Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................................1

Daftar Isi .......................................................................................................................2

BAB I ` PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..............................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 4

2.1 Inkontinensia Urin pada Wanita .................................................. 4


2.1.1 Definisi ............................................................................... 4
2.1.2 Epidemiologi ...................................................................... 4
2.1.3 Klasifikasi ........................................................................... 4
2.1.4 Etiologi ............................................................................... 5
2.1.5 Faktor risiko ....................................................................... 6
2.1.6 Patofisiologi........................................................................ 6
2.1.7 Diagnosis ............................................................................ 8
2.1.8 Tatalaksana ......................................................................... 10
2.1.9 Prognosis ............................................................................ 12

2.2 Inkontinensia Urin pada Postpartum ........................................... 13


2.2.1 Definisi ............................................................................... 13
2.2.2 Epidemiologi ...................................................................... 13
2.2.3 Etiologi ............................................................................... 13
2.2.4 Faktor risiko ....................................................................... 13
2.2.5 Patofisiologi........................................................................ 13
2.2.6 Diagnosis ............................................................................ 14
2.2.7 Tatalaksana ......................................................................... 14
2.2.8 Prognosis ............................................................................ 14

BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 16

1
INKONTINENSIA URIN

Novita Syahniar, Steven Ridwan

A. Pendahuluan

Inkontinensia urine didefinisikan oleh International Continence Society


sebagai kehilangan urine secara involunter yang mewakili masalah higienis dan
sosial pada tiap individu. Inkontinensia urine dapat dianggap sebagai gejala yang
dilaporkan pasien, dapat juga sebagai suatu tanda yang ditemukan saat dilakukan
pemeriksaan dan dapat juga berbentuk suatu gangguan.(1, 2)

Inkontinensia urine tidak dianggap sebagai suatu penyakit karena tidak ada
etiologi yang spesifik bagi kondisi ini, dan tiap kasus bersifat multifaktorial. Etiologi
bagi inkontinensia urine ini dapat beragam dan dalam kebanyakan kasus tidak dapat
difahami sepenuhnya. (1-3)

Terdapat empat jenis inkontinensia urine yang didefiniskan dalam Clinical


Practice Guideline yang dikeluarkan oleh Agency for Health Care Policy and
Research, yaitu; stress, urge, mixed dan overflow. Inkontinensia urine tipe stress
ditandai dengan kebocoran urine yang terjadi saat adanya peningkatan tekanan intra-
abdominal, pada saat tertawa, bersin, batuk, menaiki tangga atau stres fisik lainnya.
Inkontinensia tipe urge adalah kebocoran urine involunter yang disertai dengan
urgensi. Inkontinensia urine tipe mixed adalah kombinasi dari stress dan urge yang
ditandai dengan kebocoran terkait urgensi dan peningkatan tekanan intra-
abdominal.(1, 3-5)

Inkontinensia urin pada postpartum merupakan morbiditas ibu yang penting


dan sering diabaikan. Dalam masalah ini, banyak penelitian telah menunjukkan
bahwa persalinan per vaginam dapat menyebabkan inkontinensia urin, terutama
kelahiran yang pertama. Banyak penelitian telah berusaha untuk menemukan
keadaan-keadaan obstetrik tertentu yang menyebabkan inkontinensia pada post-
partum. Beberapa dugaan meliputi bayi besar dan "persalinan sulit" yang ditandai
dengan fase mendorong panjang dengan atau tanpa bantuan alat. Tidak ada peristiwa
tunggal yang jelas yang ditemukan sebagai penyebab inkontinensia urin pada post-

2
partum. Hal ini menunjukkan bahwa inkontinensia urin pada post-partum muncul
akibat gangguan fisiologis yang multifaktorial. 1, 3-5)
Untuk saat ini, risiko inkontinensia urin pada postpartum jelas dan nyata.
Pemahaman mengenai gangguan ini sangat penting agar dapat ditegakkan dan
ditangani dengan baik.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


Dinding dari kandung kemih terdiri atas beberapa lapisan dan mengandung
mukosa, submukosa, otot dan lapisan adventisia. Mukosa kandung kemih terdiri
atas sel epitel transisional yang didukung oleh lamina propria. Dengan volume
kandung kemih yang kecil, lapisan mukosa ini membentuk permukaan yang
berlipat-lipat. Namun, pada saat kandung kemih diisi dengan urine, lipatan ini
kemudian akan membentang dan menipis.(1, 4)

Gambar 1: Anatomi kandung kemih: Dinding kandung kemih mengandung


lapisan mukosa, submukosa, muskuler dan adventisia. (1)

4
Gambar 2: Gambar mikrograf dari dinding kandung kemih. Mukosa kandung
kemih yang kosong membentuk lipatan rugae.(1)

Lapisan otot kandung kemih dikenal sebagai otot detrusor, yang terdiri atas
tiga lapisan otot yang diatur dalam anyaman pleksiform. Susunan pleksiform ini
dapat berekspansi dengan cepat pada saat kandung kemih terisi dengan urine dan
menjadi komponen utama dalam kemampuan kandung kemih untuk
mengakodomasi volume urine yang besar.(1, 2, 4)

Ketika kandung kemih terisi, kontraksi sfingter urogenital merupakan bagian


integral dari kontinensia. Komponen sfingter ini meliputi sfingter uretra, sfingter
urethrovaginal (UVS) dan kompresor uretra (CU). Sfingter uretra adalah otot
lurik yang membungkus urethra secara sirkumferential. Sebagai perbandingan,
UVS dan CU adalah pita otot lurik yang melengkungkan ventral uretra dan
masuk ke dalam jaringan fibromuskular dari dinding vagina anterior.(1, 4)

5
Gambar 3: Anatomi sfingter urogenital.(1)

Ketiga otot ini berfungsi sebagai suatu kesatuan dan berkontraksi dengan
efektif untuk menutup uretra. Sfingter uretra ini terdiri atas slow twitch muscle
fiber dan tetap berkontraksi secara tonik, yang memberi kontribusi pada
kontinensia pada saat istirehat. Sebaliknya UVS dan CU terdiri atas fast twitch
muscle fiber yang memungkinkan kontraksi cepat dan menutup lumen uretra
pada saat kontinensia ditantang oleh peningkatan mendadak dari tekanan intra-
abdomen.(1, 4)

Otot lurik sfingter urogenital menerima persarafan motorik melalui saraf


pudendal. Serabut saraf somatik ini mengontrol otot lurik sfingter urogenital
secara volunter. Dengan demikian, neuropati pudendal yang dapat terjadi setelah
persalinan lama dapat mempengaruhi fungsi normal dari otot-otot ini. Selain itu,
operasi panggul sebelumnya atau radioterapi panggul juga dapat merusak saraf,
pembuluh darah dan jaringan lunak sekitarnya. Hal ini dapat menyebabkan
fungsi sfingter urogenital yang tidak efektif dan selanjutnya menyebabkan
inkontinensia.(1, 2, 4)

6
Gambar 4: Innervasi kandung kemih dan uretra.(1)

Pada saat kandung kemih terisi, sinyal aferen sensorik akan diteruskan ke
medulla spinalis melalui saraf pelvis dan hipogastrikus, yang kemudian akan
diteruskan ke pusat berkemih di pons melalui traktus spinotalamikus lateral dan
kolum dorsal. Stimulasi simpatis yang ditransmisikan melalui nervus
hipogastrikus berperan mempertahankan aktivitas otot polos dari sfingter uretra
dan membantu dalam relaksasi otot detrusor untuk penyimpanan urine. Pada
waktu yang sama, sinyal somatik eferen ke otot lurik di dasar panggul yang
ditransfer melalui saraf pudendal menyediakan aktivitas sfingter uretra secara
volunter dan augmentasi pada resistensi urethra pada saat terjadinya peningkatan
tekanan dalam kandung kemih. Ketika intensitas sinyal aferen meningkat pada
saat pengisian kandung kemih, ambang batas kesadaran dicapai, dimana akan
timbul sensasi untuk berkemih. Pada saat itu, sinyal dari pusat berkemih di pons
akan dibawa ke bagian sakral medulla spinalis melalui traktus retikulospinal dan
kortikospinal. Setelah itu akan terjadi stimulasi kolinergik parasimpatis pada
detrusor dan refleks relaksasi otot lurik dasar panggul dan proses berkemih akan
terjadi.(1, 2, 4)

Serabut saraf simpatis akan melewati saraf pleksus hipogastrikus dan


berkomunikasi dengan reseptor alfa dan beta yang terdapat didalam kandung
kemih dan uretra. Stimulasi pada reseptor beta adrenergik akan menyebabkan
relaksasi otot polos dalam kandung kemih dan membantu dalam penyimpanan

7
urine. Sebaliknya reseptor adrenergik alfa terstimulasi oleh norepinefrin dan
menyebabkan kontraksi urethra, akan membantu dalam penyimpanan urine dan
kontinensia.(1, 2, 4)

Pada saat pengosongan kandung kemih, stimulasi simpatis akan berkurang,


dan stimulasi parasimpatis akan dipicu. Khususnya, impuls pada saraf panggul
akan mengstimulasi pengeluaran asetilkolin dan menyebabkan kontraksi otot
detrusor. Bersamaan dengan stimulasi detrusor, asetilkolin ini merangsang
reseptor asetilkolin dalam uretra dan menyebabkan terjadinya relaksasi untuk
berkemih.(1, 4, 6)

Sel otot polos diantara detrusor bergabung antara satu sama lain sehingga
jalur listrik yang keluar dari satu sel otot ke yang berikutnya bersifat rendah
resistensi. Dengan demikian, aksi potensial dapat menyebar dengan cepat ke
seluruh otot detrusor untuk menyebabkan kontraksi yang cepat dari seluruh
kandung kemih. Selain itu, susunan pleksiform serabut detrusor kandung kemih
memungkinkan kontraksi multiarah dan ideal untuk kontraksi konsentrik pada
saat pengosongan kandung kemih. (1, 4, 6)

B. Epidemiologi
Prevalensi kejadian inkontinensia urine yang tepat sukar untuk ditentukan.
Antara kesulitan yang ditemukan adalah dalam menentukan derajat, kuantitas
dan frekuensi kehilangan urine yang esensial dalam menentukan suatu kondisi
patologis.(3, 4)

Sebanyak 50-70% wanita dengan kondisi inkontinensia urine gagal untuk


mendapatkan evaluasi dan rawatan akibat stigma sosial. Hanya 2-5% individu
dengan inkontinensia yang mendapat perawatan yang sesuai. Rata-rata individu
dengan kondisi inkontinensia urine ini menunggu 6-9 tahun sebelum
mendapatkan konsultasi dan perawatan medis.(3, 4)

Inkontinensia urine diperkirakan mengena 10-13 juta penduduk di Amerika


Serikat dan sekitar 200 juta individu di seluruh dunia. Inkontinensia urine tipe
stress merupakan kondisi yang paling umum ditemukan pada pasien rawat jalan,
mewakili 29-75% dari keseluruhan kasus. Aktivitas yang berlebihan dari otot

8
detrusor menyumbang hingga 33% kasus inkontinensia, sedangkan sisanya
disebabkan oleh bentuk campuran

C. Klasifikasi
Empat penyebab pokok inkontinensia urin, yaitu gangguan urologik,
neurologis, fungsional/psikologis, dan iatrogenic/ lingkungan. Berdasarkan
waktunya, inkontinensia urin terbagi atas inkontinensia akut dan kronik
(persisten).
Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan
kondisi sakit akut atau problem iatrogenik yang menghilang jika bila kondisi
akut teratasi atau problem medikasi dihentikan. Inkontinensia persisten merujuk
pada kondisi urikontinensia yang tidak berkaitan dengan kondisi akut/ iatrogenic
dan berlangsung lama. Penyebab inkontinensia urin akut dapat dilihat pada tabel
1.2

Tabel 1. Akronim Untuk Penyebab Reversibel Inkontinensia Urin Akut


D Delirium or acute confusional state
I Infection, urinary
A Atrophic vaginitis or urethritis
P Pharmaceutical
 Sedative hypnotic
 Loop diuretics
 Anti-cholinergic agents
 Alpa-adrenergic agonist and antagonist
 Calcium channel blockers
P Psychologic disorders : depression
E Endocrine disorders
R Restricted Mobility
S Stoolimpaction

Ada 2 kelainan mendasar pada fungsi saluran kemih bawah yang


melatarbelakangi inkontinensia persisten, yaitu kegagalan menyimpan urin
dalam kandung kemih akibat hiperaktif atau menurunnya kapasitas kandung
kemih atau lemahnya tahanan saluran keluar, dan kegagalan pengosongan

9
kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot detrusor atau meningkatnya
2
tahanan aliran keluar.
Inkontinensia urin dapat dibagi menjadi 5, yaitu:

1. Stress (Tekanan): keluarnya urin yang tidak terkendali saat beraktifitas,


bersin atau batuk.
2. Urgency (Desakan): keluarnya urin yang tidak terkendali setelah
mengalami rasa ingin berkemih yang sangat dan tiba-tiba hingga tidak
mampu menahan lagi. Sebenarnya inkontinensia ini merupakan sebagian
dari kompleks gejala Overactive Bladder.
3. Fungsional: keluarnya urin yang tidak terkendali akibat menderita suatu
gangguan kesehatan (baik fisik atau mental) sehingga tidak bisa ke kamar
kecil tepat pada waktunya.
4. Overflow (Luapan): keluarnya urin yang tidak terkendali akibat kandung
kemih yang penuh karena terjadinya retensi urin kronis (tidak mampu
mengeluarkan urin secara sempurna setiap kali berkemih).
5. Campuran: Lebih dari satu jenis inkontinensia urin, umumnya tekanan
dan desakan (Haylen et al., 2010).
D. Etiologi
Etiologi inkontinensia urin tergantung pada jenisnya (Tabel 2).

Tabel 2. Etiologi inkontinesia urin


Jenis Etiologi
Stress (Tekanan) Kelemahan otot-otot dasar panggul.
Dapat disebabkan:
 Penuaan
 Pembedahan dasar panggul
 Trauma saraf punggung bawah
 Batuk kronis
 Merokok
 Obesitas
 Kehamilan dan melahirkan
 Multigravida
 Operasi Caesar

10
Urgency (Desakan) Aktifitas otot detrusor yang berlebih.
Penyebabnya dapat dibagi menjadi 2,
yaitu:
 Iritasi kandung kemih
 Hilangnya inhibisi kontraksi
kandung kemih oleh sistem
saraf
Fungsional Masalah kesehatan yang mengganggu,
proses berfikir (penyakit Alzheimer),
pergerakan (arthritis, kursi roda), atau
komunikasi
Overflow (Luapan) Retensi urin kronis. Dapat disebabkan
oleh:
 Kelemahan otot detrusor
 Uretra yang buntu (akibat tumor
atau batu saluran kemih)
Lainnya: Obat-obatan

E. Patofisiologi
Kontinensia memerlukan mobilitas dan kemampuan kognitif untuk
mengenali dan bereaksi terhadap pengisian kandung kemih. Otot detrusor
(otot polos kandung kemih) berkontraksi melalui saraf parasimpatis S2-S4.
Mekanisme sfingter uretra meliputi otot polos proksimal uretra (berkontraksi
melalui saraf somatis dengan stimulasi kolinergik T11-L2), otot lurik distal
uretra (berkontraksi melalui saraf somatis dengan stimulasi kolinergik S2-
S4), dan jaringan-jaringan muskulofasial pendukung. Pada wanita, jaringan-
jaringan ini membentuk sebuah “tempat tidur gantung” dua lapis yang
mendukung dan menekan uretra ketika tekanan abdomen meningkat.
Kandung kemih dan uretra bagian proksimal disokong oleh dinding
vagina anterior, otot levator ani, fasia pubo servikalis, fasia pubo uretralis dan
arkustendenious. Pada keadaan persalinan pervaginam, penyokong uretra
proksimal dan leher kandung kemih menjadi rusak dan melemah, sehingga

11
bladder neck dan uretra proksimal menjadi hipermobilitas. Bila tekanan intra
abdominal (tekanan transmisi) meningkat mendadak, tekanan ini akan
ditransmisikan pada seluruh organ – organ visceral termasuk pada kandung
kemih, leher kandung kemih dan uretra bagian proksimal. Tekanan transmisi
pada kandung kemih akan lebih tinggi daripada tekanan transmisi yang
mengenai leher kandung kemih dan uretra. Hal ini akan menyebabkan stress
inkontinensia urin, seperti pada penderita mendadak batuk, tertawa, bersin.

Gambar 1. Anatomi kandung kemih dan sfingter uretra

Gambar 2. Anatomi otot-otot dasar panggul

Patofisiologi inkontinensia urin dapat dibagi menurut jenisnya:


1. Stress (Tekanan): Terjadi kegagalan mekanisme sfingter untuk
mempertahankan penutupan uretra selama peningkatan tekanan kandung

12
kemih akibat jaringan pendukung yang lemah atau kegagalan penutupan
uretra.
2. Urgency (Desakan): Terdapat detrusor overactivity (DO) yang
menyebabkan kontraksi otot detrusor berlebih saat pengisian kandung
kemih.
3. Fungsional: Terdapat masalah kesehatan yang mengganggu mobilitas
untuk mencapai tempat berkemih maupun masalah yang mengganggu
kemampuan kognitif untuk mengenali dan bereaksi terhadap pengeluaran
kandung kemih.
4. Overflow (Luapan): Terjadi retensi urin kronis, sehingga volume residual
pasca kemih meningkat dan kandung kemih cepat penuh. Hal ini
menyebabkan kebocoran urin yang sering (Delancey dan Ashton-miller,
2004)

F. Diagnosis
1. Anamnesis

Pemeriksaan pasien dengan inkontinensia urin harus dimulai dengan


riwayat spesifik. Gejala kencing terkait seperti frekuensi, urgensi,
hematuria, infeksi saluran kemih berulang, dan nokturia harus dijelaskan
dan dieksplorasi. Untuk memberikan pengobatan yang sesuai, perlu
ditentukan jenis inkontinensia urin dari gejala-gejala yang didapat.
Keparahan gejala dapat dinilai dengan pertanyaan tentang penggunaan
pembalut atau popok harian, termasuk ukurannya. Penting juga untuk
menanyakan asupan cairan karena banyak wanita memperparah gejala
dengan minum berlebihan. Ditanyakan juga gejala penonjolan vagina
yang dapat menandakan prolaps organ panggul yang sangat terkait
dengan inkontinensia urin.
Pada anamnesis kita akan mendapatkan keluhan pada penderita
berupa:
 Pada stres inkontinensia penderita akan mengeluhkan keluarnya urin
dalam jumlah kecil pada saat melakukan kegiatan fisik (batuk, bersin,
melakukan jogging/berlari dan lain-lain).

13
 Pada urge inkontinensia penderita akan mengeluhkan keluarnya urin
dalam jumlah banyak pada saat yang tidak diharapkan seperti saat
tidur.
 Tipe campuran kedua di atas penderita mengeluhkan gejala seperti
yang terdapat pada kedua tipe di atas
Selain itu, bladder diary berguna untuk mengukur gejala dan mencatat
jumlah dan jenis episode inkontinensia urin. Bladder diary juga
digunakan untuk mencatat waktu pengosongan dan volume yang
dikeluarkan (diukur oleh alat yang ditempatkan di toilet). Pasien harus
menlengkapi catatan selama minimal 2-3 hari (Scientific Committee of
the First International Consultation on Incontinence, 2000).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan meliputi identifikasi adanya prolaps organ pelvis terkait
serta kemampuan untuk memulai kontraksi otot-otot dasar panggul.
Tes stres batuk dengan kandung kemih yang penuh juga dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya inkontinensia urin stress. Tes
dilakukan dengan meminta pasien yang kandung kemihnya penuh untuk
batuk pada posisi terlentang atau litotomi. Tes ini positif jika terdapat
kebocoran stres klinis - didefinisikan sebagai kebocoran tidak disengaja
dari uretra yang sinkron dengan usaha atau aktivitas fisik, atau saat bersin
atau batuk - diamati. Jika kebocoran tidak terlihat pada posisi terlentang,
dapat diulang dalam posisi berdiri.
Penting juga untuk memeriksa adanya edema ekstremitas bawah dan
status kognitif secara keseluruhan, dan untuk melakukan pemeriksaan
neurologis atau kelainan lainnya yang dapat menyebabkan inkontinensia
urin (Scientific Committee of the First International Consultation on
Incontinence, 2000).
3. Pemeriksaan Penunjang
 Urine lengkap: untuk menilai mikrohematuria, glukosa, protein,
leukosit, dan nitrit, dan untuk menyingkirkan infeksi sebagai
penyebab akut
 Kultur urine
 Uroflow (mengukur aliran)

14
 Tes Batuk. Pada tes ini kandung kemih diisi dengan cairan steril
kurang lebih 250 ml melalui kateter. Kemudian kateter dicabut
penderita diminta untuk melakukan valsava atau batuk dan
diobservasi keluarnya urin pada saat batuk atau tindakan valsava
 Mengukur volume residual pasca-kemih dengan ultrasound atau
kateterisasi
 Sistometri: untuk melihat anatomi kandung kemih (Scientific
Committee of the First International Consultation on Incontinence,
2000)

Tatalaksana

Menurut algoritma penatalaksanaan inkontinensia pada wanita, wanita


dengan semua jenis inkontinensia urin dapat disarankan untuk:
1. Perubahan gaya hidup
Mengurangi asupan cairan, kafein, dan minuman berkarbonasi. Perlu
diajarkan optimal untuk minum delapan gelas air setiap hari termasuk air
yang ada dalam makanan. Modifikasi perilaku lebih lanjut termasuk
berkemih berjangka waktu, dengan tujuan mengurangi frekuensi
pengosongan menjadi setiap dua sampai tiga jam. Wanita yang tidak
dapat menunggu selama ini dimulai dengan berkemih pada interval yang
ditetapkan (seperti satu jam) dan kemudian meningkatkan interval waktu
dengan 15-30 menit setiap minggu sampai interval yang diinginkan
tercapai. Menurut pedoman AUA / SUFU dan NICE, wanita dengan
urgensi atau inkontinensia urin campuran harus diberikan pelatihan
kandung kemih sebagai pengobatan lini pertama. Konstipasi harus
ditangani dan dihindari karena berkontribusi terhadap inkontinensia urin
dan disfungsi berkemih.Wanita dengan indeks massa tubuh lebih besar
dari 25 disarankan untuk menurunkan berat badan karena penurunan
berat badan secara signifikan mengurangi gejala kemih inkontinensia.
2. Latihan otot-otot dasar panggul
Latihan terdiri dari penguatan otot-otot dasar panggul dan
mengontraksikan mereka secara terpisah untuk menghambat kontraksi

15
detrusor. Latihan ini lebih dikenal sebagai latihan Kegel, harus dilakukan
beberapa kali sehari dan perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke
waktu agar manfaat dapat dipertahankan.
Jika inkontinensia urin tidak membaik dengan perubahan gaya hidup dan
latihan Kegel, tatalaksana berikutnya tergantung pada jenis inkontinensia
urin sesuai algoritma.

Inkontinensia urin urgency (desakan)


1. Antikolinergik: contohnya oxybutynin, tolterodine, fesoterodine, trospium,
solifenacin, and darifenacin. Efek samping umum meliputi konstipasi, proses
kognitif terganggu, sedasi dan pandangan kabur. Sehingga, pengobatan ini
tidak diberikan pada pasien dengan glaukoma atau lansia.
2. Invasif minimal:
 Injeksi onabotulinumtoxinA intravesika dengan anestesi local
 Neuromodulasi sacral
 Stimulasi nervus tibialis posterior

Inkontinensia urin stress (tekanan)


1. Non-bedah:

16
 Antidepresan Duloxetine (Inggris)
 Persarium inkontinensia: karet yang dimasukkan lewat vagina,
memberiksan tekanan pada dinding anterior vagina sehingga
menyangga uretra, bahkan menutupnya.

2. Bedah invasif minimal:


 Injeksi bulking agents pada leher vesica seperti partikel silikon,biji
karbon, calcium hydroxyapatite, kopolimer ethylene vinyl alcohol
copolymer, porcine dermal implants, dan hydrogel
 Burch colposuspension dan autologous fascial slings
 Midurethral synthetic slings (Wood dan Anger, 2014)

17
Gambar 3. Algoritma penanganan inkontinensia urin.

F. Prognosis
Inkontinensia urin memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup
pasien, termasuk hilangnya percaya diri dan menurunnya kemampuan untuk
bersosialisasi dan hidup mandiri. Tatalaksana bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup dan harus disesuaikan dengan masing-masing penderita. Tidak ada pengobatan
yang sepenuhnya menyembuhkan, dan terapi kombinasi mungkin bermanfaat.

18
BAB III

KESIMPULAN

Inkontinensia urin pada postpartum adalah keluarnya urin yang tidak


terkendali atau disadari yang terjadi setelah melahirkan. Masalah ini sering
terlewatkan, dengan patofisiologi multifaktorial yang sangat kompleks. Jika saat ini
kita belum dapat mencegah kerusakan yang menyebabkan inkontinensia urin
postpartum, maka yang bias kita lakukan adalah mencoba untuk mengurangi
kerusakan tersebut. Setiap ibu berhak memiliki informasi yang cukup untuk
menentukan tindakan yang dipilhnya dengan rangkaian risiko yang mengikuti.
Dalam situasi umum di mana tidak ada risiko tambahan untuk bayi, manajemen
obstetri harus fokus pada pengurangan morbiditas ibu termasuk inkontinensia urin
pada postpartum. Perawatan obstetrik harus mencakup penilaian pasca melahirkan,
termasuk rangkaian cedera dasar panggul yang diketahui terkait dengan persalinan.
Tatalaksana awal inkontinensia urin pada postpartum meliputi perubahan gaya hidup
dan latihan penguatan otot-otot dasar panggul. Tujuan utamnya adalah peningkatan
kualitas hidup ibu.

19
DAFTAR PUSTAKA

Altman D, Ekström A, Gustafsson C, López A, Falconer C, Zeterström J. Risk of


urinary incontinence after childbirth. Obstet Gynecol. 2006;108(4):873-8

Anger JT, Scott VC, Kiyosaki K, Khan AA, Weinberg A, Connor SE, et al.
Development of quality indicators for women with urinary
incontinence. Neurourol Urodynam2013;32:1058-63

Delancey JOL, Ashton-miller JA. Pathophysiology of adult urinary incontinence.


Gastroenterology 2004; 126:S23-32

Dumoulin C, Hay-Smith J. Pelvic floor muscle training versus no treatment, or


inactive control treatments, for urinary incontinence in women. Cochrane
Database Syst Rev2010;1:CD005654

4. Fakhrizal E, Maryuni SW. Inkontinensia Urin Pascapersalinan dan Faktor-Faktor


Risiko yang Mempengaruhinya. Jurnal Ilmu Kedokteran 2017; 10(2):98-105

Haylen BT, de Ridder D, Freeman RM, Swift SE, Berghmans B, Lee J, et al. An
International Urogynecological Association (IUGA)/International Continence
Society (ICS) joint report on the terminology for female pelvic floor
dysfunction. Int Urogynecol J2010;21:5-26

Matharu G. Management of postnatal urinary and faecal incontinence. Nursing


Times 2002; 98: 4, 50.

National Institute for Health and Clinical Excellence. Urinary Incontinence: The
Management of Urinary Incontinence in Women. 2006. London: NICE.

7. Norton P, Brubaker L. Urinary incontinence in women. Lancet 2006; 367:57-67

Scientific Committee of the First International Consultation on Incontinence.


Assessment and treatment of urinary incontinence. Lancet2000;355:2153-8

Sievert KD, Amend B, Toomey PA, Robinson D, Milsom I, Koelbl H, et al. Can we
prevent incontinence? ICI‐RS 2011. Neurourol Urodyn. 2012;31(3):390-9.

Thom DH, Rortveit G. Prevalence of postpartum urinary incontinence: a systematic


review. Acta Obstet Gynecol. 2010;89(12):1511-22.

20
Uebersax JS, Wyman JF, Shumaker SA, McClish DK, Fantl JA. Short forms to
assess life quality and symptom distress for urinary incontinence in women: the
incontinence impact questionnaire and the urogenital distress inventory.
Continence Program for Women Research Group. Neurourol
Urodynam1995;14:131-9

Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AM, Peters CA. Urinary incontinence
and pelvic prolapse: epidemiology and pathophysiology. In: Wein AJ, ed.
Campbell-Walsh urology. 10th ed. Elsevier Saunders, 2012:1871-95.

Wood LN, Anger JT. Urinary incontinence in women. BMJ 2014; 349:g4531

Wyman JF, Burgio KL, Newman DK. Practical aspects of lifestyle modifications and
behavioural interventions in the treatment of overactive bladder and urgency
urinary incontinence. Int J Clin Pract2009;63:1177-91

21

Anda mungkin juga menyukai