Anda di halaman 1dari 10

Diagnosis Community Acquired Pneumonia

Diagnosis Community Acquired Pneumonia (CAP) ditegakkan berdasarkan


adanya gejala klinis tertentu yaitu, batuk, demam dengan suhu tubuh  38oC,
sesak nafas, nyeri dada pleuritik, perubahan karakteristik sputum, leukosit
>10.000 atau <4.500, suara nafas bronki disertai ronki, yang didukung dengan
pencitraan paru (biasanya foto thorax). Gejala klinis dan temuan pada
pemeriksaan fisik bisa jadi tidak muncul pada individu lanjut usia. Semua pasien
harus diperiksa dengan pulse oximetry, yang dapat menunjukkan adanya
pneumonia pada pasien tanpa tanda-tanda yang jelas dan hipoksemia yang tidak
terdeteksi pada pasien yang pneumonia itu sendiri.

Kultur Sputum dan Pewarnaan Gram

1. Tidak dianjurkan mengambil sampel sputum untuk pewarnaan gram dan


kultur secara rutin pada pasien rawat jalan
2. Pasien rawat inap yang dianjurkan untuk kultur sputum dan pewarnaan
gram adalah:

• Pasien dengan CAP dengan kategori berat (Tabel 1), terlebih jika
pasien diintubasi.
• Pasien yang sedang dalam terapi empiris untuk MRSA atau
Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa).
• Terinfeksi MRSA atau P. aeruginosa sebelumnya, terutama jika
infeksi tersebut adalah infeksi pada paru-paru.
• Riwayat dirawat inap dan atau mendapat antibiotik parenteral
dalam jangka waktu 90 hari terakhir.

Hal ini dikarenakan:


• Mendapatkan spesimen sputum yang baik tidak mudah, mengingat
karakteristik pasien yang berbeda-beda.
• Kultur sputum juga dipengaruhi oleh informasi mengenai antibiotik
yang telah didapat sebelumnya, variasi organisme, dan setting.

Kultur Darah

1. Tidak dianjurkan mengambil sampel kultur darah pada dewasa dengan CAP
rawat jalan.
2. Dianjurkan mengambil sampel kultur darah pada pasien dewasa yang
dirawat inap jika:
• Pasien dengan kategori CAP berat.
• Pasien sedang dalam terapi empiris untuk MRSA atau P.
aeruginosa.
• Pasien sebelumnya terinfeksi MRSA atau P. aeruginosa, terutama
jika infeksi tersebut adalah infeksi pada paru-paru.
• Riwayat dirawat dan atau mendapat antibiotik parenteral dalam
jangka waktu 90 hari terakhir

Tabel 1.
Kriteria CAP kategori berat menurut Infectious Diseases Society of
America/American Thoracic Society Criteria
Definisi yang tervalidasi jika memenuhi 1 kriteria mayor, atau 3 atau
lebih kriteria minor.
Kriteria Minor
Frekuensi nafas  30/mnt
Rasio PaO2/FiO2  250
Infiltrat multilobuler
Disorientasi
Uremia (BUN 20 mg/dl
Leukopenia < 4000 sel/L
Trombositopenia <100.000/L
Hipotermia <36oC
Hipotensi yang memerlukan resusitasi cairan agresif
Kriteria Mayor
Syok sepsis yang memerlukan vasopresor
Gagal nafas yang memerlukan ventilasi mekanik
Catatan: kriteria berlaku jika disebabkan oleh infeksi, bukan akibat
kemoterapi

Hal ini dikarenakan:

• Kultur darah jarang menyebabkan terapi antibiotik empiris harus


diganti.
• Spesimen darah yang bercampur dengan kontaminan kulit dapat
menyebabkan hasil positif palsu.
• Coagulase-negative staphylococci yang bukan merupakan patogen
CAP dapat mengaburkan hasil dan menyebabkan peningkatan
penggunaan antibiotik yang tidak seharusnya, dan meningkatkan
pula resiko efek samping.
• Meningkatkan length of stay.

Pemeriksaan Antigen Pneumokokus dan Legionella Urin

1. Tidak dianjurkan mengambil sampel antigen pneumokokus dan legionella


urin pada pasien CAP, kecuali jika:
• Ditemukan banyak kasus secara epidemiologis/terjadi outbreak
• Atau riwayat berkunjung ke tempat dengan outbreak.
• Pasien dengan CAP kategori berat.

Hal ini dikarenakan:


• Clinical outcome pasien yang mendapat terapi spesifik (Legionella)
dibandingkan empiris tidak berbeda signifikan.
• Uji klinis gagal mendapatkan manfaat dari tes ini.
• Terapi antibiotik spesifik pada hasil tes yang positif dapat
menyebabkan peningkatan resiko clinical relapse.

Pemeriksaan Virus Influenza

1. Dianjurkan pemeriksaan virus influenza (rapid influenza molecular assay)


pada pasien CAP baru terdiagnosa jika sedang terjadi infeksi influenza pada
komunitas.
2. Rekomendasi pemeriksaan ini terlibat dalam rangka mengendalikan infeksi
dan terapeutik di rumah sakit.

Hal ini dikarenakan:

• Koinfeksi influenza dan pneumonia dapat meningkatkan


mortalitas.

Procalcitonin dan Terapi Antibiotik Empiris

1. Terapi antibiotik empiris tetap diberikan jika dicurigai CAP berdasarkan


klinis dan konfirmasi radiologis tanpa pemeriksaan procalcitonin

Hal ini dikarenakan:

• Beberapa studi mengatakan kadar procalcitonin ≤0,1µg/L memiliki


kecenderungan infeksi virus, di mana kadar ≥2,5µg/L memiliki
kemungkinan tinggi infeksi bakteri. Namun dikatakan
sensitivitasnya berkisar 38-91%.

Penggunaan Penilaian Prediksi Prognosis ditambah dengan Penilaian Klinis vs.


Penilaian Klinis Saja Dalam Menentukan Pasien Dirawat Inap atau Rawat Jalan

1. Direkomendasikan untuk menggunakan skor/indeks penilaian prognosis


ditambah penilaian klinis dalam pertimbangan merawat inapkan pasien.
2. Pneumonia Severity Index (Gambar 1) lebih dipilih dibandingkan CURB 65
karena dianggap kurang efektif.

Hal ini dikarenakan:

• Dapat menghindari resiko HAP, dan cost yang terlalu berlebihan.


Gambar 1. Skor Pneumonia Severity Index (PSI)

Penggunaan Penilaian Prediksi Prognosis ditambah Penilaian Klinis vs. Penulaian


Klinis saja dalam Menentukan Pasien Rawat Inap Biasa atau ICU

1. Direkomendasikan perawatan langsung ke ICU pada pasien dengan


hipotensi yang memerlukan vasopresor atau pasien gagal nafas yang
membutuhkan ventilasi mekanik.
2. Pada pasien yang tidak memenuhi kriteria di atas maka pertimbangan
rawatan intensif berdasarkan penilaian klinis dan kriteria CAP kategori
berat (Tabel 1)

Hal ini dikarenakan:

• Peningkatan mortalitas sering diakibatkan oleh ”mis-triage” atau gagal


mengidentifikasi pasien pneumonia berat. Oleh karenanya dianjurkan
penggunaan kriteria CAP (Tabel 1) dalam menentukan lokasi rawatan.

Pilihan Antibiotik Empiris CAP Pasien Rawat Jalan

1. Pada pasien tanpa komorbid, atau tanpa faktor resiko kuman resisten
antibiotik yang dianjurkan antibiotik PO:
• Amoksisilin 3x1 gram, atau
• Doksisiklin 2x100 mg, atau
• Azitromisin 1x500 mg hari 1, lanjut 1x250 mg, atau
• Klaritromisin 2x500 mg.
2. Pada pasien dengan komorbid seperti gagal jantung, paru, hati, ginjal, DM,
kecanduan alkohol, keganasan, dan asplenia, diberikan antibiotik PO:

Terapi Kombinasi
• Amoksisilin/klavulanat 500mg/125 mg 3xsehari atau
Amoksisilin/klavulanat 875mg/125 mg 2xsehari, atau
• Cefpodoxime 2x200 mg atau cefuroxime 2x500 mg
dengan
• Azitromisin 500 mg hari 1 lanjut 1x250 mg, atau
• Klaritromisin 2x500 mg.

atau Monoterapi PO:


• Levofloxacin 1x750 mg.
• Moxifloxacin 1x400 mg.
• Gemifloxacin 1x320 mg.

Pilihan Antibiotik Empiris CAP pada Pasien Rawatan tanpa Resiko Methicilllin
Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) dan P. aeruginosa

1. Pada pasien CAP bukan kategori berat tanpa resiko MRSA, P. aeruginosa:
• Terapi kombinasi β-lactam (ampisilin+sulbactam 1.5–3 g per
6 jam, cefotaxime 1–2 g per 8 jam, ceftriaxone 1–2 g per hari, atau
ceftaroline 600 mg per 12 jam) dengan
• Makrolid (Azitromisin 500 mg per hari atau Klaritromisin 2x500 mg)
atau
• Monoterapi fluorokuinolon (Levofloxacin 750 mg per hari,
Moxifloxacin 400 mg per hari).
2. Pasien CAP kontraindikasi makrolid dan atau fluorokuinolon, alternatif
dapat diberikan:
• Kombinasi β-lactam (ampisilin+sulbactam 1.5–3 g per
6 jam, cefotaxime 1–2 g per 8 jam, ceftriaxone 1–2 g per hari, atau
ceftaroline 600 mg per 12 jam) dengan doksisiklin 2x100 mg.
3. Pada pasien CAP kategori berat tanpa faktor resiko MRSA/P. aeruginosa:
• Kombinasi β-lactam dengan makrolid, dengan dosis sama dengan
di atas. Atau
• Kombinasi β-lactam dengan fluorokuinolon, dengan dosis sama
dengan di atas.

Faktor resiko MRSA


• Mendapat antibiotik intravena dalam 90 hari terakhir.
• Dirawat Inap di Unit di mana >20% kuman Staphylococcus Aureus
yang diisolasi adalah resisten methicillin, atau prevalensi MRSA
tidak diketahui.

Faktor resiko P. aeruginosa


• Mendapat antibiotik intravena dalam 90 hari terakhir adalah faktor
resiko terkuat (golongan karbapenem, sefalosporin spektrum luas,
fluorokuinolon). Faktor resiko lainnya, seperti
• Riwayat penggunaan ventilasi mekanik.
• Riwayat PPOK.
• Cystic Fibrosis.
• Bronkiektasis.

Pasien Suspek Pneumonia Aspirasi dan Pemberian Tambahan Antibiotik Anaerob

1. Tidak direkomendasikan penambahan antibiotik anaerob, kecuali curiga


abses paru atau empiema.

Hal ini dikarenakan:

• Walaupun ditemukan bukti bahwa pasien dengan pneumonia aspirasi


ditemukan tingkat bakteri anaerob yang tinggi. Namun studi terbaru
mengatakan infeksi bakteri anaerob jarang terjadi pada pasien suspek
aspirasi dalam rawatan inap.
• Peningkatan prevalensi patogen resisten antibiotik dan komplikasi
penggunaan antibiotik menghanjurkan pendekatan terapi yang
menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu.

Pasien rawat inap dengan resiko MRSA/P. aeruginosa dan pemberian Terapi
Antibiotik Extended-Spectrum dibandingkan Terapi Antibiotik Standar pada CAP.

1. Kategori HCAP tidak direkomendasikan lagi untuk panduan memilih


antibiotik extended-spectrum.
2. Terapi extended-spectrum hanya digunakan jika terbukti secara
epidemiologis lokal terdapat faktor resiko MRSA/P. aeruginosa lokal yang
tervalidasi:
3. Pada MRSA diberikan:
• Vancomycin 15mg/kg per 12 jam, atau
• Linezolid 600 mg per 12 jam
4. Pada P. aeruginosa diberikan:
• Piperacillin-tazobactam 4,5 gr per 6 jam.
• Cefepime 2 gram/8 jam.
• Ceftazidime 2 gram/8 jam.
• Aztreonam 2 gram/8 jam.
• Meropenem 1 gram/8 jam.
• Imipenem 500 mg/6 jam.

Pasien CAP Rawat Inap dan Terapi Kortikosteroid.

1. Tidak direkomendasikan penggunaan kortikosteroid pada CAP.


2. Tidak direkomendasikan penggunaan kortikosteroid pada CAP dengan
Influenza.
3. Penggunaan kortikosteroid disesuaikan dengan panduan (Surviving Sepsis
Campaign) SSC pada CAP dengan sepsis.

Hal ini dikarenakan:

• Tidak ada data yang mengatakan manfaat kortikosteroid pada pasien


dengan CAP kategori bukan berat, dan data yang terbatas pada CAP
kategori berat mengenai mortalitas dan kegagalan organ.
• Sebuah meta analisis terhadap beberapa studi retrospektif
mengatakan, terjadi peningkatan mortalitas pada pasien Influenza
yang mendapat terapi kortikosteroid. Hal ini menegaskan pentingnya
imunitas bawaan dalam mengatasi Influenza.

Pasien CAP dengan Influenza dan Pemberian Terapi Antivirus

1. Direkomendasikan pemberian terapi antiinfluenza seperti Oseltamivir,


diberikan pada pasien CAP dengan Influenza positif, rawat inap maupun
rawat jalan.
2. Terdapat bukti bahwa pemberian antiinfluenza pada pasien CAP
menurunkan resiko kematian.

Hal ini dikarenakan:

• Pada pasien rawat jalan, antiinfluenza dapat menurunkan durasi gejala


dan menurunkan komplikasi saluran nafas bawah.

Pemberian Terapi Antibiotik pada Pasien Influenza Positif

1. Direkomendasikan terapi inisial antibiotika standar pada dewasa dengan


bukti klinis dan radiologis CAP dengan tes influenza positif pada pasien
rawat inao maupun rawat jalan.

Hal ini dikarenakan:

• Rekomendasi pemberian antibiotik rutin pada pasien terinfeksi virus


influenza dan pneumonia didasari oleh bukti bahwa koinfeksi bakteri
adalah komplikasi umum dan serius dari influenza, dan
ketidakmampuan mengeksklusi adanya koinfeksi bakteri pada pasien
CAP yang positif tes influenza.

Durasi Pemberian Antibiotik Pasien CAP Rawat Inap dan Rawat Jalan yang
Mengalami Perbaikan

1. Direkomendasikan bahwa durasi pemberian antibiotik tergantung pada


stabilitas klinis. Seperti resolusi vital sign (heart rate, respiratory rate,
tekanan darah, saturasi oksigen, suhu), kemampuan makan, dan status
mental. Pemberian antibiotik dilanjutkan hingga mencapai stabilitas klinis
tersebut dan tidak kurang dari 5 hari.

Hal ini dikarenakan:

• Hampir seluruh studi mendukung pemberian antibiotik minimal 5 hari


pada pasien CAP berat. Dan CAP dengan MRSA atau P. aeruginosa
minimal 7 hari.

Pasien CAP Perbaikan dan Follow Up Foto Thorax

1. Pada pasien CAP perbaikan setelah 5-7 hari, tidak ada anjuran pemeriksaan
foto thorax follow up.

Hal ini dikarenakan:

• Data yang ada mengenai manfaat positif foto thorax ulangan hanya
berkisar 0,2-5 %. Meskipun begitu pada pasien yang difoto thorax
ulang, banyak pula ditemukan kelainan baru pada pasien seperti
gambaran kanker paru, hal ini terutama pada perokok.
Tabel 2. Perbedaan Panduan ATS/IDSA 2007 dan 2019

Rekomendasi Panduan ATS/IDSA 2007 Panduan ATS/IDSA 2019


Kultur Sputum Direkomendasikan pada Direkomendasikan pada
pasien CAP kategori CAP pasien kategori
berat berat dan semua pasien
rawat inap yang
mendapat terapi empiris
MRSA/P. aeruginosa
Kultur Darah Direkomendasikan pada Direkomendasikan pada
pasien CAP kategori CAP pasien kategori
berat berat dan semua pasien
rawat inap yang
mendapat terapi empiris
MRSA/P. aeruginosa
Monoterapi Makrolid Direkomendasi kuat Direkomendasi pada
untuk pasien rawat jalan pasien rawat jalan
berdasarkan tingkat
resistensinya.
Penggunaan Tidak dijelaskan Tidak direkomendasikan
Procalcitonin untuk menentukan
pasien mendapat terapi
antibiotik inisial atau
tidak.
Penggunaan Tidak dijelaskan Tidak direkomendasikan.
Kortikosteroid Dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan syok
sepsis refrakter
Pemakaian Kategori Diterima pemakaiannya Penggunaan kategori
HCAP pada panduan Hospital HCAP tidak
Acquired Pneumonia direkomendasikan.
(HAP)/Ventilator Penekanan terhadap
Associated Pneumonia perlunya epidemiologi
(VAP) ATS/IDSA 2005 lokal dan faktor resiko
tervalidasi untuk
pemberian terapi
terhadap MRSA/P.
aeruginosa. Penekanan
perlunya deeskalasi
antibiotik jika hasil kultur
negatif.
Terapi Empiris Standar Memilih antara Kedua kombinasi dapat
pada CAP Kategori Berat kombinasi - digunakan, namun
laktam/makrolid dan - kombinasi -
laktam/fluorokuinolon laktam/makrolid lebih
dianjurkan
Pemeriksaan Foto Tidak dijelaskan Tidak direkomendasikan.
Thorax Follow-up Kecuali jika dicurigai
kanker paru.

Anda mungkin juga menyukai