Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar  Belakang


Pada usia lanjut terjadi proses penuaan yang mempengaruhi berbagai fungsi organ
tubuh. Proses menjadi tua secara ilmiah akan mengakibatkan lansia mengalami kemunduran fisik
maupun mental (Maryam dkk, 2012). Perubahan fisik pada lansia dapat di lihat dari berbagai sistem
seperti sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem temperatur tubuh, penurunan sistem
syaraf, sistem respirasi, sistem endokrin, sistem kulit, sistem perkemihan, sistem musculoskletal.
Perubahan-perubahan tersebut berdampak terhadap kemunduran kesehatan baik fisik maupun
psikis sehingga mengakibatkan lansia menjadi rentan terkena berbagai penyakit (Kemenkes RI,
2015).

Lansia dengan inkontinensia urin mengalami perubahan pada sistem perkemihan yang
terjadi pada ginjal, dimana ginjal mengalami pengecilan dan nefron menjadi atrofi. Aliran ginjal
menurun hingga 50 %, fungsi tubulus berkurang mengakibatkan BUN meningkat hingga 21 mg%,
berat jenis urin menurun, serta nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat. Pada kandung
kemih otot-otot melemah, sehingga kapasitasnya menurun hingga 200 ml yang menyebabkan
frekuensi berkemih meningkat. Pada laki-laki pembesaran kelenjar prostat menyebabkan obstruksi
aliran urin dari kandung kemih (Artinawati, 2014). Inkontinensia urin mempunyai dampak medik,
psikososial, dan ekonomis. Dampak medik dari inkontinensia urin mempermudah timbulnya ulkus
dekubitus, infeksi saluran kemih, sepsis, gagal ginjal dan peningkatan angka kematian. Implikasi
psikososial antara lain kurang percaya diri, hambatan pergaulan dan aktifitas seksual, depresi dan
ketergantungan pada orang lain (Agoes dkk, 2011).

Angka kejadian inkontinensia urin bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya.
WHO menyebutkan bahwa sekitar 20 juta penduduk di seluruh dunia mengalami inkontinensia urin,
tetapi angka sebenarnya tidak diketahui karena banyak kasus yang tidak di laporkan. Lebih dari 12
juta orang diperkirakan mengalami inkontinensia urin di Amerika, hal ini dapat dialami pada semua
usia oleh pria dan wanita dari semua status sosial. Sekitar 15-30% individu yang mengalami
inkontinensia urin diperkirakan berusia lebih dari 60 tahun (Agoes dkk, 2011). Brown (2006)
menyatakan bahwa kemungkinan pada lanjut usia bertambah berat inkontinensia urinnya 20-30%
saat berumur 65-74 tahun. Menurut penelitian Onat (2014) Diperkirakan bahwa 25-35% dari
seluruhorang dewasa akhir akan mengalami inkontinensia urin selama hidup mereka. Survey yang
dilakukan di berbagai negara asia didapat bahwa prevalensi pada beberapa negara asia adalah rata-
rata 21,6% (14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria). Dibandingkan pada usia produksi, pada usia
lanjut prevalensi inkontinensia urin lebih tinggi. Prevalensi inkontinensia urin pada wanita lansia
sebesar 38% dan pada pria 19%.

Inkontinensia urin mengenai individu dengan segala usia meskipun paling sering dijumpai di
antara para lansia, kondisi tersebut bukan konsekuensi normal dari penuaan dan seringkali dapat
diobati (Kozier, 2010). Survey inkontinensia urin yang dilakukan oleh Departemen Urologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga – RSU Dr. Soetomo tahun 2008 terhadap793 penderita, prevalensi
inkontinensia urin pada pria 3,02% sedangkan pada wanita 6,79%. Survey ini menunjukkan bahwa
prevalensi inkontinensia urin pada wanita lebih tinggi daripada pria (Soetojo, 2009). Hasil Studi
epidemiologi dilaporkan bahwa Inkontinensia urin 2 sampai 5 kali lebih sering pada wanita
dibandingkan pria.

Inkontinensia urin menyebabkan gangguan dari fungsi kandung kemih,yang memberikankan


masalah gangguan tidur, masalah pada kulit, masalah fisik, Isolasi Sosial dan masalah psikologis.
Sejumlah Studi telah meneliti efek dari Inkontinensia urin pada lansia. Populasi juga menemukan
efek negatif pada status fisik, status depresi emosional dan sosial kehidupan. Di komunitas wanita
dan pria lanjut usia masalah Inkontinensia urin iniberhubungan dengan depresi, menurun aktivitas
fisik, menjauh dari pergaulan social dan kualitas hidup (Onat, 2014). Pada studi pendahuluan yang
peneliti lakukan pada bulan oktober 2016 di Puskesmas Nanggalo Kota Padang, peneliti melakukan
wawancara terhadap 10 orang lansia dengan inkontinensia urin, didapatkan gambaran karakteristik
lansia dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 7 orang dan 3 orang jenis kelamin laki-laki dengan
karakteristik usia 60-74tahun sebanyak 7 orang, usia 75-90 tahun sebanyak 3 orang dengan
pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 5 orang dan pensiunan sebanyak 5 orang.
1.2 Tujuan
a) Tujuan umum
Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang asuhan keperawatan pada
penyakit inkontenensia urin pada lansia.

b) Tujuan khusus
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat membuat rumusan masalah
yaitu sebagai berikut :
1. Mengetahui tentang definisi inkontenensia urin pada lansia
2. Mengetahui tentang anatomi fisiologi inkontenensia urin
3. Mengetahui tentang klasifikasi dan etiologi inkontenensia urin pada lansia
4. Mengetahui tentang patofisiologi inkontenensia urin pada lansia
5. Mengetahui tentang WOC inkontenensia urin
6. Mengetahui tentang manifestasi klinis inkontenensia urin
7. Mengetahui tentang pemeriksaan diagnostik inkontenensia urin pada lansia
8. Mengetahui tentang penatalaksanaan inkontenensia urin pada lansia
9. Mengetahui tentang komplikasi inkontenensia urin pada lansia
10. Mengetahui pengkajian, diagnosa dan intervensi dar asuhan keperawatan pada
inkontenensia urin
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. DEFINISI
Inkontinesia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter. (pierce
a.grace and neil r.borley. 2006.181)
Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya urin.
Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalah, antara lain: masalah medic,
social, maupun ekonomi.(basuki b.purnomo.2003.105).
Inkontinesia urine bukan merupakan tanda-tanda normal penuaan. Inkontinesia urine
selalu merupakan suatu gejala dari maslaah yang mendasari. .(Jaime l. stockslager liz
schaeffer 2008.247).
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin Sri kandung kemih yang tidak terkendali
atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urin terjadi akibat kelainan inflamasi,
mungkin sifatnya sementara. Namun , jika kejadiannya ini timbul karena kelainan
neurologi yang serius kemungkinan akan permanen. (brunner sudart,2002 hal 1393).

B. Klasifikasi
1. Inkontinensia akibat stress
Inkontinensia akibat stress disebabkan oleh peninggian tekanan intra
abdomen yang melebihi tahanan dan tekanan uretra tanpa kontraksi otot
destrusor, misalnya pada saat batuk, bersin, angkatan barang dan tertawa.
Nama lain yang kadang digunakan ialah insufisiensi sfingter, kelemahan
sfingte dan inkontinensia pasif. Inkontinensia ini ditemukan pada perempuan
miultipara yang otot dasar panggulnya lemah sehingga organ panggul,
termasuk leher kandung kemih dan uretra , turun. Oleh karena itu, peninggian
tekanan didalam perut tidak turut meninggikan tekanan kepada dinding uretra.
Operasi dapat menyebabkan inkontinensia stress, misalnya setelah
prostattektomi dan operasi pada leher kandung kemih.
Sering penderita inkontinensia stress juga mengalami prolapsus uterus.
Sebaliknya , pada penderita prolapsus uterus juga sering terdapat inkontinensia
stress merupakan dua kelainan yang patologinya yang sama. Penangnanan
bisasana dilakukan oleh ahli ginekologi bila penderita datang keluhan utama
prolapsus uters satu oleh ahli urologi dan teliti untuk menjaminkan indikasi
operasi yang tepat. Operasi terdiri atas tindakan peksi dinding depan vagina
kepermukaan belakang simfisis atau pada ligamentum cooper sehingga leher
kandung kemih direposisis dan ditempatkan kembali ke kranial sehingga
tertutup akiabt tekanan intraabdomen. (sjamsuhidayat,2016 hal /910)
2. Inkontinensia akibat urgensi
Pada inkontinensia urgensi,kegiatan untuk berkemih begitu mendesak
biasanya terjadi kontraksi detrusor yang tak dapat ditahan atau diabaikan dan
tergantung tahana uetra dapat terjadi inkontinensia,jenis disebut inkontinensia
urgensi motorik,kandung kmih kurang stabil,instabilitas oto detrusor ,instabilitas
kandung kemih,dan inkontinensia aktf. Semua nama ini menggambarkan sifat
khusus inkontinensia ini.biasanya inkontinensia urgensi disertai dengan
polakisuria,noktura,dan enuresis dan noktuma
Penyebab inkontinensia urgensi umumnya tidak jelas,kadang dapat
ditemukan kelainan neurologik,pada kelainan urologik,infeksi saluran kemih,stenosis
uretra,dan hiperplasia prostat menjadi menyebabkan kelebihan sensitif oto
detrusor,kelainan neurologik juga dapat menyebabkan inkontinensia aktif seperti
in,kelainan disebutkandung kemih neurogen misalnya akibat kelainan medula
spinasis,arteriosklerosis serebrovaskular atau setelah perdarahan otot .diagnosa ini
ditegakan derusor dicetuskan oleh batu/.perubhan sikap,pengeluaran kateter ,atau
mungkin juga oleh emosi .penanggulan inkontinensia urgensi terdiri atas
pengobatan penyakit penyebabnya, bila ada hiperaktivitas detrusor dapat diambil
dengan para simpatolitik,seperti probantin atau antrenil,kadang digunakan latihan
kandung kemih.terapi beda,seperti transeksi kandung kemih,bloksaraf sakral, atau
neuorektomi sakral,jarang menghasilkan atau keadaan yang memeuaskan
(sjamsuhidayat,2016 hal 910)

3. Overflow inkontinensia
Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus
menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat mengosonkan isinya
secara normal atau mengalami distensi yang berlebihan meskipun eliminasi urin
terjadi datang sering. Kandung kemih tidak pernah kosong overflow incontinence
dapat disebabkan oleh kelainan neurologi (yaitu penggunaan obat-obatan tumor,
struktur dan hiperplasia prostat). Kandung kemih neurologik dibahas secara terpisah
dalam bagan berikutnya (suzance C.smeltzer. Brenda G. Bare hal. 1393

4. Inkontinensia fungsional
Merupakan inkontinensia sengan fungsional saluran kandung kemih bagian bawah
yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat
pasien sulit untuk mengidentifikasikan perlunya urinasi (misalnya, demensia
alzheimer)atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin
menjangkau toilet untuk melakukan urinasi. (suzance. Brenda G. Bare hal. 1393)

5. Inkontinensia rin campuran


Bentuk-bentuk inkontinensia campuran yang mencangkup ciri-ciri
inkontinensia seperti yang baru disebutkan , dapat ula terjadi. Selain itu,
injkontinensia urin dapat pemeriksaan adan rujukan ntuk diagnostik serta
terapi, maka prognosis inkontinensia dapat ditentukan. Semua pasien
inkontinensia harus diperhatikan untuk mendapatkan pemeriksaan evaluasi
dan terapi. (suzance C.smletzer.brenda G.bare hal. 1393).
C. Anatomi dan fisiologi

Sistem atas otot bergaris dari otot dasar panggul. Sfingter urinaria bagian bawah
terdiri atas buli-buli dan uretra yang keduanya harus bekerja secara sinergis untuk dapat
menjalankan fungsinya dalam menyimpan (storage) dan mengeluarkan (voiding) urine. Buli-
buli merupakan organ berongga yang terdiri atas mukosa, otot polos detrusor, dan serosa.
Pada perbatasan antara buli-buli dan uretra, terdapat sfingter uretra interna yang terdiri
atas otot polos. Sfingter interna ini selalu tertutup pada saat fase pengisian (filling) atau
penyimpanan, dan terbuka pada saat isi buli-buli penuh dan saat miksi atau pengeluaran
(evacuating). Disebelah distal dari uretra posterior terdapat spingter uretra eksterna yang
terdiri atas otot dasar panggul. Sfingter ini membuka pada saat miksi sesuai dengan perintah
dari korteks serebri. Pada fase pengisian, terjadi relaksasi otot detrusor dan pada fase
pengeluaran urine terjadi kontraksi otot detrusor. Selama pengisian urine, buli-buli mampu
untuk melakukan akomodasi yaitu meningkatkan volumenya dengan mempertahankan
tekanannya dibawah 15 cm H2O sampai volumenya cukup besar. Sifat buli-buli seperti ini
disebut sebagai komplians buli-buli (bladder compliance), yang dinyatakan dalam rumus :

C = ∆ V /∆ P
Jika terjadi kerusakan dinding buli-buli sehingga viskosastisitas buli-buli terganggu,
komplians buli-buli (C) menurun, yang berarti bahwa pengisian urine pada volume tertentu (
∆ V ) akan menyebabkan kenaikan tekanan intravesika ( ∆ P ) yang cukup besar.

Neurofisiologi buli-buli dan uretra


Sistem saluran kemih bagian bawah mendapatkan inervasi dari serabut saraf aferen
yang berasal dari buli-buli dan uretra serta serabut saraf eferen berupa sistem parasimpatik,
simpatik, dan somatik. Serabut aferen dari dinding buli-buli menerima impuls stretch
reseptor (reseptor regangan) dari dinding buli-buli yang dibawa oleh nervus pelvikus ke
korda spinalis S2-4 dan diteruskan sampai ke otak melalui traktus spinotalamikus. Signal ini
akan memberikan informasi kepada otak tentang volume urine di dalam buli-buli. Jalur
aferen dari sfingter uretra eksterna dan uretra mengenal sensasi suhu, nyeri, dan adanya
aliran urine di dalam uretra. Impuls ini dibawa oleh nervus pudendus menuju ke korda
spinalis S2-4.
Serabut eferen parasimpatik berasal dari korda spinalis S2-4 dibawa oleh nervus
pelvikus dan memberikan inervasi pada otot detrusor (gambar 7-1). Asetrilkolin (ach)adalah
neurotransmiter yang berperan dalam penghantaran signal saraf kolinergik, yang setelah
berikatan dengan reseptor muskarinik menyebabkan kontraksi otot detrusor. Reseptor
muskarinik yang banyak berperan didalam kontraksi buli-buli adalah M2 dan M3. Peranan
sistem parasimpatik pada proses miksi berupa kontraksi detrusor, dan terbukanya sfingter
uretra.
Serabut saraf simpatik berasal dari korda spinalis segmen thorako-lumbal (T10-L2)
yang dibawa oleh nervus hipogastrikus menuju buli-buli dan uretra. Terdapat dua jenis
reseptor adrenergik yang letaknya berbeda di dalam buli-buli dan uretra, yaitu reseptor
adrenergik α yang banyak terdapat pada leher buli-buli (sfingter interna) dan uretra
posterior, serta reseptor adrenergik β yang banyak terdapat pada fundus buli-buli.
Rangsangan pada reseptor adrenergik α menyebabkan kontraksi, sedangkan pada β
menyebabkan relaksasi. Sistem simpatis ini berperan pada fase pengisian yaitu
menyebabkan terjadinya : (1) relaksasi otot detrusor karena stimulasi adrenergik β (2)
kontraksi sfingter interna serta uretra posterior karena stimulasi adrenergik α yang
bertujuan untuk mempertahankan resistensi uretra agar selama fase pengisian urine tidak
bocor (keluar) dari buli-buli.
Serabut asaraf somatik berasal dari nukleus onuf yang berada di kornuanterior korda
spinalis S2-4 yang di bawa oleh nervus udendus dan menginervasi otot bergaris sfingter
eksterna dan otot – otot dasar panggul. Perintah dari korteks serebri (secara disadari)
menyebabkan terbukanya sfingter eksterna pada saat miksi.
Pada saat buli-buli terisi oleh urine dari kedua ureter, volume buli-buli bertambah besar
karena ototnya mengalami peregangan. Regangan itu menyebabkan stimulasi pada stretch
reseptor yang berada didinding buli-buli yang kemudian memberikan signal kepada otak
tentang jumlah urine yang mengisi buli-buli. Setelah kurang lebih terisi separuh dari
kapasitasnya, mulai dirasakan oleh otak adanya urine yang mengisi buli-buli.
Pada saat buli-buli sedang terisi, terjadi stimulasi pada sistem simpatik yang
mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna (menutupnya leher buli-buli), dan inhibisi
sistem parasimpatik berupa relaksasi otot detrusor. Kemudian pada saat buli-buli terisi
penuh dan timbul keinginan untuk miksi, timbul stimulasi sistem parasimpatik dan
menyebabkan kontraksi otot detrusor, serta inhibisi sistem simpatik yang menyebabkan
relaksasi sfingter interna (terbukanya leher buli-buli). Miksi kemudian terjadi njika terdapat
relaksasi sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi tekanan intrauretra.
Kelainan pada unit vesiko-uretra dapat terjadi pada fase pengisian atau pada fase miksi.
Kegagalan buli-buli dalam menyimpan urine menyebabkan urine tidak sempat tersimpan di
dalam buli-buli dan bocor keluar buli-buli, yaitu pada inkontinensia urine sedangkan kelainan
pada fase miksi menyebabkan urine tertahan di dalam buli-buli sampai terjadi retensi urine
(bagan pada gambar berikut). (basuki b. Purnomo,2003 hal.105).

FISIOLOGI

Kapasitas kandung kemih normal adalah 350-400 ml. Saat kandung kemih terisi oleh urin,
otot destrusor mengalami relaksasi untuk memungkinkan peningkatan volume tanpa
meningkatkan tekanan (plastisitas). Ketika kandung kemih penuh, reseptor regangan dalam
dinding kandung kemih memulai kontraksi reflex pada otot destrusor dan relaksasi sfingter
urin untuk mengosongkan kandung kemih. Reflex spinal ini dikontrol oleh mekanisme
inhibisi kortikal, yang memungkinkan control secara sadar terbentuk pada masa kanak-kanak
awal.(pierce a.grace and r.borley.2006.181).

D. Etiologi
Faktor Resiko Dan Penyebab Inkontinensia Urine Menurut Brunner Dan Sudart ,
2002 Hal.1393
a. Obstruksi kandung kemih
b. Lesi spinal cord dibawah s2 dan neurologi
c. Distensi kandung kemih
d. Usia lanjut
e. Batuk, bewrsih, ternyata atau mengangkat berat
f. pembedahan

E. Patofisiologi
Penyebab terjadinya inkontinensia urine ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
obstruksi kandung kemih, lesi spinalcord dibawah s2 dan neurologis, distensi kandung
kemih, usia lanjut, batu/bersin tertawa atau mengangkat berat dan pembedahan. Pada saat
terjadinya obstruksi kandung kemih, maka terjadilah ketidakstabilan otot destrusor yang
akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat. Disaat terjadinya peningkatan tekanan
pada intra vesika terjadilah kontraksi kandung kemih yang akan mengakibatkan kebocoran.
Lesi spinalcoed dibawah s2 dan neurologis akan mengakibatkan penurunan otot
destrusor dimana otot destrusor ini tidak dapat mengontrol keluar urine. Kemudian distensi
kandung kemih yang akan terjadi ialah tekanan kandungan kemih lebih besar dari tekanan
retensi. Tekanan inilah yang akan menyebabkan tidak adanya kontraksi pada otot destrusor
dehingga urine menetes dan penurunan pancaran urine. Selain itu usia lanjut juga
merupakan faktor terjadinya inkontinensia urine. Diamana pada usia lanjut terjadinya
perubahan anatomi fungsi perkemihan dan melemahnya otot dasar panggul, disaat hal
tersebut terjadi spinter juga akan terganggu dan juga kontraksinya akan menjadi abnornal
sehingga tidak dapat menahan air seni. Disaat seseorang batuk, bersin, tertawa atau
mengangkat berat, maka tekanan kandung kemih>melta. Maka akan menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intra intra abdominal dan hilangnya kontrol kandung kemih
dan otot kandung kemih tetlalu aktif, sehingga terjadilah kebocoran urien, dan juga pada
seseorang yang telah dilakukan pembedahan, akan mengalami hal yang sama sebab otot
destrusor melemah.
Dari beberapa faktor diatas maka terjadilah inkontinensia urine. Pada saat
inkontinensia urine ini terjadi maka jug akan mengakibatkan terjadinya inkontinensia urine
ini yang akan mengakibatkan tekanan intra abdomen melebihi tekanan uretra sehingga
terjadilah kebocoran urine yang mengakibatkan terjadinya inkontinensia urgensi yang akan
terjadinya penurunan kontraks destrusor sehingga tidak dapat mengontol keluaran urine.
Selanjutnya, inkontinensia overflow ini juga akan mengakibatkan kerusakan saraf eferen
yang mana kandung kemihnya pembesar sehingga terjadi obstruksi dan terjadilah distensi
kandung kemih. Inkontinensia fungsional akan mengakibatkan gangguan kognitif yang
sulit/tidak mungkin menjangkan toilet dan juga tubuh berbau pesing
WOC
F. Manifestasi klinis
a) Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar
mandi karena telah mulai berkemih.
b) Desakan , frekuensi, dan nokturia
c) Inkontinesia stress dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa,
bersin, melompat, batuk, atau membungkuk
d) Inkontinesia overflow dicirikan dengan volmume dan aliran urine yang adekuat
e) Higine buruk atau tanda – tanda infeksi
f) Kandung kemih terletak di atas simfisi pubis. .(Jaime l. stockslager liz schaeffer
2008.248).

G. Pemeriksaan penunjang
a. Kultur urin : untuk mengukur kecepatan aliran
b. IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula.
c. Urodinamik :
Urofloumetri : mengukur kecepatan aliran;
Sistometri : menggambarkan kontraktur destrusor ;
Sistometri video: menunjukkan kebocoran urin saat mengedan pada pasien
dengan inkontinesia strees; dan flowmetri tekana uretra: mengukur tekanan uretra
dan kandung kemih saat istirahat dan selama berkemih.
d. Sistokopi: jika dicurigai terdapat batu atau neoplasma kandung kemih.
e. Pemeriksaan spekulum vagina kurang lebih sistogram jika dicurigai terdapat
fistula vesikovagina. (pierce a.grace and neil r.borley 2006.181).

H. Pemeriksaan diagnostic
a) Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.
b) Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
c) Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efesiensi reflex otot destrusor, tekanan dan kapasitas,
intravesikal dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d) Urografi ekskretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
e) Voiding cysstourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan
kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat. Striktur ureta,
dan tahap gangguan uretra prostaltik stenosis
f) Urettrografi retrograde digunakan hamper secara eklusif pafa pria , membantu
diagnosisstriktur dan obstuksi irifisium ureta.
g) Elekromiografi sfingter ekternal mengukur aktivitas listrik sfingter urinarius
eksternal. .(Jaime l. stockslager liz schaeffer 2008.248).
I. Komplikasi
Komplikasi dari inkontinesia urine adalah
a. Ruam
b. Dekubitus
c. Infeksi saluran kemih
d. Pembatasan aktifitas

J. Penatalaksanaan
a.Inkontinensia urgensi
 Terapi medikalmentosa : modifikasi asupan cairan, hindari kafein, obati setiap
penyebab (infeksi, tumor, batu); latihan berkemih, antikorlinergik / relaksan otot
polos (oksibutinin, tolterdin.).
 Terapi pembedahan: sistokopi dan distensi kandung kemih , sistoplasi
augmenatasi,

b. Inkontinensia stress .
 Terapi medicamentosa: latihan otot-otot dasar panggul, estrogen untuk vaginitis
atrofik.
 Terapi pembedahan: uretropeksi retropubik atau endoskopik, perbaikan vagina,
sfingter buatan.
c. Inkontinesia overflow
 Jika terdapat obstruksi: obati penyebab obstruksi, misalnya TURP.
 Jika tidak terdapat obsrtuksi:drainase jangka pendek dengan kateter untuk
memungkinnkan ootot destrusor pulih dari peregangan berlebihan, kemudian
penggunaan stimulant otot destrusor jangka pendek (bethamenkol; distigmi). Jika
semuanya gagal, kateterisasi intermiten yang dilakukan sendiri (inkontinesia
overflow neurologic).

Fistula urinarius

Selalu membutuhkan terapi pembedahan. (pierce a.grace and neil r.borley 2006.181).
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian
1. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, suku / bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
alamat, penanggung jawab tanggal masuk RS.

Biasanya inkontenensia urin sering terjadi pada wanita yang berusia >50 tahun : Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi
perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang
tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding
kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa
ingin berkemih.
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke
atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine.

2. Keluhan Utama
Biasanya Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah buang air kecil
secara terus-menerus dan tidak terkontrol, nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan
staguri.

3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya Pasien dahulu mengalami   
a) Ada obstruksi pada saluran keluarnya urin, misalnya pada pembesaran prostat atau
impaksi fekal.
b) Ada infeksi saluran kemih.
c) Ada obesitas.
d) Ada vaginitis atrifik.
e) penggunaan obat-obatan dan dosisnya yang pernah dikonsumsi.
f) Ada penggunaan terapi estrogen.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya Pasien mengeluh  
 keluar kencing saat tertawa, bersin dan batuk,
 sering kencing sekitar 2 jam sekali
 bak tidak terkontrol
 nokturia
 urgence
 disuria
 poliuria
 oliguri
 staguri
 Sering miksi.
 Tidak ada distensi kandung kemih.
 Spasme kandung kemih
 Merasa bahwa kandung kemih penuh.

c. Riwayat kesehatan keluarga


Biasanya ada keluarga yang mengalami inkontenensia urin

4. Pemeriksaan fisik
Kesadaran umum
a. Suhu meningkat
b. Tekanan darah tinggi
c. Respirasi cepat
d. Nadi meningkat

Pemeriksaan fisik (inspeksi) untuk mencari karakter tanda inkontenensia urin pada lansia yang
meliputi :
a. Sistem cardiovaskuler
Terjadinya peningkatan tekanan darah, biasanya klien bingung dan gelisah, kaji bentuk
dada
b. Sistem neurologi
Inspeksi : bentuk mata cekung , sclera, konjungtiva anemis,
Palpasi   : nyeri tekan pada bola mata, warna mukosa konjungtiva, warna mukosa
sclera.
c. Sistem pernafasan
Inspeksi  : pengembangan dada, frekuensi pernapasan, bentuk hidung, pernapasan
cuping hidung, secret
Palpasi   : pengembangan paru pada inspirasi dan ekspirasi, fokal fremitus, nyeri tekan,
nyeri tekan pada hidung
Perkusi     : batas jantung, batas paru, ada/tidakn penumpukan secret.
Auskultasi: bunyi paru dan suara napas
d. Sistem pencernaan
Inspeksi    : bentuk abdomen, warna kulit abdomen, adanya kandung kemih yang
penuh, rasa nyeri, massa
Auskultasi: bising usus , bising vena, pergesekan hepar dan lien.
Perkusi   : batas hepar, batas ginjal, batas lien, ada/tidaknya penimbunan cairan
diperut.
Palpasi      : palpasi abdomen untuk melokalisasi nyeri tekan. 
e. Sistem Genitalia (fokus pengkajian)
Inspeksi
 Adanya kemerahan, iritasi/lecet dan bengkak pada daerah perineal.
 Adanya benjolan atau tumor spinal cord
Palpasi
 Adanya distensi kandung kemih atau nyeri tekan.
 Teraba benjolan tumor daerah spinal cord.
Perkusi
 Terdengar suara redup pada daerah kandung kemih.
f. Sistem Integumen
 Inspeksi : warna kulit, benjolan.
 Palpasi   : nyeri tekan pada kulit.
g. Sistem muskulokeletal 
Periksa kekuatan otot dan membandingkan dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri
pada persendian.
Ekstremitas Atas :
 inspeksi : warna kulit, bentuk tangan.
 Palpasi  : nyeri tekan, kekuatan otot.
 Ektremitas Bawah:
 Inspeksi : warna kulit, bentuk kaki
 Palpasi   : nyeri tekan, kekuatan otot.
5. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola nutrisi dan metabolik
Biasanya nutrisi pada pasien inkontenensia urin akan sering minum dan kurang
makan karena kekenyangan oleh air yang dikonsumsi
2. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya aktivitas pada pasien inkontenensia urin akan terganggu karena setiap
beberapa jam akan ada keinginan untuk berkemih dan terkadang saat melakukan
aktifitas juga sering tiba tiba terkencing. Dan mengeluh nyeri pada abdomen bawah
.
3. Pola eliminasi
Biasanya eliminasi pada pasien inkontenensia urin akan lebih sering terjadi dalam
satu hari terlebih lagi tanpa terkontrol akan kencing tiba tiba
4. Pola istirahat dan tidur
Biasanya istrahat pada pasien inkontenensia urin akan terganggu karena pada
malam hari selalu ada keinginan kencing atau di sebut nokturia

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Inkontinensia urine fungsional
2. Inkontinensia urine aliran berlebih (overflow)
3. Inkontinensia urine reflex
4. Inkontinensia urine stress
5. Inkontinensia urine dorongan atau urgensi
C. Intervensi keperawatan

No Diagnosa keperawatan Noc Nic


1 Inkontinensia urine fungsional Perawatan diri : Eliminasi Self care assistance:
(toileting) toiletting
Kontinensia Urin Manajemen Eliminasi
Urin
Eliminasi Urine Indicator :
Indicator :
 Monitor
 Mengidentifikasi
eliminasi urin,
keinginan berkemih
frekuensi,
 Berespon tepat
konsistensi,
waktu terhadap
bau, volume,
dorongan berkemih
dan warna, jika
 Mencapai toilet dìperlukan
antara waktu
 Monitor tanda
dorongan berkemih
dan gejala
dan pengeluaran
retensi urin
urin
 Identifikasi
 Melakukan
faktor yang
eliminasi secara
menyebabkan
mandiri
episode
 Mengosongkan inkontinensia
kandung kemih
 Kumpulkan
secara tuntas
spesimen urin
 Mengkonsumsi tengah untuk
cairan dalam jumlah pemeriksaan
adekuat urinalisis, jika
 Urin residu pasca diperlukan
berkemih >100-200  Ajarkan pasien
ml tentang tanda
 Tidak terjadi dan gejala
hematuri, dan infeksi saluran
partikel pada urin kemih
 Tidak ada rasa sakit  Ajarkan pasien
pada saat berkemih dan keluarga
untuk mencatat
haluaran dan
pola urine, jika
diperlukan
 Batasi cairan
sesuai
kebutuhan
 Perawatan
Inkontinensia
Urin
 Identifikasi
multi faktor
yang
menyebabkan
inkontinensia
(produksi urin,
pola berkemih,
fungsi cognitif,
masalah
berkemih yang
dialami, dan
pengobatan)
 Anjurkan
pasien untuk
minum
minimum 1500
cc per hari
 Sediakan
ruangan yang
tenang dan
privasi untuk
prosedur
eliminasi
 Tetapkan
interval jadwal
eliminasi
dengan
rutinitas yang
dilakukan
setiap hari
 Kurangi
konsumsi yang
menyebabkan
iritasi pada
bladder
(seperti
minuman
bersoda, teh,
kopi dan
cokelat)

2 Inkontinensia urine aliran


berlebih
3 Inkontinensia urine reflex
4 Inkontinensia urine stress
5 Inkontinensia urine dorongan
atau urgensi

Anda mungkin juga menyukai