Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN LANSIA

DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN

( INKONTINENSIA URINE )

Dosen Pendamping :
Dini Mei W, S.Kep.,Ns, M.Kep

Disususn :
Dwi Achmad Nugroho (1821008)

PROGRAM STUDI DIII-KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA

TAHUN AJARAN 2020/2021


1.1 KONSEP LANJUT USIA (LANSIA)

1.1.1 DEFINISI
a. Usia lanjut adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari (Azwar, 2006.
Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan
fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang
berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005).
WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan
lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa usia 60 tahun
adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan
proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan
proses menurunya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam dan luar tubuh.
Menurut UU no 4 tahun 1945 Lansia adalah seseorang yang mencapai umur 55
tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari
dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000).

1.2 KONSEP PENYAKIT

1.2.1 DEFINISI
Ikontinensia urien adalah ketidak mampuan menahan air kencing. Gangguan ini
sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan dari pada yang belum pernah
melahirkan .( nulipari) . Diduga di sebabkan oleh perubahan otot dan fasia di
dasar panggul. Kebanyakan penderita ikontinensia telah menderita desensus
dinding depan vagina di sertai sisto – uretrokel . Tetapi kadang kadang di jumpai
penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang
baik .

Pada wanita umumnya Ikontinensia merupakan Ikontinensia Stres , Artinya


keluarnya urine semata mata karena batuk , bersin dan segala gerakan lain jarang
di temukan adanya Ikontinensia desekan , di mana di dapatkan keinginan miksi
mendadak . keinginan ini demikian mendesaknya celananya . jenis Ikontinensia di
kenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih . sistitis yang sering
kambuh . jugak kelainan anatomik yang di anggap sebagai penyebab Ikontinensia
Stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan . sering di dapati Ikontinensia
Stres dan desakan secara bersama .

1.2.2 Anatomi dan Fisiologi

1) Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa untuk mengalirkan urine dari ginjal ke kandung kemih
(vesika urinaria), panjangnya sekitar 25 cm dengan penampang 0,5 cm. Ureter
sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga
pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari 3 lapisan :
a.Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b.Lapisan tengah otot polos (smooth muscle)
c.Lapisan sebelah dalam (lapisan mukosa)
2)Vesika urinaria (kandung kemih)
Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet, terletak
dibelakang simfisis pubis didalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti
kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat dan berhubungan dengan ligamentum
vesika umbikalis medius.
3)Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih yang
berfungsi menyalurkan air kemih keluar dari tubuh. Pada laki-laki uretra berjalan
berkelok-kelok melalui tengah-tengah prostat kemudian menembus lapisan
fibrosa ke bangian penis. Uretra pada wanita terletak dibelakang simfisis pubis,
berjalan mirirng sedikit kearah atas, panjangnya sekitar 3-4 cm.
1.2.3 Etiologi
Etiologi inkontinensia urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :
a.Poliuria, noktoria
b.Gagal jantung
c.Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia > 50 tahun.
d.Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh:
1)Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek
akibat dilahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
2)Perokok, minum alkohol.
3)Obesitas.
4)Infeksi saluran kemih (ISK)

Penyebab dari kontinensia urinea ini adalah karena adanya kelemahan dari otot
dasar panggul . ini perkaitan dengan dengan anatomi dan jugak fungsi organ
kemih . kelemahan dari otot dasar panggul ini bisa karena beberapa penyebab
yaitu di antaranya kehamilan yang berulang – lulang , keslahan dalam mengedan .
hal tersebut bisa mengakibatkan seseorang tersebut tidak tidak dapat menahan air
seni ( besar) inkontinesia urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih
karena berbagai sebab . misalnya gangguan metabolik , seperti Diabetes melitus ,
yang harus terus di pantau . sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang
bisa di atasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat di uretika seperti
kafein .

Penyebab inkontinesia urinea antara lain terkait dengan gangguan di saluran


kemih bagian bawah , efek obat obatan , produksi urin meningkat atau adanya
gangguan kemampuan atau keingianke toilet . gangguan saluran kemih bagian
bawah bisa karena infeksi .jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya
adalah terapi antibiotika . Apabila vaginitas atau uretritis atrofi penyebabnya ,
maka di lakukan terapi estrogen topical . terapi perilaku harus di lakukan jika
pasien baru menjalani prostatektomi. Dan bila terjadi infeksi fese , maka harus di
hilangkan misalnya dengan makanan kaya serat , mobilitas ,asupan cairan yang
adekuet .
1.2.4 Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
a. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem perkemihan vesika urinaria
(kandung kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat
ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih
atau miksi terjadi pada otot detrusor kontrasi dan sfingter internal dan sfingter
ekternal relaksasi, yang yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir
semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua urine
dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah yang
lebih dari 100 ml mengidentifikasi adanya retensi urine. Perubahan yang lainnya
pada proses penuaan adalah terjadinya kontraksi kandung kemih tanpa disadari.
Wanita lansia, terjadi penurunan produksi estrogen menyebabkan atrofi jaringan
uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar
( Stanley M & Beare G Patricia, 2006 ).
b. Fungsi otot besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung
kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih,
urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter
yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.
Inkontinensia urine bisa di sebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi
saluran kemih , kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan
abdomen secara tiba tiba . Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada
spinal cord trauma atau bersifat temporel pada wanita hamil dengan struktur dasar
yang panggul lemah dapat berakibat terjadinya Inkontinensia urinea. meskipun
Inkontinensia urinea dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia , kehilangan
kontrol urineria merupakan masalah bagi lanjut usia .
1.2.5 Jenis ikontinensia Urien
Terdapat beberapa macam klafikasi Inkontinensia urinea , beberapa jenis yang
sering di temukan yaitu :
1. Inkontinensia stres ( stress inkontinence )
Inkontinensia stres biasanya di sebabkan oleh lemah nya mekanisme tertutup .
keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk , bersin , menaiki tangga
atau melakukan gerakan mendadak , berdiri sesudah berbaring atau duduk .
gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena itu
juga di dalam kandung kemih .

2. Inkontinensia Overflow
Seseorang yang menderita inkontinensia overflow akan mengeluh bahwa urinenya
mengalir terus menerus. Hal ini disebabkan karena obstruksi saluran kemih seperti
pada pembesaran prostat atau konstipasi. Untuk pembesaran prostat yang
menyebabkan inkontinensia dibutuhkan tindakan pembedahan. Dan untuk
konstipasinya relatif mudah diatasi.
3. Inkontinensia Refleks
Ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti demensia.
Dalam hal ini, pengosongan kandung kemih dipengaruhi refleks yang
dirangsangoleh pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti
berkemih tidak ada. Penatalaksanaannya dengan permintaan untuk miksi secara
teratur setiap jam atau dengan menggunakan diapers ukuran dewasa.
4. Inkontinensia fungsional
Pada klien ini mempunyai kandung kemih dan saluran urine yang utuh dan tidak
mengalami kerusakan persarafan yang secara langsung mempengaruhi sistem
perkemihan tersebut. Kondisi ini muncul akibat ketidakmampuan lain yang
mengurangi kemampuannya untuk mempertahankan kontinensia.

1.2.6 Fistula Utiene


Filtura urine sebagai besar akibat persalinan , dapat terjadi langsung pada waktu
tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi , dekapitasi atau
ekstraksi dengan cunam. Dapat jugak timbul beberapa hari sesudah partus lama ,
yang di sebabkan karena tekana kepala janin terlalu lama pada jaringan jalan lahir
di tulang pubis dan simfisis , sehingga menimbulkan iskemia dan kematian
jaringan di jalan lahir .

Oprasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vagina , oprasi plastik


pervaginam, oprasi radikal untuk karsinoma serviks uterus , semua dapat
menimbulkan fistula traumatik . Tes sederhana untuk membantu diagnosis ialah
dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalaman rongga vasika . akan tampak
metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagiana.

Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya di lakukan oprasi melalui


vagina ( transvaginal ) karena lebih mudah dan komplikasi kecil . bila di temukan
fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa hari pasca bedah , maka
penangananya harus di tunda selama 3 bulan . Bila jaringan sekitar fistula sudah
tenang dan normal kembali oprasi baru dapat di lakukan .

1.2.7 Tanda dan Gejala


a. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai
kamar mandi karena telah mulai berkemih.
b. Desakan, frekuensi, dan nokturia.
c. Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika
tertawa, bersin, melompat, batuk, atau membungkuk.
d. Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine buruk atau lambat dan
merasa menunda atau mengejan.
e. Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang
adekuat.
f. Higiene atau tanda-tanda infeksi.
g. Kandung kemih terletak diatas simfisis pubis.

1.2.8 Pemeriksaan Diagnostik


a. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa
dalam urine.
b. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
c. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks otot detrusor, tekanan dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi eksretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
e. Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan
kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, struktur uretra,
dan tahap gangguan uretra prostatik stenosis (pada pria).
f. Urterografi retrograde, digunakan hampir secara eksklusif pada pria, membantu
diagnosis struktur dan obstruksi orifisium uretra.
g. Elektromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik sfingter urinarus
eksternal.
h. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran prostat
atau nyeri, kemungkinan menandakan hipertfrofi prostat jinak atau infeksi.
Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin dapat
mentebabkan inkontinensia.
i. Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya
pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung
kemih.
1.2.9 Penatalaksanaan Medik
a. Terapi obat disesuaikan dengan penyebab inkontinensia. Antibiotik diresepkan
jika inkontinensia akibat dari inflamasi yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Obat
antikolinergik digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih dan
mengobati spasme kandung kemih jika dicurigai ada ketidakstabilan pada otot
destrusor. Obat antispasmodik diresepkan untuk hiperrefleksia detrusor aktivitas
otot polos kandung kemih. Estrogen baik dalam bentuk oral, topikal, maupun
supositoria, digunakan jika ada vaginitis atrofik. Inkontinensia stress kadang
dapat diterapi dengan obat antidepresan.
b. Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu
berkemih, penyegeraan berkemih, dan latihan otot panggul (latihan kegel).
Pendekatan yang dipilih disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasari.
Latihan kebiasaan dan latihan berkemih sangat sesuai untuk pasien yang
mengalami inkontinensia urgensi. Latihan otot panggul sangat baik digunakan
oleh pasien dengan fungsi kognitif yang utuh yang mengalami inkontinensia
stress. Intervensi perilaku umumnya tidak dipilih untuk pasien yang mengalami
inkontinensia sekunder akibat overflow. Teknik tambahan, seperti umpan biologis
dan rangsangan listrik, berfungsi sebagai tambahan pada terapi perilaku.Latihan
kebiasaan, bermanfaat bagi pasien yang mengalami demensia atau kerusakan
kognitif, mencakup menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap 2
sampai 4 jam.
c. Spiral dapat diresepkan bagi pasien wanita yang mengalami kelainan anatomi
seperti prolaps uterus berat atau relaksasi pelvik. Spiral tersebut dapat dipakai
secara internal, seperti diafragma kontrasepsi, dan menstabilkan dasar kandung
kemih serta uretra, yang mencegah inkontinensia selama ketegangan fisik.
d. Toileting terjadwal
e. Penggunaan pads
f. Indwelling kateter, jika retensi urine tidak dapat dikoreksi secara
medis/pembedahan dan untuk kenyamanan klien terakhir.

1.3 KONSEP ASKEP

1.3.1 PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia
(usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup
kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.

2. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini.
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi
fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi.
Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi
inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
b) Riwayat kesehatan klien
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan
apakah dirawat dirumah sakit.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit
ginjal bawaan/bukan bawaan.

1.3.2 PEMERIKSAAN FISIK


a) Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari
terjadinya inkontinensia
Pemeriksaan Persistem :
• B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen
menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
• B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
• B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
• B4(bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena
adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi
pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria
akibat dari infeksi, apakah klien terpasangkatetersebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa
terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
• B5(bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen,
adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
• B6(bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri pada persendian.

1.3.3 DATA PENUNJANG


a) Urinalisis
1. Hematuria.
2. Poliuria
3. Bakteriuria.
b) Pemeriksaan Radiografi
1. IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
2. VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi
VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post
Voiding Residual).

c) Kultur Urine
1. Steril.
2. Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
3. Organisme.

1.3.4 DIAGNOSA
1. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu
yang lama
2. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
3. Ganguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih .
4. inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis .

1.3.5 INTERVENSI KEPERAWATAN


1. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu
yang lama
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi selama 2x24jam diharapkan klien :
-Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas
normal, kultur urine menunjukan tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1.Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift.
2. Lakukan Tindakan untuk memelihara asam urine, tingkatkan masukan sari
buah berry dan berikan obat-obatan, untuk meningkatkan asam urine.
3. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan
4. Ajarkan tekhnik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh
urine dari kateter indwelling.

2. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan


oleh urine
Tujian : Setelah dilakukan intervensi selama 2x24jam diharapkan masalah
pada klien berkurang dengan hasil :
-Jumlah bakteri < 100.000/ml
-Kluit periostomal tetap utuh
- Suhu 37oC
-Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam
2. Ganti wafer stomhesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.

3. Resiko isolasi sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat


mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.
Tujuan : Setelah dilakukan intevensi selama 2x24jam diharapkan klien :
-Klien paham tentang kondisi ,pemeriksaan,diagnostik,dan macam terapeutik.
-Keluhan berkurang tentang cemas
-Ekspresi wajah tampak rileks.
Intervensi :
1. Yakinkan konseling dilakukan dan atau perlu di versi urinaria, diskusikan
pada saat pertama.
2. Dorong pasien/orang terdekat untuk mengatakan perasaan.
3. Perhatikan prilaku menarik diri
4. Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadannya melalui
partisipasi dalam perawatan diri.

4. inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis .


Tujuan : Setelah dilakukan intervensi selama 2x24jam diharapkan klien :
-Klien akan melaporkan suatu pengurangan/penghilangan inkontinensia, klien
dapat menjelaskan penyebab.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
2. Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang
direncanakan.
3. Observasi status perkemihan untuk memeriksa kebocoran pada saat di
kandung kemih.
4. Ajarkan klien mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatannya
dengan Latihan

DAFTAR PUSTAKA
Fatimah, 2010. Meraat Lanjut Usia Suatu Pendekatan Proses Keperawatan
Gerontik. Cetakan Pertama. Jakarta : TIM
www.scrib.com ( di unduh, 16 Oktober 2016)

Anda mungkin juga menyukai