langka yang ditandai dengan dilatasi usus besar tanpa adanya obstruksi mekanis atau
penyebab organic lain.1 Istilah ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1948 oleh Sir W.H.
Ogilvie pada dua kasus pasien dengan keganasan retroperitoneal yang memiliki dilatasi kolon
non-obstruksi onset akut.2 Sindrom ini jarang terjadi dengan angka insidensi sebesar 100
kasus per 100.000 pasien yang masuk rumah sakit.3 Ogilvie’s syndrome sering ditemukan
pada pasien rawat inap dengan kondisi komorbid berat, seperti abnormalitas muskuloskeletal,
trauma, pembedahan atau sepsis, dimana hal ini berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas.1 Patofisiologi yang mendasari penyakit ini masih belum jelas tetapi dipercaya
akibat gangguan fungsional di nervus enteric yang menyebabkan kolon tidak dinamis, dilatasi
massif dan perforasi.1
Definisi
Epidemiologi
Ogilvie’s syndrome merupakan penyakit yang jarang terjadi, dengan insiden yang
teridentifikasi sekitar 100 per 100.000 pasien.3 Penelitian AS terbaru melaporkan penurunan
angka mortalitas terkait Ogilvie’s syndrome dari 9,4% pada 1998 menjadi 6,4% pada tahun
2011. Perforasi dan iskemia kolon mencapai 10-20% yang berkaitan dengan mortalitas
mencapai 45%. Angka intervensi endoskopi dan operasi telah menurun pada beberapa tahun
terakhir akibat peningkatan terapi konservatif dan terapi farmakologi neistigmine.3 Penyakit
ini umumnya menyerang lansia (sekitar 60 tahun) dan pasien dengan komorbid, terutama
pasien yang memiliki riwayat penyakit jantung kronis, respirasi atau neurologi.3,4 Ogilvie’s
syndrome juga sering terjadi pada orthopedi, operasi neuro, kardio dan prosedur ginekologi.
Sebuah penelitian menyatakan dari 400 kasus Ogilvie’s syndrome, sebanyak 50% merupakan
akibat penyakit medis akut dan 50% dari pasien paska-operasi. Angka insidensi telah
1
dideskripsikan yakni operasi orthopedi dan spinal (1-2%), bypass jantung (5%) dan luka
bakar (0,3%).3
Etiologi
Perkembangan Ogilvie’s syndrome tidak dapat diprediksi dan tidak terdapat penyebab
definitive, tetapi beberapa kondisi klinis pada pasien telah diketahu meningkatan risiko.
Peningkatan usia, komorbid yang berkaitan dengan ketidakseimbangan elektrolit atau
polifarmasi, serta stasus fungsional yang buruk atau imobilitas telah diketahui berkaitan erat.3
Patofisiologi
2
(ENS), (4) reflex arkus spinal dan prevertebral, dan (5) modulasi ekstrinsik oleh sistem saraf
otonom dan sistem hormonal. Ogilvie’s syndrome diperkirakan akibat gangguan pada
aktivitas motorik.
Ketidakseimbangan Otonom
Penurunan regulasi ekstrinsik dari fungsi kolon oleh sistem saraf simpatis dan
parasimpatis merupakan penyebab paling umum terjadinya Ogilvie’s syndrome. Mekanisme
ini pertama kali dicetuskan oleh Ogilvie yang mengusulkan deprivasi simpatis pada kolon.
Teori terbaru menyatakan bahwa tonus simpatis relatif lebih dominan dibandingkan
parasimpatis, meskipun belum jelas apakah ini disebabkan oleh peningkatan aktivitas
simpastis, berkurangnya sinyal parasimpatis, atau keduanya. Hipotesis yang berlaku tetap
yaitu Ogilvie’s syndrome adalah hasil dari berkurangnya persarafan parasimpatis ke kolon
distal menyebabkan adanya segmen atonik dan obstruksi fungsional, namun tidak ada data
fisiologis yang dipubilkasikan untuk mendukung atau membantah hipotesis ini.
3
yang mengalami obstruksi fungsional. Namun, HAPS terutama muncul di kolon proksimal
dan tidak diketahui apa efek neostigmine pada aktivitas motorik kolon prominen seperti
peristiwa siklik.
Beberapa reflex arkus spinal dan ganglionik terlibat dalam meregulasi fungsi morotrik
intestinal. Refleks inhibitorik kolon untuk menghambat aktivitas motorik kolon proksimal
sebagai respon distensi kolon distal. Sebaliknya, distensi proksimal juga menyebabkan
reduksi pada tekanan intraluminal basal di kolon distal. Bukti dari percobaan pada hewan
menunjukan bahwa refleks arkus dimediasi melalui sinap mekanoreseptor aferen dengan
neuron adrenergic eferen pada ganglia prevertebralis dan sumsum tulang belakang.
4
pseudoobstruksi. Tidak adanya penelitian patofisiologi lebih lanjut menyebabkan peran ENS
dan ICC pada perkembangan penyakit ini masih belum diketahui.
Nitrit oksida (NO) merupakan neurotransmitter inhibitorik penting yang dilepas oleh
saraf enterik kolon, dan memiliki implikasi pada dilatasi kolon dan disfungsi pada megakolon
toksik dan colitis. Beberapa peneliti berspekulasi bahwa NO juga dapat berperan dalam
Ogilvie’s syndrome meskipun belum ada bukti yang mendukung pendapat ini. Namun,
polyethylene glycol (PEG), laksatif osmotic dapat menurunkan produksi NO telah terbukti
mengurangi tingkat kekambuhan setelah dekompresi pada Ogilvie’s syndrome. Penemuan ini
dapat menjelaskan baik efek laksatif dari PEG atau efek tersebut pada pensinyalan
nitrinergik. Beberapa terapi farmakologikal mentargetkan regulasi NO telah ditemukan,
meskipun tidak ada penelitian yang mengidentifkasi bahwa terpai ini diterapkan pada pasien
dengan Ogilvie’s syndrome.
Banyak pasien Ogilvie’s syndrome merupakan lansia dan memiliki penyakit kronis
seperti jantung, respirasi dan neurologis. Kondisi stes kronis, serupa dengan efek dari
penyakit kronis, berpotensi neurotransmisi eksitatorik dan inhibitorik. ENS dan regulasi
ekstrinsiknya dipengaruhi dalam beberapa kondisi yang umumnya dikaitkan dengan Ogilvie’s
syndrome, termasuk diabetes mellitus, Parkinson, dan penyakit Alzheimer. Selain itu, baik
ENS dan ICC telah terbukti menurun seiring bertambah usia yang menjelaskan peran usia
lanjut dalam gangguan ini.
Pasien dengan penyakit kronis juga lebih cenderung menggunakan beberapa obat
yang dapat mempengaruhi motilitas kolon, dan kemungkinan berperan dalam perkembangan
Ogilvie’s syndrome. Sejumlah obat telah dikaitkan dengan Ogilvie’s syndrome, yakni
antikolinergik, opiate, penghambat kanal kalsium, dan obat-obatan psikotropika. Lebih lanjut,
penggunaan agen anti-motilitas merupakan prediksi respon yang buruk terhadap neostigmine,
sementara methylnaltrexone telah berhasil digunakan pada pasien dengan Ogilvie’s syndrome
yang gagal berespon terhadap dua dosis neostigmine.
5
neuron enteric sehingga terjadi ketidakseimbangan relatif simpatik terhadap parasimpatik
yang mendukung teori mengenai patofisiologi Ogilvie’s syndrome saat ini.
Penyabab Obstetrik
Faktor Metabolik
6
CIPO, dismotilitas usus halus akut dan mempengaruhi fungsi ICC serta frekuensi gelombang
lambat. Namun, tidak terdapat penelitian mengenai peran prostaglandin dalam perkembangan
Ogilvie’s syndrome. Cyclooxygenase-2 (COX-2) meningkat pada kolon yang distensi pada
percobaan eksperimen pada tikus menginduksi obstruksi mekanis sehingga disimpulkan
peran dalam menurunkan motilitas melalui efek prostaglandin E2.
Enteroneuropathy virus
Manifestasi Klinis
Diagnosis
Pasien dengan Ogilvie’s syndrome akan datang dengan distensi abdomen yang
semakin memburuk dan rasa tidak nyaman pada perut dengan berbagai derajat. Mual dan
muntah biasanya akan terjadi sampai batas tertentu. Meskipun obstruksi usus secara klasik
dikaitkan dengan konstipasi dan obstipasi, sejumlah besar pasien dengan ACPO akan terus
memiliki berbagai gangguan fungsi usus, dan diare dapat terjadi karena hipersekresi air.
Penting untuk diingat bahwa mayoritas pasien ini akan memiliki komorbiditas berat yang
mendasari atau eksaserbasi bersamaan dengan penyakit kronis yang dapat membuat
anamnesis riwayat penyakit sulit didapatkan.4
Pada pemeriksaan fisik didapatkan berbagai derajat dari distensi abdomen. Abdomen
akan menjadi lebih timpani dan pada auskultasi didapatkan bising usus yang bernada tinggi,
terkadang berdenting, atau bising usus dapat tidak ada sama sekali. Penemuan nyeri tekan
abdomen dapat meningkatkan kecurigaan pada iskemik atau perforasi usus.4,5 Tanda
peritonitis dengan tanda vital abnormal dapat dicurigai sebagai sepsis.4
7
Pemeriksaan laboratorium, meskipun tidak spesifik untuk diagnosis, harus dilakukan
untuk melengkapi evaluasi. Jika tidak berkaitan dengan penyakit yang mendasari, penemuan
leukositosis, peningkatan CRP, atau laktat dapat dicurigai iskemia usus. Tes fungsi hati,
lipase dan human chorionic gonadotropin (HCG) harus dilakukan untuk membantu
mengeklusi penyebab lain nyeri abdomen akut. Abnormalitas elektrolit seperti magnesium
dan kalsium umum ditemukan dan dilaporkan terdapat pada 2-3 kali lipat pasien paska
operasi. Fungsi tiroid dapat dilakukan bila pemeriksaan sebelumnya tidak tersedia. Pasien
dengan diare harus dievaluasi toksin Clostridium difficile. Kultur darah dilakukan pada
pasien yang tampak sebagai sepsis.4
Gambaran radiologi merupakan hal penting dalam diagnosis dan manajemen ACPO.
Pada foto polos didapatkan berbagai derajat dilatasi kolon, tanda haustra normal, dan
sedikitnya tanda dari obstruksi mekanik seperti volvulus. Kepentingan utama penggunaan
foto polos adalah untuk mengukur derajat dilatasi kolon awal dan untuk gambaran serial
selama waktu observasi setelah diagnosis dibuat. CT-scan dengan kontras melalui oral dan
intravena merupakan modalitas yang dianjurkan. Kontras rectum dapat membantu tetapi
dapat berkaitan terjadinya perforasi iatrogenik. Gastrografin atau kontras larut-air enteral
lainnya harus digunakan. CT-scan dapat membantu menunjukan anatomi atau obstruksi
mekanik usus sebagai evaluasi penyebab dilatasi seperti hematoma retroperitoneal atau abses
abdomen. CT-scan juga dapat memperlihatkan tanda iskemia seperti penebalan dinding
mukosa, edema submukosa atau gas. Secara umum, ACPO pada CT-scan akan menunjukan
gambaran dilatasi terisolasi pada sekum dan kolon asendens dengan zona transisional atau
titik potong pada fleksura splenikus. Jika CT-scan tidak tersedia, dan peritonitis tidak tampak
selama pemeriksaan, percobaan kontras enema dapat dilakukan dengan sensitivitas mencapai
96%untuk membuat diagnosis ACPO. Kolonoskopi diagnostik harus dihindari pada pasien
yang dicurigai ACPO karena insuflasi gas dapat meningkatkan risiko perforasi.2,4
Tatalaksana
Konservatif
Setelah diagnosis Ogilvie’s syndrome ditegakkan, tatalaksana dimulai dengan terapi
medis konservatif. Pasien ACPO dengan distensi secum kurang dari 12 cm dapat
ditatalaksanai secara konservatif bila tidak menunjukan tanda iskemik atau perforasi.
Manajemen konservatif meliputi koreksi ketidakseimbangan elektrolit, menghentikan opiate,
8
dekompresi dengan nasogastric tube (NGT), koreksi ketidakseimbangan cairan,
menghentikan penggunaan agen anti-motilitas, dan menghentikan asupan makanan oral.
Lebih lanjut, mengusahakan mobilitas pasien jika memungkinkan. Manajemen ini dilakukan
selama 48 hingga 72 jam selama pasien tetap stabil dan tidak memiliki tanda peritonitis atau
peningkatan diameter sekum melebihi 12 cm.5
Jika pasien stabil, tetapi tidak menunjukan perbaikan klinis, langkah selanjutnya yang
direkomendasikan adalah intervensi farmakologi neostigmine dengan monitoring jantung,
seperti elektrokardiogram. Neostigmine merupakan parasimpatomimetik sebagai inhibitor
asetilkolinesterase sehingga meningkatkan jumlah asetilkolin dan stimulasi parasimpatik
langsung oleh reseptor nikotinik dan muskarinik. Dosis neostigmine adalah 2 mg intravena
dalam 1 sampai 60 menit (umumnya 2-5 menit). Efek stimulasi parasimpatik dapat
menyebabkan bradikardi sehingga monitoring jantung diperlukan. Efek lain yang dapat
ditimbulkan adalah ketidaknyamanan abdomen, emesis dan salivasi. Atropin (0,5 mg IV)
dapat diberikan apabila pasien mengalami bradikardi. Apabila tidak terdapat respon dalam 3
jam pertama, neostigmine 2 mg IV dapat diulang setiap 3 jam maksimal 3 dosis.
Pada pasien yang telah mengalami fase resolusi, polyethylene glycol (PEG) dapat
dimulai unuk mencegah kekambuhan. Terapi farmakologi alternatif setelah gagal dengan
parasimpatomimetik adalah pemberian inhibitor NO sintase, agonis reseptor motilin, dan
antagonis reseptor opioid.
Terapi Endoskopi
Pada pasien yang gagal dengan terapi medikamentosa, langkah selanjutnya adalah
dekompresi kolon endoskopi yang dikonjungsi dengan penempatan pada diameter terbesar
kateter lunak nontraumatik tabung rectal. Dekompresi juga dapat dilakukan dengan
menempatkan kateter panjang ke dalam sekum dengan panduan fluoroskopi atau endoscopic
piggyback.
Tabung Cecostomy
Seperti dijelaskan oleh Nishiwaki et al, penempatan tabung cecostomy perkutan dengan
panduan USG dan fluoroskopi melibatkan langkah-langkah berikut: (1) Di bawah panduan
USG, kaitkan dinding anterior sekum ke dinding perut pada tiga titik dengan perangkat
fiksasi pengikat T (2) Tusukan sekum dengan jarum 16-gauge, masukkan kawat pemandu
melaluiselubung luar, dan gunakan teknik Seldinger di bawah panduan fluoroskopi untuk
melebarkan fistula colocutaneous hingga 24 French. (3) Letakkan tabung cecostomy 24
French di dalam cecum. (4) Berikan cefoperazone secara intramuskular atau IV selama 3 hari
sebagai antibiotik aprofilaksis.
9
Komplikasi yang mungkin meliputi nekrosis tekanan, pembentukan jaringan granulasi,
selulitis pada dinding abdomen, hernia ventral, fistula colocutaneous persisten, oklusi tabung
dan sepsis.
Terapi Pembedahan
Apabila terapi konservatif, farmakologis, dan endoskopi gagal untuk meringankan
Ogilvie’s syndrome, prosedur pembedahan dapat dilakukan. Prosedur pembedahan
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Intervensi operatif yang dilakukan
adalah oleostomy atau colostomy, reseksi usus, ekteriosasi, penempatan tabung cecostomy,
penempatan tabung kolon panjang intraoperatif, atau prosedur lain.
10
Komplikasi
Komplikasi yang paling menakutkan dari Ogilvie’s syndrome adalah perforasi sekum.
Perforasi ini jarang terjadi, dimana hanya muncul pada 1% hingga 3% pasien. Perforasi berkaitan
dengan angka mortalitas mencapai 50% hingga 71% dibandingkan dengan kelompok non-
perforasi sebesar 8%. Secara umum dikatakan distensi sekum dapat menjadi perforasi saat
diameter sekum berukuran lebih dari 9 cm secara radiografi. Namun, beberapa penelitian
menyatakan bahwa perforasi jarang muncul pada diameter sekum yang kurang dari 12 cm,
dimana apabila diameter sekum lebih dari 14 cm maka perforasi akan mencapai 23%. Sehingga,
deteksi secara cepat sangat penting pada penilaian awal pasien dengan Ogilvie’s syndrome.2
Prognosis
Prognosis yang diperkirakan dirancukan oleh keterkaitan beberapa komorbid pada pasien
umum dimana penyakit yang mendasari berkontribusi terhadap perkembangan Ogilvie’s
syndrome. Secara umum, mortalitas yang diperkirakan setelah didiagnosis Ogilvie’s syndrome
tanpa komplikasi sebesar 15%. Ogilvie’s syndrome dengan komplikasi mencapai 3% hingga 15%
pasien dan berkontribsi dengan prognosis yang buruk dengan rata-rata angka mortalitas
mencapai 30% dan 40%. Faktor yang berkaitan dengan perkembangan komplikasi meliputi
diameter sekum dan durasi penyakit. Pada salah satu penelitian, tidak terdapat pasien dengan
diameter sekum kurang dari 12 cm yang berkembang menjadi penyakit komplikasi, sedangkan
pada 23% pasien dengan diameter 14 cm mengalami komplikasi. Durasi dari munculnya dilatasi
hingga memiliki hubungan langsung dengan penyakit komplikasi dan semakin memburuk
setelah 5 hari, dimana dilaporkan angka mortalitas meningkat 5 kali lipat setelah 7 hari penyakit
tidak mengalami perbaikan. Pada pasien yang dirawat aktif, manajemen operatif memiliki
tingkat mortalitas tertinggi, yang kemungkinan disebabkan oleh terapi operatif dilakukan pada
mereka yang memiliki komplikasi atau penyakit berkepanjangan, meskipun tanpa iskemia usus,
tingkat mortalitas paska operasi mencapai 26%. Seperti yang dapat dilihat, prognosis pasien dan
kelangsungan hidup pasien tergantung pada pengenalan, diagnosis dan dekompresi kolon yang
tepat waktu.4
11
1. Magda
2. Nell
3. WJG
4. Word
5. Chudzinki
1. Haj, M., Rockey D.C. Ogilvie’s syndrome: management and outcomes. Medicine. 2018;
97:27.
2. Maloney. N., Vargas H.D. Acute Intestinal Pseudo-Obstruction(Ogilvie’s Syndrome).
Clinics in Colon and Rectal Surgery. 2005; 18 (2): 96-101.
3. Wells, C.I, O’Gardy, G., Bisset, I.A. Acute colonic pseudo-obstruction: A systematic
review ofaetiology and mechanisms. World J Gastroenterol. 2017; 23 (30): 5634-5644.
4. Conner, S., Mitchell, C. Ogilvie Syndrome. In: StatPearls Publishing; 2018. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526102/> [Accessed January 6th 2019]
5. Chudzinki, A.P., Thompson, E.V, Ayscue, J.M. Acute Colonic Pseudoobstruction.
Clinics in Colon and Rectal Surgery. 2015; 28 (2): 112-117.
12