Anda di halaman 1dari 12

Ogilvie’s syndrome atau Acute Colonic Pseudo-Obstruction (ACPO) adalah kondisi

langka yang ditandai dengan dilatasi usus besar tanpa adanya obstruksi mekanis atau
penyebab organic lain.1 Istilah ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1948 oleh Sir W.H.
Ogilvie pada dua kasus pasien dengan keganasan retroperitoneal yang memiliki dilatasi kolon
non-obstruksi onset akut.2 Sindrom ini jarang terjadi dengan angka insidensi sebesar 100
kasus per 100.000 pasien yang masuk rumah sakit.3 Ogilvie’s syndrome sering ditemukan
pada pasien rawat inap dengan kondisi komorbid berat, seperti abnormalitas muskuloskeletal,
trauma, pembedahan atau sepsis, dimana hal ini berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas.1 Patofisiologi yang mendasari penyakit ini masih belum jelas tetapi dipercaya
akibat gangguan fungsional di nervus enteric yang menyebabkan kolon tidak dinamis, dilatasi
massif dan perforasi.1

Definisi

Ogilvie’s syndrome atau Acute Colonic Pseudo-Obstruction (ACPO) adalah kondisi


yang ditandai dengan dilatasi kolon secara akut tanpa adanya obstruksi mekanik intrinsik atau
proses inflamasi ekstrinsik.1,3 Ogilvie’s syndrome harus dibedakan dengan kondisi akut lain,
seperti megakolon toksik, chronic intestinal pseudo-obstruction (CIPO) dan penyebab
megakolon lainnya.3

Epidemiologi

Ogilvie’s syndrome merupakan penyakit yang jarang terjadi, dengan insiden yang
teridentifikasi sekitar 100 per 100.000 pasien.3 Penelitian AS terbaru melaporkan penurunan
angka mortalitas terkait Ogilvie’s syndrome dari 9,4% pada 1998 menjadi 6,4% pada tahun
2011. Perforasi dan iskemia kolon mencapai 10-20% yang berkaitan dengan mortalitas
mencapai 45%. Angka intervensi endoskopi dan operasi telah menurun pada beberapa tahun
terakhir akibat peningkatan terapi konservatif dan terapi farmakologi neistigmine.3 Penyakit
ini umumnya menyerang lansia (sekitar 60 tahun) dan pasien dengan komorbid, terutama
pasien yang memiliki riwayat penyakit jantung kronis, respirasi atau neurologi.3,4 Ogilvie’s
syndrome juga sering terjadi pada orthopedi, operasi neuro, kardio dan prosedur ginekologi.
Sebuah penelitian menyatakan dari 400 kasus Ogilvie’s syndrome, sebanyak 50% merupakan
akibat penyakit medis akut dan 50% dari pasien paska-operasi. Angka insidensi telah

1
dideskripsikan yakni operasi orthopedi dan spinal (1-2%), bypass jantung (5%) dan luka
bakar (0,3%).3

Etiologi

Perkembangan Ogilvie’s syndrome tidak dapat diprediksi dan tidak terdapat penyebab
definitive, tetapi beberapa kondisi klinis pada pasien telah diketahu meningkatan risiko.
Peningkatan usia, komorbid yang berkaitan dengan ketidakseimbangan elektrolit atau
polifarmasi, serta stasus fungsional yang buruk atau imobilitas telah diketahui berkaitan erat.3

Kategori Faktor Risiko


Pembedahan Operasi jantung, transplantasi organ solid,
operasi orthopedi mayor, operasi spinal
Kardiorespirasi Syok, infark miokard, gagal jantung
kongestif, PPOK
Neurologi Demensia, penyakit Parkinson, penyakit
Alzheimer, stroke, cedera saraf spinal
Metabolik Ketidakseimbangan elektrolit, diabetes,
gagal ginjal, penyakit hati
Medikasi Opiat, agen anti-Parkinson, antikolinergik,
antipsikotik, kemoterapi sitotoksik, klonidin
Kehamilan/kandungan Sectio cecaria, kelahiran normal per
vaginam, preeklampsi, kelahiran dengan
alat, kehamilan normal, operasi pelvis
Infeksi Virus Varicella-zoster, virus herpes,
sitomegalovirus
Lain-lain Trauma/terbakar mayor, sepsis berat,
idiopatik

Patofisiologi

Oglvie syndrome dipengaruhi oleh penyebab multifaktorial dengan beberapa jalur


yang menyebabkan efek pada fungsi motorik kolob. Aktivitas motorik kolon normal
diregulasi pada beberapa tingkat; (1) otot polos kolon, (2) aktivitas pacemaker yang
dicetuskan oleh sel interstisial Cajal (ICC), (3) kontrol intrinsic melalui sistem saraf enterik

2
(ENS), (4) reflex arkus spinal dan prevertebral, dan (5) modulasi ekstrinsik oleh sistem saraf
otonom dan sistem hormonal. Ogilvie’s syndrome diperkirakan akibat gangguan pada
aktivitas motorik.

Ketidakseimbangan Otonom

Penurunan regulasi ekstrinsik dari fungsi kolon oleh sistem saraf simpatis dan
parasimpatis merupakan penyebab paling umum terjadinya Ogilvie’s syndrome. Mekanisme
ini pertama kali dicetuskan oleh Ogilvie yang mengusulkan deprivasi simpatis pada kolon.
Teori terbaru menyatakan bahwa tonus simpatis relatif lebih dominan dibandingkan
parasimpatis, meskipun belum jelas apakah ini disebabkan oleh peningkatan aktivitas
simpastis, berkurangnya sinyal parasimpatis, atau keduanya. Hipotesis yang berlaku tetap
yaitu Ogilvie’s syndrome adalah hasil dari berkurangnya persarafan parasimpatis ke kolon
distal menyebabkan adanya segmen atonik dan obstruksi fungsional, namun tidak ada data
fisiologis yang dipubilkasikan untuk mendukung atau membantah hipotesis ini.

Kolon mendapat inervasi simpatis dari ganglia prevertebral (proksimal melalui


ganglion mesenterika superior, distal melalui ganglion mesenterika inferior). Serabut saraf
mengikuti rute arteri dan di bagian kolon proksimal mendapat persarafan simpatis yang lebih
banyak. Parasimpatis menyuplai mid-gut melalui saraf vagus, sedangkan hind-gut diinervasi
oleh parasimpatis sakralis (S2-4). Area transisi dari kolon normal dan kolon yang mengalami
distensi pada Ogilvie’s syndrome biasanya ditemukan dekat fleksura splenikus, tempat
dimana terdapat transisi innervasi simpatis dan parasimpatis di kolon yang mendukung teori
ketidakseimbangan otonom sebagai pathogenesis. Sebagian besar pasien Ogilvie’s syndrome
memiliki penyakit utama sehingga memiliki peningkatan dorongan simpatis sistemik yang
berkontribusi terjadi ketidakseimbangan otonom di kolon. Kasus lain yang dilaporkan
berperan dalam mengganggu inervasi otonom ke kolon misalnya tumor retroperitoneal dan
perdarahan.

Neostigmine adalah inhibitor asetilkolinesterasi dan parasimpatomimetik yang


umumnya digunakan dalam manajemen Ogilvie’s syndrome yang lebih lanjut mendukung
ketidakseimbangan otonom sebagai kunci dari mekanisme patofisiologi. Penelitian terkini
menginvestigasi penggunaan guanethidine, simpatolitik, diikuti dengan neostigmine.
Guanethidine kemudian terbukti kurang efektif dibandingkan neostigmine. Stimulasi
parasimpatis dengan neostigmine mencetuskan high amplitude propagating sequences
(HAPS) kolon yang telah diusulkan sebagai mekanisme untuk efek dekompresi pada usus

3
yang mengalami obstruksi fungsional. Namun, HAPS terutama muncul di kolon proksimal
dan tidak diketahui apa efek neostigmine pada aktivitas motorik kolon prominen seperti
peristiwa siklik.

Refleks arkus kolon

Beberapa reflex arkus spinal dan ganglionik terlibat dalam meregulasi fungsi morotrik
intestinal. Refleks inhibitorik kolon untuk menghambat aktivitas motorik kolon proksimal
sebagai respon distensi kolon distal. Sebaliknya, distensi proksimal juga menyebabkan
reduksi pada tekanan intraluminal basal di kolon distal. Bukti dari percobaan pada hewan
menunjukan bahwa refleks arkus dimediasi melalui sinap mekanoreseptor aferen dengan
neuron adrenergic eferen pada ganglia prevertebralis dan sumsum tulang belakang.

Reflek-reflek tersebut memberikan kemungkinan mekanisme yang menjelaskan


bagaimana kelainan motilitas dan distensi dari salah satu regio kolon dapat mempenrauhi
dilatasi pada regio lain yang berkontriusi terhadap Ogilvie’s syndrome. Beberapa peneliti
telah menunjukan keberhasilan terapi anestesi epidural dan blok saraf splanikus sebagai bukti
untuk mekanisme ini, meskipun sulit dipastikan apakah ini disebabkan oleh gangguan pada
eferen tungkai dari arkus refleks ini atau hanya penurunan suplai simpatis ekstrinsik ke kolon.
Selanjutnya, anestesi epidural telah berperan sebagai penyebab dan terapi untuk Ogilvie’s
syndrome. Kurangnya bukti dengan kualitas tinggi yang diidentifikasi dalam bidang ini
membuat sulit menentukan efek dari blokade tulang belakang atau ganglionik di Ogilvie’s
syndrome dan peran yang tepat dari refleks penghambatan colo-colonic.

Disfungsi kolon intrinsic

ICC merupakan pacemaker yang berperan dalam membentuk gelombang elektrik


lambat, yang dimodulasi oleh ENS, menyebabkan aktivitas kontraktilitas ritmik pada
intestinal. Kerusakan permanen pada ENS, ICC dan/atau miopati menyebabkan berbagai
bentuk dari CIPO. Sebuah penelitian menyelidiki ICC menggunakan imunohistokimia pada
pasien dengan sindrom pseudo-obstruksi menunjukan bahwa dua pasien dengan Ogilvie’s
syndrome memiliki jumlah dan distrbusi ICC yang normal. Namun, apakah fungsi ICC
dipengaruhi pada Ogilvie’s syndrome belum diketahui. Penelitian lain melaporkan mengenai
penurunan dan degenerasi sel-sel ganglionik enteric dalam spesimen kolon dari pasien
dengan pseudoobstruksi, tetapi belum jelas apakah pasien ini memiliki ACPO atau CIPO dan
apakah kelainan histologis ini merupakan penyebab atau efek dari dilatasi kolon dan

4
pseudoobstruksi. Tidak adanya penelitian patofisiologi lebih lanjut menyebabkan peran ENS
dan ICC pada perkembangan penyakit ini masih belum diketahui.

Nitrit oksida (NO) merupakan neurotransmitter inhibitorik penting yang dilepas oleh
saraf enterik kolon, dan memiliki implikasi pada dilatasi kolon dan disfungsi pada megakolon
toksik dan colitis. Beberapa peneliti berspekulasi bahwa NO juga dapat berperan dalam
Ogilvie’s syndrome meskipun belum ada bukti yang mendukung pendapat ini. Namun,
polyethylene glycol (PEG), laksatif osmotic dapat menurunkan produksi NO telah terbukti
mengurangi tingkat kekambuhan setelah dekompresi pada Ogilvie’s syndrome. Penemuan ini
dapat menjelaskan baik efek laksatif dari PEG atau efek tersebut pada pensinyalan
nitrinergik. Beberapa terapi farmakologikal mentargetkan regulasi NO telah ditemukan,
meskipun tidak ada penelitian yang mengidentifkasi bahwa terpai ini diterapkan pada pasien
dengan Ogilvie’s syndrome.

Faktor penyakit kronis dan farmakologi

Banyak pasien Ogilvie’s syndrome merupakan lansia dan memiliki penyakit kronis
seperti jantung, respirasi dan neurologis. Kondisi stes kronis, serupa dengan efek dari
penyakit kronis, berpotensi neurotransmisi eksitatorik dan inhibitorik. ENS dan regulasi
ekstrinsiknya dipengaruhi dalam beberapa kondisi yang umumnya dikaitkan dengan Ogilvie’s
syndrome, termasuk diabetes mellitus, Parkinson, dan penyakit Alzheimer. Selain itu, baik
ENS dan ICC telah terbukti menurun seiring bertambah usia yang menjelaskan peran usia
lanjut dalam gangguan ini.

Pasien dengan penyakit kronis juga lebih cenderung menggunakan beberapa obat
yang dapat mempengaruhi motilitas kolon, dan kemungkinan berperan dalam perkembangan
Ogilvie’s syndrome. Sejumlah obat telah dikaitkan dengan Ogilvie’s syndrome, yakni
antikolinergik, opiate, penghambat kanal kalsium, dan obat-obatan psikotropika. Lebih lanjut,
penggunaan agen anti-motilitas merupakan prediksi respon yang buruk terhadap neostigmine,
sementara methylnaltrexone telah berhasil digunakan pada pasien dengan Ogilvie’s syndrome
yang gagal berespon terhadap dua dosis neostigmine.

Beberapa pengobatan berkaitan dengan Ogilvie’s syndrome dengan memodulasi


sistem saraf otonom, mendukung gangguan jalur ini sebagai patofisiologinya. Clonidine dan
amitraz adalah agonis alpha2-adrenergik yang telah dikaitkan dengan Ogilvie’s syndrome.
Pada tingkal kolon, pensinyalan alpha2-adrenergik mengurangi pelepasan asetilkolin dari

5
neuron enteric sehingga terjadi ketidakseimbangan relatif simpatik terhadap parasimpatik
yang mendukung teori mengenai patofisiologi Ogilvie’s syndrome saat ini.

Penyabab Obstetrik

Tindakan sectio caesaria merupakan tindakan yang paling banyak menyebabkan


Ogilvie’s syndrome, tetapi umunya muncul setelah persalinan normal dan menggunakan
instrument per vaginam. Beberapa penelitian terbaru mengidentifikasi bahwa preeclampsia,
kehamilan multipel, dan perdarahan antepartum atau plasenta previa terdapat lebih banyak
pada wanita yang mengalami Ogilvie’s syndrome diikuti section caesaria. Namun, belum
jelas apakah kejadian tersebut hasil dari gangguan fungsi kolon akut. Beberapa penulis
menyatakan kompresi pleksus parasimpatis pada uterus yang hamil dapat berkontribusi,
sementara hipotesis lain menyebutkan uterus dapat kembali ke dalam pelvis setelah proses
kelahiran menyebabkan obstruksi mekanik pada kolon rektosigmoid.

Kehamilan juga berkaitan dengan peningkatan kadar progesterone dan glucagon,


dimana keduanya dapat menyebabkan penurunan tonus kolon dan predisposisi menjadi
Ogilvie’s syndrome apabla dikombinasikan dengan ganguan fisiologis seperti sectio caesaria,
preeclampsia, sepsis peripartum atau perdarahan. Aliran vasomotor simpatik meningkat
selama trimester ketiga, meskipun ibu hamil memiliki tekanan darah yang normal, sementara
disfungsi otonom dan overaktivitas simpatik merupakan cirri dari preeklampsia berat.
Selanjutnya, prostaglandin berperan dalam partus dan dapat berperan terjadinya Ogilvie’s
syndrome pada pasien obstetrik.

Faktor Metabolik

Sejumlah faktor metabolisme telah terbukti mempengaruhi motilitas kolon, meskipun


beberapa penelitian telah menyelidiki ini secara khusus pada Ogilvie’s syndrome. Gagal
ginjal dan gangguan elektrolit sering menyertai Ogilvie’s syndrome, meskipun masih
diperdebatkan apakah ini merupakan penyebab atau efek dari pseudoobstruksi. Perubahan
kalium dan konsentrasi elektrolit lainnya mempengaruhi fungsi saluran ion dan dapat
mengubah pacemaker ICC atau aktivitas otot polos. Selain itu, ketidakseimbangan elektrolit
telah diidentifikasi sebagai respon klinis yang buruk terhadap neostigmine.

Prostaglandin dan sitokin adalah mediator inflamasi untuk motilitas gastrointestinal.


Sitokin pro-inflamasi seperti TNF-alpha, IL-6, IL-8, dan IL-1β telah terbukti berimplikasi
pada POI, tetapi belum diinvestigasi pada ACPO. Protaglandin telah berimplikasi pada POI,

6
CIPO, dismotilitas usus halus akut dan mempengaruhi fungsi ICC serta frekuensi gelombang
lambat. Namun, tidak terdapat penelitian mengenai peran prostaglandin dalam perkembangan
Ogilvie’s syndrome. Cyclooxygenase-2 (COX-2) meningkat pada kolon yang distensi pada
percobaan eksperimen pada tikus menginduksi obstruksi mekanis sehingga disimpulkan
peran dalam menurunkan motilitas melalui efek prostaglandin E2.

Enteroneuropathy virus

Ogilvie’s syndrome telah dikaitkan dengan beberapa infeksi virus, umumnya


rekativasi herpes zoster pada distribusi thorax bawah dan lumbal, varicella zoster diseminasi,
sitomegalovirus akut dan demam dengue berat. Reaktivasi dari herpes virus pada ganglia
enteric menyebabkan neuritis otonom simpatis sehingga menurunkan suplai simpatis kolon.
Inflamasi pada segmen local kolon dengan stimulus aferen ke akar serabut saraf sacral dan
blokade dari suplai parasimpatis kolon juga berperan, sementara penulis lain menyatakan
hipotesis virus menyebar dari ganglia dorsalis ke kolumna thorakolumbar atau sacral lateral
dapat mengganggu jaras parasimpatis sacral.

Manifestasi Klinis

Diagnosis

Pasien dengan Ogilvie’s syndrome akan datang dengan distensi abdomen yang
semakin memburuk dan rasa tidak nyaman pada perut dengan berbagai derajat. Mual dan
muntah biasanya akan terjadi sampai batas tertentu. Meskipun obstruksi usus secara klasik
dikaitkan dengan konstipasi dan obstipasi, sejumlah besar pasien dengan ACPO akan terus
memiliki berbagai gangguan fungsi usus, dan diare dapat terjadi karena hipersekresi air.
Penting untuk diingat bahwa mayoritas pasien ini akan memiliki komorbiditas berat yang
mendasari atau eksaserbasi bersamaan dengan penyakit kronis yang dapat membuat
anamnesis riwayat penyakit sulit didapatkan.4

Pada pemeriksaan fisik didapatkan berbagai derajat dari distensi abdomen. Abdomen
akan menjadi lebih timpani dan pada auskultasi didapatkan bising usus yang bernada tinggi,
terkadang berdenting, atau bising usus dapat tidak ada sama sekali. Penemuan nyeri tekan
abdomen dapat meningkatkan kecurigaan pada iskemik atau perforasi usus.4,5 Tanda
peritonitis dengan tanda vital abnormal dapat dicurigai sebagai sepsis.4

7
Pemeriksaan laboratorium, meskipun tidak spesifik untuk diagnosis, harus dilakukan
untuk melengkapi evaluasi. Jika tidak berkaitan dengan penyakit yang mendasari, penemuan
leukositosis, peningkatan CRP, atau laktat dapat dicurigai iskemia usus. Tes fungsi hati,
lipase dan human chorionic gonadotropin (HCG) harus dilakukan untuk membantu
mengeklusi penyebab lain nyeri abdomen akut. Abnormalitas elektrolit seperti magnesium
dan kalsium umum ditemukan dan dilaporkan terdapat pada 2-3 kali lipat pasien paska
operasi. Fungsi tiroid dapat dilakukan bila pemeriksaan sebelumnya tidak tersedia. Pasien
dengan diare harus dievaluasi toksin Clostridium difficile. Kultur darah dilakukan pada
pasien yang tampak sebagai sepsis.4
Gambaran radiologi merupakan hal penting dalam diagnosis dan manajemen ACPO.
Pada foto polos didapatkan berbagai derajat dilatasi kolon, tanda haustra normal, dan
sedikitnya tanda dari obstruksi mekanik seperti volvulus. Kepentingan utama penggunaan
foto polos adalah untuk mengukur derajat dilatasi kolon awal dan untuk gambaran serial
selama waktu observasi setelah diagnosis dibuat. CT-scan dengan kontras melalui oral dan
intravena merupakan modalitas yang dianjurkan. Kontras rectum dapat membantu tetapi
dapat berkaitan terjadinya perforasi iatrogenik. Gastrografin atau kontras larut-air enteral
lainnya harus digunakan. CT-scan dapat membantu menunjukan anatomi atau obstruksi
mekanik usus sebagai evaluasi penyebab dilatasi seperti hematoma retroperitoneal atau abses
abdomen. CT-scan juga dapat memperlihatkan tanda iskemia seperti penebalan dinding
mukosa, edema submukosa atau gas. Secara umum, ACPO pada CT-scan akan menunjukan
gambaran dilatasi terisolasi pada sekum dan kolon asendens dengan zona transisional atau
titik potong pada fleksura splenikus. Jika CT-scan tidak tersedia, dan peritonitis tidak tampak
selama pemeriksaan, percobaan kontras enema dapat dilakukan dengan sensitivitas mencapai
96%untuk membuat diagnosis ACPO. Kolonoskopi diagnostik harus dihindari pada pasien
yang dicurigai ACPO karena insuflasi gas dapat meningkatkan risiko perforasi.2,4

Tatalaksana

Konservatif
Setelah diagnosis Ogilvie’s syndrome ditegakkan, tatalaksana dimulai dengan terapi
medis konservatif. Pasien ACPO dengan distensi secum kurang dari 12 cm dapat
ditatalaksanai secara konservatif bila tidak menunjukan tanda iskemik atau perforasi.
Manajemen konservatif meliputi koreksi ketidakseimbangan elektrolit, menghentikan opiate,

8
dekompresi dengan nasogastric tube (NGT), koreksi ketidakseimbangan cairan,
menghentikan penggunaan agen anti-motilitas, dan menghentikan asupan makanan oral.
Lebih lanjut, mengusahakan mobilitas pasien jika memungkinkan. Manajemen ini dilakukan
selama 48 hingga 72 jam selama pasien tetap stabil dan tidak memiliki tanda peritonitis atau
peningkatan diameter sekum melebihi 12 cm.5
Jika pasien stabil, tetapi tidak menunjukan perbaikan klinis, langkah selanjutnya yang
direkomendasikan adalah intervensi farmakologi neostigmine dengan monitoring jantung,
seperti elektrokardiogram. Neostigmine merupakan parasimpatomimetik sebagai inhibitor
asetilkolinesterase sehingga meningkatkan jumlah asetilkolin dan stimulasi parasimpatik
langsung oleh reseptor nikotinik dan muskarinik. Dosis neostigmine adalah 2 mg intravena
dalam 1 sampai 60 menit (umumnya 2-5 menit). Efek stimulasi parasimpatik dapat
menyebabkan bradikardi sehingga monitoring jantung diperlukan. Efek lain yang dapat
ditimbulkan adalah ketidaknyamanan abdomen, emesis dan salivasi. Atropin (0,5 mg IV)
dapat diberikan apabila pasien mengalami bradikardi. Apabila tidak terdapat respon dalam 3
jam pertama, neostigmine 2 mg IV dapat diulang setiap 3 jam maksimal 3 dosis.
Pada pasien yang telah mengalami fase resolusi, polyethylene glycol (PEG) dapat
dimulai unuk mencegah kekambuhan. Terapi farmakologi alternatif setelah gagal dengan
parasimpatomimetik adalah pemberian inhibitor NO sintase, agonis reseptor motilin, dan
antagonis reseptor opioid.
Terapi Endoskopi
Pada pasien yang gagal dengan terapi medikamentosa, langkah selanjutnya adalah
dekompresi kolon endoskopi yang dikonjungsi dengan penempatan pada diameter terbesar
kateter lunak nontraumatik tabung rectal. Dekompresi juga dapat dilakukan dengan
menempatkan kateter panjang ke dalam sekum dengan panduan fluoroskopi atau endoscopic
piggyback.
Tabung Cecostomy
Seperti dijelaskan oleh Nishiwaki et al, penempatan tabung cecostomy perkutan dengan
panduan USG dan fluoroskopi melibatkan langkah-langkah berikut: (1) Di bawah panduan
USG, kaitkan dinding anterior sekum ke dinding perut pada tiga titik dengan perangkat
fiksasi pengikat T (2) Tusukan sekum dengan jarum 16-gauge, masukkan kawat pemandu
melaluiselubung luar, dan gunakan teknik Seldinger di bawah panduan fluoroskopi untuk
melebarkan fistula colocutaneous hingga 24 French. (3) Letakkan tabung cecostomy 24
French di dalam cecum. (4) Berikan cefoperazone secara intramuskular atau IV selama 3 hari
sebagai antibiotik aprofilaksis.

9
Komplikasi yang mungkin meliputi nekrosis tekanan, pembentukan jaringan granulasi,
selulitis pada dinding abdomen, hernia ventral, fistula colocutaneous persisten, oklusi tabung
dan sepsis.
Terapi Pembedahan
Apabila terapi konservatif, farmakologis, dan endoskopi gagal untuk meringankan
Ogilvie’s syndrome, prosedur pembedahan dapat dilakukan. Prosedur pembedahan
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Intervensi operatif yang dilakukan
adalah oleostomy atau colostomy, reseksi usus, ekteriosasi, penempatan tabung cecostomy,
penempatan tabung kolon panjang intraoperatif, atau prosedur lain.

Bagan 2.AlgoritmaSyndrom Ogilvie


** Neostigmin dapat diulang seperlunya.
Kolonoskopi bisa diulangi sekali jika
kolonoskopi awal tidak menunjukkan
resolusi

Algoritma untuk sumbatan pseudo kolon


akut.
* Jika bukti iskemia atau perkembangan
perforasi terjadi setiap saat,
laparotomi diindikasikan.

10
Komplikasi

Komplikasi yang paling menakutkan dari Ogilvie’s syndrome adalah perforasi sekum.
Perforasi ini jarang terjadi, dimana hanya muncul pada 1% hingga 3% pasien. Perforasi berkaitan
dengan angka mortalitas mencapai 50% hingga 71% dibandingkan dengan kelompok non-
perforasi sebesar 8%. Secara umum dikatakan distensi sekum dapat menjadi perforasi saat
diameter sekum berukuran lebih dari 9 cm secara radiografi. Namun, beberapa penelitian
menyatakan bahwa perforasi jarang muncul pada diameter sekum yang kurang dari 12 cm,
dimana apabila diameter sekum lebih dari 14 cm maka perforasi akan mencapai 23%. Sehingga,
deteksi secara cepat sangat penting pada penilaian awal pasien dengan Ogilvie’s syndrome.2

Prognosis

Prognosis yang diperkirakan dirancukan oleh keterkaitan beberapa komorbid pada pasien
umum dimana penyakit yang mendasari berkontribusi terhadap perkembangan Ogilvie’s
syndrome. Secara umum, mortalitas yang diperkirakan setelah didiagnosis Ogilvie’s syndrome
tanpa komplikasi sebesar 15%. Ogilvie’s syndrome dengan komplikasi mencapai 3% hingga 15%
pasien dan berkontribsi dengan prognosis yang buruk dengan rata-rata angka mortalitas
mencapai 30% dan 40%. Faktor yang berkaitan dengan perkembangan komplikasi meliputi
diameter sekum dan durasi penyakit. Pada salah satu penelitian, tidak terdapat pasien dengan
diameter sekum kurang dari 12 cm yang berkembang menjadi penyakit komplikasi, sedangkan
pada 23% pasien dengan diameter 14 cm mengalami komplikasi. Durasi dari munculnya dilatasi
hingga memiliki hubungan langsung dengan penyakit komplikasi dan semakin memburuk
setelah 5 hari, dimana dilaporkan angka mortalitas meningkat 5 kali lipat setelah 7 hari penyakit
tidak mengalami perbaikan. Pada pasien yang dirawat aktif, manajemen operatif memiliki
tingkat mortalitas tertinggi, yang kemungkinan disebabkan oleh terapi operatif dilakukan pada
mereka yang memiliki komplikasi atau penyakit berkepanjangan, meskipun tanpa iskemia usus,
tingkat mortalitas paska operasi mencapai 26%. Seperti yang dapat dilihat, prognosis pasien dan
kelangsungan hidup pasien tergantung pada pengenalan, diagnosis dan dekompresi kolon yang
tepat waktu.4

11
1. Magda
2. Nell
3. WJG
4. Word
5. Chudzinki

1. Haj, M., Rockey D.C. Ogilvie’s syndrome: management and outcomes. Medicine. 2018;
97:27.
2. Maloney. N., Vargas H.D. Acute Intestinal Pseudo-Obstruction(Ogilvie’s Syndrome).
Clinics in Colon and Rectal Surgery. 2005; 18 (2): 96-101.
3. Wells, C.I, O’Gardy, G., Bisset, I.A. Acute colonic pseudo-obstruction: A systematic
review ofaetiology and mechanisms. World J Gastroenterol. 2017; 23 (30): 5634-5644.
4. Conner, S., Mitchell, C. Ogilvie Syndrome. In: StatPearls Publishing; 2018. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526102/> [Accessed January 6th 2019]
5. Chudzinki, A.P., Thompson, E.V, Ayscue, J.M. Acute Colonic Pseudoobstruction.
Clinics in Colon and Rectal Surgery. 2015; 28 (2): 112-117.

12

Anda mungkin juga menyukai