengetahui lokasi Fistula Vesiko Vagina.
b. Cara lain yang hampir sama yaitu ( Test Tampon Moir )
Disini digunakan untuk membedakan antara Fistula Utero Vagina yang kecil dan
Fistula Vesiko Vagina.
Caranya : 150 – 200 cc larutan metilen biru dimasukkan dalam kandung kemih,
sebelumnya sudah dimasukkan 3 tampon dalam vagina. Pasien kemudian disuruh
jalan-jalan selama 10-15 menit, kemudian tampon dikeluarkan. Jika tampon bagian
bawah basah dan berwarna biru maka kebocoran dari urethra. Jika bagian tengah
basah dan berwarna kebiruan berarti dari Fistula Vesiko Vagina. Jika bagian atas
yang basah tetapi tidak berwarna biru berarti dari ureter.
c. Endoskopi ( Cystoscopy )
Dapat membedakan lokasi dan ukuran Fistel serta derajat reaksi radang sekitar
Fistel. Banyak Fistel yang terjadi sesudah tindakan histerektomi dan lokasi
biasanya dibelakang cela intra uterin dan berhubungan dengan dinding anterior
vagina.
d. Pemeriksaan Radiologis
IVP dilakukan untuk membedakan Fistula Vesiko Vagina atau Obstruksi Ureter
dengan retrograde Pyelogram paling bermakna untuk menentukan adanya Fistula
Vesiko Vagina. Retrograde Pyelogram dilakukan jika pada IVP ditemukan
keadaan yang abnormal atau lokasi Fistula sukar ditentukan.
Asuhan Keperawatan Fistula Genetalia
Pengkajian
Dilaksanakan pada klien dengan kelainan menstruasi selain dilakukan pengkajian
secara umum, juga dilakukan pengkajian khusus yang ada hubungannya dengan
kelainan menstruasi, adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah :
1) Pertama kali mendapat menstruasi, lama menstruasi, banyaknya darah, siklus
teratur atau tidak dan beberapa hari siklus.
2) Ada tidakannya rasa nyeri saat menstruasi.
3) Riwayat keluarga, apakah ada yang mempunyai penyakit yang sama.
4) Riwayat Obstetri
5) Riwayat Perkawinan
6) Kebiasaan hidup sehari-hari
7) Penyakit yang pernah di derita
8) Pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit dan perawatan.
9) Gejala gastro intestinal : tidak nafsu makan, mual, muntah.
10) Ada atau tidaknya pusing, sakit kepala, kurang konsentrasi.
11) Adanya kelelahan, banyak keringat.

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, proses inflamasi.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh, proses
pembedahan.
3. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

Intervensi
Diagnosa 1 : Nyeri b.d iritasi mukosa, proses inflamasi
Tujuan : Dapat mengatasi nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Kriteria hasil :
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
nonfarmokologi untuk mengurangi nyeri).
b. Menyatakan rasa nyaman saat nyeri berkurang.
c. Mampu mengenali skala nyeri.
d. Tidak mengalami gangguan tidur.
No Intervensi Rasional
1. Melakukan pengkajian nyeri. Mengetahui skala nyeri.

2. Mengobservasi reaksi komunikasi Mengetahui pengalaman nyeri


terapeutik untuk mengetahui pasien.
pengalaman nyeri pasien.

3. Memberikan informasi tentang Agar pasien mengetahui tentang


nyeri. rasa nyerinya.

Diagnosa 2 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.
Tujuan : Pasien tidak mengalami infeksi.
Kriteria hasil :
a. Pasien bebas dari gejala infeksi.
b. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.
c. Menunjukkan perilaku hidup sehat.
No Intervensi Rasional

1. Bersihkan lingkungan setelah Agar lingkungan pasien bersih.


dipakai pasien.

2. Membatasi pengunjung bila perlu. Agar pasien tidak terkontaminasi


virus dari luar.

3. Cuci tangan sesudah dan sebelum Mengurangi kemungkinan pasien


melakukan tindakan keperawatan. terkontaminasi dari kuman yang
berada ditangan.

Diagnosa 3 : Ansietas berhubungan dengan status kesehatan.


Tujuan : Pasien dapat mengatasi kecemasannya.
Kriteria hasil :
a. Pasien mampu mengidentifikasi dan menunjukkan teknik untuk mengontrol
cemas.
b. Pasien mampu mengungkapkan gejala cemas.
c. TTV dalam batas normal.
d. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh menunjukkan berkurangnya
kecemasan.
No Intervensi Rasional

1. Menggunakan pendekatan yang Agar terjalin pendekatan yang


menenangkan diinginkan

2. Mendukung pasien untuk Membantu mengurangi kece-


mengungkapkan perasaan ketakutan masan.
dan persepsi

3. Menemani pasien untuk Agar pasien tidak merasa


memberikan keamanan dan kesepian.
mengurangi rasa takut.

3.2.2 Evaluasi
1. Rasa nyeri berkurang.
2. Klien merasa nyaman.
3. Klien dapat menggunakan obat dengan benar.
Rasa cemas berkurang dengan pengertian yang telah diberikan
DAFTAR PUSTAKA

Tanto, C.,dkk. (2014). Kapita Selekta Edisi IV Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius

Aspiani, R.Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Trans Info Media

Barbara, Kozier dkk. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC.

Potter, P.A, Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik.Edisi 4.Volume 2.Jakarta:EGC

PERKINA. (2018). Panduan Tata Laksana Urine Pada Dewasa Edisi II. Jakarta: Ikatan Ahli
Urologi Indonesia

Santoso, B.I. (2009). Fistula Genitalia, Urogenikologi l, Uriginikologi Rekonstruksi Obstet


dan ginekol. Jakarta: FK-UI

Nurarif, A.H,. Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis &NANDA NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 1. Jogjakarta: Mediaction Publishing.
Suyanto, S. (2019). Inkontinensia Urin pada Lansia Perempuan. Jurnal Keperawatan dan
Kesehatan Masyarakat Cendekia Utama, 8(2), 127-132.

Karjoyo, J. D., Pangemanan, D., & Onibala, F. (2017). Pengaruh Senam Kegel Terhadap
Frekuensi Inkontinensia Urine Pada Lanjut Usia Di Wilayah Kerja Puskesmas
Tumpaan Minahasa Selatan. Jurnal Keperawatan, 5(1).

Anda mungkin juga menyukai