Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

ATONIA UTERI

Pembimbing :

dr. Hary Purwoko Sp. OG K-FER

Disusun Oleh :

Eva Ardelia Sari 1810221038

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA

PERIODE 21 JULI 2019 – 22 SEPTEMBER 2019


LEMBAR PENGESAHAN

ATONIA UTERI

Disusun Oleh:

Nama : Eva Ardelia Sari

FK : UPN “Veteran” Jakarta

NRP : 1810221038

Kepala Departemen Pembimbing

dr. Hary Purwoko, SpOG K-FER dr. Hary Purwoko, SpOG K-FER

dr. Hary Purwoko, SpOG KFER dr. Adi Rahmanadi SpOG

Telah disetujui di : Ambarawa


Telah disetujui pada tanggal : September 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul
“Atonia Uteri” Penulisan referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian
kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan
Kandungan dan Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa. Penulis juga
ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. Hary Purwoko, SpOG, selaku
dokter pembimbing dan teman–teman coass yang membantu dalam pembuatan
referat ini. Penulis menyadari dalam penyusunan referat ini masih banyak
kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca.
Semoga referat ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca dan
bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu kedokteran.

Ambarawa, September 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan Post Partum adalah perdarahan yang terjadi lebih dari 500-
600 cc dalam 24 jam setelah bayi dan plasenta lahir. Pada kasus perdarahan
terutama perdarahan post partum, Atonia Uteri menjadi penyebab lebih dari
90% perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran
bayi.1,2
Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat
berkontraksi, dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat
melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali.3
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan postpartum
dini, dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan
mekanisme ini.4
Indonesia tercatat sebagai negara dengan angka kematian maternal
yang masih tinggi. Selain faktor kemiskinan dan masalah aksesiblitas
penanganan kelahiran, 75% hingga 85% kematian maternal disebabkan
obstetri langsung, terutama akibat perdarahan. Padahal 90% dari kematian itu
bisa dihindari.5,6,7
Walau kebanyakan ibu sudah memeriksakan kehamilannya di pusat
pelayanan kesehatan secara teratur, namun 70% persalinan masih terjadi
dirumah. Masalahnya, sangat sedikit pihak yang mengetahui diagnosis dan
pengelolaan perdarahan akibat keadaan darurat ini. Jika saja hal ini bisa
dilakukan, bukan mustahil angka kematian ibu dapat ditekan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Pengertian Atonia Uteri


Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah suatu keadaan dimana
uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus
uteri (plasenta telah lahir).1,3
Atonia Uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus
dalam berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri
juga didefinisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah
plasenta lahir.2
Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat
adanya atonia uteri. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa aliran darah
uteroplasenta selama masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga
dapat dibayangkan ketika uterus tersebut tidak berkontraksi selama beberapa
menit saja, maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak.
Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.2,5

II. 2. Penyebab Atonia Uteri


Dalam kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Namun demikian ada beberapa faktor predisposisi yang biasa
dikenal3,5,6. Antara lain:
1. Overdistensi uterus
Penyebab distensi uterus yang berlebihan antara lain:
a. Kehamilan ganda
b. Poli hidramnion
c. Makrosomia janin (janin besar)
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut
akan mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah
plasenta lahir1,2.
2. Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit
Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga
otot-otot rahim tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah plasenta
lahir.3
3. Grande Multipara (paritas 5 atau lebih)
Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan
berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan
berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir.2,3,4
4. Kehamilan dengan mioma uterus
Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post
partum adalah mioma intra mural, dimana mioma berada di dalam
miometrium sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi.1,5
5. Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi)
Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan hasil konsepsi dengan segera sehingga pada pasca
persalinan menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.1,2,3
6. Persalinan lewat waktu
Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena besarnya
kehamilan, ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di dalamnya
menjadikan otot uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi.4
7. Infeksi intrapartum
Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang
potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan
menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi.4
8. Persalinan yang cepat
Persalainan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin
menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.4,6
9. Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur
mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing

3
menghalangi kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya
perdarahan.1,4
10. Anastesi atau analgesik yang kuat
Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi
dalam kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk
berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan
magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau penenang.1,5
11. Induksi atau augmentasi persalinan
Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus
berkontraksi saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi
lelah.2,6
12. Penyakit sekunder maternal
Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere
diseminata merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang
mengakibatkan tonus uterus terhambat untuk berkontraksi, serta
penggunaan Magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan
kejang pada pre eklamsi / eklamsia.4,5

II. 3. Patofisiologi
Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat
berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat
melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali.1
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini
(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
postpartum. Pada kehamilan cukup bulan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800
cc/menit. Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah kelahiran plasenta,
maka ibu dapat mengalami perdarahan sekitar 350-500 cc/menit dari bekas tempat
melekatnya plasenta.1,3,4
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-
serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi

4
daerah implantasi plasenta. Bila uterus berkontraksi maka miometrium akan
menjepit anyaman pembuluh darah yang berjalan diantara serabut otot tadi.2,5
Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak
berkontraksi.Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karenakegagalan mekanisme
ini.5,6

II. 4. Tanda dan Gejala Atonia Uteri


Tanda dan gejala atonia uteri adalah:
1. Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan
darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai
gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi
sebagai anti pembeku darah.1,5
2. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.2
3. Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri
dan menggumpal.1
4. Terdapat tanda-tanda syok:
Nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih), tekanan darah
sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg, pucat, keringat/ kulit terasa
dingin dan lembab, pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih,
gelisah, bingung atau kehilangan kesadaran, urine yang sedikit ( < 30 cc/
jam) serta mual.1,3

II. 5. Diagnosis Banding


Diagnosis banding:
1. Robekan jalan lahir
2. Retensio plasenta
3. Sisa plasenta

5
4. Inversio uteri
5. Ruptura uteri

II. 6. Pencegahan Pada Atonia Uteri


Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan
obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi
jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu
onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau
kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat
untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan
pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit
IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.1,3,4,5
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti
sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum
dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat,
mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit.
Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin
bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar.
Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin. Prostaglandin
(Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan perdarahan
postpartum.1

II. 7. Penatalaksanaan Atonia Uteri

6
1. Penanganan Umum
a. Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan
fasilitas tindakan gawat darurat.
b. Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda
vital(TNSP).
c. Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda
syok tidak terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena status
ibu tersebut dapat memburuk dengan cepat.
d. Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan
pemberian cairan cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch
perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
e. Pastikan bahwa kontraksi uterus baik.
f. Lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan
darah yang terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus
yang efektif. berikan 10 unit oksitosin IM.
g. Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.

7
h. Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks,
vagina, dan perineum.
i. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti),
periksa kadarHemoglobin:
a. Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia
berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.
b. Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60
mg ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.
2. Penanganan Khusus
a. Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
b. Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan menstimulasi kontraksi
uterus yang menghentikan perdarahan.
c. Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
d. Jika uterus berkontraksi.Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi
perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan
serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
e. Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau
selaput ketuban dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung
kemih telah kosong.
Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan transfusi sesuai
kebutuhan. Jika perdarahan terus berlangsung:
a. Pastikan plasenta plasenta lahir lengkap, Jika terdapat tanda-tanda sisa
plasenta (tidak adanya bagian permukaan maternal atau robeknya
membran dengan pembuluh darahnya), keluarkan sisa plasenta tersebut.
Lakukan uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan terbentuknya
pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah
dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati. Jika perdarahan terus
berlangsung dan semua tindakan di atas telah dilakukan, lakukan:
Kompresi bimanual internal atau kompresi aorta abdominalis dan
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.

8
b. Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan
tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.Jika uterus
tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan
kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan;
Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi);
Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500
ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin;
Ulangi KBI,Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama
selama kala empat.
c. Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi:
a. Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika.
b. Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa
setelah ligasi.

3. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan
awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat,
monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring
saturasi oksigen.
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk
persiapan transfusi darah.
4. Uterotonika
Oksitosin : merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus
posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya
meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya
reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani.1,4,5
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan
aktif diberikan lewat infus dengan Larutan Ringer laktat 20 IU perliter,
jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal
(IMM).2,6

9
Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea
dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat : merupakan golongan ergot alkaloid yang
dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM.
Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai
dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada
miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg.3,4,6
Obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan
hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak
boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Prostaglandin (Misoprostol) : merupakan sintetik analog 15 metil
prostaglandin F2alfa. Misoprostol dapat diberikan secara intramiometrikal,
intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal.
Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15
menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat
dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat
menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare,
sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot
halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-
kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang
disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan
saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada ibu dengan kelainan
kardiovaskular, pulmonal, dan gangguan hepatik.
Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar
dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan
prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang
disebabkan atonia uteri dengan angka keberhasilan 84%-96%. Perdarahan
pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu
dipertimbangkan pemakaian Uterotonika untuk menghindari perdarahan
masif yang terjadi.3,4,5

10
5. Kompresi Uterus Bimanual.
Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat;
lakukan dengan tangan telanjang yang telah dicuci.
Teknik :

a. Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan


tidak diperlukan,
b. Eksplorasi dengan tangan kiri
c. Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina.Tangan kanan (luar)
menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus
dari belakang atas.
d. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar,ia tidak
hanya menekan uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah aferen
sehingga menyempitkan lumennya.

11
Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam
waktu 10-15 menit. Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya sementara
dan sering menghentikan perdarahan secara sempurna.Bila uterus refrakter
oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah kompresi bimanual, maka
histerektomi tetap merupakan tindakan terakhir.1,3,6
6. Uterine lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air
panas ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi
atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam
cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh
menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih
kontroversial. Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon
uterus.

Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga


memberikan tekanan maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah
rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan
ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing
dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan
transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia

12
fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan
operasi.2,3,4
7. Operatif

Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan


angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina
yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim.
Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah
rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan
benang absorbable yang sesuai.
Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm
medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular
ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari
rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri
miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium.
Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika
terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika
urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah,
3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai
sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang
arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus
berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa
ovarian.2,5,6
a. Ligasi arteri Iliaka Interna

13
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang,
untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum
lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter
ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal
bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang
arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua
ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna.
Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan
sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.1,3
b. Teknik B-Lynch

14
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan
oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative
untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.1
c. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering
dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan
tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan
lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.2,4

BAB III
KESIMPULAN

Atonia Uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus


dalam berkontraksi dengan baik setelah persalinan atau tidak adanya
kontraksi uterus segera setelah plasenta lahir.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum
dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan
histerektomi peripartum. Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol
oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh

15
darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi
apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.
Gejalanya meliputi perdarahan pervaginam disertai konsistensi
uterus yang lunak, tinggi fundus uteri lebih tinggi dari ukuran normal dan
terdapat tanda – tanda gangguan hemodinamika (syok).
Penatalaksanaan meliputi penanganan masalah pada primary
survey seperti hemodinamik, pemberian medikasi uterotonik, tindakan
kompresi manual hingga tindakan operatif sampai dengan histerektomi.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG etc, editor. Williams Obstetrics 20th edition.

Connecticut: Applenton Lange. 1998.

2. Febrianto H.N. Perdarahan Pasca Persalinan. Fakultas Kedokteran.

Universitas Sriwijaya. 2007.

3. Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H.

Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.

4. James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih

bahasa TMA Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.

5. Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.

6. Wiknjosatro H, dkk. Editor. Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono

Prawiroharjo. Jakarta. 1994.

7. repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/2356.pdf

Anda mungkin juga menyukai