BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali
atau terjadi di luar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi,
mungkin sifatnya hanya sementaraSeiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa
perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Diperkirakan prevalensi
inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien
geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pria. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah
melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh
perubahan otot dan fasia di dasar panggul.
Biaya perawatan bagi pasien inkontinensia urine diperkirakan lebih dari 10, 3 milyar per
tahunnya (AHCPR,1992) Biaya psikososial dari Inkontinensia urine sangat besar, yaitu
perasaan malu, kehilangan kepercayaan diri dan isolasi sosial merupakan hasil yang
umumnya terjadi Inkontinensia urine pada lansia sering menyebabkan perlunya perawatan
dala lembaga perawatan. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang apa itu inkontinensia
urine dan cara pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan Inkontinensia urine.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, masalah yang dapat kami kaji dalam makalah ini diantaranya:
1. Bagaimana konsep dasar inkontinensia urine?
2. Bagaimana asuhan keperawatan inkontinensia urine?
C. Tujuan Penulisan
Dalam pembuatan tugas ini, adapun tujuan yang hendak dicapai penulis yaitu:
1. Untuk mengetahui konsep dasar inkontinensia urine?
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan inkontinensia urine ?
D. Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam menulis makalah ini, yaitu :
1. Metode Kepustakaan
Adalah metode pengumpulan data yang digunakan penulis dengan mempergunakan buku
atau refrensi yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas
2. Metode Media Informatika
Adalah metode dengan mencari data melalui situs-situs di internet
BAB II
PEMBAHASAN
2. Klasifikasi
a. Inkontinensia urine di klasifikasikan menjadi 3 : ( Charlene J.Reeves at all )
1) Inkontinensia Urgensi adalah pelepasan urine yang tidak terkontrol sebentar setelah ada
peringatan ingin melakukan urinasi. Disebabkan oleh aktivitas otot destrusor yang berlebihan
atau kontraksi kandung kemih yang tidak terkontrol.
2) Inkontinensia Tekanan adalah pelepasan urine yang tidak terkontrol selama aktivitas yang
meningkatkan tekanan dalam lubang intra abdominal. Batuk, bersin, tertawa dan mengangkat
beban berat adalah aktivitas yang dapat menyebabkan inkontinensia urine.
3) Inkontinensia Aliran Yang Berlebihan ( Over Flow Inkontinensia ) terjadi jika retensi
menyebabkan kandung kemih terlalu penuh dan sebagian terlepas secara tidak terkontrol, hal
ini pada umumnya disebabkan oleh neurogenik bladder atau obstruksi bagian luar kandung
kemih.
b. Kategori klinis meliputi :
1) Inkontinensia urin stress (stres inkontinence). Tak terkendalinya aliran urin akibat
meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga.
Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering
inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi
mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan
transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau
berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
2) Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence). Keluarnya urin secara tak terkendali
dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya
dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah
neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit
Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk
sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa
inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia
pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor
dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak
dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti
inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali
kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya
tidak tepat.
3. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung
kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran
kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran
kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi
penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika
pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu
penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih
karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus
terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan
mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.Gagal jantung kongestif juga
bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang
sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas.
Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau
menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu
harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien
lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya
. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik,
narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium
antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga
memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot
dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia
lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot
dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat
otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan
lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke
atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra),
sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung
kemih dan otot dasar panggul. Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan
pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni.
4. Epidemiologi
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di
masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia
urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74
tahun.
Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi
pada wanita dibandingkan pria. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah
melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh
perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah
menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang
dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang
baik.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian
bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami
inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian
normal proses menuaan.
5. Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain fungsi sfingter
yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Bisa juga
disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah saluran kencing. Fungsi otak besar yang
terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine
dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas
berlebihan. Inkontinensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi
suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik
masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter
yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi
detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow Ada beberapa pembagian
inkontinensia urin, tetapi pada umumnya dikelompokkan menjadi 4:
1. Urinary stress incontinence
2. Urge incontinence
3. Total incontinence
4. Overflow incontinence
Stress urinary incontinence terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat
peningkatan tekanan di dalam perut. Dalam hal ini, tekanan di dalam kandung kencing
menjadi lebih besar daripada tekanan pada urethra. Gejalanya antara lain kencing sewaktu
batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada
rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi(misalnya dengan Kegel
exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun secara operasi (cara yang lebih sering
dipakai).
Urge incontinence timbul pada keadaan otot detrusor yang tidak stabil, di mana otot ini
bereaksi secara berlebihan. Gejalanya antara lain perasaan ingin kencing yang mendadak,
kencing berulang kali, kencing malam hari, dan inkontinensia. Pengobatannya dilakukan
dengan pemberian obat-obatan dan beberapa latihan.
Total incontinence, di mana kencing mengalir ke luar sepanjang waktu dan pada segala
posisi tubuh, biasanya disebabkan oleh adanya fistula (saluran abnormal yang
menghubungkan suatu organ dalam tubuh ke organ lain atau ke luar tubuh), misalnya fistula
vesikovaginalis (terbentuk saluran antara kandung kencing dengan vagina) dan/atau fistula
urethrovaginalis (saluran antara urethra dengan vagina). Bila ini dijumpai,dapat ditangani
dengan tindakan operasi.
Overflow incontinence adalah urin yang mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu
banyak di dalam kandung kencing akibat otot detrusor yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai
pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau
saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing (merasa
urin masih tersisa di dalam kandung kencing), urin yang keluar sedikit dan pancarannya
lemah. Pengobatannya diarahkan pada sumber penyebabnya.
(PATHWAY)
Pathway terlampir
6. Manifestasi klinik
Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejala-gejala
ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran
seringnya terburu-buru untuk berkemih.
Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara lemah, menetes),
trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal), fistula (menetes terus-
menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik
(misalnya diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.
Sementara itu, Dr Nina MS Syafiuddin SpOG mengatakan, ada gejala-gejala tertentu
yang mesti diwaspadai sebagai bentuk inkontinensia urin. Gejala-gejala tersebut adalah;
Urin keluar bila batuk, bersin, tertawa atau saat melompat.
Urin sering keluar, sehingga menimbulkan rasa malu yang berimbas pada pengurangan
aktivitas.
Selalu memakai pembalut agar urin tidak membasahi pakaian.
Sering buang air kecil, tetapi urin yang keluar sangat sedikit
Kandung kemih terasa penuh, walaupun setelah buang air kecil.
Sering merasakan ingin sekali berkemih sehingga tergesa-gesa pergi ke kamar kecil.
Kadang-kadang urin keluar sebelum sampai ke kamar kecil.
Bila pergi ke tempat baru, hal pertama yang dicari adalah lokasi kamar kecil.
Sering terbangun di malam hari untuk buang air kecil.
Pada saat tidur sering mengompol.
Urin sering keluar setelah operasi kandungan.
Berkemih lebih sering dari biasanya tanpa ada infeksi saluran kemih.
Nyeri yang berhubungan dengan berkemih.
Sering infeksi saluran kemih. Kelemahan pancaran berkemih yang progresif.
Pakaian dalam selalu basah oleh urin, tetapi tidak merasakan urin keluar.
7. Therapi
a. Terapi non farmakologi
a) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik
relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat
menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih
pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
b) Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan
lansia.
c) Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka
serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
d) Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah
dengan cara :
1) Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul
digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar
searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
2) Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup
dengan baik.
b. Terapi farmakologi
1) Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti
Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
2) Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk
meningkatkan retensi urethra.
3) Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
5. PENATALAKSANAAN
a. Inkontinen Stres
- Latihan otot-otot dasar panggul
- Latihan penyesuaian berkemih
- Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
- Tindakan pembedahan memperkuat muara kandung kemih
b. Inkontinensia urgensi
- Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaianya
- Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
- Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain keadaan patologik yang
menyebabkan iritasi pada saluran kemih bagian bawah.
c. Inkontensia overflow
- Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin secara menetap.
- Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan.
a) Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada
kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar
panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan,
stimulasi dan pemakaian alat mekanis.
Latihan Otot Dasar Pinggul (‘Pelvic Floor Exercises’)
Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis. Fisioterapi
meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu penutupan urethra pada
keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat
mengangkat sambungan urethrovesikal ke dalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen
dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intraabdominal, perubahan posisi
dan pengisian kandug kemih. Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi
tekanan abdominal pada uretra proksimal. Fisioterapi membantu meningkatkan tonus dan
kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung
kemih (‘bladder training) telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih
adalah upaya melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional
kandung kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal.
Bladder Training
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan
teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan
dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk
berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada
waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding
dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada
lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
b) Penatalaksanaan Fakmakologis
Alfa Adrenergik Agonis
Otot leher vesika dan uretha proksimal megandung alfa adrenoseptor yang menghasilkan
kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan urethra obat aktif agonis alfa-
reseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini dengan efek samping relatif ringan.
Efedrin
Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga melepaskan
noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif pada inkotinensia stres. Efek
samping menigkatkan tekanan darah, kecemasan dan insomnia oleh karena stimulasi SSP
Phenylpropanololamine
PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan efedrin, akan
tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama obat influensa dalam
kombinasi dengan antihistamin dan anthikholinergik. Dosis 50 mg dua kali sehari. Efek
samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stres mengalami perbaikan.
Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan efek meningkatkan
transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan estrogen dosis tinggi oral dan
intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan bedah pada inkontinensia dengan
tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan penyembuhan jaringan urogential, walaupun
belum ada data yang akurat.
c) Stimulasi Elektrik
Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan selama
2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan
parauretra dengan memakai implant/non-implant (anal atau vaginal) elektrode untuk
meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa
jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant,
tapi metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbiditas karena
infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang digerakkan dengan
baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan elektrode
anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring, Hodge pessary, silindris.
e) Penatalaksanaan Pembedahan
Tindakan operatif sangat membutuhkan informed consent yang cermat dan baik pada
penderita dan keluarganya karena angka kegagalan maupun rekurensi tindakan ini tetap ada.
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non
farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan
beberapa cara meliputi :
Kolporafi anterior
Uretropeksi retropubik
Prosedur jarum
Prosedur sling pubovaginal
Periuretral bulking agent
Tension vaginal tape (TVT)
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Kultur urin: untuk menyingkirkan infeksi.
b. IVU: untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula.
c. Urodinamik:
Uroflowmetri: mengukur kecepatan aliran.
Sistrometri: menggambarkan kontraksi detrusor.
Sistometri video: menunjukkan kebocoran urin saat mengedan pada pasien dengan
inkontinensia stres.
Flowmetri tekanan udara: mengukur tekanan uretra dan kandung kemih saat istirahatdan
selama berkemih.
8. Pemeriksaan penunjang
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-
sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang
spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada
saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan
ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk
batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali
dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan
berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas
kandung kemih.
B. Konsep asuhan keperawatan pada paien lansia dengan gangguan inkontinensia urin
1. Pengkajian
a) Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas
65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-
laki juga beresiko mengalaminya.
b) Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah
frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres,
ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran
jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin
berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
Riwayat Kesehatan Klien
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat
urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius,
pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan
apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya
inkontinensia.
a. Inspeksi: Adanya kemerahan, iritasi / lecet dan bengkak pada daerah perineal. Adanya
benjolan atau tumor spinal cord Adanya obesitas atau kurang gerak.
b. Palpasi: Adanya distensi kandung kemih atau nyeri tekan Teraba benjolan tumor
daerah spinal cord
c. Perkusi: Terdengar suara redup pada daerah kandung kemih
Pemeriksaan Sistem :
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun.
kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya
aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah
apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak
kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis,
seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya
ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri pada persendian.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut :
a. Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar penyokongnya.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.
c. Kerusakan Integritas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
d. Gangguan Citra tubuh berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di
depan orang lain atau takut bau urine
e. Defisiensi pengetahuan yang berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tenttang
penyebab inkontinensia, penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan
gejala komplikasi, serta sumber komonitas.
3. Perencanaan Keperawatan
4 Setelah Mandiri
diberikan
tindakan asuhan1. Pantau penampilan kulit1. Untuk mengidentifikasi
keperawatan kemajuan atau penyimpangan
periostomal setiap 8 jam.
selama ….x24 dari hasil yang diharapkan.
jam diharapkan
kerusakan 2. Peningkatan berat urine dapat
2. Ganti wafer stomehesif
integritas kulit merusak segel periostomal,
dapat teratasi setiap minggu atau bila memungkinkan kebocoran
dengan kriteria urine. Pemajanan menetap
bocor terdeteksi.
hasil: pada kulit periostomal
1. Perfusi jaringan Yakinkan kulit bersih terhadap asam urine dapat
baik menyebabkan kerusakan kulit
dan kering sebelum
2. Integritas kulit dan peningkatan resiko
yang baik bisa memasang wafer yang infeksi.
dipertahankan Mempertahankan insisi
baru. Potong lubang
(sensasi, bersih, meningkatkan
elastisitas, wafer kira-kira setengah sirkulasi atau
temperatur, penyembuhan. Catatan:”me
inci lebih besar dar
hidrasi, manjat” keluar dari bak
pigmentasi) diameter stoma untuk mandi memerlukan
3. Mampu penggunaan lengan dengan
menjamin ketepatan
melindungi kulit otot pektoral, yang dapat
dan ukuran kantung yang menimbulkan stres yang tak
mempertahanka perlu pada sternotomi.
n kelembapan benar-benar menutupi
kulit dan
kulit periostomal.
perawatan alami
4. Menunjukkan Kosongkan kantung
pemahaman
urostomi bila telah
dalam proses 3. Membantu untuk
perbaikan kulit seperempat sampai mempertahankan volume
dan mencegah sirkulasi yang baik untuk
setengah penuh.
terjadinya perfusi jaringan dan
cedera berulang memenuhi kebutuhan energi
5. Kulit seluler untuk memudahkan
3. Ajarkan pasien untuk
periostomal proses regenerasi atau
tetap utuh. meningkatan nutrisi dan penyembuhan jaringan.
masukan cairan adekuat.
4. IMPLEMENTASI
5. EVALUASI
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Huda Nuratif, Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta
2. Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
3. Doengoes, Marilynn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
4. Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika: Jakarta
5. Suzanne C.Smeltzer & Brenda G.Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Sudarth volume 2.. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
6. http;/medicastore.com/penyakit/602/inkontinensia_Uri.html