Anda di halaman 1dari 13

RESUM INKONTINENSIA URIN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Ajar Keperawatan Maternitas II

Dosen Pembimbing : Inggrid Dirgahayu S.Kep.,Ners., M.Kes

Disusun Oleh :

Rizky Nurheni Suharjo ( 191FK03058 )

Kelas : 2-B

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA

2020/2021
A. Pengertian Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah
maupun frekuensinya, keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik,
emosional, sosial dan kebersihan. Proses berkemih yang normal adalah
suatu proses dinamik yang secara fisiologik berlangsung dibawah kontrol
dan koordinasi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi di daerah sacrum.
Sensasi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada saat volume
kandung kemih mencapai 150–350 ml. Umumnya kandung kemih dapat
menampung urin sampai kurang lebih 500 ml tanpa terjadi kebocoran.
Frekuensi berkemih yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau
tidak lebih dari 8 kali sehari.
B. Etiologi Inkontinensia Urine
faktor penyebab inkontinensia urin antara lain :
1) Poliuria Poliuria merupakan kelainan frekuensi buang air kecil karena
kelebihan produksi urin. Pada poliuria volume urin dalam 24 jam
meningkat melebihi batas normal karena gangguan fungsi ginjal
dalam mengonsentrasi urin.
2) Nokturia Kondisi ini sering berkemih pada malam hari disebut
dengan nokturia. Nokturia merupakan salah satu indikasi adanya
prolaps kandung kemih.
3) Faktor usia Inkontinensia urin lebih banyak ditemukan pada usia >50
tahun karena terjadinya penurunan tonus otot pada saluran kemih.
4) Penurunan produksi estrogen (pada wanita) Penurunan produksi
estrogen dapat menyebabkan atropi jaringan uretra sehingga uretra
menjadi kaku dan tidak elastis.
5) Operasi pengangkatan rahim Pada wanita, kandung kemih dan rahim
didukung oleh beberapa otot yang sama. Ketika rahim diangkat, otot-
otot dasar panggul tersebut dapat mengalami kerusakan, sehingga
memicu inkontinensia.
6) Frekuensi melahirkan Melahirkan dapat mengakibatkan penurunan
otot-otot dasar panggul.
7) Merokok Merokok dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif
karena efek nikotin pada dinding kandung kemih.
8) Konsumsi alkohol dan kafein Mengonsumsi alkohol dan kafein dapat
menyebabkan inkontinensia urin karena keduanya bersifat diuretik
sehingga dapat meningkatkan frekuensi berkemih.
9) Obesitas Berat badan yang berlebih meningkatkan resiko terkena
inkontinensia urin karena meningkatnya tekanan intra abdomen dan
kandung kemih. Tekanan intra abdomen menyebabkan panjang uretra
menjadi lebih pendek dan melemahnya tonus otot.
10) Infeksi saluran kemih Gejala pada orang yang mengalami infeksi
saluran kemih biasanya adalah peningkatan frekuensi berkemih.
Frekuensi berkemih yang semakin banyak akan menyebabkan
melemahnya otot pada kandung kemih sehingga dapat terjadi
inkontinensia urin.
C. Patofisiologi Inkontinensia Urin
a. kapasitas kandung kemih (vesiko urinaria) yang normal sekitar 300-
600 ml. Dengan sensasi atau keinginan berkemih di antara 150-350
ml. Berkemih dapat ditunda 1-2 jam sejak keinginan berkemih
dirasakan. Keinginan berkemih terjadi pada otot detrusor yang
kontraksi dan sfingter internal serta sfingter eksternal relaksasi, yang
membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urin
dikeluarkan saat berkemih, sedangkan pada lansia tidak semua urin
dikeluarkan. Pada lansia terdpat residu urin 50 ml atau kurang
dianggap adekuat. Jumlah residu lebih dari 100 ml mengindikasikan
retensi urin. Perubahan lain pada proses penuaan adalah terjadinya
kontraksi kandung kemih tanpa disadari. Pada seorang wanita lanjut
usia terjadinya penurunan hormon estrogen mengakibatkan atropi
pada jaringan uretra dan efek dari melahirkan menyebabkan lemahnya
otot-otot dasar panggul.
b. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi
kandung kemih. adanya hambatan pengeluaran urin karena pelebaran
kandung kemih, urin terlalu banyak dalam kandung kemih sehingga
melebihi kapasitas normal kandung kemih. Fungsi sfingter yang
terganggu mengakibatkan kandung kemih mengalami kebocoran
ketika bersin atau batuk.
D. Klasifikasi Inkontinensia Urin
a. Inkontinensia urge Keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak
stabil, di mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin
ini ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah
sensasi berkemih muncul, manifestasinya dapat berupa perasaan ingin
berkemih yang mendadak (urge), berkemih berulang kali (frekuensi)
dan keinginan berkemih di malam hari (nokturia).
b. Inkontinensia stress Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin dengan
secara tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam
perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan
estrogen. Pada gejalanya antara lain keluarnya urin sewaktu batuk,
mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal yang lain yang
meningkatkan tekanan pada rongga perut.
c. Inkontinensia overflow Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan
akibat isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih,
pada umumnya akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah.
Biasanya hal ini bisa dijumpai pada gangguan saraf akibat dari
penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, dan saluran
kemih yang tersumbut. Gejalanya berupa rasanya tidak puas setelah
berkemih (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih), urin
yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.
d. Inkontinensia refleks Hal ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat
yang terganggu, seperti demensia. Dalam hal ini rasa ingin berkemih
dan berhenti berkemih tidak ada
e. Inkontinensia fungsional Dapat terjadi akibat penurunan yang berat
dari fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai ke
toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi pada demensia berat,
gangguan neurologi, gangguan mobilitas dan psikologi.
D. Pemeriksaan penunjang inkontinensia urine
a. Tes diagnostik pada inkontinensia urine
1) Kultur urin : untuk menyingkirkan infeksi.
2) IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula.
3) Urodinamik:
 Uroflowmetri : mengukur kecepatan aliran.
 Sistrometri : menggambarkan kontraksi detrusor.
 Sistometri video: menunjukkan kebocoran urin saat
mengejan pada pasien dengan inkontinensia stres.
 Flowmetri tekanan udara : mengukur tekanan uretra dan
kandung kemih saat istirahat dan selama berkemih.
4) Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan
glukosa dalam urine.
5) Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan
mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
6) Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung
kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekanan
dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap
rangsangan panas.
7) Urografi Ekskretorik
Urografi ekskretorik bawah kandung kemih dengan
mengukur laju aliran ketika pasien berkemih. Disebut juga
pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan
fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
8) Kateterisasi Residu Pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan
kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung
kemih setelah pasien berkemih.
9) Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum
dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang
menyebabkan poliuria. Menurut National Women’s Health Report,
diagnosis dan terapi inkontinensia urine dapat ditegakkan oleh
sejumlah pemberi pelayanan kesehatan, termasuk dokter pada
pelayanan primer, perawat, geriatris, gerontologis, urologis,
ginekologis, pedriatris, neurologis, fisioterapis, perawat
kontinensia, dan psikolog. Pemberi pelayanan primer dapat
mendiagnosis inkontinensia urine dengan pemeriksaan riwayat
medis yang lengkap dan menggunakan tabel penilaian gejala.
Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine
untuk menetukan apakah gejalanya disebabkan oleh inkontinensia
urine, atau masalah lain, seperti infeksi saluran kemih atau batu
kandung kemih). Bila urinealisa normal, seorang pemberi
pelayanan primer dapat menentukan untuk mengobati pasien atau
merujuknya untuk pemeriksaan gejala lebih lanjut. Pada beberapa
pasien, pemeriksaan fisik yang terfokus pada saluran kemih bagian
bawah, termasuk penilaian neurologis pada tungkai dan perineum,
juga diperlukan. Sebagai tambahan, pasien dapat diminta untuk
mengisi buku harian kandung kemih (catan tertulis intake cairan,
jumlah dan seringnya buang air kecil, dan sensasi urgensi) selama
beberapa hari untuk mendapatkan data mengenai gejala. Bila
setelah langkah tadi diagnosis definitif masih belum dapat
ditegakkan, pasien dapat dirujuk ke spesialis untuk penilaian
urodinamis. Tes ini akan memberikan data mengenai
tekanan/volume dan hubungan tekanan/aliran di dalam kandung
kemih. Pengukuran tekanan detrusor selama sistometri digunakan
untuk mengkonfirmasi diagnosis overaktifitas detrusor.
E. Komplikasi inkontinensia urine
a. Ruam kulit atau iritasi
Diantara komplikasi yang paling jelas dan manifestasi kita
menemukan masalah dengan kulit, karena mereka yang menderita
masalah ini terkait kandung kemih, memiliki kemungkinan
mengembangkan luka, ruam atau semacam infeksi kulit, karena fakta
bahwa kulit mereka overexposed cairan dan dengan demikian selalu
basah. Ruam kulit atau iritasi terjadi karena kulit yang terus-menerus
berhubungan dengan urin akan iritasi, sakit dan dapat memecah.
b. Infeksi saluran kemih
Inkontinensia meningkatkan risiko infeksi saluran kemih berulang
.
c. Prolapse
Prolaps merupakan komplikasi dari inkontinensia urin yang dapat
terjadi pada wanita. Hal ini terjadi ketika bagian dari vagina, kandung
kemih, dan dalam beberapa kasus uretra, drop-down ke pintu masuk
vagina. Lemahnya otot dasar panggul sering menyebabkan masalah.
Prolaps biasanya perlu diperbaiki dengan menggunakan operasi.
d. Perubahan dalam kegiatan sehari-hari
Inkontinensia dapat membuat pasien tidak dapat berpartisipasi
dalam aktivitas normal. Pasien dapat berhenti berolahraga, berhenti
menghadiri pertemuan social. Salah satu jenis tersebut adalah
inkontinensia stres. Hal ini terjadi ketika otot-otot dasar panggul
mengalami kelemahan dari beberapa macam, dan tidak lagi mampu
menjaga uretra tertutup. Karena itu, membuat gerakan tiba-tiba seperti
batuk atau tertawa dapat menyebabkan kebocoran urin. Penyebab
melemahnya otot dasar panggul bisa berbeda dan disebabkan oleh
berbagai faktor, misalnya untuk kehamilan dan persalinan (strain dan
otot terlalu melar), menopause (kurangnya estrogen melemahkan otot),
penghapusan rahim (yang kadang-kadang dapat merusak otot), usia,
obesitas.
e. Perubahan dalam kehidupan pribadi pasien.
Inkontinensia dapat memiliki dampak pada kehidupan pribadi
pasien. Keluarga pasien mungkin tidak memahami perilaku pasien.
Pasien dapat menghindari keintiman seksual karena malu yang
disebabkan oleh kebocoran urin. Ini tidak jarang mengalami
kecemasan dan depresi bersama dengan inkontinensia (Mayo,2012)
f. Komplikasi terapi bedah
Inkontinensia stres terutama terdiri dari pembentukan sisa urine
segera dalam fase pascabedah. Biasanya masalah ini bersifat sementara
dan dapat diatasi dengan kateterisasi intermiten, dengan karakter yang
ditinggalkan atau lebih baik dengan drainase kandung kemih
suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian pembentukan sisa urine
tanpa kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal dari indikasi yang
salah. Perforasi kandung kemih dengan kebocoran urine, infeksi
saluran kemih yang berkepanjangan dan osteitis pubis pada operasi
Marshall-Marchetti-Krantz merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
(Andrianto,1991)
ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA URIN
Kasus

Seorang perempuan P3A0 usia 35 tahun dating ke klinik dengan keluhan


inkontinensia urin, merasa cemas dan malu dengan kondisinya. Klien
mengatakan urine keluar pada saat klien batuk atau bersin, dan saat
mengangkat benda. Hasil pengkajian klien 1 minggu post partum, TFU tidak
teraba, terdapat rupture perineum, dengan BB bayinya 3700 gram. Klien
mengatakan proses persalinannya berjalan lama dan klien kelelahan dalam
mengedan sehingga dilakukan persalinan bantuan menggunakan forceps.
Riwayat persalinan sebelumnya normal pervaginam. Hasil pengkajian tidak
terdapat disuria dan nyeri tekan ataupun distensi blast, namun masih terdapat
nyeri pada luka perineum. Hasil pemeriksaan urinalisis tidak terdapat leukosit
pada urine. Perawat menyarankan klien untuk melakukan kegel exercise.

A. Pengkajian
I. Identitas umum
Nama : Ny. N
Umur : 35 tahun
Agama : Islam
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Suku/Bangsa :-
No. Medrec :-
Diagnosa Medis : Inkontinensia urine
Tanggal Pengkajian :-
Golongan darah :-
Alamat :-
II. Keluhan utama
Keluhaninkontinensia urin, merasa cemas dan malu dengan kondisinya.
Klien mengatakan urine keluar pada saat klien batuk atau bersin, dan saat
mengangkat benda.
III.Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Ny.N mengatakan urine keluar pada saat klien batuk atau
bersin, dan saat mengangkat benda
2) Riwayat kesehatan dahulu.
Ny.N mengatakan proses persalinannya berjalan lama dan klien
kelelahan dalam mengedan sehingga dilakukan persalinan bantuan
menggunakan forceps. Riwayat persalinan sebelumnya normal
pervaginam.
3) Riwayat kesehatan keluarga.
Ny.N mengatakan tidak ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan
atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
IV. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia.
2) Pemeriksaan Sistem
a) B1 (breathing)
Tidak ada gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen
menurun. kaji ekspansi dada, tidak ada kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Klien merasa bingung dan gelisah
c) B3 (brain)
Klien tampak sadar penuh
d)  B4 (bladder)
 Inspeksi:
Pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus
uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuria akibat dari tanda resiko infeksi.
 Palpasi :
Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti
rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di
luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Klien mengeluh adanya nyeri tekan abdomen
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot nyeri bagian otot pinggul setelah proses
melahirkan
V. Analisa Data
No Data Penyebab Masalah
1. Ds: Melahirkan Gangguan
Klien mengatakan urine pervaginam eliminasi urin
keluar pada saat klien 
batuk atau bersin, dan Persalinan lama dan
saat mengangkat benda. kelelahan mengedan
Do: 
Inkontinensia urine Kelemahan otot
panggul dan sfigter
uretra

Urine keluar saat intra
abdomen tertekan
2. Ds: Inkontensia urine Gangguan citra
Klien merasa cemas dan  tubuh
malu dengan kondisinya. Perubahan fungsi
Do: 
Respon nonverbal Abnormal
terhadap berubahan actual 
pada tubuh Malu

3. Ds: Melahirkan Nyeri


Klien mengatakan proses pervaginam
persalinannya berjalan 
lama dan klien kelelahan Persalinan lama dan
dalam mengedan kelelahan mengedan
sehingga dilakukan 
persalinan bantuan Menggunakan forceps
menggunakan forceps. 
Do: Adanya luka
Hasil pengkajian tidak perineum
terdapat disuria dan nyeri 
tekan ataupun distensi Kerusakan jaringan
blast, namun masih sfinger
terdapat nyeri pada luka 
perineum. Nyeri
VI. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin b/d gangguan sensori motor
2. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh
3. Nyeri b/d proses pasca persalinan
VII. Intervensi Keperawatan
No Tujuan Intervensi Rasional
1. Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan penilaian kemih 1. Penilaian kemih yang
asuhan keperawatan
yang komprehensif komprehensif untuk menegtahui
selama 2x24 jam
diharapkan gangguan berfokus pada output urin dan pola berkemih
eliminasi urine pada pasien inkontinensia(misalnya, 2. Penggunaan obat antikolinergik
dapat diatasi dengan
kriteria hasil: output urin, pola dapat memicu mengendalian otot
berkemih, fungsikognitif) 3. Memastikan balance cairan tubuh
1. Kandung kemih
2. Pantau penggunaan obat 4. Tingkat distensi dikaji agar
kosong secara penuh.
dengan sifat kandung kemih terpantau
2. Tidak ada residu urine
antikolinergik 5. Melatih berkemih secara berkala
>100-200 cc.
3. Memantau intake dan 6. Untuk mempermudah klien
3. Intake cairan dalam
output apabila kesulitan mengendalikan
rentang normal.
4. Memantau tingkat berkemih
4. Balance cairan
distensi kandung kemih
seimbang.
dengan palpasi atau
perkusi
5. Bantu dengan toilet secara
berkala
6.  Kateterisasi
2. Setelah dilakukan tindakan 1. kaji secara verbal dan non 1. Mengetahui respon secara verbal
asuhan keperawatan
verbal respon klien dan nonverbal terkait dengan
selama 2x24 jam
diharapkan gangguan body terhadap tubuhnya kondisi tubuhnya saat ini
image pada pasien dapat 2. jelaskan tentang 2. Agar klien memahami
diatasi dengan kriteria
hasil: pengobatan dan pengobatan dan perawatan
perawatan penyakit penyakitnya
1. Body image positif 3. identifikasi arti 3. Alat bantu dapat membantu klien
2. Mampu pengurangan melalui dalam mengurangi body image
mengidentifikasi pemakaian alat bantu. 4. Interaksi harus tetap berjalan
kekuatan personal 4. Fasilitasi kontak dengan dengan yang lain
3. Mendeskripsikan individu lain dalam
secara factual kelompok lain
perubahan fungsi
tubuh
4. Mempertahankan
interaksi sosial
3. Setelah dilakukan tindakan 1. Ajarkan klien tekhnik relaksasi 1. Relaksasi nafas dalam dapat
asuhan keperawatan nafas dalam.
mengrangi skala nyeri, cara ini
selama 2x24 jam
2.   Beri kompreshangat pada dipakai apabila skala nyeri awal
diharapkan nyeri pada
bagian yang nyeri.
pasien dapat diatasi dibawah 6.
dengan kriteria hasil: 3.    Kolaborasi dalam pemberian
2. Kompres hangat dapat
analgesik Ketorolax 2x
1. Klien sudah tidak
0,5mg/kg/BB memvasodilatasi pemuluh darah
mengalami gelisah
sehingga rasa nyeri dapat
2. Klien dapat
berkurang
beraktivitas kembali
3. Analgetik dapat menurunkan rasa
seperti biasanya.
nyeri
3. nyeri hilang atau
berkurang.
DAFTAR PUSTAKA

Fikriana, E. (2020). Penerapan Exercise Untuk Mengatasi Masalah


Keperawatan Pada Pasien Inkontinensia Urin di RSUD
Yogyakartav (Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta).
Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Pribakti, B., 2006, Tinjauan Kasus Retensio Urin Postpartum di RSUD Ulin
Banjarmasin 2002 – 2003, Dexa Media, vol. 19 Januari – Maret 2006: 10-
13.
Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba
Medika Lesmana, Bela. 2019. Atasi 5 Masalah Inkontinensia Urin Pasca
Melahirkan.

Anda mungkin juga menyukai