Anda di halaman 1dari 34

ASKEP

INKONTINENSIA URINE

Nama : Melisa Febrina


Bp : 17001001
KONSEP
TEORITIS

1. DEFINISI
Inkontinensia urine adalah berkemih diluar kesadaran, pada
waktu dan tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah
kebersihan atau sosial. Aspek sosial yang akan dialami oleh lansia
antara lain kehilangan harga diri, merasa terisolasi dan depresi.
Inkontinensia urine adalah sering berkemih/ngompol yang
tanpa disadari merupakan salah satu keluhan orang lanjut usia.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan dan sosial (Kane, dkk, 1989).
 
2. KLASIFIKASI
a. Inkontinensia Stress
Akibat adanya tekanan didalam abdomen, seperti bersin,
atau selama latihan, menyebabkan kebocoran urine dari
kandung kemih. Tidak terdapat aktivitas kandung kemih.
Tipe inkontinensia urine ini sering diderita wanita yang
mempunyai banyak anak.
b. Inkontinensia Mendesak (urge incontinence)
Berkemih dapat dilakukan, tetapi orang biasanya
berkemih sebelum sampai ke toilet. Mereka tidak
merasakan adanya tanda untuk berkemih. Kondisi ini terjadi
karena kandung kemih seseorang berkontraksi tanpa
didahului oleh keinginan untuk berkemih.
Kehilangan sensasi untuk berkemih ini disebabkan
oleh adanya penurunan fungsi persarafan yang mengatur
perkemihan.
c. Inkontinensia Overflow
Seseorang yang menderita inkontinensia overflow akan
mengeluh bahwa urinenya mengalir terus menerus. Hal ini
disebabkan karena obstruksi saluran kemih seperti pada
pembesaran prostat atau konstipasi. Untuk pembesaran prostat
yang menyebabkan inkontinensia dibutuhkan tindakan
pembedahan. Dan untuk konstipasinya relatif mudah diatasi.
d. Inkontinensia Refleks
Ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang
terganggu, seperti demensia. Dalam hal ini, pengosongan
kandung kemih dipengaruhi refleks yang dirangsangoleh
pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti
berkemih tidak ada. Penatalaksanaannya dengan permintaan
untuk miksi secara teratur setiap jam atau dengan
menggunakan diapers ukuran dewasa.
5. Inkontinensia fungsional
Pada klien ini mempunyai kandung kemih dan
saluran urine yang utuh dan tidak mengalami kerusakan
persarafan yang secara langsung mempengaruhi sistem
perkemihan tersebut. Kondisi ini muncul akibat
ketidakmampuan lain yang mengurangi kemampuannya
untuk mempertahankan kontinensia.

 
3. ETIOLOGI
Etiologi inkontinensia urine menurut (Soeparman & Waspadji
Sarwono, 2001) :
a. Poliuria, noktoria
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia > 50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini
disebabkan oleh:
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi
jaringan uretra dan efek akibat dilahirkan dapat
mengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
2) Perokok, minum alkohol.
3) Obesitas.
4) Infeksi saluran kemih (ISK)
 
4. ANATOMI FISIOLOGI
1) Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa untuk mengalirkan urine dari
ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria), panjangnya sekitar
25 cm dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak
dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga
pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari 3 lapisan :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah otot polos (smooth muscle)
c. Lapisan sebelah dalam (lapisan mukosa)
2) Vesika urinaria (kandung kemih)
Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis
seperti balon karet, terletak dibelakang simfisis pubis didalam
rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti kerucut yang
dikelilingi oleh otot yang kuat dan berhubungan dengan
ligamentum vesika umbikalis medius.
3) Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada
kandung kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar
dari tubuh. Pada laki-laki uretra berjalan berkelok-kelok
melalui tengah-tengah prostat kemudian menembus lapisan
fibrosa ke bangian penis. Uretra pada wanita terletak
dibelakang simfisis pubis, berjalan mirirng sedikit kearah atas,
panjangnya sekitar 3-4 cm.
 
5. PATOFISIOLOGI
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
a. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem perkemihan vesika
urinaria (kandung kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar
300-600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350
ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan.
Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor kontrasi
dan sfingter internal dan sfingter ekternal relaksasi, yang yang membuka
uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan
proses ini. Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50
ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml
mengidentifikasi adanya retensi urine. Perubahan yang lainnya pada proses
penuaan adalah terjadinya kontraksi kandung kemih tanpa disadari. Wanita
lansia, terjadi penurunan produksi estrogen menyebabkan atrofi jaringan
uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-otot
dasar ( Stanley M & Beare G Patricia, 2006 ).
b. Fungsi otot besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung
kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung
kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan.
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila
batuk atau bersin .
6. TANDA DAN GEJALA
a. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai
ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena telah mulai
berkemih.
b. Desakan, frekuensi, dan nokturia.
c. Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah
kecil urine ketika tertawa, bersin, melompat, batuk, atau
membungkuk.
d. Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine buruk
atau lambat dan merasa menunda atau mengejan.
e. Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran
urine yang adekuat.
f. Higiene atau tanda-tanda infeksi.
g. Kandung kemih terletak diatas simfisis pubis.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah
dan glukosa dalam urine.
b. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih
dan menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih
dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
c. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular
kandung kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot
detrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi
kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi eksretorik, disebut juga pielografi intravena,
digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal,
ureter, dan kandung kemih.
e. Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi
ketidaknormalan kandung kemih dan uretra serta mengkaji
hipertrofi lobus prostat, struktur uretra, dan tahap gangguan uretra
prostatik stenosis (pada pria).
f. Urterografi retrograde, digunakan hampir secara eksklusif pada
pria, membantu diagnosis struktur dan obstruksi orifisium uretra.
g. Elektromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik
sfingter urinarus eksternal.
h. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukkan
pembesaran prostat atau nyeri, kemungkinan menandakan
hipertfrofi prostat jinak atau infeksi. Pemeriksaan tersebut juga
dapat menunjukkan impaksi yang mungkin dapat mentebabkan
inkontinensia.
i. Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan
luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang
tersisa dalam kandung kemih.
8. PENATALAKSANAAN MEDIK

a. Terapi obat disesuaikan dengan penyebab inkontinensia.


Antibiotik diresepkan jika inkontinensia akibat dari inflamasi
yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Obat antikolinergik
digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih dan
mengobati spasme kandung kemih jika dicurigai ada
ketidakstabilan pada otot destrusor. Obat antispasmodik
diresepkan untuk hiperrefleksia detrusor aktivitas otot polos
kandung kemih. Estrogen baik dalam bentuk oral, topikal,
maupun supositoria, digunakan jika ada vaginitis atrofik.
Inkontinensia stress kadang dapat diterapi dengan obat
antidepresan.
b. Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan
dan waktu berkemih, penyegeraan berkemih, dan latihan otot
panggul (latihan kegel). Pendekatan yang dipilih disesuaikan
dengan masalah pasien yang mendasari. Latihan kebiasaan dan
latihan berkemih sangat sesuai untuk pasien yang mengalami
inkontinensia urgensi. Latihan otot panggul sangat baik
digunakan oleh pasien dengan fungsi kognitif yang utuh yang
mengalami inkontinensia stress. Intervensi perilaku umumnya
tidak dipilih untuk pasien yang mengalami inkontinensia
sekunder akibat overflow. Teknik tambahan, seperti umpan
biologis dan rangsangan listrik, berfungsi sebagai tambahan pada
terapi perilaku.Latihan kebiasaan, bermanfaat bagi pasien yang
mengalami demensia atau kerusakan kognitif, mencakup
menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap 2 sampai 4
jam.
c. Spiral dapat diresepkan bagi pasien wanita yang mengalami
kelainan anatomi seperti prolaps uterus berat atau relaksasi
pelvik. Spiral tersebut dapat dipakai secara internal, seperti
diafragma kontrasepsi, dan menstabilkan dasar kandung kemih
serta uretra, yang mencegah inkontinensia selama ketegangan
fisik.
d. Toileting terjadwal
e. Penggunaan pads
f. Indwelling kateter, jika retensi urine tidak dapat dikoreksi
secara medis/pembedahan dan untuk kenyamanan klien
terakhir.
9. KOMPLIKASI
a.Infeksi saluran kemih
b.Infeksi kulit dan luka
ASKEP TEORITIS

1. Pengkajian
Adapun data-data yang akan di kumpulkan dikaji pada asuhan
keperawatan klien dengan diagnosa medis inkontinensia urine :
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa
medis
b. Keluhan utama
Pada kelayan inkontinensia urine keluhan-keluhan yang ada adalah
nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan strategi
c. Riwayat penyakit sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul
keluhan, usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK ( infeksi saluran
kemih ) yang berulang, penyakit kronis yang pernah di derita
e. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK ( infeksi saluran
kemih ) yang berulang, penyakit kronis yang pernah di derita
f. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga
yang menderita penyakit inkontinensia urine, adakah anggota
keluarga yang menderita DM, hipertensi
g. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
1) B1 (breathing)
Kaji adanya pernafasan adanya gangguan pada palo nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. Kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi
2) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
3) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktifitas mikroorganisme
(bakteri)dalam kandung kemih serta disertai keluhan
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,
pembesaran daerah supra pubiklesi pada neatus
uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih
mendadah disurea akibat dari infeksi, apakah
klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri disapat pada daerah supra pubik atau
pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing
atau dapat juga diluar waktu kencing.
5) B5 (bowel)
Bising usus adalah peningkatan atau penurunan, adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
6) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya
sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk
menghambat kontraksi kantung kemih.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter
dalam waktu yang lama.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi
kontras oleh urine
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan
intake yang adekuat
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya
sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk
menghambat kontraksi kandung kemih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
klien akan bisa melaporkan suatu pengurangan /
penghilangan inkontinesia.
Kriteria Hasil :
Klien dapat menjelaskan penyebab inkontinesia dan rasional
penatalaksaan.
Intervensi :
1) Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih
sehari.
Rasional : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan
beri distensi kandung kemih
2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
Rasional : Pembatasan cairan pada malam hari dapat
mencegah terjadinya enurasis
3) Bila masih terjadi inkontinesia kurangi waktu antara berkemih
yang telah direncanakan
Rasional : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup
untuk menampung volume urine sehingga
diperlukan untuk lebih sering berkemih.
4) Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada
kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoran yang
lebih dulu.
Rasional : Untuk membantu dan melatih pengosongan
kandung kemih.
5) Pantau pemasukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat
masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
Rasional : Dehidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan
batu ginjal
6) Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan
tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis/ jadwal pemberian obat
untuk menurunkan frekuensi inkontinensia. 
b. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinesia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukan
tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal segera mungkin.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi uretra .
2) Jika dipasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(Merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)
dan setelah buang air besar.
Rasional : Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk
memasuki kandung kemih dan naik ke saluran
perkemihan.
3) Ikuti kewaspadaan umum (Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh
atau darah yang terjadi (Memberikan perawatan perineal, pengosongan
kantung drainase urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan
teknik aseptik bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh
urine dari kateter Indwelling.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi silang
4) Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2 jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan .
Rasional : Untuk mencegah stasis urine.
5) Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
a. Tingkatkan masukan sari buah berri .
b. Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
c. R : Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman . Karena jumlah
sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara
keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat
berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras
oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
kerusakan integritas kulit teratasi.
Kriteria hasil:
1) Jumlah bakteri <100.000/ml
2) Kulit periostomal penuh
3) Suhu 37c
4) Urine jernih dengan sendimen minimal.
Intervensi :
1) Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam
Rasional : untuk mengindetifikasi kemajuan atau
penyimpanan
dari hasil yang diharapkan
2) Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor
terdefekasi. Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum
memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira
setengah inci lebih besar dan diameter stoma untuk menjamin
ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit
periastomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.
Rasional : peningkatan berat urine dapat merusak segel
periostomal,memungkinkan kebocoran urin.
Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap
asam urin dapat menyebabkan kerusakan kulit dan
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang adekuat
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi :
1) Awasi tanda-tanda vital
Rasional : pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume
intravaskular, khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2) Catat pemasukan dan pengeluaran
Rasional : untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan cairan.
3) Awasi berat jenis urine
Rasional : untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikan urine
4) Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
Rasional : membantu periode tanpa cairan meminimalkan kebosanan pilihan yang
terbatas dan menurunkan rasa haus
5) Timbang BB setiap hari
Rasional : untuk mengawasi status cairan
 

Anda mungkin juga menyukai