Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH INKONTINENSIA URINE POSTPARTUM

DI SUSUN OLEH :

Fahdia Gusti Rahayu

Fernando

Mayang Safitri

Nanda Ardini

Oriza Sativa

Sri Ayu Novia

Zulfira Nur halimah

DOSEN PEMBIMBING:

Ns.Mera Delima,M.Kep

Program Studi Sarjana Keperawatan

TA 2020/2021

1
INKONTINENSIA URINE POSTPARTUM

A. Latar Belakang
Inkontinensia urine merupakan pengeluaran urine secara tidak sadar, sering
pada orang tua dan menyebabkan meningkatnya resiko infeksi saluran kemih,
masalah psikologis, dan isolasi sosial. Inkontinensia cenderung tidak dilaporkan,
karena penderita merasa malu dan juga menganggap tidak ada yang dapat menolong
nya dari penelitian pada populasi lanjut usia dari masyarakat, didapatkan 75% dari
pria dan 12% dari wanita diatas 70 tahun mengalami inkontinensia urine. Sedangkan
mereka yang dirawat di psikogeriatri 15-50% menderita inkontinensia urine.
Inkontinensia dibagi menjadi inkontinensia akut, dan inkontinensia kronik.
Inkontinensia akut atau transien bersifat tiba-tiba, biasanya berhubungan
dengan kondisi pengobatan atau pembedahan. Penyebab inkontinensia akut antara lain
mobilitas terbatas, pecal impaction, delirium, infeksi saluran kemih, DM tak
terkontrol, hiperkalsemia pengobatan anti kolinergik/beta adrenergik/alpha loker,
diuretic, psikotropic, narkotik atau alkohol.
Inkontinensia kronik atau persisten dibagi menjadi stress inkontinensia, urge
inkontinensia, overflow inkontinensia dan fungsional dan fungsional inkontinensia.
Stress inkontinensia biasa terjadi pada lansia wanita. Terjadi akibat peningkatan yang
tiba-tiba pada tekanan intraabdmomen akibat adanya kelemahan otot-otot disekitar
uretra karena kehamilan. Kelahiran pervagina, trauma pembedahan, obesitas dan
batuk kronik. Pada pria stress inkontinensia tidak biasa terjadi tetapi dapat terjadi
apabila ada pembedahan prostate dan terapi radiasi. Urgeinkontinensia pada lansia
biasanya dihubungkan dengan ketidakseimbangan otot detrusor/hiperrefleksia akibat
dari cystitis, urethritis, tumor, batu, juga stroke, dementia dan penyakit parkinson
digubungkan dengan nocturia. Overflow inkontinensia ditandai dengan keluhan sering
miksi dengan volume urine sedikit, sulit memulai miksi dan merasa tidak puas.
Biasanya terjadi pada neuropati diabetic injury tulang belakang, hipertropi prostat dan
multiple sklerosis.
Dari data-data tersebut, maka kami kelompok pada kesempatan kali ini
membahas tentang masalah pada lansia dengan inkontinensia urin

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari asuhan keperawatan ini adalah :
1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran tentang Asuhan Keperawatan Gerontik dengan Gangguan
Sistem Perkemihan : Inkontinensia Urin
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan gambaran tentang Konsep Dasar Medis dalam Asuhan
Keperawatan Pada Anak dengan Asuhan Keperawatan Gerontik dengan
Gangguan Sistem Perkemihan : Inkontinensia Urin

2
b. Memberikan gambaran tentang Konsep Dasar Keperawatan meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan

BAB II
LANDASAN TEORI

A. KONSEP DASAR MEDIK


1. Definisi
Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan dasar panggul melemah atau rusak
sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik. Pada proses persalinan, otot-otot
dasar panggul mengalami tekanan langsung dengan bagian terbawah janin,
bersamaan dengan tekanan ke bawah yang berasal dari tenaga meneran ibu.
Banyak wanita mengalami kebocoran urine yang tidak dapat dikendalikan akibat
cedera saat melahirkan.1
Kondisi-kondisi pada ibu post partum yang mengganggu pengontrolan urine
meliputi inkontinensia urine stres, inkontinensia urine desakan, trigonitis, sistisis,
kondisi patologis pada korda spinalis, dan abnormalitas traktus urinarius
kongenital. Komplikasi lain yang bisa timbul akibat proses persalinan adalah
retensi urine. 2
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya
kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada
rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada
suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi
saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu
jam pertama sampai beberapa hari post partum. 3
Retensi urin merupakan fenomana yang biasa terjadi pada ibu postpartum. Hal ini
disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah penekanan kepala janin ke uretra
dan kandung kemih yang menyebabkan edema. Distensi yang disebabkan akan
berlangsung selama sekitar 24 jam setelah melahirkan. Namun kemudian karena
penumpukan cairan yang terjadi, secara perlahan akan terjadi pengeluaran cairan
secara besar-besaran yang biasa disebut inkontinensia. 4
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai
keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene
serta secara objektif tampak nyata. International Consultation on Incontinence
membagi klasifikasi inkontinensia urine menjadi 6, yaitu : Inkontinensia urine

3
desakan, inkontinensia urine stress , inkontinensia urine campuran, Inkontinensia
urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia
continua. 2
Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum adalah
inkontinensia urine stress. The International Continence Society (ICS)
mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai keluhan pelepasan involunter
saat melakukan aktivitas,  saat bersin dan pada waktu batuk. Inkontinensia urine
stres terjadi akibat peningkatan tekanan intra abdomen yang tiba-tiba (misalnya,
tekanan mendadak yang timbul akibat bersin atau batuk). Sedangkan
inkontinensia urine desakan disebabkan oleh gangguan pada kandung kemih dan
uretra. Kedua jenis inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi
pada ibu postpartum. Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe
inkontinensia ini, yang disebut juga dengan inkontinensia urine campuran. 2

2. Klasifikasi
1) Inkontinensia Stress
Akibat adanya tekanan didalam abdomen, seperti bersin, atau selama
latihan, menyebabkan kebocoran urine dari kandung kemih. Tidak terdapat
aktivitas kandung kemih. Tipe inkontinensia urine ini sering diderita wanita
yang mempunyai banyak anak.
2) Inkontinensia Mendesak (urge incontinence)
Berkemih dapat dilakukan, tetapi orang biasanya berkemih sebelum
sampai ke toilet. Mereka tidak merasakan adanya tanda untuk berkemih.
Kondisi ini terjadi karena kandung kemih seseorang berkontraksi tanpa
didahului oleh keinginan untuk berkemih.
Kehilangan sensasi untuk berkemih ini disebabkan oleh adanya
penurunan fungsi persarafan yang mengatur perkemihan.
3) Inkontinensia Overflow
Seseorang yang menderita inkontinensia overflow akan mengeluh
bahwa urinenya mengalir terus menerus. Hal ini disebabkan karena obstruksi
saluran kemih seperti pada pembesaran prostat atau konstipasi. Untuk
pembesaran prostat yang menyebabkan inkontinensia dibutuhkan tindakan
pembedahan. Dan untuk konstipasinya relatif mudah diatasi.
4) Inkontinensia Refleks
Ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti
demensia. Dalam hal ini, pengosongan kandung kemih dipengaruhi refleks
yang dirangsangoleh pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti
berkemih tidak ada. Penatalaksanaannya dengan permintaan untuk miksi
secara teratur setiap jam atau dengan menggunakan diapers ukuran dewasa.

4
5) Inkontinensia fungsional
Pada klien ini mempunyai kandung kemih dan saluran urine yang utuh
dan tidak mengalami kerusakan persarafan yang secara langsung
mempengaruhi sistem perkemihan tersebut. Kondisi ini muncul akibat
ketidakmampuan lain yang mengurangi kemampuannya untuk
mempertahankan kontinensia.

3. Etiologi
Etiologi inkontinensia urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :
a. Poliuria, noktoria
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia > 50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh:
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan
efek akibat dilahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar
panggul.
2) Perokok, minum alkohol.
3) Obesitas.
4) Infeksi saluran kemih (ISK)

4. Anatomi Fisiologi

1) Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa untuk mengalirkan urine dari ginjal ke
kandung kemih (vesika urinaria), panjangnya sekitar 25 cm dengan
penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan
sebagian terletak dalam rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari 3 lapisan :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah otot polos (smooth muscle)
c. Lapisan sebelah dalam (lapisan mukosa)

5
2) Vesika urinaria (kandung kemih)
Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis seperti balon
karet, terletak dibelakang simfisis pubis didalam rongga panggul. Bentuk
kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat dan
berhubungan dengan ligamentum vesika umbikalis medius.
3) Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung
kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar dari tubuh. Pada laki-
laki uretra berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah prostat
kemudian menembus lapisan fibrosa ke bangian penis. Uretra pada wanita
terletak dibelakang simfisis pubis, berjalan mirirng sedikit kearah atas,
panjangnya sekitar 3-4 cm.

5. Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
a. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem perkemihan vesika urinaria
(kandung kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih
dapat ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan
berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor kontrasi dan sfingter internal
dan sfingter ekternal relaksasi, yang yang membuka uretra. Pada orang
dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia
tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap
adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengidentifikasi adanya retensi urine.
Perubahan yang lainnya pada proses penuaan adalah terjadinya kontraksi
kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi
estrogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan
mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar ( Stanley M & Beare G
Patricia, 2006 ).
b. Fungsi otot besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung
kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung
kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan.
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila
batuk atau bersin .

6. Tanda dan Gejala


a. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai
kamar mandi karena telah mulai berkemih.
b. Desakan, frekuensi, dan nokturia.
c. Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika
tertawa, bersin, melompat, batuk, atau membungkuk.
d. Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine buruk atau lambat dan
merasa menunda atau mengejan.

6
e. Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang
adekuat.
f. Higiene atau tanda-tanda infeksi.
g. Kandung kemih terletak diatas simfisis pubis.

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa
dalam urine.
b. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih.
c. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks otot detrusor, tekanan dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi eksretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
e. Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan
kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, struktur
uretra, dan tahap gangguan uretra prostatik stenosis (pada pria).
f. Urterografi retrograde, digunakan hampir secara eksklusif pada pria,
membantu diagnosis struktur dan obstruksi orifisium uretra.
g. Elektromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik sfingter urinarus
eksternal.
h. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran prostat
atau nyeri, kemungkinan menandakan hipertfrofi prostat jinak atau infeksi.
Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin dapat
mentebabkan inkontinensia.
i. Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya
pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung
kemih.

8. Penatalaksanaan Medik

Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk membantu


16
dalam menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip (‘the cotton swab test’) ,
merupakan test sederhana untuk menunjukan adanya inkontinensia stres sejati.
Penderita disuruh mengosongkan kandung kemihnya, urine ditampung.
Kemudian spesimen urine diambil dengan kateterisasi. Jumlah urine dari
kencing dan kateter merupakan volume kandung kemih. Volume residual
menguatkan diagnosis inkontinensia luapan. Spesimen urine dikirim ke
laboratorium.

7
Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik imaging.
Sistourethroskopi dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi,
dapat dilihat keadaan patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun
divertikulum. Test urodinamik meliputi uroflowmetri dan sistometri. Sistometri
merupakan test yang paling penting, karena dapat menunjukan keadaan
kandung kemih yang hiperaktif, normal maupun hipoaktif. Diagnostik imaging
meliputi USG, CT scan dan IVP yang digunakan untuk mengidentifikasi
kelainan patologi (seperti fistel/tumor) dan kelainan anatomi (ureter ektopik).

Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu ‘Pessary


Pad Test’. Penderita minum 500 ml air selama 15 menit untuk mengisi kandung
kemih. Setelah ½ jam, penderita melakukan latihan selama 45 menit dengan
cara : berdiri dari duduk (10 kali), batuk (10 kali), joging di tempat (11 kali),
mengambil benda dari lantai (5 kali), dan mencuci tangan dari air mengalir
selama 1 menit. Test positif bila berat Pad sama atau lebih besar dari 1g. Test ini
dapat menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila tidak didapatkan
23
kandung kemih yang tidak stabil.

Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi.


Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi
konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling
populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat
11,15,16,17
mekanis.

1. Latihan Otot Dasar Pinggul (‘Pelvic Floor Exercises’)

Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis.
Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu
penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra
misalnya pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat sambungan urethrovesikal
kedalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen dan berkontraksi secara
reflek dengan peningkatan tekanan intraabdominal, perubahan posisi dan
pengisian kandug kemih.

8
Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan
abdominal pada uretra proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan tonus
dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra.

Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (‘bladder training)


11
telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya
melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional
kandung kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal.

11,15,16,17
2. Obat-obatan

a. Alfa Adrenergik Agonis

b. Efedrin

c. Phenylpropanololamine

d. Estrogen

3. Stimulasi Elektrik

Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin
digunakan selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan
kontraksi otot lurik uretra dan parauretra dengan memakai implant/non-implant
(anal atau vaginal) elektrode untuk meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi
stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa jam per hari selama
beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant, tapi
metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbiditas
karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang
digerakkan dengan baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan
dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring,
Hodge pessary, silindris.

4. Alat Mekanis (‘Mechanical Devices’)

Tampon : Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila


kebocoran hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus
menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka.

9
Edward Spring : Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada
penderita dg inkontinensia stres dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi
ulserasi vagina.

Bonnas’s Device: Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup
dapat mengangkat sambungan urethrovesikal dan urethra proksimal.

Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan


dengan beberapa cara meliputi :

1. Kolporafi anterior

2. Uretropeksi retropubik 3. Prosedur jarum

4. Prosedur sling pu

5. Periuretral bulking agent 6. Tension vaginal tape (TVT)

10
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
Adapun data-data yang akan di kumpulkan dikaji pada asuhan
keperawatan klien dengan diagnosa medis inkontinensia urine :
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis
b. Keluhan utama
Pada kelayan inkontinensia urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan strategi
c. Riwayat penyakit sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK ( infeksi saluran kemih )
yang berulang, penyakit kronis yang pernah di derita
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit inkontinensia urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, hipertensi
f. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
1) B1 (breathing)
Kaji adanya pernafasan adanya gangguan pada palo nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. Kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi
2) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktifitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluhan keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,
pembesaran daerah supra pubik lesi pada neatus uretra, banyak kencing

11
dan nyeri saat berkemih mendadah disurea akibat dari infeksi, apakah
klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri disapat pada daerah supra pubik atau pelvis, seperti
rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing atau dapat juga diluar waktu
kencing.
5) B5 (bowel)
Bising usus adalah peningkatan atau penurunan, adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
6) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan ekstremitas yang
lain, adakah nyeri pada persendian.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kantung
kemih.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang
lama.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh
urine
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang adekuat

3. Intervensi Keperawatan

a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk


berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa
melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinesia.
Kriteria Hasil :
Klien dapat menjelaskan penyebab inkontinesia dan rasional penatalaksaan.
Intervensi :
1) Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
Rasional : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi
kandung kemih
2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
Rasional : Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya
enurasis
3) Bila masih terjadi inkontinesia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan
Rasional : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk
menampung volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering
berkemih.
4) Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien
berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
Rasional : Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.

12
5) Pantau pemasukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan
cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
Rasional : Dehidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu
ginjal
6) Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis/ jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkontinensia.

b. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinesia, imobilitas dalam waktu yang


lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukan tidak
adanya bakteri.
Intervensi :
1) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal segera mungkin.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi uretra .
2) Jika dipasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(Merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan
setelah buang air besar.
Rasional : Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki
kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3) Ikuti kewaspadaan umum (Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau
darah yang terjadi (Memberikan perawatan perineal, pengosongan kantung
drainase urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik
bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter
Indwelling.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi silang
4) Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2 jam dan anjurkan
masukan sekurang-kurangnya 2400ml / hari. Bantu melakukan ambulasi
sesuai dengan kebutuhan .
Rasional : Untuk mencegah stasis urine.
5) Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
a) Tingkatkan masukan sari buah berri .
b) Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
c) R : Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman . Karena jumlah sari
buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman
urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam
pengobatan infeksi saluran kemih.

13
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh
urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan
integritas kulit teratasi.
Kriteria hasil:
1) Jumlah bakteri <100.000/ml
2) Kulit periostomal penuh
3) Suhu 37c
4) Urine jernih dengan sendimen minimal.
Intervensi
1) Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam
Rasional : untuk mengindetifikasi kemajuan atau penyimpanan dari hasil
yang diharapkan
2) Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdefekasi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru.
Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dan diameter
stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar
menutupi kulit periastomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.
Rasional : peningkatan berat urine dapat merusak segel
periostomal,memungkinkan kebocoran urin. Pemajanan menetap pada
kulit periostomal terhadap asam urin dapat menyebabkan kerusakan kulit
dan peningkatan resiko infeksi.

d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang adekuat


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1) Awasi tanda-tanda vital
Rasional : pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume
intravaskular, khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2) Catat pemasukan dan pengeluaran
Rasional : untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan
dan penurunan resiko kelebihan cairan.
3) Awasi berat jenis urine
Rasional : untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikan
urine
4) Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
Rasional : membantu periode tanpa cairan meminimalkan kebosanan
pilihan yang terbatas dan menurunkan rasa haus
5) Timbang BB setiap hari
Rasional : untuk mengawasi status cairan

4. Implementasi
Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan radiasi daripada rencana
tindakan keperawatan yang telah diterapkan. Meliputi tindakan independent,
dependent, dan interpendent. Pada pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan,
validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencana keperawatan
memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data. (Susan Martin, 1998).

14
5. Evaluasi
Evaluasi adalah hasil akhir dari proses keperawatan dilakukan untuk
mengetahui sampai dimana keberhasilan tindakan yang diberikan sehingga dapat
menemukan intervensi yang akan dilanjutkan. (Susan Martin, 1998)

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup banyak, sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial
(Kane, dkk, 1989). Inkontinensia urine banyak terjadi pada lansia perempuan, karena
sistem anatomis dan oersonal higiene.
Pengkajian untuk lansia difokuskan pada poin-poin yang didalamnya berisi
data yang abnormal. Diagnosa yang diangkat mendekati KMB namun lebih
spesifiknya karena proses degeneratif, maka dari itu intervensi yang diberikan adalah
intervensi yang lebih mengarah ke lansia. Seperti senam kegel. Senam kegel berfungsi
untuk mempertahankan status berkemih.

B. Saran
Sumber buku diharapkan lebih banyak referensi lagi. Format pengkajian
referensinya harus sesuai. Kelompok menyadari bahwa makalah kami tidak sempurna
masih banyak kekurangan, maka kelompok membutuhkan kritik dan saran untuk
memperbaiki makalah kami kedepannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Fatimah, 2010. Meraat Lanjut Usia Suatu Pendekatan Proses Keperawatan Gerontik. Cetakan
Pertama. Jakarta : TIM

Andrianto P. Urologi Untuk Praktek Umum. EGC. Jakarta, 1991 : 175-186.

Prawirohardjo S. Ilmu kandungan. Edisi I. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta, 1991 : 392-404.

Burnnet LS. Relaxations, Malpositions, Fistulas, and Incontinence. In : Jones HW, Wentz
AC,

Burnnet LS. Novak’s Texbook of Gynecology. Eleventh Ed. William & Wilkins, 1988 ; 467-
478.

Marchant DJ. Urinary Incontinence. Obsterics and Gynecology Annual, 19809 ; 9 : 261-2

Richardson AC, Edmonds PB, Williams NL. Treatment of Stress Incontinence due to
Paravaginal Fascial Defect. Obstet Gynecol 1981 ; 57 : 357-362.

Fantl JA, Hurt WE, Bump RC, Dunn LJ, Choi SC. Urethral Axis and Sphincteric Function.
Am J Obstet Gynecol 1986 ; 155 : 554-558.

De Lancey JL. Correlative Study of Paraurehtral Anatomy. Obstet Gynecol 1986; 68 :91-97

De Lancey JL. Structural Aspects of the Exrrinsic Continence Mechanism. Obstet Gynecol
1988 ; 72 : 296-301

Low JA, Mauger GM, Dragovic J. Diagnosis of the Unstable Detrusor : Comparison of an
Incremental and Continuous Infusion Technique. Obstet Gynecol 1985 ; 65 : 99-103.

Sand PK, Bowen LW, Ostegard DR, Brubaker L, Panganiban R. The Effect of Retropubic
Urethropexy on Detrusor Instability. Obstet Gynecol 1988 ; 71 : 818-822.

Purnomo, Dasar-dasar Urologi. FK>Brawijaya, Malang 2003; 106-119.

Bhatia NN, Bergman A. pessary Test in women With urinary Incontinence. Obstet Gynecol
1985 ; 65 : 220-225.

16
Makalah dan Askep Fistula Genetalia

Di susun oleh:

Fernando

Fahdia Gusti Rahayu

Zulfirah Nurhalimah

Sry ayu novia

Nanda Ardini

Mayang safitri

Oriza sativa

17
Dosen mata kuliah:
Ns.Mera Delima ,M.Kep

Program Studi Sarjana Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis

Padang

T/A 2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fistula genitalia banyak ditemukan di negara berkembang sebagai akibat persalinan yang lama
maupun penanganan yang kurang baik. Dinegara maju kasus ini terbanyak disebabkan oleh tindakan
operasi histerektomi maupun secara abdominal (Sarwono, 2009)

Fistula genitalia ini merupakan kasus yang tidak seorangpun membayangkan akan terjadi pada
penderitanya. Penderitaan pasien, bukan hanya difisik saja tetapi berupa mudah mengalami ISK,
namun memiliki dampak psikososial yang dirasakan lebih menyakitkan. Penderita merasa terisolasi
dari pergaulan, keluarga dan lingkungan kerjanya oleh karena enantiasa mengeluarkan urine dan
bau yang tidak sedap setiap saat. Tidak jarang suami meninggalkan nya dengan alasan karena tidak
terpenuhinya kebutuhan biologis dengan wajarnya (Sarwono, 2009)

18
Kasus ini seringkali dialami oleh para wanita dari kalangan sosio ekonomi yang rendah dimana
pada saat kehamilan dan persalinan tidak mendapat pelayanan yang mamadai sehingga berlangsung
lama dan terjebak pada persalinan kasip.

Angka kejadian pasti di Indonesia sulit didapatkan oleh karena banyak laporan hanya
menggambarkan kejadian penderita yang datang ke rumah sakit. WHO (1991) melaporkan angka
kejadian di Afrika 55-80 per 100.000 kelahiran hidup. Di Ethopia 90% disebabkan oleh persalinan
kasip.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

19
A. Pengertian Fistula Genitalia
Fistula adalah suatu ostium abnormal, berliku-liku antara dua organ berongga internal atau
antara organ berongga internal dan dengan tubuh bagian luar. Nama fistula menandakan kedua area
yang berhubungan secara abnormal (Suzanne C. Smeltzer. 2001). Fistula merupakan saluran yang
berasal dari rongga atau tabung normal kepermukaan tubuh  atau ke rongga lain, fistula ini diberi
nama sesuai dengan hubungannya (misalnya : rekto-vaginal, kolokutaneus) (Sylvia A. Price, 2005).
Fistula adalah sambungan abnormal diantara dua permukaan epitel (Chris Brooker. 2008).

Genitalia ialah organ reproduksi (Kamus Keperawatan Lengkap). Fistula vagina adalah suatu
kondisi medis yang parah di mana suatu fistula (lubang) berkembang antara rektum dan vagina atau
antara kandung kemih dan vagina setelah parah atau gagal melahirkan, saat perawatan medis yang
cukup tidak tersedia. Fistula genitalia adalah terjadinya hubungan antara traktus genitalia dengan
traktus urinarius atau, gastrointestinal.

B. Etiologi Fistula
1. Sebab obstetrik
Terjadinya penekanan jalan lahir oleh kepala bayi dalam waktu lama, seperti pada partus lama
iskemia kemudian nekrosis lambat, atau akibat terjepit oleh alat pada persalinan buatan. Partus
dengan tindakan, seperti pada tindakan SC, kranioklasi, dekapitasi, ekstraksidengan cunam,
seksio-histerektomia.

2. Sebab ginekologik
a. Proses keganasan/carsinoma terutama carsinoma cervix, radiasi/penyinaran, trauma operasi
atau kelainan kongenital.
b.Histerektomi totalis.
c. Lokasi terbanyak pada apeks vagina ukuran 1-2 mm Terjadi akibat terjepit oleh klem atau
terikat oleh jahitan.

3. Sebab trauma terjadi karena trauma (abortus kriminalis).


Fistula biasanya berkembang ketika terjadi penekanan persalinan yang lama anak yang belum
lahir begitu erat di jalan lahir yang dipotong aliran darah ke jaringan sekitarnya yang necrotise dan
akhirnya membusuk. Cedera ini dapat disebabkan oleh pemotongan kelamin perempuan, aborsi,

20
atau panggul patah tulang. Penyebab lainnya yang secara langsung potensial untuk pengembangan
fistula obstetrik adalah pelecehan seksual dan perkosaan, terutama dalam konflik/pasca konflik
daerah, trauma bedah lainnya, kanker ginekologi atau radioterapi pengobatan terkait lainnya, dan
mungkin yang paling penting, terbatas atau tidak memiliki akses ke perawatan kandungan atau
layanan darurat.

Penyebab distal yang dapat menyebabkan perkembangan isu-isu kepedulian fistula obstetri
yaitu kemiskinan, kurangnya pendidikan, pernikahan dini dan melahirkan, peran dan status
perempuan di negara berkembang, dan praktek-praktek tradisional yang berbahaya dan kekerasan
seksual. Akses ke perawatan darurat kebidanan merupakan salah satu tantangan utama dalam
mencegah perkembangan fistula obstetri. Ketersediaan dan akses ke fasilitas kesehatan yang
memiliki staf yang terlatih dan peralatan bedah khusus yang diperlukan untuk kelahiran caesar
sangat terbatas di bagian-bagian tertentu di dunia.

C. Klasifikasi Fistula
1. Fistula enterocutaneous
Adalah bagian dinding GI tract yang terbuka sehingga menyebabkan keluarnya isi perut dan
keluarnya melalui kulit.

2. Fistula enterovesicular (vesikovaginal dan uretrovaginal)


Fistula vesikovaginal adalah ostium antara kandung kemih dan vagina sedangkan fistula
uretrovaginal adalah ostium antara uretra dan vagina. Fistula pada bagian ini dapat
mengakibatkan sering terjadinya infeksi saluran kemih.

3. Fistula rektovaginalis
Adalah suatu ostium antara rectum dan vagina atau merupakan alur granulomatosa kronis yang
berjalan dari anus hingga bagian luar kulit anus, atau dari suatu abses anus atau daerah perianal.

4. Fistula enterocolic
Adalah saluaran yang melibatkan usus besar atau kecil.

5. Fistula multiple

D. Manifestasi Klinis Fistula Genitalia

21
Gejala tergantung pada kekhususan defek. Pus atau feses dapat bocor secara konstan dari
lubang kutaneus. Gejala ini mungkin pasase flatus atau feses dari vagina atau kandung
kemih,tergantung pada saluran fistula. Fistula yang tidak teratasi dapat menyebabkan infeksi
sistemik disertai gejala yang berhubungan.

E. Patofisiologi Fistula
Salah satu etiologi dari terbentuknya fistel adalah dari pembedahan. Biasanya karena terjadi
kurangnya ke sterilan alat atau kerusakan intervensi bedah yang merusak abdomen. Maka kuman
akan masuk kedalam  peritoneum hingga terjadinya peradangan pada peritoneum sehingga
keluarnya eksudat fibrinosa (abses), terbentuknya abses biasanya disertai dengan demam dan rasa
nyeri pada lokasi abses.

Infeksi biasanya akan meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan
(perlengketan/adesi), karena adanya perlengketan maka akan terjadinya kebocoran pada
permukaan tubuh yang mengalami perlengketan  sehingga akan menjadi sambungan abnormal
diantara 2 permukaan tubuh. Maka dari dalam fistel akan meneluarkan drain atau feses.

Karena terjadinya kebocoran pada permukaan tubuh yang mengalami perlengketan maka akan
menyumbat usus dan gerakan peristaltik usus akan berkurang sehingga cairan akan tertahan
didalam usus halus dan usus besar (yang bisa menyebabkan edema), jika tidak di tangani secara
cepat maka cairan akan merembes kedalam rongga peritoneum sehingga terjadinya dehidrasi.

F. Tanda dan Gejala Fistula Genitalia


Gangguan yang dihasilkan biasanya mencakup :

1. Inkontinensia urine
2. Infeksi parah dan ulserasi pada saluran vagina
3. Sering terjadi kelumpuhan yang disebabkan oleh kerusakan
4. Wanita merasa tidak nyaman
5. Haid terganggu, amenorrhoe sekunder
6. Kulit sekitar anus tebal
7. Infeksi pada jalan lahir
8. Pada pemeriksaan spekulum terlihat dinding vesika menonjol keluar
9. Flatus dari vagina, keluar cairan dari rectum.

22
G. Pencegahan Fistula Genitalia
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :

1. Pemeriksaan secara rutin ke perawatan kandungan


2. Dukungan dari profesional perawatan kesehatan terlatih selama kehamilan,
3. Menyediakan akses ke keluarga berencana
4. Mempromosikan praktek jarak antar kelahiran
5. Mendukung perempuan dalam bidang pendidikan
6. Menunda pernikahan dini.

H. Penatalaksanaan Fistula Genitalia


1. Medis
Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu dengan cara operasi. Operasi untuk kasus ini tanpa
komplikasi memiliki tingkat keberhasilan 90%. Operasi ini sukses dapat memungkinkan
perempuan untuk hidup normal dan memiliki anak lagi. Perawatan pasca operasi sangat penting
untuk mencegah infeksi. Beberapa wanita yang tidak bersedia untuk operasi ini, dapat mencari
pengobatan alternatif yang disebut urostomy (pengumpulan urin dipakai setiap hari).

Manfaat terbesar dari perawatan bedah adalah bahwa banyak wanita dapat kembali
bergabung dengan keluarga mereka, masyarakat, dan masyarakat tanpa rasa malu dari kondisi
mereka karena bocor dan bau tidak lagi sekarang.

2. Keperawatan
a. Pra operasi : persiapan fisik, lab, antibiotika profilaksis, persiapan kolon bila perlu
b. Waktu reparasi, tergantung sebab :
- Trauma operasi segera, saat operasi tsb, atau ditunda jika diketahui pasca op.

- Obstetrik 3 bulan pascasalin, kecuali fistula fekalis dilakukan setelah 3-6 bulan.

c. Pasca operasi : drainase urin kateter terpasang.

I. Komplikasi Fistula Genitalia


1. Infeksi
2. Gangguan fungsi reproduksi

23
3. Gangguan dalam berkemih
4. Gangguan dalam defekasi
5. Ruptur/ perforasi organ yang terkait

J. Pemeriksaan Penunjang Fistula Genitalia


1. Darah lengkap
2. CT
3. BT
4. Golongan darah
5. Urium creatiumi
6. Protein
7. Albumin

24
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian
1. Identitas
Biasanya berisi nama, jenis kelamin, alamat, No Medical Record, penanggung jawab, agama,
alamat, tanggal masuk, dan lain-lain.

2. Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : Biasanya normal
Suhu : Biasanya normal
Pernafasan : Biasanya normal
Nadi : Biasanya normal

3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya terjadi partus lama, partus dengan tindakan SC, karsinoma, radiasi, trauma
operasi atau kelainan congenital, aborsi, pelecehan seksual atau pemerkosaan.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya terjadi kelumpuhan, inkontinensia urine, haid klien biasanya terganggu, kulit
sekitar anus tebal, infeksi pada jalin lahir, dinding vesika menonjol keluar, dan keluar
cairan dari rectum.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya
d. Riwayat menstruasi
Biasanya haid klien terganggu dengan terjadi amnorrhoe sekunder.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Rambut
Biasanya rambut klien bersih, tidak ada ketombe.

25
b.Mata
Biasanya simertsi kiri dan kanan, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, dan pupil
isokor.
c. Hidung
Biasanya tidak terdapat oedema, tidak ada lesi dan simetris kiri dan kanan.
d. Telinga
Biasanya simetris kiri dan kanan, fungsi pendengaran baik.
e.Mulut
Biasanya mukosa bibir lembab.
f.Leher
Biasanya tidak pembesaran dan pembengkakan kelenjar getah bening
g.Payudara
Biasanya simetris kiri dan kanan, dan tidak ada pembengkakan, papilla mamae keluar dan
tidak terdapat nyeri saat menyusui.
h.Jantung
I : biasanya ictus cordis tidak terlihat
P : biasanya ictus cordis teraba
P : biasanya pekak
A: biasanya BJ I dan BJ II teratur
i. Abdomen
Inspeksi : biasanya tidak asites
Auskultasi : biasanya bising usus normal
Palpasi : biasanya tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas
Perkusi : biasanya tympani
j. Genitalia
Biasanya keluar cairan dari rectum dan vagina, kulit sekitar anus tebal, infeksi pada jalin
lahir, dan dinding vesika menonjol keluar

i. Ekstremitas
Biasanya terjadi kelumpuhan pada ekstermitas bawah akibat trauma operasi.

B. Diagnosa Keperawatan
1.Cemas orang tua b/d kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan
2.Gangguan integritas kulit b/d kolostomi

26
3.Resiko infeksi b/d prosedur pembedahan

C. Intervensi
1.Dx 1
ᴥ Jelaskan dg istilah yg dimengerti tentang anatomi dan fisiologi saluran pencernaan
normal.
ᴥ Gunakan alat, media dan gambar
ᴥ Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua
ᴥ Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi
2.Dx 2
ᴥ Hindari kerutan pada tempat tidur
ᴥ Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
ᴥ Monitor kulit akan adanya kemerahan
ᴥ Oleskan lotion/baby oil pada daerah yang
3.Dx 3
ᴥ Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
ᴥ Batasi pengunjung
ᴥ Pertahankan teknik cairan asepsis pada klien yang beresiko
ᴥ Inspeksi kondisi luka/insisi bedah
ᴥ Ajarkan keluarga klien tentang tanda dan gejala infeksi
ᴥ Laporkan kecurigaan infeksi

D. Implementasi

Suatu kegiatan yang dilakukan untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.

E. Evaluasi

Tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh
diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan perencanaannya sudah berhasil dicapai, perawat

27
dapat memonitor yang terjadi selama tahap pengkajian, diagnosa, perencanaan dan pelaksanaan
tindakan.

S : Pasien mengatakan sudah ada perubahan

O : Pasien sudah membaik

A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pelayanan asuhan keperawatan pada ibu post fistuloraphy atas indikasi fistula vesiko vaginalis
harus sesuai dengan instruksi dokter. Asuhan yang diberikan kepada ibu tersebut, seperti
mengontrol keadaan umum ibu dan tanda-tanda vital, menganjurkan ibu untuk bed rest total dan

28
banyak minum air putih sesuai yang diinstruksikan dokter, menganjurkan ibu untuk makan yang
cukup dan mengingatkan ibu untuk rutin minum obat yang diresepkan dokter.

B. Saran
Semoga dalam pembuatan makalah ini berguna bagi pembaca pada umumnya dan khusunya
berguna bagi penulis dalam memberikan asuhan keperawatan pada ibu post fistuloraphy atas
indikasi fistula vesiko vaginalis. Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kesempurnaan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun,
agar pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Daengaoes, Maryllin E.1999. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta : EGC

Ngastiyah.1995. perawatan anak sakit . Jakarta :EGC

Syamsuhidajat, R. 2004.Buku ajar Ilmu bedah. Jakatra:EGC

29

Anda mungkin juga menyukai