Anda di halaman 1dari 11

I.

PENDAHULUAN Overactive bladder adalah salah satu sebab dari inkontinensia urine dan merupakan penyebab kedua sesudah kelemahan sfingter uretra. Kandung kemih berfungsi sebagai alat penyimpanan urine dan akan berkontraksi hanya selama berkemih dibawah pengontrolan persyarafan. International Continence Societymengklasifikasikan overactive bladder sebagai suatu sindrom dimana tak ada penyebab pasti yang ditemukan, dengan abnormalitas lokal yang didapatkan saat evaluasi diagnostik. Prevalensi dan perjalanan penyakit tidak diteliti dengan baik sampai saat ini. Pada survei melalui telepon pada 16.776 orang dewasa berusia 40 tahun atau lebih di Eropa, 16 % laki-laki dan 17 % wanita dilaporkan mengalami sindroma sugestif dari overactive bladder. Prevalensinya sebesar 3 % pada pria berumur 40-44 tahun, 9 % pada wanita 40-44 tahun, 42 % pada pria 75 tahun atau lebih dan 31 % pada wanita 75 tahun atau lebih. Data yang hampir sama pada prevalensi overactive bladder dilaporkan di Amerika Serikat. Overactive bladder merupakan kondisi yang menyusahkan penderitanya. Kondisi ini membatasi dan menganggu kehidupan sehari-hari penderitanya, dan menyebabkan perasaan malu, cemas, takut, mudah marah, frustasi dan depresi yang berat. Keadaan basah itu sendiri jelas merupakan aspek terburuk dalam masalah ini, tapi keinginan kuat untuk buang air, panik mencari toilet dan ketakutan tak mampu menemukannya tepat waktu juga mempunyai peran.

II. DEFINISI DAN GAMBARAN KLINIK Overactive bladder merupakan suatu jenis urge incontinence (keluarnya urine secara tidak sadar, terjadi ketika tekanan kandung kemih melebihi tekanan uretra selama fase pengisian) yang dihubungkan dengan keinginan kuat untuk buang air kecil dan berhubungan dengan overaktif otot detrusor. Gejala yang terjadi pada overactive bladder antara lain : 1. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24 jam. 2. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih. 3. Urgensi: keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh seperti keadaan normal. 4. Urge inkontinensia: dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak dapat ditahan sehingga kadang kadang sebelum sampai ke toilet urine telah keluar lebih dulu. Orang dengan overactive bladder mengalami kontraksi yang tak teratur pada kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge inkontinensia merupakan gejala akhir pada overactive bladder. Jumlah urine yang keluar pada overactive bladder biasanya lebih banyak daripada kapasitas kandung kemih yang menyebabkan kandung kemih berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Pasien dengan overactive bladder pada mulanya kontraksi otot detrusor sejalan dengan kuatnya keinginan untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa pasien mereka menyadari kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha membantu sfingter untuk menahan urine keluar serta menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan yang menonjol hanya urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir ditemukan 70 % pada kasus overactive bladder dan simptom nokturia sangat erat hubungannya dengan nokturnal enuresis. Keluhan urge inkontinensia ditemukan hanya pada sepertiga kasus overactive bladder. III. NEUROFISIOLOGI MIKSI A. FISIOLOGI MIKSI Proses miksi merupakan aktifitas dari proses neurofisiologi yang kompleks dan terkoordinasi dengan sangat tepat dan melibatkan aktifitas neuronal mulai dari 3korteks serebri, batang otak, medula spinalis dan saraf-saraf tepi baik otonom maupun somatik.

Fungsi penyimpanan dan pengeluaran urine merupakan dua fungsi bulibuli yang diatur oleh sistem refleks yang kompleks. Pengaturan ini menghasilkan koordinasi antara kontraksi otot polos dan lurik yang berakhir dengan terjadinya miksi pada tekanan intra uretra yang rendah dan fungsi kandung kemih yang terkontrol. Fisiologi kandung kemih terdiri atas neurofisiologi mekanisme refleks miksi dan fisiologi detrusor serta otot lurik periuretra. Tekanan yang dihasilkan oleh otot polos dan lurik disekitar dan pada uretra membuat jaringan penunjang dan pembuluh darah yang ada di bagian dalam dinding uretra terjepit sehingga epitel uretra menjadi seperti tutup yang kedap air. Semua faktor ini akan menjadi faktor penting terjadinya kontinensia. Tekanan intra uretra dalam keadaan istirahat adalah antara 50-100 cm H2O, suatu tekanan yang cukup bila diingat bahwa tekanan intravesika maksimal adalah 50 cm H2O. Sfingter uretra disokong oleh otot, ligamen, dan fasia dasar panggul dan pengalaman klinis menunjukkan bahwa hal ini penting untuk mekanisme kontinensia yang efisien. Lebih dari itu kontraksi otot levator ani mengangkat, memanjangkan dan menekan uretra sehingga berperan penting pada terjadinya kontinensia pada saat kondisi stress misalnya pada peningkatan tekanan intraabdominal secara tiba-tiba. Tekanan yang dihasilkan oleh mekanisme sfingter proksimal pada leher kandung kemih jauh lebih rendah dibanding mekanisme sfingter distal. Tertutupnya leher kandung kemih hanya tergantung fungsi detrusor. Selama detrusor tidak berkonsentrasi leher kandung kemih akan tetap tertutup walaupun terjadinya kenaikan tekanan intravesikal yang ekstrim seperti mengedan, batuk dan lain-lain. Hanya dengan kontraksi detrusor terjadi pembukaan leher kandung kemih. Kandung kemih dapat penyimpanan pertambahan jumlah urine tanpa diikuti kenaikan tekanan intravesika. Hal ini dapat terjadi karena sifat elastisitas otot kandung kemih yang dapat meregang. Selain itu kandung kemih dalam keadaan kosong bukanlah berupa organ yang berkontraksi, tetapi lebih berupa kantong yang terlipat. Oleh karenanya pengisian urine dalam jumlah yang sedikit hanya mengubah bentuk kandung kemih yang terlipat tanpa perlu meregangkan dindingnya, begitu volume urinee bertambah banyak barulah kandung kemih akan meregang untuk menjamin tertampungnya urinee tanpa mengakibatkan kenaikan tekanan intervesika. Diluar kedua faktor, elastisitas dan kemampuan merubah bentuk kandung kemih, diduga faktor persarafan juga berperan dalam menghambat terjadinya kontraksi detrusor atau secara aktif membuat relaksasi detrusor selama fase pengisian urine. B. MEKANISME PENGOSONGAN KANDUNG KEMIH Kandung kemih terisi dengan kecepatan 1 ml/menit dan pada awalnya tanpa adanya sensasi apapun. Sesuai dengan bertambahnya jumlah urine dalam kandung kemih akan timbul sensasi samar yang timbul di daerah perineum atau dalam rongga pelvik. Lama kelamaan sensasi ini makin jelas dan sulit untuk diabaikan dan dalam keadaan normal ini saat untuk miksi. Bila kandung kemih dibiarkan terisi terus maka timbul sensasi regangan daerah abdomen bawah yang timbul dari saraf simpatis ke kolum lateral dan mungkin berasal dari reseptor regangan di trigonum. Bila tidak juga terjadi miksi akan terdapat sensasi miksi yang sulit tertahan. Sensasi ini berasal dari uretra atau otot lurik periuretra. Serat aferen untuk sensasi ini berjalan bersama nervus pudendus menuju kolum dorsal medula spinalis. Ketiga sensasi ini mempunyai alur saraf berbeda dan dapat terjadi tanpa kenaikan tekanan intravesikal. Sensasi pertama adalah yang terpenting. Rangsangan untuk ketiga sensasi adalah distensi kandung kemih. Walaupun distensi saja sudah merupakan rangsangan yang cukup tapi faktor pertambahan volume yang dihubungkan dengan frekuensi kontraksi ritmin detrusor dengan amplitudo rendah juga memegang peranan. 1. Fase pengisisan Persarafan menyebabkan kandung kemih mampu menahan urine di kandung kemih sampai distensi kandung kemih mencapai titik batasnya. Mekanisme saraf yang menjaga saraf parasimpatis postganglionik tetap tidak aktif melibatkan tiga faktor. Pertama adanya inhibisi berulang terhadap saraf postganglionik dengan menghambat hubungan antar saraf di intermediolateral grey columns. Penghambatan ini terjadi pada volume kandung kemih kecil dan akan hilang waktu terjadinya miksi. Faktor kedua adalah peranan ganglion parasimpatik yang berfungsi sebagai filter, impuls preganglion yang rendah tidak akan diteruskan. Faktor ini merupakan faktor terpenting yang juga akan hilang waktu terjadinya miksi. Faktor ketiga adalah inhibisi oleh saraf simpatis terhadap parasimpatis ganglioner.

Tekanan penutupan uretra meningkat pada beberapa keadaan seperti pengisian buli-buli secara cepat, peningkatan tekanan intra abdomen, aktifitas fisik dan kontraksi volunter otot dasar panggul. Kenaikan tekanan sebagai respon terhadap pengisian buli-buli terjadi melalui refleks eferen dan nervus pelvikus. Aktivitas neural mempertahankan tekanan intravesikal lebih rendah dari tekanan uretral. Perbedaan tekanan intravesikal dengan tekanan uretral disebut sebagai urethral closure pressure. Tekanan intra uretral dipertahankan tinggi pada proses pengisian kandung kemih disebabkan elastisitas jaringan ikat mukosa uretral, sedang yang aktif mempertahankan tekanan intra uretral adalah tonus otot-otot polos dan otot lurik intra uretral. Peninggian mendadak tekanan intra andomen akan ditransmisikan dan didistribusikan secara sama ke arah kandung kemih dan ke uretral, sehingga pengaruh terhadap urethral closure pressure tidak ada. Transmisi tekanan ini tergantung pada komponen aktif yaitu kontraksi otot-otot lurik dan komponen pasif yaitu posisi intra abdominal leher buli-buli dan uretra. Jika otot-otot dan fasia pada dasar pelvis melemah, penurunan posisi leher kandung kemih dan uretral akan disertai dengan distribusi tekanan intra abdominal yang tidak sama berakibat timbulnya stress inkontinensia. 2. Fase pengosongan Pengosongan kandung kemih terjadi dengan adanya peningkatan tekanan intravesika yang bertahan sampai kandung kemih kosong disertai penurunan tekanan intra uretra. Miksi dimulai dengan penurunan tekanan intra uretra yang mendahului kenaikan tekanan intravesika beberapa detik walaupun kadang kadang terjadi bersamaan. Bila tekanan intravesika sampai batas tertentu maka leher buli-buli akan membuka dan miksi dimulai. Pada saat miksi selesai uretra pada daerah sfingter distal akan menutup dan penutupan ini diikuti bagian yang lebih proksimal dan terakhir tertutupnya leher kandung kemih. IV. PATOFISIOLOGI OVERACTIVE BALDDER Gejala overactive bladder biasanya berhubungan dengan kontraksi involunter otot detrusor. Overactive otot detrusor, baik neurogenik maupun idiopatik, dapat menyebabkan inkontinensia urgensi, tergantung pada respon sfinkter. Overaktifitas detrusor dapat disebabkan miogenik. Kontraksi detrusor dapat menjadi lemah akibat kontraktibilitas yang terganggu. Pemeriksaan urodinamik menunjukkan hampir separuh pasien usia lanjut dengan overaktifitas detrusor mengosongkan kurang dari sepertiga isi buli-bulinya dengan kontraksi invonlunter. Pengosongan yang tidak lengkap dapat menyebabkan frekuensi dengan menurunnya fungsi kapasitas buli-buli. Berbagai jalur eferen dan aferen saraf, refleks, dan neurotransmiter sentral dan perifer terlibat dalam penyimpanan urine dan pengosongan buli-buli. Hubungan antara faktor tersebut tidak dimengerti. Glutamat merupakan neurotransmiter eksitator pada jalur yang mengatur saluran kemih bawah. Aktifitas serotonergis memfasilitasi penyimpanan urine dengan bantuan refleks simpatik dan menghambat jalur parasimpatik. Jalur dopaminergik dapat memberikan efek inhibitor dan fasilitator pada miksi. Reseptor dopamin D1 memiliki peran menekan aktifitas buli-buli dimana reseptor dopamin D2 memfasilitasi miksi. Gambar 1. Konsep kontribusi saraf otonom terhadap kontraksi kandung kemih dan pengisian urine, dikutip dari Ouslander Asetilkolin, yang berinteraksi dengan reseptor muskarinik pada otot detrusor, merupakan neurotransmiter perifer yang bertanggung jawab pada kontraksi bulibuli. Keadaan patologis dapat mengubah sensitifitas stimulasi muskarinik. Contohnya, obstruksi aliran buli-buli tampak menambah respon terhadap asetikolin, suatu fenomena yang mirip dengan denervasi suprasensitif. Normalnya, hanya proporsi kecil kontraksi buli-buli yang tahan terhadap atropin, mungkin akibat interaksi ATP dengan reseptor purineergik. Namun, ATP dapat memliki peran lebih dalam kontraksi buli-buli pada pasien overactive bladder. Contohnya, buli-buli pasien dengan overaktifitas detrusor tampak memiliki gap junction antar sel otot polos yang abnormal. Perhatian lebih telah diberikan pada saraf aferen sensori pada miksi normal dan overaktifitas buli-buli. Selama pengisian buli-buli, aktifitas aferen pada bulibuli dan uretra mencapai saraf spinal melalui saraf pelvis. Input sensor selama pengisian buli-buli mengakibatkan peningkatan tonus simpatis, yang menghambat saraf motorik parasimpatis, menyebabkan kontraksi dasar buli dan uretra. Gambar 2. Konsep persarafan sensorik pada kandung kemih

dikutip dari Ouslander Aktifitas adrenergik dapat menyebabkan relaksasi detrusor akibat stimulasi reseptor -adrenergik. Serabut sensor A delta bermyelin memberi respon pada peregangan pasif dan kontraksi aktif otot detrusor. Serat C yang tak bermyelin mempunyai ambang mekanik yang lebih tinggi dan merespon berbagai neurotransmiter. Serat C relatif tidak aktif selama miksi normal, tapi memiliki peran penting dalam gejala overactive bladder pada pasien dengan kelainan saraf dan lainnya. Beberapa tipe reseptor telah diidentifikasi pada saraf aferen, meliputi reseptor vanilloid, yang diaktifasi oleh kapsaisin dan mungkin anandamide endogen, reseptor purigenik (P2X), yang diaktivasi oleh ATP, reseptror neurokinin, yang merespon substansi P dan neurokinin A, protein gen kalsitonin, dan faktor neurotropik otak , juga memiliki peran penting dalam modulasi aferen sensoris pada detrusor manusia. V. ETIOLOGI Pada dasarnya overactive bladder adalah gangguan atau kerusakan pada susunan saraf yang ikut mengontrol kandung kemih dan kelainan yang belum diketahui sebabnya sampai saat ini (idiopatik). Kelainan klinik yang erat hubungannya dengan gejala overactive bladder antara lain : 1. Kelainan traktus urinearius bagian bawah Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan, defisiensi estrogen, kelemahan sfingter, hipertropi prostat. 2. Kelainan neurologis Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel sklerosis), medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma, multipel sklerosis), dan persarafan perifer (diebetes neuropati, trauma saraf). 3. Kelainan sistemik Gagal jantung, insufisiensi vena, diabetes melitus, gangguan tidur, abnormalitas arginin vasopresin. 4. Kondisi fungsional dan tingkah laku Konsumsi alkohol dan kafein berlebihan, kebiasaan makan yang buruk dan konstipasi, gangguan mobilitas, kondisi psikologis. 10 5. Efek samping pengobatan Diuretik, antikolionergik, narkotika, kalsium chanel bloker, inhibitor kolinestrase. Peneliti lain mengemukakan teori lain berkenaan dengan abnormalitas kandung kemih intrinsik, hal ini termasuk : 1. Kelainan ganglia kandung kemih Peranan neuropeptida sebagai neurotransmiter pada tingkat yang bervariasi dari arkus reflek miksi sentral, ganglia- ganglia tersebut terletak dikandung kemih itu sendiri. Polipeptida intestinal vasoaktif suatu neuropeptida sebagi sel ganglia kholinergik dan berfungsi sebagai agen inhibisi dari jalur parasimpatomimetik dan pada penderita overactive bladder konsentrasi polipeptida intestinal vasoaktif rendah, enkephalin juga dapat dilepas dari ganglia kandung kemih berfungsi sebagai agen inhibisi dengan cara menekan asetilkolin dari syaraf ganglia. Kelainan pada sel pacemaker Kelainan ini menjelaskan bahwa kandung kemih tidak pernah istirahat total. Pada penelitian invitro dan invivo menunjukan bahwa kandung kemih berada dalam aktifitas kontraksi ritmik yang terjadi terus menerus. Van Duyl menyatakan bahwa kontraksi regional yang sempit dari pacemaker yang mungkin dapat merupakan sumber dari kontraksi kandung kemih yang luas pada pendeita overactive bladder terjadi kontraksi terus menerus tidak terkontrol ini dapat dikaitkan dengan penyimpangan kontrol dari sel pace maker. Kelainan otot polos Sebaian besar penderita irritable bowel syndroma memiliki keluhan berkemih, termasuk tidak dapat menahan berkemih dan serinng buang air kecil pada malam hari. Menurut penelitian Whorwell dkk menemukan 50% penderita overactive bladder merupakan efek lanjut dari kelainan otot polos difus. Peningkatan Aktifitas syaraf sensorik Moore dkk menemukan bahwa densitas subepitelial syaraf sensorik pada kandung kemih lebih besar dan tebal pada penderita overactive bladder. Defisiensi produksi Prostasiklin Penderita overaktif kandung kemih memiliki defisiensi dalam produksi prostasiklin. Iritasi kandung kemih lokal

2.

3.

4.

5. 6.

7.

Iritasi kandung kemih atau uretra terutama uretra proksimal dan sudut segitiga kandung kemih menyebabkan ketidakstabilan kandung kemih akibat peningkatan rangsangan sensorik. Penyebab lain psikosomatis.

VI. DIAGNOSIS Semua penderita dengan simptom overactive bladder harus melewati evaluasi dasar sebagai kerangka penentuan yang dianjurakan Agency on Health Care Policy and Research yang meliputi riwayat pemeriksaan fisik, pengukuran volume residu sesudah pengosongan dan urinealisis. Riwayat klasik dari overactive bladderadalah usaha kuat untuk pengosongkan kandung kemih atau frekuensi pengosongan lebih dari 8 kali miksi dalam 24 jam dapat dikaitkan keluarnya urinee secara tiba tiba. Riwayat juga harus meliputi hal seperti : 1. Riwayat spesifik medis, neurologis dan genitourineari dan riwayat obatobatan. 2. Ekplorasi mendalam dari gejala overactive bladder termasuk durasi. 3. Penilaian kualitas hidup. 4. Gejala yang terkait, misalnya inkontinensia akibat stress dan prolapsus organ pelvik. 5. Pola pemasukan cairan dengan catatan pengosongan dalam 24 jam 72 jam. 6. Penilaian mobilitas, lingkungan hidup, faktor sosial. Pemeriksaan fisik harus meliputi : 1. Evaluasi neurologis pada segmen bawah sakrum, termasuk bulbocavernosusdan reflek spinter anus. 2. Pemeriksaan status mental. 3. Pemeriksaan abdomen untuk mengevaluasi massa atau kumpulan cairan, yang dapat mempengaruhi tekanan intra abdomen dan fungsi detrusor. 4. Pemeriksaan pelvis yang biasanya normal pada penderita overaktif kandung kemih, untuk menilai adakah kontribusi dari gejala overaktif kandung kemih dan juga pemeriksaan rectal harus dinilai. 5. Test penekanan akibat batuk, untuk menilai adakah inkontinensia akibat stress. 6. Estimasi volume residu setelah pengosongan baik melalui kateter atau ultrasound pelvis, residu < 50 cc normal, residu 100 cc 200 cc dianggap pengosongan kandung kemih tidak sempurna. Pemeriksaan penunjang meliputi : 1. Urinealisis dan kultur digunakan untuk menyingkirkan hematuria (karena tumor atau batu pada traktus urenarius), glukosuria (yang mungkin menyebabkan peningkatan frekuensi pengosongan), pyuria dan bakteriuria. 2. Test lanjutan. a. Pemeriksaan sistoskopi b. Test Urodynamic dan cytometry Menurut National Womens Health Report, diagnosis dan terapi overactive bladder dapat ditegakkan oleh sejumlah pemberi pelayanan kesehatan, termasuk dokter pada pelayanan primer, perawat, geriatris, gerontologis, urologis, ginekologis, pedriatris, neurologis, fisioterapis, perawat kontinensia, dan psikolog. Pemberi pelayanan primer dapat mendiagnosis overactive bladder dengan pemeriksaan riwayat medis yang lengkap dan menggunakan tabel penilaian gejala. Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine untuk menetukan apakah gejalanya disebabkan oleh overactive bladder, atau masalah lain, seperti infeksi saluran kemih atau batu kandung kemih). Bila urinealisa normal, seorang pemberi pelayanan primer dapat menentukan untuk mengobati pasien atau merujuknya untuk pemeriksaan gejala lebih lanjut.

Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik yang terfokus pada saluran kemih bagian bawah, termasuk penilaian neurologis pada tungkai dan perineum, juga diperlukan. Sebagai tambahan , pasien dapat diminta untuk mengisi buku harian kandung kemih (catan tertulis intake cairan, jumlah dan seringnya buang air kecil, dan sensasi urgensi) selama beberapa hari untuk mendapatkan data mengenai gejala. Bila setelah langkah tadi diagnosis definitif masih belum dapat ditegakkan, pasien dapat dirujuk ke spesialis untuk penilaian urodinamis. Tes ini akan memberikan data mengenai tekanan/ volume dan hubungan tekanan/ aliran di dalam kandung kemih. Pengukuran tekanan detrusor selama sistometri digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis overaktifitas detrusor. VII. PENATALAKSANAAN Terapi optimal untuk overactive bladder tergantung pada evaluasi menyeluruh, diikuti terapi semua penyebab yang ada dan faktor yang berperan. Timbulnya gejala overactive bladder biasanya multifaktor, dan terapi multimodal yang meliputi Konservatif dan operatif dapat diberikan. A. KONSERVATIF 1. Bladder training (Waktu miksi) Ada tiga komponen utama blader training: edukasi, jadwal miksi dengan sistematik jadual miksi yang tertunda dan tenaga tambahan yang positif. Bagian edukasi mengkombinasikan tulisan, lisan, instruksi verbal yang melayani untuk membiasakan pasien dengan anatomi dan fisiologi dari traktus urinearius bagian bawah. Pasien lalu diminta untuk melawan atau menahan sesuai urgensi, menunda miksi, dan miksi berdasarkan waktu yang tepat lebih baik daripada miksi yang mendesak. Penyesuaian pada muatan cairan dan penundaan miksi untuk meningkatkan jumlah volume buli-buli dapat saja digunakan untuk memperjelas terapi ini. Pasien juga diminta untuk melengkapi catatan harian. Program bladder training yang efektif yang telah menghasilkan hasil baik terdiri dari 6 minggu protokol miksi pasien rawat jalan. Hal ini mewakili pasien sebagai arti untuk mendapatkan kembali kontrol kortikal yang lebih dari detrusor dan ditawarkan sebagai penatalaksanaan primer pada pasien dengan overactive bladder. Pasien diatur dengan suatu jadwal miksi berdasarkan interval miksi merela sehari-harinya; mereka biasanya diminta untuk memulai dengan miksi setiap jam saat bangun selama 2 minggu pertama. Instruksi kepada pasien mencakup : 1. Kosongkan kandung kemih pada waktu yang terjadwal apakah ya atau tidak saat merasakan miksi yang mendesak. 2. Aspek yang penting adalah inisiasi miksi yang volunter, bukan jumlah miksi. 3. Menghindari ke kamar mandi antara waktu yang terjadwal, dan menekan desakan pada waktu yang lain. 4. Jangan merasa malu jika gagal. Protokol membutuhkan follow up setiap 2 minggu sampai efek keinginan unuk miksi didapat. Karena hal ini suatu pola dari terapi tingkah laku, tenaga tambahan sangat diperlukan. Interval miksi meningkat 15 sampai 30 menit, tergantung bagaimana baiknya pasien bertindak pada 2 minggu pertama. Kombinasi terapi ini dengan latihan Kegel dapat meningkatkan kemampuan pasien untuk menjadi berkelanjutan karena peningkatan tonus otot dasar panggul akan meningkatkan kemampuan pasien untuk menahan urine. Pengobatan ini dapat berhasil jika pasien memiliki interval miksi 2,5 sampai 3 jam dan bebas dari gejala overactive bladder. 2. Modifikasi tingkah laku pada pasien usia lanjut Keseluruhan insiden overactive bladder meningkat dengan umur dan pada pasien yang lebih tua, defisit kognitif, dan penurunan mobilits lebih sering menyebabkan inkontinensia urine. Hadley menjelaskan empat rejimen terjadwal secara spesifik terkait pada kemampuan pasien. Antara lain meliputi modifikasi tingkah laku, digunakan secara kognitif ambulatori pasien yang intak, sampai pada waktunya miksi, digunakan pada pasien dengan kognitif berat dan perbaikan mobilitas. Pada suatu rancangan studi longitudinal, waktu miksi telah digunakan untuk 2 minggu pertama tunggal. Lalu oxybutinin ditambahkan pada rejimen waktu miksi. Secara signifikan waktu miksi mengurangi episode inkontinensia, dan penambahan oxybutirin klorid tidak memberikan tambahan yang menguntungkan.

Tabel 1. Contoh tabel harian berkemih Dikutip dari Junizaf 1 16 3. Neuromodulasi sakrum Neuromodulasi sarum dipertegas sebagai suatu alat terapi yang bermanfat dalam pengobatan overactive bladder.Tidak diketahui secara pasti bagaimana kerja neuromodulasi, tetapi sedikitnya dua mekanisme potensial yang memungkinkan : 1. Aktifasi serabut eferen terhadap sfingter urera secra refleks menyebabkan relasksasi otot otot detrusor. 2. Aktifasi serabut aferen menyebabkan inhibisi pada level spinal atau supraspinal. 4. Terapi Obat Banyak kelas obat yang diteliti atau diusulkan untuk pengobatan gejala overactive bladder. Kebanyakan percobaan klinis telah mentargetkan gejala inkontinensia urine, walau percobaan terakhir secara spesifik memasukaan subjek dengan overactive bladder. Beberapa kelemahan menyertai kualitas studi. Grup ahli telah mengusulkan standar metodologi untuk memperbaiki keilmuan terapi obat pada overactive bladder. Obat-obatan yang direkomendasikan pada kasus overactive bladder antara lain : a. Antikolinergik Agen antikolinergik direkomendasikan sebagai terapi medis pertama kalinya untuk overactive bladder dengan bekerja pada reseptor ganglion untuk memblok kontraksi detrusor baik pada kandung kemih normal dan juga overactive bladder . Pengobatan ini dikontraindikasikan pada pasien dengan glaukom sudut sempit yang tidak diobati. Semua obat antikolinergik memiliki efek samping, meskipun mulut kering adalah yang paling sering, konstipasi, refluks gastoesofageal, pandangan mengabur, retensi urine, dan efek samping kognitif juga dapat terjadi. Overactive bladder dan demensia sering ditemukan pada pasie usia lanjut. Karena banyak bentuk demensia yang diterapi dengan inhibitor kolinesterase secara rutin, kemungkinan efek samping kognitif dan delirium akibat obat antimuskarinik menjadi perhatian khusus pada populasi ini. Walaupun obat ini tidak mempunyai efek samping kognisi pada percobaan klinis yang melibatkan dewasa tua yang relatif sehat, dapat terjadi perubahan fungsi yang penting. Data kuantitatif EEG meunjukkan oxybutinin memiliki efek pada SSP diabandingkan trospium atau tolterodine. Agen antikolinergik kerja lama dan yang terbaru, agen antimuskarinik yang lebih selektif harus diperiksa secara klinis untuk efek samping kognitif, terutama pada pasien lanjut. Di antara obat antikolinergik, hanya oxybutinin, propiverin, tolterodin, dan trospium yang memiliki level rekomendasi klinis yang tinggi dan bukti efikasi. Oxybutinin dan tolterodine telah dipelajari dengan luas. Terdapat dalam sediaan segera dan bentuk absorbsi lambat, juga transdermal patch. Oxybutynin absorbsi cepat (dosis umum dewasa, 5 mg tiga kali sehari) tampak efektif dalam terapi overaktifitas detrusor neurogenik dan non neurogenik dengan inkontinensia urgensi. Karena inilah, oxybutinin memberikan perbaikan yang signifikan, berupa reduksi episode inkontinensia sebesar lebih dari 50%, pada hampir 60 hingga 80% subjek studi. Efikasi oxybutynin absorbsi cepat memiliki efek samping antimuskarinik pada obat parenteral dan metabolit aktifnya (Ndesetiloxybutynin), mulut kering, sebagai contoh, pada hampir dua pertiga subjek percobaan klinis. Oxybutynin absorbsi cepat yang generik relatif murah dan bermanfaat pada pasien yang gejalanya paling baik diatasi dengan obat kerja singkat (misalnya gejala yang mengganggu hanya bila pasien jauh dari rumah atau malam hari). Sediaan oxybutyrin absorbsi lambat sehari sekali tampak memiliki efek manfaat yang sama dengan absorbsi cepat, dengan efek samping lebih sedikit. Kebanyakan studi oxybutynin lepas terkontrol melaporkan reduksi episode inkontinensia urgensi hampir 70%. Oxybutynin transdermal patch juga ada yang sama efektif dengan oxybutynin absorbsi cepat tapi dengan insidens mulut kering separuhnya. Tolterodine adalah antagonis muskarinik yang tersedia dalam preparat kerja singkat (2 kali sehari) dan kerja lama (sekali sehari). Kedua bentuk memiliki efek klinis dan statistik yang signifikan pada gejala overactive bladder pada percobaan multipel, acak, terkontrol. Efek samping mirip dengan oxybutynin kerja singkat dengan 20 hingga 25% mulut kering, dan penghentian akibat efek samping sama dengan placebo (5 hingga 6%).

Tolterodine tampak sama efektif pada subjek tua dan muda dan ditoleransi dengan baik pada satu percobaan dengan pasien yang tinggal di perawatan. Dua studi tersponsor oleh industri yang dipublikasi, telah membandingkan bentuk kerja cepat tolterodine dengan oxybutynin. Dalam satu studi, dokternya diacak, wanita (mean usia 60 tahun) diacak dan menerima satu atau agen yang lainnya. Hasil kedua percobaan menunjukkan efikasi dan efektifitas yang sama. Tambahan, keduanya tampak efektif ketika dikombinasikan dengan berbagai intervensi perilaku. Trial acak, terkontrol mengindikasikan propiverine dan trospium efektif untuk terapi inontinensia urgensi dan memiliki efek samping lebih sedikit daripada oxybutinin kerja singkat. Walaupun hyosciamin, seperti oxybutynin kerja singkat, dapat bermanfaat bagi beberapa pasien dengan gejala intermiten, dapat disertai efek samping. Propanteline terbukti efektif dalam terapi inkontinensia urgensi, tapi perlu dosis multipel per harinya dan memiliki insiden efek samping yang lebih tinggi bila dihentikan. Wanita postmenopause dengan gejala overactive bladder sering diterapi estrogen oral atau topikal, tapi data tentang efektfitas agen tersebut masih sedikit. Terapi nokturia, gejala overactive bladder yang paling mengganggu pada pasien, tergantung pada penyakit dasar overaktivitas detrusor, poliuria nokturna, gangguan tidur primer, atau kombinasi kondisi tersebut. Nokturia yang berhubungan dengan overaktivitas detrusor diterapi dengan anti kolinergik. b. Antidepresan trisiklik Efek antidepresan trisiklik pada traktus urinearius bawah adalah 2 kali lipat antikolinergik dan efek alfa adrenergik, untuk meningkatkan tonus uretra dan leher kandung kemih. Dua studi kontrol yang random mengungkapkan keefektifan doxepin dan imipramin dalam mengurangi nokturnal inkontinensia pada pasien overactive bladder. Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain fatigue, xerostomia, pusing, pandangan kabur, nausea, dan insomnia. Dosis oral biasanya 10-25 mg 1-3 kali perhari, dengan total dosis perhari biasanya 25-100 mg. c. Anti inflamasi nonsteroid Obat anti inflamsi nonsteroid efektif untuk overactive bladder karena efek inhibisinya terhadap prostaglandin sintetase sehingga mengganggu peranan prostaglandin untuk kontraksi kandung kemih. Penelitian yang telah dilakukan sangat terbatas, dan pada umumnya penggunaan obat ini tidak sukses. Dosis yang efektif untuk mengurangi kontraksi kandung kemih menimbulkan efek samping gastritis dan ulserasi. d. Kalsium-channel bloker Kalsiun-channel bloker menghentikan influk kalsium ekstraseluler yang dibutuhkan untuk proses kontraksi derusor dan juga mencegah pemindahan dari penyimpanan kalsium intraseluler dengan hasil adanya hambatan kontraksi eksitasi. Obat-obat ini khusus digunakan pada pengobatan angina karena kemampuannya untuk mencegah perpindahan kalsium intraseluler melalui saluran lambat pada membran. Walaupun demikian, peneliti telah menggunakan obat-obat ini pada pengobatan overactive bladder, karena tidak dihambatnya kandung kemih telah menunjukkan adanya ketergantungan pada influks kalsium. Tidak ada studi kontrol nifedipin, verapamil, ataupun diltiazem yang ditampilkan, dan penggunaannya untuk inkontinensia urgensi tidak direkomendasikan untuk saat ini. B. OPERATIF Pembedahan harus diprtimbngkan jika terapi perilaku atau terapi pengobatan telah gagal karena adanya morbiditas lanjut pada terapi ini. Pilihan pembedahan bervariasi antara lain : 1. Augmentasi Sitoplasti Direkomendasikan pada pasien overactive bladder yang berat atau bagi mereka dengan kompliansi kandung kemih yang rendah, dengan tujuan untuk menciptakan unit penyimpanan urine yang komplians dan dengan kapasitas yang besar. Hampir semua segmen traktus gastrointestinal, seperti ureter, telah digunakan untuk

augmentsi., tetapi tidak ada satu segmen yang mewakili substitusi ideal karena masing-masing memiliki komplikasi sendiri. Evaluasi preoperatif harus termasuk penilaian fungsi renal (kreatinin serum urine 24 jam, elektrolit serum, blood urea nitrogen), penilaian fungsi saluran cerna (sigmoidoskopi dan barium enema), sitoskopi untuk melihat adanya abnormalits intravesikal, dan kultur urine. Selama pembedahan kandung kemih dibagi dua melalui insisi secara sagital dari 3 cm diatau leher buli-buli sampai 2 cm di atas trigonum. Pada ileosistoplasti dipilih ileum terminal yang panjangnya sekitar 20-40 cm dan sedikitnya 15 cm proksimal ke katup ileosekal. Usus dibagi dan penganastomosisan kembali ujung ke ujung pada sisa usus dilakukan untuk menimbulkan kontinuitas usus. Segmen ileum yang dipilih kemudian dibuka pada sisi anti mesenteriknya dan dibentuk menjadi bentuk U atau S, menjaga agar suplai darahnya intak, yang kemudian dianastomosiskan ke kandung kemih. Pada ileosistoplasti, kantung caecum dibuat bersama-sama dengan segmen ileum terminal dan dianastomosiskan ke kandung kemih. Tujuan augmentasi sitoplasti pada pasien instabilitas detrusor dengan lesi neuromotorik di bawah atau disinergis sfingter detrusor yaitu untuk menginduksi retensi urine dan mengizinkan pasien untuk mengososngkan kandung kemih sendiri dengan menggunakan kateter sementara. Komplikasi post operatif dari augmentasi intestinositoplasti termasuk infeksi traktus urinearius, pembentukan batu, dan masalah metabolik. Kontra indikasinya termasuk insufisiensi renal, penyakit usus, dan ketidakmampuan untuk melakukan kateter sendiri. Rata-rata penyembuhannya adalah 77,2 %; rata-rata pemulihannya adalah 80,9 %. 2. Diversi urine Diversisi urine umunya dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir pada pasien yang bukan calon yang baik untuk rekonstruksi traktus urinearius bawah dan dapat diobati dengan bentuk terapi lain. Dua tipe diversi urine adalah diversi urine yang kontinen dan yang tidak kontinen, yang pertama membutuhkan alat pengumpul eksterna. Bricker mempubliksikan pipa ileus sebagai metode untuk diversi urine yang nonkontinen pada tahun 1950. Tehnik terkini mengikitkan isolasi 15-20 cm ileum terminal, 10-15 cm dari anastomosis ileocaecal. Ureter ditranseksi 3-4 cm dari kandung kemih dan dianastomosiskan baik ke perbatasan antimesenterik loop ileal atau akhir proksimal loop ileal. Usus yang tersisa kemudian dianastomosiskan kembali dan sebuah lubang dibuat pada diniding anterior abdomen dengan menggunakan loop ileum. Komplikasi prosedur ini adalah adanya infeksi luka, kebocoran uretroileal, obstruksi intestinal, stenosis, retraksi, dan hernia. Kompliksi yang jarang terjadi adalah urolithiasis termasuk adanya pipa dan transformsi maligna dari loop ileum.Keuntungan utama dari diversi urine kontinen daripada yang nonkontinen adalah dihilangkannya peralatan pengumpul urine eksterna. Beberapa penampung dirancang dengan berbagi kombinasi berbeda dari ileum, caecum, kolon, sigmoid dan rektum untuk menggantungkannya. Penampung yang ideal harus mempunyai tekanan intrinsik yang rendah dan juga kapasitas adekuat untuk menyediakan kontinensia dan mencegah refluks. Biasanya 40 cm ileum atau 20 cm usus besar atau kombinasinya dibutuhkan untuk menciptakan penampung dengan kapasitas yang adekuat. 3. Denervasi kandung kemih Denervasi kandung kemih dapat diselesaikan dengan rhizotomi sakral selektif, injeksi foramen S-3, atau denervsi paravaginal. Komplikasinya termasuk hiperestesia perineal, infeksi luka, dan perdarahan intraoperatif. Pengawasan jangka panjang menyatakan bahwa 50 % telah menjadi persisten atau menjadi inkontinensia, dan sebagai tambahan 20 % menjadi kering dengan penambahan antikolinergik. VIII. RINGKASAN Gejala overactive bladder berupa frekuensi, urgensi, nokturia, dan urge inkontinnsia dapat sangat mengganggu dan berhubungan dengan konsekuensi buruk serius. Gejala ini dapat disebabkan banyak faktor, termasuk kelainan saluran kemih bawah, kondisi saraf, faktor perilaku seperti intake kafein, dan berbagai obat yang diresepkan. Proses patofisiologis pada pasien seringkali multifaktor. Evaluasi diagnosis meliputi riwayat penyakit terfokus, pemeriksaan fisik, dan urinealisa. Pasien tertentu harus ditentukan sisa urine post miksi, dan beberapa terpaksa menjalani sitoskopi (seperti yang dengan hematuria) atau test urodinamik yang rumit (seperti mereka dengan kelainan saraf atau retensi uri). Pasien dengan overactive bladder sering diatasi secara konservatif seperti bladder training, edukasi tingkah laku, dan pemberian obat-obatan Pilihan pertama terapi obat adalah agen antimuskarinik. Dua agen yang diterliti dengan baik adalah oxybutynin dan tolterodine, keduanya terbukti efektif pada preparat kerja singkat maupun lama. Preparat lepas diperpanjang dan oxybutynin skin patch biasanya dapat ditolerir baik, tapi semua obat antikolinergik memiliki efek samping yang sedikit mengganggu. Efek agen tersebut pada fungsi kognitif sering

pada pasien usia lanjut. Terapi pembedahan digunakan apabila langkah yang ditempuh melalui terapi konservatif tidak membuahkan hasil. IX. RUJUKAN 1. Junizaf. Overactive bladder. Dalam : Buku Ajar Neurofisiologi Uroginekologi I. Jakarta : Subbagian Uroginekologi-Rekonstruksi Bagian Obsteri dan Ginekologi FKUI/ RSUPN-CM. 2002; 88-89 2. Overactive bladder/Urge incontinence criteria for its acceptance for self medication. Workshop 13-14 September 2001. Development of an information policy for medicinal product. 2002; 1-13 3. Ouslander JG. Management of overactive bladder. N Engl J Med. 2004; 350: 786799 4. Taher A. Anatomi dan fisiologi miksi. Dalam : Simposium diagnosis dan penatalaksanaan mutakhir inkontinensia urine. Jakarta: 2000 5. Wise B. The neurology of the lower urineary tract : innervation, neuropharmacology and neurophysiology. In: Cardozo L. Urogynecology 1 th ed. New york : Churchill livingstone, 1997;41-49 6. Montella JM. Management of overactive bladder. In : Ostergrads urogynecology and pelvic floor dysfunction. 5 th ed. Philadelphia : Lippincot William & Wilkuns. 2003;293-307 7. Bent AE. Pathophysiology. In : Ostergrads urogynecology and pelvic floor dysfunction. 5 th ed. Philadelphia : Lippincot William & Wilkuns. 2003; 43-51 8. Weinberger MW. Differential diagnosis of urineary incontinence. In : Ostergrads urogynecology and pelvic floor dysfunction. 5 th ed. Philadelphia : Lippincot William & Wilkuns. 2003; 61-69 9. Amuzu BJ. Nonsurgical therapies for urineary incontinence. Clin Obstet Gynecol.

1998; 41: 702-710 10. Goldberg RP, Sand PK. Pathophysiology of the overactive bladder. Clin Obstet Gynecol. 2002; 45: 182-192 11. Dwyer Pl, Rosamilia A. Evaluation and diagnosis of the overactive bladder. Clin Obstet Gynecol. 2002; 45: 193-204 12. Cannon Tw, Chancellor MB. Pharmacotherapy of the overactive bladder and advanced in drug delivery Clin Obstet Gynecol. 2002; 45: 205-207 13. Weinberger MW. Conservative treatment of urineary incontinence. Clin Obstet Gynecol 1995; 38: 179-187 14. Mc Lennan MT. Sacral neuromodulation. In : Ostergrads urogynecology and pelvic floor dysfunction. 5 th ed. Philadelphia : Lippincot William & Wilkuns. 2003; 325341

Anda mungkin juga menyukai