Anda di halaman 1dari 14

MINI REFARAT

DIVISI GERIATRI

Desember 2023

INKONTONENSIA URIN ( OVERACTIVE BLADDER (OAB))

Zuriyatina Pino

Pembimbing :

dr. Agus Sudarso, SpPD, K-Ger


dr. Wasis Udaya, SpPD, K-Ger

Divisi Geriatri

Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin Makassar

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
………………………………………………………………………………………….2

I. Pendahuluan…………………………………………………………………………………3

II. Fisiologi Berkemih…………………………………………………………………………4

III. Klasifikasi Inkontinensia Urin ………….. ……………………….…..…………………..4

IV. Patofisiologi Overaktiv Bladder (OAB)…………………………………………………..6

V. Factor Resiko OAB………………………………………………………………………...6

VI. Diagnosis …………………………………………………………………………………7

VII. Pengobatan ……………………………………………………………………………….9

VIII. Ringkasan………………………………………………………………………………...13

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..14

2
INKONTONENSIA URIN ( OVERACTIVE BLADDER(OAB))

*Zuriyatina Pino,Agus Sudarso,Wasis Udaya*


Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran – Universitas Hasanuddin

I. Pendahuluan

Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan utama pada usia lanjut . inkontinensia
urin memiliki dampak medik, psikososial dan ekonomik antara lain ulkus decubitus, infeksi
saluran kemih, urosepsis, gagal ginjal dan mortalitas yang meningkat , kehilangan percaya diri,
depresi, menurunya aktifitas seksual dan pembatasan aktivitas seksual.1

Inkontinensia urin (IU) didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak disadari.
Inkontinensia urin terjadi bila ada abnormalitas baik berupa overfunction dan/atau underfunction
urethra dan atau vesika urinaria.2

Dari penelitian pada populasi lanjut usia didapatkan 7 % dari pria dan 12 % pada Wanita
di atas 70 tahun mengalami peristiwa inkontinensia. Wanita 2 kali lebih sering dibandingkan
pria.1,2,6

Penelitian epidemiologi di Indonesia dipublikasikan tahun 2014 dan melibatkan enam


rumah sakit pendidikan yaitu: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan.
Dari total 2.765 responden yang memenuhi kriteria inklusi, didapatkan prevalensi total
inkontinensia urin sebesar 13%. Secara umum, overacktiv bladder (OAB) dan dan inkontinesia
urin tipe stress merupakan dua tipe yang paling banyak ditemukan, yaitu sebesar 4,1% dan
4,0%. Sedangkan prevalensi Inkontinesia urin yang lain secara berurutan: IU tipe campuran
1,6%, IU tipe overflow 0,4%, IU tipe lain 0,7%, Dry-Overactive bladder 1,8%, dan enuresis
0,4%.4

Sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2011 dengan jumlah sampel 10.000 orang
dari Eropa menemukan bahwa sekitar 36% pria dan 43% wanita di atas usia 40 tahun memiliki

3
gejala Overactive bladder. The National Overactive Bladder Evaluation Program (NOBLE) juga
menunjukkan prevalensi lebih dari 33 juta orang dengan OAB di populasi AS. 3

Berdasarkan International Consultation on Incontinence Research Society (ICI-RS)


tahun 2014 definisi overactive bladder adalah sindrom vesika urinaria yang terlalu aktif ditandai
dengan urgensi buang air kecil, dengan atau tanpa inkontinensia urin yang mendesak, biasanya
dengan peningkatan aktivitas di siang hari, frekuensi dan nokturia, dan tidak ada bukti infeksi
atau patologi lain yang jelas.3,6

Gejala tersebut mempunyai dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien yang
menyebabkan seringnya gangguan tidur, kecemasan dan depresi, serta penurunan aktivitas fisik
dan interaksi sosial, penurunan aktivitas seksual dan kepuasan pernikahan.3

Dampak yang terjadi dari overaktif bladder diantaranya masalha ekonomi , penelitian
yang dilakukan pada tahun 2005 di Amerika menunjukkan total biaya lebih dari 12 miliar USD
per tahun untuk pasien OAB. Ditambah lagi biaya tidak langsung seperti hilangnya kapasitas
kerja untuk sementara waktu. Akibat gangguan tidur, pasien OAB telah terbukti memiliki risiko
lebih tinggi mengalami patah tulang atau cedera akibat jatuh.3

Karena beragamnya etio-patologi, ko-morbiditas dan gejala yang menyertainya, OAB


umumnya membutuhkan penanganan multi-disiplin.

II. Fisiologi Berkemih

Proses berkemih diatur oleh system saraf pusat dan system saraf tepi di daerah sacrum.
Proses berkemih terjadi saat otot-otot detrusor dari vesika urinaria berkontraksi diikuti relaksasi
dari sfingter dan uretra. Proses ini dibawah kordinasi pada batang otak , cerebellum dan korteks
cerebri. Sehingga proses patologik yang mengenai ini seperti demensia, stroke, sindorma
Parkinson akan menyebabkan inkontinensia1

III. Klasifikasi Inkontinensia Urin

Tipe inkontinensia urin :

4
1. Inkontinensia akut : biasanya reversible , terjadi secara mendadak dan berkaitan dengan
sakit yang sedang diderita atau masalah obat-obatan.
Penggunaan kata DIAPPERS dapat membantu mengingat sebagian besar dari penyebab
inkontinensia ini :
- Delirium : kesadaran yang menurun berpengaruh pada tanggapan rangsang berkemih,
serta mengetahui tempat berkemih.
- Infeksi : infeksi sering berakibat inkontinensia
- Atrophic vaginitis atau atrophic urethritis : Atrophic vaginitis akan disertai dengan
atrophic urethritis , keadaan ini menyebabkan inkontinensia pada Wanita.
- Pharmaceutical : obat-obatan merupakan salah satu peneybab utama dari
inkontinensia yang sementara , misalnya diuretika , antikolinergik , psikotropik,
analgesic opioid , alfa boloker pada Wanita, alfa agonis pada pada pria , penghambat
kalsium
- Psikologic factor : depresi berat dengan retardasi psikomotor dapat menurunkan
kemampuan atau motivasi untuk mencapai tempat berkemih
- Exces urin output : pengeluaran urin berlebihan dapat melampui kemampuan orang
usia lanjut mencapai kamr kecil
- Restricted mobility : hambatan mobilitas untuk mencapai tempat berkemih
- Stool impaction : impaksi feces juga merupakan penyenba yang sering dari
inkontinencia pada mereka yang dirawat atau immobile.

2. Inkontinensia kronis : bersifat irreversible , tidak berkaitan dengan penyakit-penhyakit


akut ataupun obat-obatan, berlangsung lama
1. Aktivitas detrusor berlebihan (overactive bladder, inkontinensia tipe urgensi) :
aktivitas otot detrusor yang berlebihan menyebabkan kontraksi yang tidak terkendali
dari vesika urinaria dan berakibat keluarnya urin. Keadaan ini merupakan penyebab
utama dari inkontinensia urin pada usia lanjut, mencapai 2/3 nya .
2. Aktivitas detrusor yang menurun (overflow/luapan) : urethral overactivity dan atau
bladder underactivity, paling jarang dijumpai, dapat idiopatik atau gangguan
persyarafan sacrum ( neurogenic bladder), ditandai dengan sering berkemih pada
malam hari dengan jumlah urin sedikit.

5
3. Kegagalan urethra ( inkontinensia tipe stress) : urethral underactivity, ditandai
dengan kebocoran urin saat aktifitas terutama pada siang hari (terutama saat aktifitas
fisik, batuk, atau bersin). Mekanisme terjadinya IU tipe stress adalah akibat ketidak-
mampuan sfingter uretra menutup secara sempurna bila terjadi peningkatan tekanan
intra-abdominal utamanya umur lanjut. Bentuk ini lebih sering terjadi pada wanita
dimana faktor resikonya antara lain kehamilan dan obesitas. Pada pria lebih jarang
ditemukan dimana faktor resikonya adalah pembedahan saluran kemih bagian bawah
seperti prostatektomi dan bedah prostat transurethral. Biasanya jumlah urin yang
keluar sedikit (5-10 ml).
4. Inkontinensia tipe campuran : Tipe ini merupakan kombinasi bentuk IU tipe stress
dan IU tipe OAB dimana keluarnya urin tanpa disadari terjadi pada waktu melakukan
aktifitas fisik disertai/didahului urgensi. Kelainan disebabkan oleh kombinasi adanya
bladder overactivity dan urethral underactivity. Tipe ini yang terbanyak dari IU.
5. Inkontinensia fungsional : keluarnya urin secara dini akibat ketidakmampuan
mencapai tempat berkemih akibat gangguan fisik atau kognitif, psikologis.

IV. Patofisiologi overaktiv bladder (OAB)

Etiologi OAB tidak diketahui secara pasti, namun semua teori terkait dengan istilah aktivitas
detrusor yang berlebihan, yang menunjukkan bahwa mekanisme sensorik vesica urinaria
terpengaruh dalam situasi ini, yang mengarah pada terjadinya 'urgensi' dalam pengosongan
vesica urinaria .3

Komponen motorik vesika urinaria dipersarafi oleh sistem saraf parasimpatis (S2, S3 dan S4)
dan mengoordinasikan intensitas kontraksi detrusor. Komponen simpatis berasal dari saraf
hipogastrik, bekerja pada reseptor beta dan bertanggung jawab untuk merelaksasi detrusor.3

V. Factor Resiko OAB

Faktor resiko overaktif bladder diantaranya:

1. Usia
2. Pascamenopause, dengan penurunan kadar estrogen, prevalensi gejala menjadi lebih tinggi
3. Prolaps genital , akibatnya, pengobatan prolaps dapat meredakan gejala OAB)
4. Operasi inkontinensia urin

6
5. Obesitas , BMI >30 kg/m2, terkait dengan faktor mekanis, dan sindrom inflamasi atau stres
oksidatif
6. Gangguan afektif: OAB dapat menyebabkan banyak gangguan mental seperti kecemasan
atau depresi; Namun, terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa adanya gangguan ini
sendiri dapat meningkatkan risiko OAB; faktor pelepas kortikotropin (CRF) menjadi faktor
umum yang mungkin.
7. Gangguan gastrointestinal fungsional: yang paling umum adalah sindrom iritasi usus besar,
terjadi pada sekitar 33,3% kasus OAB
8. Disfungsi sistem saraf otonom (disfungsi keseimbangan otonom)
9. Etnis , prevalensi OAB yang lebih tinggi pada pasien Afrika-Amerika dan Hispanik
10. Sleep apnea, mikrobiota urin, merokok, peningkatan konsumsi kopi, pemanis buatan,
alkohol, rempah-rempah dan minuman asam
11. Infeksi slauran kemih

V. Diagnosis

Diagnosis OAB umumnya dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis yang seksama dan
lengkap. Pemeriksaan fisis, laboratorium, radilogi dan pemeriksaan lainnya bermanfaat untuk
menetukan penyebab dari OAB.3

Pada anamnesis perlu ditanyakan onset dari IU pada pasien, akut atau kronik. Perlu juga
ditanyakan mengenai gejala IU yang dialami pasien serta adanya gejala lain seperti gejala
neurologis ( contohnya, kelemahan tungkai bawah), penyakit komorbid yang mendasari (seperti,
diabetes, stroke, demensia, Parkinson, dan atritis), riwayat operasi pelvis, obatobatan yang
dikonsumsi pasien, status fungsional termasuk gangguan mobilitas dan 7 gangguan kognitif yang
dialami pasien. Selain itu, perlu kita mencari faktor eksternal seperti faktor lingkungan yang
dapat mengganggu kemampuan pasien mencapai toilet dan faktor kebiasaan pasien, seperti
volume dan jenis minuman yang dikonsumsi pasien

Anamnesis harus difokuskan terutama pada buang air kecil dan gejala penyimpanan saluran
kemih, tingkat keparahan gejala dan dampaknya terhadap kualitas hidup. selain itu dalam
anamnesis ditanyakan Riwayat factor resiko OAB . Riwayat operasi , kebiasaan makan dan
minum, dan Riwayat pengobatan.3

7
Penyebab IU dibagi menjadi reversible dan ireversibel. Penyebab reversible IU harus
disingkirkan terlebih dahulu sebelum penyebab ireversibel dipikirkan. Singkatan “DIAPPERS”
untuk penyebab reversible IU yaitu Delirium, Infection, Atrophic Vaginitis, Pharmaceutical,
Psychosis, Excessive urine output, Reduced mobility, Stool impaction.

Apabila penyebab reversible telah disingkirkan maka penyebab irreversible IU harus


dievaluasi. Ada dua pertanyaan yang sangat penting untuk ditanyakan kepada pasien.5

• Apakah Anda pernah berkemih tanpa disadari saat beraktifitas fisik, mengangkat barang,
batuk, tertawa, atau bersin?

• Apakah Anda pernah merasakan keinginan berkemih yang tidak tertahankan sehingga urin
Anda keluar sebelum mencapai toilet?

Jika, pasien menjawab “ya” pada pertanyaan pertama maka pasien kemungkinan menderita
IU tipe stress , jika pasien menjawab “ya” pada pertenyaan kedua maka kemungkinan terbesar
yang diderita oleh pasien tersebut adalah IU tipe OAB. Namun, jika pasien menjawab “ya” pada
kedua pertanyaan di atas maka kemungkinan pasien menderita IU tipe campuran.5

Pada pasien dengan inkontinensia urin , mereka akan mengurangi minum yang berefek
pada keseimbangan cairan, menurunnya kapasitas vesika urinaria, dan selanjutnya akan
memperberat keluhan inkontinensia.1

Pada pemeriksaan fisis dilakukan pemeriksaan yang mencakup pemeriksaan abdomen,


pemeriksaan colok dubur untuk mengetahui pembesaran prostat pada pria dan pemeriksaan
vagina pada wanita (pada status hormonal, adanya prolaps uteri dan tes batuk untuk mengetahui
adanya urin yang keluar). 3,6

Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan tidak diperlukan,kecuali terutama pada kelompok


yang berisiko mengalami retensi urin akibat adanya obstruksi saluran kemih.3,6

Penggunaan catatan harian berkemih ( Bladder Diary) dianjurkan karena menunjukkan


kebiasaan buang air kecil harian pasien. Ini adalah alat sederhana, mudah diterapkan, yang dapat
menilai volume urin, frekuensi, pola berkemih, episode inkontinensia dan dapat menilai tingkat
keparahan gejala.3,6

8
Gambar1. Bladder Diary 7

Urinalisis dan kultur urin direkomendasikan untuk semua pasien untuk menyingkirkan
patologi terkait lainnya yang dapat menyebabkan gejala tipe OAB (terutama ISK dan
hematuria).3

Tes tambahan lainnya dapat dilakukan seperti sistoskopi (dalam kasus hematuria atau ISK
berulang) namun tidak begitu bermanfaat kecuali dicurigai adanya keganasan, evaluasi
urodinamik masih kontroversial (terutama dalam situasi dimana terdapat riwayat gejala
neurologis atau disfungsi berkemih yang terjadi bersamaan), pencitraan saluran genitourinari
bagian atas tidak diperlukan (dalam kasus hematuria atau untuk menyingkirkan penyakit
penyerta lainnya).3,6

VI. Pengobatan
1. Nonfarmakologi

Terapi perilaku yaitu perubahan gaya hidup: menurunkan berat badan, mengurangi asupan
cairan (6 hingga 8 gelas air /hari atau 1-1.5 L/hari, menghindari asupan cairan 2 jam sebelum
tidur), berhenti minum kopi, rempah-rempah, minuman asam dan alkohol, berhenti
merokok. ,menghindari sembelit, untuk meningkatkan tingkat aktivitas fisik dan untuk
meningkatkan kesehatan secara keseluruhan. 3,6

Pelatihan vesika urinaria yaitu terdiri dari buang air kecil secara berkala, dimulai dengan
buang air kecil selama 30 menit, kemudian mencapai interval 3-4 jam, setelah pasien berhasil

9
mengendalikan buang air kecil. Tekniknya agar lebih optimal dengan menggabungkan teknik
kontrol darurat, terutama kontraksi Kegel atau pernapasan dalam (sebagai teknik relaksasi), yang
dapat digunakan pasien untuk mendapatkan kontrol bertahap.3

Pelatihan otot dasar panggul (PFMT),yaitu Senam kegel, stimulasi listrik dasar panggul, dan
senam dasar panggul dengan biofeedback.3

2. Farmakologi

Terapi lini pertama oleh obat antimus- carinic (antikolinergik), yang dapat menyebabkan
relaksasi detrusor dan memiliki efek samping kekeringan pada selaput lendir (mulut kering,
mata kering, vagina kering ), konstipasi, jantung berdebar-debar, aritmia, takikardia dan
gangguan kognitif (somnolen, halusinasi, kebingungan, delirium, penglihatan kabur, masalah
ingatan) atau retensi urin, Antimuskarinik yang paling umum digunakan adalah: oxybutynin,
tolterodine, fesoterodine, trospium, propiverine, solifenacin. Obat antimuskarinik yang
golongan extended release lebih baik dibandingkan intermediet release. Gel topikal
oxybutynin atau oxybutynin transdermal adalah pilihan lain, karena menghindari efek lintas
pertama pada hati, dengan efek samping sistemik yang lebih rendah, dan tingkat mulut kering
yang rendah. Evaluasi dalam pemebrian obat dilakukan 1-3 bulan. . Kontraindikasi
pengobatan antimuskarinik adalah: pasien dengan glaukoma sudut sempit (kecuali disetujui
oleh dokter mata yang merawat), miastenia gravis, kolitis ulseratif berat, megakolon toksik,
retensi urin atau obstruksi usus.3

Terapi lini kedua yang digunakan adalah agonis β3. β3 lebih dominan di vesica urinaria
dan bertanggung jawab atas relaksasi detrusor selama fase pengisian. Mirabegron adalah
satu-satunya agonis β3. Efektivitasnya sebanding dengan antimuskarinik, namun dengan efek
samping yang lebih rendah, terutama yang berhubungan dengan kejadian mulut kering. Efek
samping yang dapat ditimbulkan yaitu peningkatan TD. Dikontraindikasikan pada pasien
dengan hipertensi berat yang tidak terkontrol (tekanan darah sistolik⩾ 180 mmHg dan/atau
diastolik 100mmHg. Pengobatan lini kedua diberikan jika pasien tidak berespon dengan
pengobatan lini ke dua dan pasien tidak dapat mentoleransi efek samping dari obat lini
pertama. Dan pengobatan ini dapat dikombinasikan jika pasien refrakter dengan
monoterapi . Pada sebagian besar kasus, kombinasi pengobatan lini pertama dan lini kedua
memberikan hasil yang sangat baik.3
10
Terapi kombinasi (antimuskarinik dan beta3-agonis) dapat dipertimbangkan pada pasien
yang refrakter terhadap monoterapi. Pemberian bersama tampaknya meningkatkan
kemanjuran dengan sedikit peningkatan profil efek samping. Terapi kombinasi solifenacin
dan mirabegron (masing-masing dalam dosis 5mg dan 25mg atau 5mg dan 50mg) dilaporkan
mengalami penurunan jumlah episode inkontinensia dan berkemih yang signifikan secara
statistik dibandingkan penggunaan monoterapi.6

Gambar 2. Perbandingan obat-obatan yang tersedia untuk pengelolaan OAB.6

Terapi lini ketiga yang digunakan adalah denervasi kimia sementara pada otot detrusor
vesika urinaria, stimulasi saraf tibialis perifer (PTNS) atau neuromodulasi. Obat lini ketiga
diberikan jika pasien sudah refrakter terhadap obat lini pertama dan kedua.3

 Denervasi kimia sementara pada otot detrusor vesika urinaria dengan toksin botulinum A
intravesika (OBTA).OBTA berasal dari Klostridium botulinumdan secara selektif
memblokir pelepasan asetilkolin presinaptik dari ujung saraf. Hal ini menyebabkan
berkurangnya kontraktilitas dan tingkat atrofi otot di tempat suntikan . efek ini hanya
bersifat sementara. Cara kerja lain obat ini pada urothelium dengan menghambat
pelepasan neurotransmiter , sehingga bekerja pada sistem sensorik. OBTA diberikan
secara intravesika disuntikkan ke 20 titik dinding kandung kemih di atas trigonum
menggunakan cystoscope, dengan dosis optimal 100 unit. Persyaratan untuk suntikan
berulang setiap 6-9 bulan. Efek samping nya kelumpuhan yang ekstrim pada vesica

11
urianria dan retensi urin, ISK (13-44%), hematuria, disuria, ruam, atau kelemahan otot.
OBTA intravesika disetujui oleh FDA pada tahun 2013 untuk pengobatan OAB
idiopatik.3
 Stimulasi saraf tibialis posterior (PTNS) pertama kali dijelaskan pada tahun 1983 dan
merupakan prosedur invasif minimal dengan hasil yang baik dan risiko rendah. PTSN
adalah stimulasi pada saraf tibialis posterior menggunakan elektroda jarum kecil (34-G)
pada medial pergelangan kaki (P-PTNS). Tidak ada efek samping serius yang
dilaporkan , pengobatan ini bertahan hanya selama 1 tahun . Kontraindikasi PTNS adalah
pasien dengan defi-brilator implan, alat pacu jantung, dan kerusakan saraf yang dapat
mempengaruhi saraf tibialis, masalah perdarahan dan kehamilan.3
 Neuromodulasi sakral (SNM) direkomendasikan pada kasus-kasus parah tertentu yang
refrakter terhadap jenis pengobatan lain, SNM merupakan tindakan operasi terdiri dari
stimulasi akar saraf S3 menggunakan perangkat implan perkutan di bawah kendali
fluoroskopi, yang menghasilkan impuls listrik. Efek samping nyeri, pendarahan, infeksi,
perubahan posisi pada implant atau malfungsinya. Efek dapat bertahan 3-5 tahun.
Kontraindikasi pada pasien yang memerlukan MRI secara rutin, sedang hamil, atau jika
pasien ingin hamil. Alat ini tidak hemat biaya, dan pasien harus sangat patuh karena
diperlukan tindak lanjut seumur hidup.3

Terapi lini keempat yaitu Augmentasi vesika urinaria (cystoplasty) dilakukan dengan
menambahkan lengkung usus halus berukuran 10-15 cm pada luas permukaan
intraluminalnya, sebaiknya ileum (segmen usus yang telah didetubularisasi dimasukkan ke
dalam dinding vesika urinaria bivalvia). Kompilkasi dari terapi ini yaitu obstruksi, disinsersi
anastomosis, abses, atau fistula. Komplikasi jangka panjang dari jenis pembedahan ini adalah
gangguan elektrolit, gagal ginjal, batu saluran kemih, iskemia ileum dan striktur ureter,
kebutuhan akan kateterisasi mandiri yang bersih dan intermiten (untuk pembesaran vesika
urinaria),
perubahan gejala
usus, atau ISK.3

12
Gambar 3. Perbandingan pedoman NICE, EAU dan AUA untuk pengelolaan OAB.6

Adapun terapi lain yang sementara terus diteliti diantaranya antagonis α adrenoseptor,
terapi gen, antagonis reseptor neurokinin, penghambat faktor pertumbuhan saraf, terapi
berbasis sel induk, gerbang pembuka saluran kalium, capsaicin (resiniferatoxin), estrogen
vagina sebagai monoterapi untuk OAB serta dalam kombinasi dengan terapi lain (termasuk
terapi perilaku dan farmasi).3

Pada sebagian besar kasus anamnesis dan pemeriksaan fisis sudah dapat menegakan
diagnosis dan terapi dapat dimulai , namun pemeriksaan penunjang seperti tes urodinamik
dan pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk kasus dengan pengobatan yang
refrakter. 3

VII. Ringkasan

OAB adalah suatu kondisi kronis yang menyebabkan pasien tidak bisa mengontrol
berkemih dengan konsekuensi fisik, psikologis dan sosial yang secara signifikan
mempengaruhi kualitas hidup jutaan pasien di seluruh dunia. Dalam kasus OAB, keterlibatan
pasien harus optimal, sehingga pilihan pengobatan dapat dipahami dengan jelas termasuk
kelebihan dan kekurangan masing-masing setiap pengobatan, untuk membuat keputusan
yang benar dan tepat dalam pengobatan. OAB adalah suatu kondisi kronis dan pilihan
pengobatan yang tersedia dapat memperbaiki, namun tidak menyembuhkan gejala, sehingga
menyebabkan ketidakpuasan dan tingginya tingkat penghentian semua terapi yang tersedia.
Meningkatkan kualitas hidup pasien ini menjadi tujuan utama dalam menangani kondisi ini

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Darmajo, Boedhi. (2009). Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
2. MacLachlan L. S. dan Rovner E. S. 2015. New treatments for incontinence. Adv Chronic
Kidney Dis 22: 279-288
3. Ioan Scarneciu. Overactive Bladder: A Review And Update. Experimental And
Therapeutic Medicine 22: 1444, 2021
4. Sumardi, R., et al. 2014. Prevalence of urinary incontinence, risk factors and its impact:
multivariate analysis from indonesian nationwide survey. Acta Med Indones 46: 175- 180
5. Tannenbaum C. 2012. Keeping dry: managing urinary incontinence In : Jayna M H and
Reddy M (eds.) Evidence-Based Geriatric Medicine: A Practical Clinical Guide
Blackwell Publishing Ltd.
6. Christina Fontaine, et al. Update on the management of overactive bladder. Therapeutic
Advances in Urology. 2021, Jil. 13: 1–9.
7. Johnson T. M. dan Ouslander J. G. 2009. Incontinence. In : Halter, J. B., et al. (eds.)
Hazzard Geriatric Medicine & Gerontology. The McGraw-Hill Companies

14

Anda mungkin juga menyukai