Anda di halaman 1dari 14

KONSEP TEORI ELIMINASI URINE

A. DEFINISI
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh baik yang
berupa urin maupun fekal. Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebagai
hasil filtrasi dari plasma darah di glomerolus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal
untuk di filtrasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa urin sebagian besar hasil filtrasi
akan di serap kembali di tubulus ginjal untuk di manfaatkan oleh tubuh.
Eliminasi urin merupakan salah satu dari proses metabolik tubuh yang bertujuan
untuk mengeluarkan bahan sisa dari tubuh. Eliminasi urine tergantung kepada fungsi
ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Ginjal menyaring produk limbah dan darah
untuk membentuk urine. Ureter mentranspor urine dan ginjal ke kandung kemih.
Kandung kemih menyimpan urine sampai timbul keinginan ingin berkemih. Urine keluar
dari tubuh melalui ureter. Semua organ sistem perkemihan harus utuh dan berfungsi
supaya urine berhasil dikeluarkan dengan baik.

B. ETIOLOGI dan FAKTOR RISIKO


1. Gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi BAK disebabkan oleh :
 Supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medullaspinalis
 Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang
 Intravesikal berupa pembesaran prostat, kekakuan lehervesika, batu kecil dan tumor
 Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran prostat, kelainan patologi uretra,
trauma, disfungsi neurogenik kandung kemih.
2. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi urinasi :
a. Perubahan dan pertumbuhan
Bayi dan anak kecil tidak dapat memekatkan urine secara efektif. Bayi dan
anak-anak mengekresikan urine dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan
ukuran tubuh mereka yang kecil. Seorang anak tidak dapat mengontrol mikturisi
secara volunter sampai usia 18-24 bulan. Orang dewasa dalam kondisi normal
mengekresikan 1500 sampai 1600 ml urine setiap hari. Proses penuaan
mengganggu mikturisi. Perubahan fungsi ginjal dan kandung kemih juga terjadi
seiring dengan proses penuaan.
b. Faktor sosiokultural
Pendekatan keperawatan terhadap kebutuhan eliminasi klien harus
mempertimbangkan aspek budaya dan kebiasaan sosial klien. Apabila seorang
klien menginginkan privasi, perawat berupaya untuk mencegah terjadinya
interupsi pada saat klien berkemih. Seorang klien yang kurang sensitif terhadap
kebutuhannya untuk mendapatkan privasi harus ditangani dengan sikap yang
berusaha memahami serta menerima klien.
c. Faktor psikologis
Ansietas dan stres emosional dapat menimbulkan dorongan untuk berkemih
dan frekuensi berkemih meningkat. Seorang individu yang cemas dapat
merasakan suatu keinginan untuk berkemih. Bahkan setelah buang air beberapa
menit sebelumnya.
d. Kebiasaan pribadi
Privasi dan waktu yang adekuat untuk berkemih biasanya penting untuk
kebanyakan individu. Beberapa individu memerlukan distraksi untuk rileks.
e. Tonus otot
Lemahnya otot abdomen dan otot dasar panggul merusak kontraksi kandung
kemih dan kontrol sfingter uretra eksterna. Kontrol mikturisi yang buruk dapat
diakibatkan oleh otot yang tidak dipakai, yang merupakan akibat dari lamanya
imobilitas, peregangan otot selama melahirkan, atrofi otot setelah menopause, dan
kerusakan otot akibat trauma.
f. Status volume
Apabila cairan dan kontsentrasi elektrolit serta solut berada dalam
keseimbangan, peningkatan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan
produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatkan plasma yang
bersirkulasi didalam tubuh sehingga meningkatkan volume filtrat glomerulus dan
ekskresi urine.
g. Kondisi penyakit
Beberapa penyakit dapat mempengaruhi kemampuan untuk berkemih. Adanya
luka pada saraf perifer yang menuju ke kandung kemih menyebabkan hilangnya
tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan individu
sulit untuk mengontrol urinasi.
h. Prosedur pembedahan
Analgesik narkotik dan anestesi dapat memperlambat laju filtrasi glomerulus,
mengurangi haluan urine. Pembedahan struktur panggul dan abdomen bagian
bawah dapat merusak urinasi akibat trauma lokal pada jaringan sekitar.
i. Obat-obatan
Deuretik mencegah reabsorbsi air dan elektrolit tertentu untuk meningkatkan
haluan urine. Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik
(sekelompok obat yang menghambat kerja neurotransmitter asetilkolin terutama
reseptor-reseptor muskarin yang terdapat di SSP dan organ perifer).
3. Berikut adalah faktor risiko eliminasi urine, yaitu :
a. Retensi urine
Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini
menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam keadaan
distensi, vesika urinaria dapat menampung urine sebanyak 3000 – 4000 ml urine.
Gejala obstruktif pada saluran kemih yaitu mengedan ketika miksi (straining),
menunggu pada awal miksi (hesitancy), pancaran melemah (weakness), miksi
terputus (intermitten), dan tidak lampias setelah miksi. Sedangkan gejala iritatif
meliputi rasa ingin miksi yang tidak bisa ditahan (urgency), sering miksi
(frequency), sering miksi pada malam hari (nocturia), dan nyeri ketika miksi
(dysuria).
b. Inkontinensia urine
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urine. Secara umum,
penyebab dari inkontinensia urine adalah proses penuaan, pembesaran kelenjar
prostat, serta penurunan kesadaran, serta penggunaan obat narkotik. Inkotinensia
terdiri atas:
1) Inkotinensia dorongan : merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urine tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang
kuat untuk berkemih.
2) Inkontinensia total : merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urine yang terus-menerus dan tidak dapat diperkirakan.
3) Inkontinensia stress : merupakan keadaan seseorang yang mengalami
kehilangan urine kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan
abdomen.
4) Inkotinensia refleks : merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urine yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat
diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu.
5) Inkontinensia fungsional : merupakan keadaan seseorang yang mengalami
pengeluaran urine secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
c. Enuresis
Enuresis merupakan ketidaksanggupan menahan kemih yang diakibatkan tidak
mampu mengontrol sfingter eksternal. Biasanya, enuresis terjadi pada anak atau
orang jompo. Umumnya enuresis terjadi pada malam hari.
d. Perubahan pola eliminasi urine
Perubahan pola eliminasi urine merupakan keadaan seseorang yang
mengalami gangguan pada eliminasi urine karena obstruksi anatomis, kerusakan
motorik sensorik, dan infeksi saluran kemih. Perubahan pola eliminasi terdiri
atas:
1) Frekuensi : merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari.
Peningkatan frekuensi berkemih dikarenakan meningkatnya jumlah cairan
yang masuk. Frekuensi yang tinggi tanpa suatu tekanan asupan cairan dapat
disebabkan oleh sistisis (penyakit kronis yang menyebabkan peradangan,
nyeri dan tekanan di kandung kemih). Frekuensi tinggi dapat ditemukan juga
pada keadaan stres atau hamil.
2) Urgensi : perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika tidak
berkemih. Pada umumnya, anak kecil memiliki kemampuan yang buruk
dalam mengontrol sfingter eksternal. Biasanya, perasaan segera ingin
berkemih terjadi pada anak karena kurangnya pengontrolan pada sfingter.
3) Disuria : rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih. Hal ini sering ditemukan
pada penyakit infeksi saluran kemih, trauma, dan striktur uretra (menyempit).
4) Poliuria : merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh
ginjal, tanpa adanya peningkatan asupan cairan. Biasanya, hal ini dapat
ditemukan pada penyakit diabetes mellitus dan penyakit ginjal kronis.
5) Urinaria supresi : berhentinya produksi urine secara mendadak. Secara
normal, urine diproduksi oleh ginjal pada kecepatan 60 – 120 ml/jam secara
terus – menerus.

C. MANIFESTASI KLINIS
1. Urine mengalir lambat
2. Terjadi poliuria yang makin lama makin parah karena pengosongan kandung kemih
tidak efisien
3. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih
4. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
5. Pada retensi berat bisa mencapai 2000-3000 cc.
6. Hematuria
7. Edema ringan pada mata / seluruh tubuh
8. Edema berat mengakibatkan oliguria dan payah jantung
9. Hipertensi 60 – 70%
10. Gangguan GIT ( muntah dan diare )
11. Oliguria

D. PATOFISIOLOGI
Pengendalian kandung kemih dan sfingter diperlukan agar terjadi pengeluaran urine
secara kontinu. Pengendalian memerlukan kegiatan otot normal diluar kesadaran dan
yang di dalam kesadaran yang dikoordinasi oleh refleks urethrovesica urinaria.
Bila terjadi pengisian kandung kemih, tekanan didalam kandung kemih meningkat.
Otot detrusor (lapisan yang tiga dari dinding kandung kemih) memberikan respon
dengan relaksasi agar memperbesar volume daya tampung. Bila titik daya tampung telah
dicapai, biasanya 150 sampai 200 ml urin daya rentang reseptor yang terletak pada
dinding kandung kemih mendapat rangsang. Stimulus ditransmisi lewat serabut refleks
eferen ke lengkungan pusat refleks untuk mikturisi. Impuls kemudian disalurkan melalui
serabut eferen dari lengkungan refleks ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot
detrusor.
Sfingter internal yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama
membuka dan urin masuk ke uretra posterior. Relaksasi sfingter eksternal dan otot
perincal mengikuti dan isi kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan refleks bisa
mengalami interupsi dan berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls
inhibitori dari pusat kortek yang berdampak kontraksi diluar kesadaran dari sfingter
eksternal. Bila salah satu bagian dari fungsi yang komplek ini rusak, bisa terjadi
inkontinensia urin.
Pathway
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pielogram Intravena/ Intravenous Pyelography (IVP) : adalah pemeriksaan
radiografi dari traktus urinarius (renal, ureter, kandung kemih, uretra) dengan
memasukkan bahan media kontras kedalam traktus urinary melalui pembuluh darah
vena untuk mendapatkan informasi anatomi dan patologi.
2. Computerized Axial Tomography : merupakan prosedur sinar X terkomputerisasi
yang digunakan untuk memperoleh gambaran terperinci mengenai struktur bidang
tertentu dalam tubuh. scanner tomografi adalah sebuah mesin besar yang berisi
komputer khusus serta sistem pendeteksi sinar X yang berfungsi secara simultan
untuk memfoto struktur internal berupa potongan lintang transversal yang tipis.
3. Ultra Sonografi (USG) : merupakan alat diagnostik yang noninvasif yang berharga
dalam mengkaji gangguan perkemihan. Alat ini menggunakan gelombang suara
yang tidak dapat didengar, berfrekuensi tinggi, yang memantul dari struktur
jaringan.
4. Prosedur Invasif
a. Sistoscopy : sistocopy terlihat seperti kateter urine. Walaupun tidak fleksibel
tapi ukurannya lebih besar sistoscopy di insersi melalui uretra klien. Instrumen
ini memiliki selubung plastik atau karet. Sebuah obturator yang membuat skop
tetap kaku selama insersi. Sebuah teleskop untuk melihat kantung kemih dan
uretra, dan sebuah saluran untuk menginsersi kateter atau instrumen bedah
khusus.
b. Biopsi Ginjal : menentukan sifat, luas, dan progronosis ginjal. Prosedur ini
dilakukan dengan mengambil irisan jaringan korteks ginjal untuk diperiksa
dengan tekhnik mikroskopik yang canggih. Prosedur ini dapat dilakukan
dengan metode perkutan (tertutup) atau pembedahan (terbuka).
c. Angiography (arteriogram) : merupakan prosedur radiografi invasif yang
mengevaluasi sistem arteri ginjal. Digunakan untuk memeriksa arteri ginjal
utama atau cabangnya untuk mendeteksi adanya penyempitan atau okulasi dan
untuk mengevaluasi adanya massa (contoh: neoplasma atau kista)
5. Sitoure Terogram Pengosongan (volding cystoureterogram) : pengisian kandung
kemih dengan zat kontras melalui kateter. Diambil foto saluran kemih bagian bawah
sebelum, selama dan sesudah mengosongkan kandung kemih. Kegunaannya untuk
mencari adanya kelainan uretra (misal: stenosis) dan untuk menentukan apakah
terdapat refleks vesikoreta.
6. Arteriogram Ginjal : memasukan kateter melalui arteri femonilis dan aorta
abdominis sampai melalui arteria renalis. Zat kontras disuntikan pada tempat ini, dan
akan mengalir dalam arteri renalis dan kedalam cabang-cabangnya. Indikasi :
a. Melihat stenosis renalis yang menyebabkan kasus hipertensi
b. Mendapatkan gambaran pembuluh darah suatu neoplasma
c. Mendapatkan gambaran dan suplai dan pengaliran darah ke daerah korteks,
untuk pengetahuan pielonefritis kronik (infeksi ginjal).
d. Menetapkan struktur suplai darah ginjal dari donor sebelum melakukan
transplantasi ginjal.
7. Pemeriksaan Urine : hal yang dikaji adalah warna, kejernihan dan bau urine. Untuk
melihat kejanggalan dilakukan pemeriksaan protein, glukosa, dll.
8. Tes Darah : hal yang di kaji BUN, bersih kreatinin, nitrogen non protein, sistoskopi,
intravenus, pyelogram.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Pengumpulan urine untuk bahan pemeriksaan. Mengingat tujuan pemeriksaan
berbeda-beda, maka pengambilan sampel urine juga dibeda-bedakan sesuai dengan
tujuannya.
2. Menolong untuk buang air kecil dengan menggunakan urinal. Menolong BAK
dengan menggunakan urinal merupakan tindakan keperawatan dengan membantu
pasien yang tidak mampu BAK sendiri dikamar kecil dengan menggunakan alat
penampung dengan tujuan menampung urine dan mengetahui kelainan urine berupa
warna dan jumlah urine yang dikeluarkan pasien.
3. Melakukan kateterisasi. Kateterisasi kandung kemih adalah dimasukkannya kateter
melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan air seni atau urine.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian pada kebutuhan elimiasi urine meliputi :
a. Identitas pasien meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, dan
diagnosa medis.
b. Data keluhan utama merupakan keluhan yang sering menjadi alasan pasien untuk
meminta bantuan kesehatan, seperti pada gangguan sistem perkemihan, meliputi
keluhan sistemik, antara lain gangguan fungsi ginjal (sesak nafas, edema, malaise,
pucat, dan uremia) atau demam disertai menggigil akibat infeksi/urosepsis, dan
keluhan lokal pada saluran perkemihan antara lain nyeri akibat kelainan pada saluran
perkemihan, keluhan miksi (keluhan iritasi dan keluhan obstruksi), hematuria,
inkontinensia, disfungsi seksual, atau infertilitas. Keluhan utama pada subjek retensi
urin adalah sensasi penuh pada kandung kemih, disuria/anuria, dan distensi kandung
kemih (Muttaqin, 2011).
c. Kebiasaan berkemih
Pengkajian ini meliputi bagaimana kebiasaan berkemih serta hambatannya.
Frekuensi berkemih tergantung pada kebiasaan dan kesempatan.
d. Pola berkemih
 Frekuensi berkemih menentukan berapa kali individu berkemih dalam waktu 24
jam.
 Urgensi dimana perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang ke toilet
karena takut mengalami inkotinensia jika tidak berkemih.
 Disuria dimana keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih.
 Poliuria dimana keadaan produksi yang abnormal.
 Urinaria supresi adalah keadaan produksi urine yang berhenti secara mendadak.
e. Volume urine menentukan berapa jumlah urine dalam waktu 24 jam.
f. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih seperti berikut:
 Diet dan asupan (diet tinggi protein dan natrium)
 Gaya hidup
 Stres psikologis dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih
 Tingkat aktivitas
g. Keadaan urine meliputi :
 Warna
 Bau
 Berat jenis
 Kejernihan
 pH
 Protein
 Darah
 Glukosa
h. Tanda klinis gangguan eliminasi urine seperti retensi urine, inkontinensia urine.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Retensi urine b/d blok spingter dibuktikan dengan (d.d) pasien mengalami sensasi
penuh pada kandung kemih, disuria/ anuria, distensi kandung kemih, dribbling,
inkontinensia berlebih, dan residu rin 150 ml atau lebih (D.0050)
2. Inkontinensia urin fungsional b/d gangguan fungsi kognisi, faktor perubahan
lingkungan, gangguan psikologi, kelemahan struktur panggul, keterbatasan
neuromuskular (D.0044)
3. Inkontinensia urin berlebih b/d disenergia sfingter eksternal, obstruksi ureter,
program pengobatan (D.0043)
4. Inkontinensia urin refleks b/d gangguan neurologis diatas lokasi pusat mikturisi
pontine dan mikturisi sakral (D.0045)
5. Inkontinensia urin stres b/dndefisiensi sfingter uretra intrinsik, peningkatan tekanan
intraabdomen (D.0046)
6. Inkontinensia urin urgensi b/d infeksi kandung kemih, program pengobatan
(D.0047)

SDKI SLKI SIKI


Nyeri Akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri (I.08238)
(D.0077) (L.08066) Tindakan :
Definisi : Setelah dilakukan  Identifikasi respon nyeri non verbal
pengalaman tindakan keperawatan  Identifikasi faktor yang memperberat
sensorik atau 3x24 jam diharapkan nyeri
emosional yang pasien mempunyai  Monitor efek samping penggunaan
berkaitan dengan kriteria hasil : analgetik
kerusakan  Keluhan nyeri  Berikan teknik nonfarmakologis
jaringan aktual  Kesulitan tidur untuk mengurangi rasa nyeri
atau fungsional  Pola tidur  Kompres hangat/ dingin
dengan onset  Meringis  Fasilitasi istirahat dan tidur
mendadak atau  Gelisah  Anjurkan memonitor nyeri secara
lambat dan mandiri
berintensitas
 Anjurkan menggunakan analgetik
ringan hingga
secara tepat
berat yang
berlangsung
kurang dari 3
bulan.
Retensi Urin Eliminasi Urine Perawatan Kateter Urine (I.04164)
(D.0050) (L.04034) Obsevasi:
Setelah dilakukan  Monitor kepatenan kateter urine
Definisi : perencanaan
 Monitor tanda dan infeksi saluran
pengosongan keperawatan selama 2 kemih
kandung kemih x 24 jam, maka
 Monitor tanda dan gejala obstruksi
yang tidak eliminasi urine aliran urine.
lengkap. membaik, dengan  Monitor kebocoran kateter, selang
kriteria hasil: dan kantung urine.
1.Disuria menurun  Monitor input dan output cairan
2.Mengompol (jumlah dan karakteristik)
menurun Terapeutik:
 Gunakan teknik aseptik selama
perawatan kateter urine.
 Pastikan selang kateter dan kantung
urine terbebas dari lipatan.
 Pastikan kantung urine diletakkan di
bawah ketinggian kandung kemih dan
tidak dilantai.
 Lakukan perawatan perineal (perineal
hygiene) minimal 1 kali sehari.
 Kosongkan kantung urine jika
kantung urine telah terisi setengahnya
 Ganti kateter dan kantung urine
secara rutin sesuai protokol atau
sesuai indikasi
 Lepaskan kateter urine sesuai
kebutuhan.
 Jaga privasi selama melakukan
tindakan
Gangguan Eliminasi Urine Manajemen Eliminasi Urine
Eliminasi Urine (L.04034) (I.04152)
(D. 0040) Setelah dilakukan Tindakan :
Definisi : keadaan tindakan keperawatan  Identifikasi tanda dan gejala retensi
dimana seorang selama 3x24 jam atau inkontinensia urine
individu diharapkan pasien  Monitor eliminasi urine
mengalami atau mempunyai kriteria  Catat waktu-waktu dan haluaran
resiko hasil : berkemih
ketidakmampuan  Sensasi  Batasi asupan cairan
untuk berkemih. berkemih  Ajarkan tanda dan gejala infeksi
 Desakan saluran kemih
berkemih  Ajarkan mengukur asupan cairan
 Berkemih tidak dan haluaran cairan
tuntas  Ajarkan terapi modalitas penguatan
 Mengontrol otot – otot panggul/ berkemih
 Frekuensi  Anjurkan mengurangi minum
BAK menjelang tidur
 Kolaborasi pemberian obat
supositoria, jika perlu
Ansietas (D.0080) Tingkat Ansietas Reduksi Ansietas (I.09314)
Definisi : kondisi (L.09093) Tindakan :
emosi dan Setelah dilakukan  Identifikasi saat tingkat ansietas
pengalaman tindakan keperawatan berubah
subyektif individu selama 3x24jam  Monitor tanda – tanda ansietas
terhadap objek diharapkan pasien  Ciptakan suasana terapeutik untuk
yang tidak jelas mempunyai kriteria menumbuhkan kepercayaan
dan spesifik hasil :  Pahami situasi yang membuat
akibat antisipasi  Verbalisasi ansietas
bahaya yang kebingungan  Gunakan pendekatan yang tenang
memungkinkan  Perilaku dan meyakinkan
individu gelisah  Jelaskan prosedur termasuk sensasi
melakukan  Frekuensi nadi yang dialami
tindakan untuk  Pola tidur  Anjurkan keluarga untuk tetap
menghadapi  Pola berkemih bersama pasien
ancaman.
 Anjurkan mengungkapkan perasaan
dan persepsi
 Latih teknik relaksasi

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Tujuan :
a. Memahami arti eliminasi urine
b. Membantu mengosongkan kandung kemih secara penuh
c. Mencegah infeksi
d. Mempertahankan integritas kulit
e. Memberikan rasa nyaman
f. Mengembalikan fungsi kandung kemih
g. Memberikan asupan secara tepat
h. Mencegah kerusakan kulit
i. Memulihkan self esteem atau mencegah tekanan emosional
Rencanakan Tindakan :
 Monitor/observasi perubahan faktor, tanda dan gejala terhadap masalah perubahan
eliminasi urine, retensi dan urgensi
 Kurangi faktor yang mempengaruhi/penyebab masalah
 Monitor terus perubahan retensi urine
 Lakukan kateterisasi urine
1. Inkontinensia dorongan
a) Pertahankan hidrasi secara optimal
b) Ajarkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih
c) Ajarkan pola berkemih terencana (untuk mengatasi kontraksi kandung kemih
yang tidak biasa)
d) Anjurkan berkemih pada saat terjaga seperti setelah makan, latihan fisik,
mandi
e) Anjurkan untuk menahan sampai waktu berkemih
f) Lakukan kolaborasi dengan tim dokter dalam mengatasi iritasi kandung kemih
2. Inkontinensia total
a) Pertahankan jumlah cairan dan berkemih
b) Rencanakan program kateterisasi intermitten apabila ada indikasi
c) Apabila terjadi kegagalan pada latihan kandung kemih pertimbangan untuk
pemasangan indweeling urinary catheter.
3. Inkontinensia stres
a) Ajarkan untuk mengidentifikasi otot dasar pelviks dan kekuatan dan
kelemahannya saat melakukan latihan
b) Untuk otot dasar pelviks anterior bayangkan anda mencoba menghentikan
aliran urine, kencangkan otot-otot belakang dan depan dalam waktu 10 detik,
kemudian lepaskan atau rileks, ulangi hingga 10 kali dan lakukan 4 kali sehari
c) Meningkatkan tekanan abdomen dengan cara :
 Latih untuk menghindari duduk lama
 Latih untk sering berkemih sedikitnya tiap 2 jam.
4. Inkontinensia fungsional
a) Ketuk supra pubis secara dalam, tajam dan berulang
b) Anjurkan pasien untuk posisi setengah duduk
c) Mengetuk kandung kemih secara langsung dengan rata-rata 7–8 kali setiap
detik
d) Gunakan sarung tangan
e) Pindahkan sisi rangsangan di atas kandung kemih untuk menentukan posisi
saling berhasil lakukan hingga aliran baik
f) Tunggu kurang lebih 1 menit dan ulangi hingga kandung kemih kosong
g) Apabila rangsangan dua kali lebih dan tidak ada respon, berarti sudah tidak
ada lagi yang dikeluarkan.

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat
melaksanakan rencana atau perencanaan yang sudah dilaksanakan sebelumnya
(Koizer et al., 2011). Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik
yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan perencanaan keperawatan.
Tindakan-tindakan pada perencanaan keperawatan terdiri atas observasi, terapeutik,
edukasi dan kolaborasi (Tim Pokja SIKI DPP, 2018). Fase pertama merupakan fase
persiapan yang mencakup pengetahuan tentang validasi rencana, implementasi
rencana, persiapan pasien dan keluarga. Fase kedua merupakan puncak implementasi
keperawatan yang berorientasi pada tujuan. Fase ketiga merupakan transmisi perawat
dan pasien setelah implementasi keperawatan selesai dilakukan.
E. EVALUASI
Evaluasi keperaatan terhadap gangguan kebutuhan eliminasi urine secara umum dapat
dinilai dari adanya kemampuan dalam :
1. Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai dengan
asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat, kompresi
pada kandung kemih atau kateter.
2. Mengosongkan kandung kemih, ditunjukkan dengan berkurangnya distensi,
volume urine residu, dan lancarnya kepatenan drainase
3. Mencegah infeksi/ bebas dari infeksi, ditunjukkan dengan tidak adanya infeksi,
tidak ditemukan adanya disuria, urgensi, frekuensi, dan rasa terbakar
4. Mempertahankan integritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering
tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.
5. Memberikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak
ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
6. Melakukan bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi
inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. (2012). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta: EGC
Kozier, Erb, Berman, Snyder. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 7 Volume
2. Jakarta : EGC
Mubarok, Chayatin. (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. EGC: Jakarta
Potter dan Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 Volume 2. Jakarta :
EGC
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan Edisi 4.
Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai