Anda di halaman 1dari 14

OVERACTIVE BLADDER

Ikwan Asrin Ali Mansyur, Muhammad Jabir

A. PENDAHULUAN

Overactive bladder (OAB) merupakan kondisi kandung kemih yang hiperaktif,

terjadi karena akibat kontraksi otot detrusor sering berkontraksi lebih sering dari

biasanya. Hal ini menyebabkan seseorang merasakan desakan secara tiba-tiba untuk

buang air kecil bahkan saat kandung kemih tidak dalam keadaan penuh.1 Menurut

International Continence Society (ICS), OAB merupakan sebagai keluhan urgensi, yang

biasanya diikuti dengan frekuensi pada siang hari dan nokturia, dan tanpa didapatkan

infeksi atau patologi yang lain pada buli-buli.2

Berbagai penelitian yang dilakukan di Eropa maupun di Amerika menunjukkan

bahwa prevalensi OAB di kedua benua ini hampir sama, yakni kurang lebih 17% pupulasi

umum menderita OAB.3 Diperkirakan hampir 1 dari 5 orang di Kanada yang berusia yang

berusia 35 tahun ke atas menderita OAB, baik pria maupun wanita yang berusia kurang

dari 65 tahun.1 Penelitian yang dilakukan oleh Natural Overactive Bladder Evaluation

Study (NOBE) disebutkan bahwa 37% pasien OAB mengeluhkan adanya inkontinensia

urine, atau dikenal dengan OAB basah (wet) dan 63 % tidak disertai dengan inkontinensia

urine atau OAB kering (dry). Prevalensi OABwet akan meningkat dengan bertambahnya

usia. Disebutkan bahwa OABdry lebih sering dijumpai pada lelaki daripada perempuan

(36% dibanding 7%) dan sebaliknya OABwet lebih sering dijumpai pada perempuan

(9.3% dibanding 2.4%).3

Overactive Bladder menyebabkan penurunan kualitas hidup (quality of life/Qol),

diantaranya adalah terbatasnya aktifitas fisik, psikis, sosial, seksual, dan produktivitas

kerja. Pada penelitian Brown et al, 19-42% perempuan di panti jompo pernah jatuh; 4-9%

1
sampai terjadi fraktur. Bahkan disebutkan bahwa resiko terjatuh bias mencapai seminggu

sekali. Resiko tersebut dimungkinkan mereka sering harus ke kamar mandi karena

frekuensi dan nokturia yang dialaminya.3

B. EPIDEMIOLOGI

Dalam studi The National Overactive Bladder Evaluation (NOBLE),

mengevaluasi 5204 orang dewasa yang berusia ≥ 18 tahun yang mewakili populasi AS

berdasarkan jenis kelamin, usia, dan wilayah geografis, 16,5% dari peserta penelitian

memenuhi kriteria untuk OAB. Dari jumlah tersebut, 6,1% memenuhi kriteria untuk OAB

dengan urgensi inkontinensia, dan 10,4% memenuhi kriteria untuk OAB tanpa urgensi

inkontinensia. Di antara individu dengan OAB dengan urgensi inkontinensia, 45%

memiliki gejala inkontinensia campuran (urgensi inkontinensia dan stres inkontinensia).

OAB mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia, tanpa memandang ras. Data frekuensi

pada OAB yang ditemukan di Eropa mirip dengan yang ditemukan di Amerika Serikat.4

sebuah studi penelitian di Jepang menyatakan bahwa prevalensi pada anak-anak antara

usia 7-12 tahun, didapatkan angka kejadian OAB 17.8%, dengan tanpa ada perbedaan

yang begitu signifikan antara pria dan wanita. Terdapat penurunan dalam prevalensi dari

19.8% pada usia 7 tahun hingga 12.8% pada usia 12 tahun.7

C. ANATOMI Dan FISIOLOGI VESIKA URINARIA

1. Anatomi Vesika Urinaria

Vesika urinaria (buli-buli) adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot

detrusor yang saling beranyaman, yakni (1) terletak paling dalam otot longitudinal, (2) di

tengah merupakan otot sirkuler, dan (3) paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa

vesika urinaria terdiri atas sel transisional yang sama pada mukosa pelvis renalis, ureter,

2
dan uretra posterior. Pada dasar vesika urinaria kedua muara ureter dan meatus uretra

interneum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum vesika urinaria.3

Secara anatomis vesika urinaria terdiri atas 3 permukaan, yaitu (1) permukaan

superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum, (2) dua permukaan inferiolateral,

dan (3) permukaan posterior. Permukaan posterior merupakan lokus minoris (daerah

terlemah) dinding vesika urinaria.3

Gambar 1. Anatomi Vesika Urinaria5

2. Fisiologi Vesika Urinaria

Vesika urinaria berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian

mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih), dalam menampung

urine, vesika urinaria mempunyai kapasitas maksimal, yang volumenya untuk orang

dewasa lebih kurang adalah 300-450 ml. sedangkan kapasitas vesika urinaria pada anak

menurut formula dari Koff adalah:3

Kapasitas vesika urinaria = [Umur (tahun) + 2] x 30 ml

3
Pada saat kosong, vesika urinaria terletak dibelakang simfisis pubis dan pada saat

penuh berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi. Vesika urinaria

yang terisi penuh memerikan rangsangan pada saat aferen dan mengaktifkan pusat miksi

di medula sipnalis segmen sacral S2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot detrusor,

terbukanya leher vesika urinaria, dan relaksasi sfingter uretra sehingga terjadilah proses

miksi.3

Vesika urinaria mendapatkan vaskularisasi dari cabang arteria iliaka interna,

yakni arteria vesikalis superior, yang menyilang di depan ureter. Sistem vena dari vesika

urinaria bermuara ke dalam vena iliaka interna.3

D. PATOFISIOLOGI

a. Teori Neurogenik

Vesika urinaria adalah organ berupa otot polos yang dalam proses miksi

dikendalikan oleh sistem saraf pusat, oleh karena itu gangguan dari sistem saraf maupun

kerusakan otot vesika urinaria sendiri dapat menyebabkan OAB. Penyebab neurogenik

tersebut antara lain adalah penurunan inhibisi suprapontin terhadap refleks miksi, seperti

yang terjadi pada pasien pasca stroke. Di samping itu, kerusakan jaras akson pada korda

spinalis, meningkatnya input aferen pada traktus urinaria sebelah bawah, hilangnya

inhibisi perifer, dan meningkatnya nerotransmisi pada jaras refleks miksi. Keadaan di atas

bias terjadi pada stroke, cedera korda spinalis, dan sklerosis multiple.3,8

b. Teori Miogenik

Pada obstruksi intravesika, urine yag terhambat keluar, akan meningkatkan

tekanan intravesika. Peningkatan yang berlarut-larut jika tidak ditanggulangi semakin

berakibat terjadinya denervasi otot polos detrusor. Bangkitan potensial aksi pada otot

polos menjadi terganggu dan tidak bisa disebarkan dari sel ke sel otot polos yang lain.

4
Denervasi ini menyebabkan timbulnya gerakan mikro (micromotion), yang justru

menambah tekanan intravesika dan memberikan rangsangan pada reseptor aferen otot

polos. Rangsangan ini akan memberikan umpan balik ke sistem saraf pusat sehingga

timbul sensasi OAB.3,8

E. GEJALA KLINIS

Gejala klinis overactive bladder:3

1. Urgensi

Keluhan berupa dorongan keinginan yang sangat untuk berkemih, yang sulit

untuk ditunda

2. Inkontinensia Urgensi

Keluhan berupa keluarnya urine secara tidak diinginkan yang sebelumnya

didahului oleh urgensi

3. Frekuensi

Keluhan berupa terlalu sering berkemih dalam sehari > 7 kali

4. Nokturia

Keluhan berupa terbangun untuk berkemih pada malam hari > 1 kali

Overactive bladder tanpa inkontinensia urgensi sering disebut overactive bladder

dry yang mengenai sekitar dua per tiga pasien dengan kelainan tersebut. Sedangkan jika

dengan inkontinensia urgensi, hal tersebut sering disebut sebagai overactive bladder wet.

F. DIAGNOSIS

Ada tiga gejala penting yang harus diperhatikan ketika mendiagnosis OAB yaitu

urgensi, frekuensi, dan nokturia.13 Diagnosis OAB dapat dibuat berdasarkan :3,9

5
1. Anamnesis riwayat penyakit

Di dalam menggali riwayat penyakit harus diperhatikan berbagai hal, yakni :

 Berapa kali ia berkemih pada siang atau malam hari ?

 Setiap berapa lama (menit/jam) jarak antara berkemih ?

 Berapa lama ia dapat menunda berkemih setelah muncul keinginan berkemih

(urge) datang ?

 Harus ditentukan kenapa ia seringkali harus berkemih, apakah karena timbulnya

urgensi, atau hanya karena rasa tidak enak harus membuang urinnya, atau usaha

untuk mencegah inkontinensia ?

 Jika terdapat inkontinensia, harus ditentukan jenisnya, apakah stress (terjadi pada

saat batuk, bersin, merubah posisi dari duduk ke berdiri atau latihan), urge, atau

campuran ?

 Apakah pasien menyadari celana dalamnya basah oleh urin ?

 Apakah memakai pampers (pembalut) ? apakah pempernya selalu basah penuh

urin ? seberapa sering ia menggantinya ?

 Apakah ada kesulitan memulai berkemih ? apakah perlu mengedan dulu ?

 Apakah pancaran urin lemah atau terputus-putus ? pernahkah mengalami retensi

urin ? pada perempuan, pernahkah mengalami prolaps organ (vagina) ? nyeri

daerah sakral, atau kesulitan defekasi ?

 Harus dicari kemungkinan adanya gejala neurologis (double vision, kelemahan

otot, paralisis, gangguan koordinasi, tremor, rasa tebal) keadaan neurologis yang

diketahui berefek pada vesika urinaria, antara lain cedera spinal, penyakit diskus

lumbalis, mielodisplasia, diabetes, dan parkinson.

 Riwayat operasi vagina, pernah operasi inkontinensia urin, operasi desobstruksi

uretra, atau pernah radiasi.

6
 Untuk mengetahui derajat keparahan OAB, pasien dapat mengisi kuesioner

(sistem skoring) OAB yang dirancang oleh Homma.

Tabel 1. Skor Gejala OAB

Pertanyaan Frekuensi Skor

Berap kali rata-rata Anda berkemih mulai saat <7 0


bangun pagi sampai pergi tidur malam hari? 8 – 14 1
> 15 2

Berapa kali rata-rata Anda terbangun untuk 0 0


berkemih pada saat tidur malam hingga 1 1
bangun pagi hari? 2 2
>3 3
Berapa seringkah Anda merasa tiba-tiba Tidak pernah 0
timbul perasaan ingin kencing (“kebelet”) < 1/minggu 1
yang tidak dapat ditunda? ≥ 1/minggu 2
± 1/hari 3
2 – 4/hari 4
≥ 5/hari 5
Berapa seringkah Anda tiba-tiba keluar urine Tidak pernah 0
(ngompol) karena keinginan kencing yang < 1/minggu 1
tidak tertahan? ≥ 1/minggu 2
± 1/hari 3
2 – 4/hari 4
≥ 5/hari 5

Total Skor

Pasien diminta untuk melingkari jawaban pada nilai skor, sesuai dengan kondisi yang
dialami selama seminggu terakhir, kemudian skor total adalah penjumlahan dari keempat
skor tersebut. Skor < 5 : ringan, 6 – 11 : sedang, > 12 : berat.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik difokuskan untuk mendeteksi adanya kelainan anatomi

maupun neurologi yang dapat menyebabkan timbulnya gejala itu. Pemeriksaan dimulai

dari mengamati cara berjalan dan sikap pasien saat masuk ke ruang periksa. Perlu

diperiksa daerah abdomen dan pinggang. Colok dubur untuk mengetahui kelainan prostat.

Dermatom sacral dievaluasi dengan memeriksa tonus sfingter ani, dan refleks

7
bulbokavernosus. Hilangnya atau lemahnya refleks sfingter merupakan tanda kerusakan

neurologis. Pada perempuan, pemeriksaan vagina harus dikerjakan pada saat vesika

urinaria kosong untuk memeriksa organ pelvis dan pada saat terisi penuh untuk

memeriksa adanya inkontinensia dan prolaps.3

Gejala OAB ditegakkan setelah disingkirkan adanya kemungkinan kelaianan

patologis atau metabolik (ISK, karsinoma buli-buli, BPH, atau diabetes). Keluhan urgensi

adalah gejala primer, dan diagnosis OAB tidak dapat ditegakkan tanpa adanya keluhan

urgensi, disamping itu tanpa keluhan inkontinensia urgensi.3

Gejala OAB dapat terjadi karena otot detrusor buli-buli berkontraksi secara

involunter. Kontraksi ini menyebabkan perasaan urgensi. Beberapa factor yang

menyebabkan buli-buli sering berkontraksi sehingga menyerupai sindroma OAB, adalah:3

 Kelaianan neurologis, misalkan penyakit Parkinson, stroke, dan sklerosis multiple

seringkali diikuti dengan sindroma OAB

 Produksi urine yang meningkat karena asupan cairan yang berlebihan, penurunan

faal ginjal, atau diabetes

 ISK akut yang sering kali memberikan gejala mirip dengan OAB

 Kelaianan pada buli-buli, seperti tumor atau batu buli-buli

 Obstruksi infravesika, di antaranya pembesaran prostat, konstipasi, pasca operasi

untuk koreksi inkontinensia

 Terlalu banyak asupan kopi, alkohol, atau pemakaian obat yang meningkatkan

produksi urine

3. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa ahli menyarankan pemeriksaan uroflometri (terutama pada pasien laki-

laki), tetapi pemeriksaan urodinamika diindikasikan pada pasien yang gagal setelah terapi

8
konservatif, atau bagi pasien yang memiliki sisa urin sangat banyak setelah miksi,

kelainan uroflometri, atau pada kasus yang sulit dan tidak sederhana.3

Sampel urin untuk memeriksa infeksi dan kadar glukosa. Sampel darah untuk

memeriksa kadar gula darah dan infeksi (leukositosis). Selain itu juga dapat berupa

pemeriksaan khusus yakni:

 Tes Urodinamik : untuk melihat fungsi kandung kemih dan kemampuan

pengosongannya secara tuntas.

 Pengukuran residu urin. Bila pengosongan kandung kemih tidak komplit,

residu urin yang ada akan dapat menimbulkan gejala overactive bladder.

 Uroflowmetry. Untuk menentukan kecepatan dan volume urin yang keluar.

 Cystometry. Untuk mengukur tekanan kandung kemih selama pengisian.

Prosedur ini dapat mengidentifikasi adanya kontraksi otot involunter yang

dapat mengindikasikan tingkat tekanan dimana seseorang merasa ingin berkemih

dan dapat mengukur tekanan yang diperlukan untuk pengosongan kandung

kemih.

 Electromyography. Prosedur ini dapat mengkaji koordinasi dari impuls saraf di

dalam otot kandung kemih dan sfingter uriner.

 Video urodinamik. Prosedur ini menggunakan X-ray atau gelombang

ultrasonografi untuk mendapatkan gambar kandung kemih pada saat

pengisian dan pengosongan. Tes ini biasanya dikombinasikan dengan

cystometry.

 Cystoscopy. Digunakan untuk melihat abnormalitas pada traktus urinarius

bawah misalnya batu saluran kemih atau tumor.

9
Catatan harian kandung kencing selama 3 hari untuk menilai gejala baik sebelum

maupun sesudah percobaan pengobatan.

G. PENATALAKSANAAN

1. Non-Medikamentosa

 Perubahan gaya hidup

Terapi behavioural merupakan langkah pertama, tidak invasif, nontoksik, dan

seringkali memberikan hasil yang cukup bagus. Terapi ini meliputi pemberian edukasi

pasien tentang traktus urinarius, proses pengisian dan pengeluaran urin. Pencatatan miksi

dengan catatan harian berkemih sangat berguna karena dapat membantu pasien mengerti

dan kemudian mengatur kebiasannya dalam berkemih.3

Perubahan gaya hidup yang dapat membantu :

 Ke toilet. Untuk pergi ke toilet dibuat semudah mungkin.

 Kafein. Kafein mempunyai efek diuretik. Terdapat didalam teh, kopi dan

coklat kadang terdapat dalam obat pereda nyeri. Kafein merangsang

kandung kemih, menimbulkan gejala overactive bladder.

 Alkohol. Pada beberapa orang alkohol dapat memperburuk gejala

overactive bladder, apalagi bila dikombinasikan dengan kafein.

 Minum dalam jumlah yang cukup. Sehari kurang lebih 2 liter.

 Pergi ke toilet hanya jika perlu.

Terapi behavioural terbukti efektif dalam menurunkan episode inkontinensia.

Pada suatu penelitian di panti jompo perempuan usia lebih dari 55 tahun, episode

inkontinensia (teramasuk stress), turun hingga 57%.3

10
 Bladder training

Tujuan dari latihan ini adalah untuk memperlambat peregangan kandung kemih

sehingga dapat memperbesar volume kandung kemih. Pada saat yang sama akan

mengurangi hiperaktivitas otot kandung kemih.

Pada saat berusaha menahan, usahakan untuk menahan diri, misalnya:

 Duduk pada kursi yang keras

 Berusaha menghitung mundur dari 100

 Berusaha mengerjakan beberapa pelvic floor exercises

Hal ini akan memakan waktu beberapa minggu, tujuannya untuk mengeluarkan

urin hanya 5 – 6 kali dalam 24 jam. Selama mengerjakan bladder training ini sebaiknya

dicatat dalam buku harian sehingga dapat diketahui kemajuan yang dicapai. Setelah

beberapa bulan akan didapatkan rasa ingin berkemih/ ke toilet yang normal. Bladder

training mungkin merupakan hal yang sulit, tetapi akan lebih mudah dengan seiring

berjalannya waktu dan dengan adanya dukungan dari dokter, perawat atau pelatih.

Pastikan bahwa jumlah masukan cairan cukup selama melakukan bladder training ini.

 Pelvic floor exercises

Banyak orang menderita campuran inkontinensia urgensi dan inkontinensia

stress. Pelvic floor exercises adalah terapi utama dari inkontinensia stress. Terapi ini

meliputi latihan untuk memperkuat otot-otot yang melingkupi bagian bawah kandung

kemih, uterus dan rektum. Terapi ini meliputi menekan dasar pelvis ketika duduk dari

berbaring ke berdiri. Masih belum jelas apakah pelvic floor exercises dapat membantu

inkontinensia urgensi tanpa inkontinensia stress. Bagaimanapun juga pelvic floor

exercises dapat membantu jika dilakukan bersama dengan bladder training.8,10

11
2. Medikamentosa

Terapi farmakologis lebih efektif jika dibarengi dengan behavioural. Dibuktikan

bahwa kombinasi kedua terapi tersebut jauh lebih efektif dari pada terapi tunggal. Titik

tangkap terapi ini adalah pada otot polos buli-buli, saraf eferen (motorik), aferen

(sensoris), dan SSP. Kesulitan dalam memilih jenis obat adalah tidak adanya obat

uroselektif (yang hanya bekerja pada buli-buli). Pada umunya obat yang saat ini

diresepkan adalah penghambat adrenergic alfa dan antimuskarinik. Kedua jenis obat itu

berpengaruh terhadap sistem lain di samping traktus urinaria bawah. Antimuskarinik yang

biasa juga disebut antikolinergik. Yang termasuk golongan ini adalah : oxybutynin,

tolterodine, trospium chloride, propiverine dan solifenacin. Obat-obat ini bekerja dengan

cara memblok impuls saraf ke kandung kemih yang akan berakibat relaksasi otot

kandung kemih dan akan meningkatkan kapasitas kandung kemih. Efek samping yang

sering dijumpai adalah mulut kering, konstipasi, pusing, dan nyeri kepala.3,10,13

Injeksi botox (BTX), injeksi BTX intravesika diindikasikan pada pasien yang

tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian antimuskarinik. Dipercaya bahwa BTX

menghambat eksositosis sinaps vesikel, sehingga menghambat pelepasan Ach. Pemberian

BTX dapat dikerjakan secara poliklinik; yang ditujukan tidak hanya untuk mengurangi

hiperaktif detrusor yang berhubungan dengan saraf aferen, tetapi juga hipersensitif saraf

aferen yang berperan dalam terjadinya OAB refrakter. Telah terbukti bahwa BTX mampu

menurunkan atau menghilangkan inkontinesia hingga 6-9 bulan pada 67-73% pada pasien

OAB neurogenik atau idiopatik. Kontraindikasi penyuntikan BTX ini adalah terdapat

infeksi pada tempat yang akan diinjeksi atau hipersensifitas terhadap BTX.3,12

12
3. Pembedahan

Pembedahan dilakukan hanya jika dengan terapi medikamentosa dan

nonmedikamentosa tidak berespon. Tujuan dari terapi bedah adalah meningkatkan

kemampuan pengisian kandung kemih dan mengurangi tekanan pada kandung

kemih. Tindakan bedah meliputi :3,10


Neuromodik adalah implantasi alat neuromodulator listrik yang berfungsi dalam

merangsang saraf sakral, dan kemudian memodulasi vesica urinaria, sfingter, dan

otot dasar panggul. Cara ini diindikasikan jika dengan pengobatan secara

konservatif tidak memberikan hasil.



Sistoplasti augmentasi diindikasikan pada inkontinensia urge yang derajat berat,

dan refrakter dengan berbagai pengobatan. Volume vesica urinaria diperbesar

dengan menambah dari segmen usus. Tindakan ini diindikasikan pada

inkontinensia urgensi berat yang tidak memberikan perbaikan (refrakter) dengan

berbagai pengobatan.

H. PENCEGAHAN

Tidak ada cara spesifik dalam mencegah terjadinya OAB pada seseorang.

Namun bila muncul gejala awal seperti yang sudah diuraikan di atas, dapat langsung

melakukan langkah-langkah sederhana seperti:14

1. Membatasi jumlah minum, terutama sebelum tidur,

2. Menghindari makanan pedas, kafein, coklat, minuman bersoda, dan alkohol,

3. Meningkatkan makanan beserat.

13
I. KOMPLIKASI

Penderita dengan overactive bladder mudah menjadi :

 Depresi

 Rasa percaya diri yang rendah

 Cemas

 Fatigue

 Sulit berkonsentrasi

Pembedahan sistoplasti augmentasi memiliki komplikasi yang mengganggu.

Usus memiliki lapis epithelium yang terlibat dalam absorpsi dan sekresi elektrolit. Hal

tersebut menyebabkan potensi gangguan elektrolit, tergantung segmen dan luas

permukaan usus yang digunakan. Pasien dengan fungsi ginjal yang baik dapat

mengkompensasi kelainan tersebut. Penurunan fungsi ginjal jangka panjang dapat

ditemukan pada 20% pasien yang menjalani sistoplasti eugmentasi.11

J. PROGNOSIS

Secara umum prognosis untuk OAB umumnya baik. Melalui pendekatan

gabungan modifikasi perilaku dan pengobatan, pasien dapat membantu secara signifikan

mengatasi urgensi, dan kualitas hidup mereka yang terkena OAB dapat meningkat secara

substansial.15

14

Anda mungkin juga menyukai